Bismillahirahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pembahasan
poligami dalam tulisan ini akan kami hadirkan bagi anda dalam beberapa episode (secara berlanjut/bersambung).
Tetapi pada intinya pembahasan ini akan kami bagi dalam 2 bahasan.
Tetapi pada intinya pembahasan ini akan kami bagi dalam 2 bahasan.
Bahasan
pertama yaitu tentang Poligami yg diajarkan Rasulullah, dalam hal ini kami akan lebih banyak menuliskan tentang kehidupan rumahtangga rasulullah dalam berpoligami. Pada bahasan ini kami mengharapkan agar tulisan ini menjadi wawasan dan pengetahuan khusus bagi anda tentang bagaimana rasulullah menjalani kehidupan rumahtangganya bersama istri2 beliau.
Dan pada bahasan kedua
kami akan memandang poligami dari sisi pandang masyarakat umum. tapi tentu saja pada
bahasan tersebut (sisi pandang umum) kami tetap akan merujuk pada kaidah-kaidah
syari dan mencoba memahaminya dari sudut pandang seobyektif mungkin.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hak uji materil soal
Poligami yang menyatakan bahwa hidup berpoligami tidak bertentangan dengan
Konstitusi Negara dan boleh dilakukan dengan sejumlah syarat, antara lain izin
dari isteri pertama dan hakim, menimbulkan polemik tentang hal yang satu ini
kembali.
Di satu sisi, yang berpandangan
poligami halal dilakukan menggugat syarat adanya izin isteri pertama dan hakim
mengingat hal itu tidak disyaratkan oleh Islam. Sedang yang kjedua, yang
menolak adanya poligami berpandangan bahwa diperbolehkannya poligami hanya akan
menambah penderitaan perempuan.
Terlepas dari kontroversi di
atas, terlepas dari kontroversi aneka ayat dan kajian syariah yang biasa
dipergunakan sebagai landasan argumentasi masing-masing pihak, maka ada baiknya
kita menengok kembali perjalanan hidup Rasulullah SAW, seorang manusia teladan
dan terbaik sepanjang zaman. Rasulullah berpoligami, namun pada situasi dan
kondisi yang sangat khusus.
Poligami Rasulullah
Dalam sirah disebutkan,
Rasulullah mengakhiri masa lajangnya di usia 25 tahun dengan mengawini seorang
perempuan mulia bernama Khadijah binti Khuwalid yang saat itu merupakan seorang
janda empat anak dari perkawinan sebelumnya dan telah berusia 40 tahun. Ini adalah
pernikahan yang ditunjuk Allah karena Khadijah merupakan wanita mulia dan yang
pertama memeluk Islam. Dari Rasulullah SAW, Khadijah mendapat 6 orang anak
lagi.
Rasulullah menjalani
monogami—tidak menikah lagi—selama 25 tahun bersama Khadijah. Tidak ada satu
pun petunjuk bahwa selama bersama Khadijah, Rasulullah pernah menyatakan niat
untuk melakukan poligami atau tergoda dengan perempuan lain. Kesetiaan terhadap
Khadijah dijalaninya selama 25 tahun masa pernikahan hingga Khadijah wafat.
Jika Rasulullah mau poligami di
masa itu, di saat masih muda dan prima, tentu Rasulullah akan mudah untuk
melakukannya. Terlebih sejumlah pemimpin suku Quraisy pernah merayu Beliau
dengan tawaran perempuan-perempuan paling cantik seantero Arab sekali pun agar
Rasulullah mau menghentikan dakwahnya. Tawaran yang di saat sekarang ini sangat
menggiurkan, sebuah tawaran yang banyak sekali membuat pejabat, Raja, Presiden,
dan bangsawan jatuh dari kursi kekuasaannya, tidak membuat Rasulullah
bergeming. Rasulullah tetap setia pada Khadijah dan Dakwah Islam.
Ketika Khadijah wafat di kala
Rasulullah berusia 50 tahun, beberapa waktu dilalui Rasulullah dengan menduda.
Barulah di saat usia beliau menginjak 51 atau dilain kisah ada yang menulis 52
tahun, maka Rasulullah mengakhiri masa dudanya dengan menikahi Aisyah yang baru
berusia 9 tahun (ada catatan lain yang mengatakan Aisyah ketika dinikahi
Rasulullah berusia 19 tahun). Namun pernikahan dengan Aisyah ini baru
disempurnakan ketika Beliau hijrah ke Madinah.
Setelah dengan Aisyah, Rasulullah
yang telah berusia 56 tahun menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah, seorang
janda berusia 70 tahun dengan 12 orang anak. Setelah dari Saudah, Rasulullah
kembali menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda berusia 45 tahun, lalu dengan
Ummu Salamah (janda berusia 62 tahun). Di saat berusia 57 tahun, Rasulullah
kembali menikahi Ummu Habibah (janda 47 tahun), dan Juwairiyah binti Al-Harits
(janda berusia 65 tahun dengan telah punya 17 anak).
Setahuh kemudian Rasulullah
kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab (janda berusia 53 tahun dengan 10
orang anak), Maimunah binti Al-Harits (anda berusia 63 tahun), dan Zainab binti
Harits (Janda 50 tahun yang banyak memelihara anak-anak yatim dan orang-orang
lemah).
Setahun kemudian, Rasulullah
menikah lagi dengan Mariyah binti Al-Kibtiyah (gadis 25 tahun yang
dimerdekakan), lalu Hafshah binti Umar bin Khattab (janda 35 tahun, Rasulullah
berusia 61 tahun), dan ketika berusia 61 tahun itulah Rasulullah baru
menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah, saat mereka telah hijrah ke
Madinah.
Dalam setiap pernikahan
poligami yang dilakukan Rasulullah SAW terdapat keistimewaan-keistimewaan dan
situasi khusus sehingga Allah mengizinkan Beliau untuk itu. Dari segala catatan
yang ada, tidak pernah ada satu catatan pun yang menyatakan bahwa pernikahan
poligami yang dilakukan Rasulullah disebabkan Rasulullah ingin menjaga
kesuciannya dari perzinahan atau dari segala hal yang berkaitan dengan hawa
nafsu. Maha Suci Allah dan Rasul-Nya.
Alasan yang banyak dikemukakan
para poligamor sekarang ini dalam melakukan kehidupan poligami adalah untuk
menjaga kesucian mereka dari perzinahan. Ini tentu tidak salah. Hanya saja,
dengan memiliki isteri lebih dari satu, hal itu bukanlah jaminan bahwa seorang
lelaki terbebas dari godaan terhadap perempuan lain. Rasulullah SAW tidak
pernah menjadikan alasan ini untuk poligaminya.
Dalam tulisan kedua akan
dipaparkan satu-persatu keistimewaan pernikahan poligami Rasulullah SAW., yang
dilakukan bukan karena desakan hawa nafsu, bukan agar tidak tergoda lagi dengan
perempuan lain, bukan untuk alasan klise menjaga syahwat, dan sebagainya.
Tujuan poligami Rasulullah SAW memiliki landasan yang lebih agung dan mulia.
Bukan sekadar alasan yang dicari-cari agar bisa nikah lagi
ANTI
PATI TERHADAP POLIGAMIKepada saudari-saudariku yg kontra dan menentang poligami, harap diingat firman Allah berikut:
'Wahai orang yang beriman, janganlah kamu
mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah kepadamu dan janganlah kamu
melampaui batas' (Q.s Al Maidah:87).
'Katakanlah tidak sama yang buruk dengan yang
baik, meskipun banyak keburukan itu menarik hatimu. Maka bertakwalah keapda
Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat agar kamu beruntung' (Q.s Al
maidah:100)
TENTANG KEADILAN DALAM POLIGAMI
Orang
sering menggunakan alasan “kemampuan berlaku adil” sebagai syarat berpoligami
sementara di sisi lain mereka mengunci dengan keyakinan bahwa manusia tidak
akan mungkin berlaku adil, sehingga dengan kata lain mereka hendak mengatakan
bahwa poligami itu mustahil dilakukan karena bertindak adil itu sendiri
mustahil dilakukan.
Sebagian
orang mengatakan bahwa mustahil berlaku adil dalam poligami karena laki-laki
pasti lebih mencintai isterinya yang lebih muda atau lebih cantik. Dan cinta
yang sesungguhnya itu pasti tidak bisa diduakan, maka pasti seorang laki-laki
pun akan mencintai salah satu saja dari sekian banyak isteri-isterinya.
‘Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya’ (Q.S. Al-Ahzab :
4)
Maka di
sini kami sampaikan bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak sama dalam mencintai
isteri-isterinya. Rasulullah SAW secara terang-terangan dan diketahui oleh
orang banyak bahwa Beliau lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri
lainnya.
Dan
ketidak samaan perasaan cinta Rasulullah ini bukanlah sesuatu yang salah atau
tercela terbukti ketika isteri-isteri lainnya meminta keadilan perilaku
Rasulullah SAW terkait dengan tindakan Beliau yang lebih mencintai Aisyah, maka
Rasulullah tidak mengatakan bahwa Beliau telah bersalah bahkan mengesahkan atau
menegaskan kepada Aisyah bahwa tindakan Beliau tersebut adalah sesuatu yang
sah-sah saja.
Dari
Al-Laits dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Abdurrahman dari Aisyah r.a.
berkata : “Para istri Nabi SAW mengutus Fathimah (Putri Nabi) untuk menemui
Nabi. Lalu Dia menjumpai Nabi sedang tidur terlentang bersamaku (Aisyah). Lalu
Dia (Fathimah) berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu (yang
lain) meminta keadilan kepadamu berkaitan dengan putri Ibnu Quhafah ‘ (yaitu
Aisyah, karena Nabi lebih cinta pada Aisyah). Maka saat itu saya (Aisyah) diam
saja. Lalu Rasulullah SAW bertanya : ‘Bukankah engkau (Fathimah) mencintai apa
yang aku cintai?’ Fathimah menjawab :’Benar’. Nabi bersabda :’Maka cintailah
pula wanita ini (yaitu Aisyah)’.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Dalam
bercumbu dan kasih sayang Nabi SAW juga nyata-nyata tak sama dan hal ini
diketahui oleh isteri-isteri beliau yang lain dan diketahui pula oleh para
sahabat (artinya Rasulullah tidak menyembunyikan tindakan tidak adilnya ini).
Abu
Qois, pembantu Amr bin Al-Ash berkata : Amr mengutusku untuk menemui Ummu
Salamah (istri Nabi) lalu berkata : “Tolong tanyakan pada Rasulullah SAW apakah
memeluk istrinya ketika sedang berpuasa?” Jika Ummu Salamah menjawab “tidak”
maka katakan padanya bahwa Aisyah pernah memberitahu kami bahwa Rasulullah SAW
pernah memeluk (Aisyah) ketika beliau sedang berpuasa. Maka saya (Abu Qois)
benar-benar bertanya pada Ummu Salamah dan dia ternyata memang menjawab “tidak”
lalu saya beritahukan apa yang dikabarkan oleh Abdullah (Amr bin Al Ash). Lalu Ummu Salamah berkata : “Sesungguhnya
jika Rasulullah SAW melihat Aisyah, maka beliau
(Nabi ) tidak mampu menahan diri
untuk tidak mendekatinya (yaitu mendekati Aisyah) sedangkan kepada saya
(Ummu Salamah) tidak begitu”. (H.R. Muslim)
Namun
dalam riwayat lain dikabarkan bahwa Nabi pernah pula memeluk Ummu Salamah
ketika sedang berpuasa, hanya saja mungkin tidak sesering dengan Aisyah.
Bahkan
Rasulullah SAW bila sedang gundah sangat mengingikan segera berada di rumah
Aisyah karena Aisyah adalah istri yang paling cerdas dan pandai menghibur hati
Rasulullah
Dari Aisyah
r.a. : Apabila
Rasulullah saw. sedang merasa gundah, beliau akan bertanya-tanya: Di manakah
aku hari ini, di manakah aku esok hari, karena merasa lama menunggu hari
giliran berada di rumah Aisyah. Aisyah melanjutkan: (aku mendambakan) Ketika
pada hari giliranku Allah mencabut nyawa beliau yang masih berada dalam
pelukanku. (H.R. Muslim No.4473).
Dari
sini kita tahu bahwa praktek poligami yang dilakukan Rasulullah SAW bukanlah
adil seperti keadilan yang disangkakan oleh orang pada masa sekarang bahwa adil
berarti sama rata sama rasa dalam segala hal. Pada kenyataannya pada jaman itu,
semua sahabat dan istri-istri Rasulullah tahu bahwa Rasulullah lebih mencintai
Aisyah. Bahkan ketika Fathimah menyampaikan protes dari istri-istri Rasulullah
lainnya tentang masalah ini, ternyata Rasulullah malah membenarkan tindakannya
dengan bersabda : “Bukankah engkau (Fathimah) mencintai apa yang aku cintai?
’Maka cintailah pula wanita ini (yaitu Aisyah)”.
Kita
tahu bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan yang terbaik. Dan Rasulullah SAW
tentu adalah manusia yang paling tahu dengan syari’at Allah dibandingkan dengan
semua manusia di muka bumi ini hingga saat ini. Maka tidak mungkin Rasulullah
melakukan sesuatu yang menyalahi syari’at karena hendak menyenangkan hawa
nafsunya sendiri. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ketidaksamaan
perlakuan Rasulullah terhadap istri-istri beliau dibandingkan terhadap Aisyah
adalah bukan sesuatu yang menyalahi syari’at. Rasa cinta dan sayang Rasulullah
yang lebih kepada Aisyah dibandingkan istri-istrinya yang lain juga bukan
sesuatu yang menyalahi prinsip keadilan dalam poligami. Padahal jelas-jelas
dalam Al-Qur’an dituntut berlaku adil jika melakukan poligami. Sehingga kita
bertanya keadilan seperti apa yang sebenarnya dituntut oleh syari’at Islam?
TENTANG
MAKSUD AYAT “JIKA KAMU TAKUT TIDAK MAMPU BERBUAT ADIL MAKA KAWINILAH SATU SAJA”.
Urwah bertanya pada Aisyah r.a. tentang firman
Allah “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak_ perempuan
yatim), maka kawinilah satu saja” (Q.S. 4:3) Maka Aisyah menjawab : “Wahai anak
saudaraku, anak yatim itu (yang menjadi asbabun nuzul ayat itu) berada dalam
asuhan walinya, lalu walinya menginginkan dia karena kecantikan dan hartanya,
dan hendak mengurangi maharnya, maka ia dilarang menikahinya kecuali ia mampu
berbuat adil dalam menyempurnakan mas kawinnya” (H.R. Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas jelas bahwa pembicaran adil
dalam Q.S. 4:3 bukan seperti yang dimaksudkan oleh orang jaman sekarang yang
mengaitkan ayat tsb dengan keadilan dalam berpoligami.
Sebagian masyarakat jaman sekarang juga
menolak poligami dengan argumen bahwa Allah pun telah berfirman bahwa manusia
tidak mungkin berlaku adil dalam berpoligami yaitu dalam ayat sbb :
“Dan sekali-kali kalian tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri (kalian) walaupun kalian sangat ingin
berbuat demikian” (Q.S. 4:129)”.
Ibnu Sirin r.a. berkata : “Saya bertanya kepada
Abidah As-Salmany tentang maksud firman Allah ‘Dan sekali-kali kalian tidak
akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian) walaupun kalian sangat
ingin berbuat demikian (Q.S. 4:129)’ Maka jawab Abidah : Maksudnya adil dalam
masalah cinta dan jima’ (bersetubuh)”
Menurut Ibnu Abbas : Maksud ayat tsb adalah
seseorang tak akan mampuberbuat adil dalam masalah jima’ (seks) sekalipun
manusia ingin berbuat demikian.
Menurut Ibnul Qoyyim Al-Jauzi : Maksud ayat tsb adalah beliau
(Nabi SAW) mampu berbuat adil dalam masalah nafkah dan pembagian malam
(menginap) di antara istri-istri beliau namun dalam masalah perasaan cinta,
beliau tidak mampu dan tidak memilikinya.
Yang lebih mendekati kebenaran adalah apa
yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim di atas sesuai dengan hadits berikut ini :
Dari Hamdah bin Salamah dari Ayyub dari Abu
Qilabah dari Abdullah bin Yazid dari Aisyah berkata : Rasulullah membuat
pembagian di antara istri-istrinya lalu berdoa : Ya Allah inilah perbuatanku
menurut apa yang aku miliki maka janganlah Engkau mencelaku tantang apa yang
Engkau miliki sedangkan aku tidak
memiliki (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
BENARKAH
RASULULLAH TIDAK RELA FATIMAH DIMADU?
Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin Makhromah berkata : “Ali
melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw
berkatalah Fatimah : kaummu meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena
putrimu; Ali menikahi putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya
mendengar ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku menikahkan
anakku dengan Abul As bin Robi’ dan dia tidak membohongiku, sesungguhya Fatimah
itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang membuatnya marah.
Demi Allah putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak akan pernah berkumpul
dalam naungan seorang laki-laki. Maka kemudian Ali membatalkan (lamaran itu)”. (H.R.
Bukhari Muslim).
Rasulullah
saw bersabda:“Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja
yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.”
Rasulullah
berkhutbah di dalam mesjid di hadapan kaum muslimin. di situ hadir Ali bin Abi
Thalib. maka Rasulullah berkata, “Demi Allah, selama Fatimah adalah putri
Rasulullah, maka aku tidak akan mengizinkan putriku serumah dengan putri musuh
Allah.”
Mengenai
Rasul saw melarang Ali bin Abu Tholib berpoligami, itu karena Ali Bin Abu
Tholib berencana menikah dengan putri Abu Jahal, dan tentunya Ali bin Abu
Tholib ingin menyelamatkan putri Abu Jahal yang muslimah dari kekejian ayahnya,
namun Rasul saw tak menyetujui itu, karena mensejajarkan putri beliau saw
dengan Putri Abu Jahal akan membuat fitnah baru dengan mengatakan bahwa Rasul
saw memerangi kuffar namun berbesan dengan musuh Allah, memerintahkan muslimin
memerangi orang orang kafir namun menyambung hubungan keluarga dengan pimpinan
Musuh Allah.
Kalangan
antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulllah saw
terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra.
Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau,
Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika
mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: “Beberapa keluarga
Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk
mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah,
aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi aku tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku
izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu,
Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan
apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal
itu mengganggu pikirannya” (Jami’
al-Ushul, juz XII, 162, Hadits: 9026).
Penggunaan
Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang
pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali r.a. menikah lagi, karena wanita
yang hendak dinikahi Ali r.a. adalah anak musuh Allah Swt, yaitu Abu Jahl.
Menurut Rasulullah saw, tidak layak menyandingkan putri utusan Allah dengan
putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya,
namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan,
tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat
disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain.
Rasulullah
saw bersabda: “Sesungguhnya
Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. “Kemudian
beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung
pergaulannya, “Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan
dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula
menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu
putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)
Adapun kenyataannya Ali bin Abi Thalib r.a. tetap
berpoligami dan memiliki beberapa orang isteri dan anak-anak, diantaranya :
1. ’Abbaas bin ’Ali bin Abi Thaalib,
’Abdullah bin ’Ali, Ja’far bin ’Ali bin Abi Thaalib, dan ’Utsmaan bin ’Ali bin Abi Thaalib.
2. ’Ubaidullah bin ’Ali bin Abi Thaalib
dan Abu Bakr bin ’Ali bin Abi Thaalib.
3. Yahya bin ’Ali bin Abi Thaalib,
Muhammad Al-Ashghar bin ’Ali bin Abi Thaalib, dan ’Aun bin ’Ali bin Abi
Thaalib.
4. Ruqayyah binti ’Ali bin Abi Thaalib dan
’Umar bin ’Ali bin Abi Thaalib – dimana ia meninggal pada usia tigapuluh lima
tahun.
5. Ummul-Hasan binti ’Ali bin Abi Thaalib
dan Ramlah Al-Kubraa binti ’Ali bin Abi Thaalib.
Memang Ali bin Abi Thalib menikahi 5 orang
wanita di atas adalah setelah meninggalnya Fathimah putri Rasulullah. Namun ini
membantah tuduhan bahwa Rasulullah melarang poligami kepada Ali bin Abi Thalib.
SUMBER / KET :
[5] Kasyful-Ghummah fii Ma’rifatil-Aimmah
oleh ‘Ali Al-Arbiliy 2/66. Silakan lihat nama maraji’ Syi’ah yang menetapkan nama anak-anak ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu tersebut, yaitu pada
kitab Al-Imaamah wan-Nash oleh
Al-Ustadz Faishal Nuur hal. 683-686.
KECEMBURUAN ISTERI-ISTERI RASULULLAH DAN ULAH
MEREKA
Cemburu
adalah perasaan normal dan manusiawi yang ada pada setiap manusia, bahkan Allah
pun digambarkan memiliki rasa cemburu. Oleh
karena itu perasaan cemburu bukanlah sesuatu yang tercela. Seringkali tersakiti
hati wanita karena rasa cemburu ini dijadikan alasan pembenaran untuk
mengharamkan poligami.
Allah
bukannya tidak tahu tentang adanya perasaan cemburu wanita ini. Bukankah Allah
juga yang menciptakan wanita? Adanya perasaan cemburu juga bukan sesuatu yang
lantas mengesahkan dilarangnya poligami. Terbukti bahwa Rasulullah SAW tahu dan
semua orang juga tahu bahwa beberapa kali timbul gejolak dan kecemburuan
isteri-isteri Rasulullah SAW, namun beliau hanya memaklumi dan mendiamkan hal
itu, tidak mengecamnya dan tidak pula lantas melarang para lelaki untuk
berpoligami karena khawatir timbul perasaan cemburu isterinya
Aisyah r.a.
berkata : Nabi SAW agak lama tingggal di rumah Zainab binti Jahsy untuk meminum
madu, maka aku bersepakat dengan Hafshah jika Nabi SAW masuk pada salah satu
dari kami, maka akan kami tegur dan menyindir : Aku berbau maghafir (getah
pohon yang tidak terasa tapi berbau busuk) apakah engkay makan maghafir? Maka
datanglah Nabi SAW kepada salah satu dari kami dan ditanya begitu. Jawab Nabi
SAW : “Tidak, saya hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy dan (lain
kali) tidak akan saya minum lagi”.
Tak lama setelah itu turun ayat : “Wahai Nabi, mengapa
kamu haramkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu karena hendak
menyenangkan hati isteri mu (Q.S. At-Tahim : 1)” (H.R. Bukhari Muslim).
Maka dalam
hal ini Allah justru menegur Rasulullah
karena menuruti kecemburuan sebagian isterinya sampai-sampai Rasulullah
SAW bersumpah tidak akan minum madu lagi dari Zainab binti Jahsy maka Allah
menyuruh Nabi untuk membatalkan sumpahnya.
“Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan
Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S.
At-Tahim [66] : 2)”.
Banyak
peristiwa penting yang tidak diabadikan Allah dalam ayat Al-Qur’an. Namun
mengenai ulah kecemburuan isteri Nabi ini bahkan Allah mengabadikan dalam
Al-Qur’an. Mengapa? Tentu saja bukan karena tanpa alasan. Melainkan ini
merupakan pelajaran penting bagi kaum muslimin dalam hal mengelola rumah tangga
khususnya jika berpoligami. Bahwa kecemburuan wanita adalah sesuatu yang wajar
namun jangan sampai para suami lemah hati dan menuruti tingkah ulah kaum wanita
ketika sedang cemburu.
Dan
ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya
(Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu
(kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan
Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan
Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka
tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu
(Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini
kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah
yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. At-Tahim [66] : 3).
Dan
Allah menyuruh kedua isteri Nabi yaitu Hafshah (anak Umar bin Khattab) dan
Aisyah (anak Abu Bakar Ash Shiddiq) untuk bertobat :
Jika
kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula)
Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat
adalah penolongnya pula(Q.S. At-Tahim [66] : 4).
Di
antara isteri-steri Nabimemang Aisyah lah yang paling cantik, dinikahi ketika
masih perawan dan paling cerdas. Maka wajar jika Aisyah juga menyadari
keunggulannya ini sehingga ia jugalah yang paling pencemburu dan banyak
tingkah.
Aisyah
r.a. berkata : Rasulullah SAW sangat suka madu dan halwa (dodol) ketika beliay
masuk ke rumah Hafshah binti Umar dan tertahan di situ agak lama, maka aku
merasa cemburu dan aku bertanya-tanya mengapa lama? Tiba-tiba aku mendapat
berita bahwa hafshah mendapat hadiah madu dari kaummnya dan menghidangkannya
pada Nabi SAW itulah yang menyebabkan beliau tertahan agak lama. Aku berkata :
Demi Allah aku akan mencari hilah (akal/siasat) lalu aku mendatangi Saudah
binti Zam’ah bahwa tentu nanti Nabi akan datang kepadamu, maka tanyakanlah :
“Apakah engkau makan maghafir?” Tentu beliau akan menjawab : “Tidak”. Maka
tanyakan kepadanya : “Mengapa berbau tidak sedap?” Beliau akan menjawab : “Aku
diberi minum madu oleh Hafshah” Maka katakan kepadanya : “Mungkin lebahnya
telah makan urfuth yang bergetah maghafir”. Dan nanti saya (Aisyah) akan
berkata begitu juga ketika Beliau datang kepadaku, dan Anda Shafiyah (isteri
Nabi yang lain) berkata juga lah begitu.
Saudah
berkata : “Demi Allah tidaklah Nabi SAW berdiri di muka pintu melainkanaku
sudah akan mengatakan sesuai perintah Aisyah tapi aku sangat takut”. Maka
ketika Nabi mendekati Saudah ia berkata : “Ya Rasulullah apakah engkau makan
maghafir?” Jawab Nabi : “Tidak”. Maka ditanya : “Bau apakah ini?” Jawab Nabi :
“Aku diberi minum madu oleh Hafshah” Saudah berkata : “Mungkin lebahnya telah
makan urfuth”. Kemudian ketika Nabi masuk ke tempat Aisyah, Aisyah juga
bertanya yang sama dan ketika masuk kepada Shafiyah, juga ditanya seperti itu,
kemudian ketika Nabi kembali kepada Hafashah ditawari untuk diberi madu Nabi
menjawab : “Aku tidak ingin itu lagi”. Maka Saudah berkata : “Demi Allah kami
lah yang mengharamkan itu pada Nabi SAW” Aisyah berkata : “Diamlah” (H.R.
Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid I No. 940).
Ketika
Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay, wanita Yahudi Khaibar yang kemudian
ditawan dan masuk Islam, maka semua istri Nabi cemburu karena melihat sosok
Shafiyyah sebagai wanita yang paling cantik dan paling bersih kulitnya.
Ibn
Sa‘ad meriwayatkan dari Nha ibn Yasar, dia berkata, “Ketika Shafiyyah datang
dari Khaibar, dia tinggal di rumah Haritsah ibn Al-Nu‘man. Para perempuan
Anshar mendengar kabar ini dan langsung mendatangi rumah Haritsah untuk me
lihat kecantikannya, termasuk Aisyah yang datang untuk menyelidikinya. Setelah
Aisyah ra keluar, Rasulullah SAW lalu menanyakan kesannya terhadap Shafiyyah
seraya bertanya, ‘Bagaimana kamu menilainya?’ Aisyah menjawab, Aku hanya
melihat seorang perempuan Yahudi. ‘Nabi bersabda Iagi, janganlah kamu
berkata seperti ini, karena dia telah memeluk Islam.”
Kecemburuan
seperti ini bukan hanya menimpa Aisyah r.a., melainkan sudah menyebar ke dalam
hati semua istri Nabi SAW.
Ibn
Sa‘ad meriwayatkan lagi dari Aisyah., “Suatu
saat Rasulullah SAW sedang dalam perjalanan, lalu kemudian unta kepunyaan
Shafiyyah mengalami sakit, sedangkan Zainab binti Jahsy memiliki unta yang
lain. Rasulullah SAW pun bersabda kepada Zainab : ‘Unta kepunyaan Shafiiyyah terkena sakit,
bisakah kamu memberinya unta yang lain?’ Zainab menjawab, ‘Mengapa aku harus
memberi perempuan Yahudi itu?’ Karena sikap Zainab yang seperti itu, Rasulullah
SAW meninggalkannya pada bulan Dzulhijjah dan Muharram, dan tidak pernah
mendatanginya. Zainab berkat : ‘Bahkan sampai aku merasa putus asa
menghadapinya”.
Dalam
riwayat lain, Shafiyyah r.a. bercerita, “Suatu ketika Rasulullah masuk
menemuiku, sedangkan aku telah mendengar sesuatu yang telah dikatakan
Aisyah dan Hafshah yang menyatakan, ‘Kami lebih mulia di hadapan
Rasulullah daripada Shafiyyah. Kami adalah istri-istrinya dan putri-putri dari
pamannya. Kata-kata itu pun sampai ke telinga Rasulullah, sehinga heliau
bersabda, ‘Kenapa tidak kamu (Shaiiyyah) jawab kepada mereka, ‘Bagaimana kalian
lebih baik dariku, sementara suami ku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun
a.s., dan pamanku adalah Musa a.s.?”
Dari
Anas berkata : Pada suatu saat Nabi SAW berada di samping beberapa orang istri
beliau, salah seorang ummul mu’minin mengirimkan satu piring makanan. Tiba-tiba
istri yang ketempatan rumahnya oleh Nabi SAW berada (yaitu Aisyah) memukul
tangan pelayan yang membawa piring makanan itu sehingga piringnya jatuh dan
pecah. Lalu Nabi SAW mengumpulkan pecahan piring danmakanan yang tadinya berada
di piring yang pecah itu. Beliau berkata : Ibumu sedang cemburu. Beliau menahan
pelayan tadi sampai beliau memberikan piring ganti dari istri yang beliau
berada di rumahnya. Piring yang utuh itu beliau serangkan kepada istri yang
piringnya pecah dan beliau menahan piring yang sudah pecah di rumah istri
beliau yang memecahkan piring tadi (H.R. Bukhari).
Dari
Anas berkata : Nabi
SAW memiliki sembilan istri. Apabila beliau menggilir (pada salah seorang
istri) maka mereka semua akan kebagian. Setiap malam mereka berkumpul di rumah
istri yang akan beliau datangi (mendapat giliran). Pada suatu malam Beliau
berada di rumah Aisyah, maka datanglah Zainab dan Beliau mengulurkan tangannya
untuk menyambut Zainab. Aisyah berkata : “Ini Zainab” (seolah menegaskan bahwa
Zainab bukan gilirannya) Lalu Nabi SAW menahan tangannya. Beberapa saat
kemudian mereka berdua beryengkar dengan
suara yang keras dan ucpan yang kotor. Lalu terdengar suara iqomatushshalat.
Abu Bakar lewat di rumah itu dan mendengar pertengkaran mereka berdua. Abu
Bakar lalu berkata : “Keluarlah wahai Rasulullah untuk menunaikan shalat dan
sumpal saja mulut mereka dengan pasir”. Rasulullah SAW lalu keluar. Aisyah
merasa kesal dan terganggu dengan sikap ayahnya tersebut. Setelah Rasulullah
SAW selesai menunaikan shalat, Abu Bakar pergi menemui Aisyah dan melontarkan
kata yang keras : “Apakah layak kamu berbuat begini?” (H.R. Muslim).
Aisyah r.a. berkata : istri-istri
Rasulullah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Aisyah,
Hafshah dan Saudah. Sementara kelompok kedua terdiri dari Ummu Salamah dan
Istri-istri Rasulullah SAW lainnya. Semua kaum muslimin sudah sama-sama tahu
betapa cintanya Rasulullah kepadaku (dibanding istri lainnya). Apabila ada
salah seorang sahabat hendak memberi hadiah kepada Rasulullah SAW maka biasanya
ia akan menangguhkan pemberian sampai Rasulullah SAW sedang berada di rumah ku.
Suatu hari ada seorang sahabat mengirimkan hadiah kepada Rasulullah SAW ketika
Beliau berada di rumahku. Rupanya hal ini diketahui kelompok Ummu Salamah.
Kelompoknya berkata kepada Ummu Salamah : “Kamu berbicaralah kepada Rasulullah
SAW supaya Beliau mau menasehati para sahabatnya agar barang siapa bermaksud
memberikan hadiah kepada Beliau supaya diberikan saja di rumah istri manapun
beliau sedang berada”. Ummu Salamah menyampaikan kepada Rasulullah SAW apa yang
diusulkan kelompoknya itu. Namun Beliau tidak menanggapi apa yang disampaikan Ummu
Salamah. Ketika hal itu disampaikan pada kelompoknya, mereka tidak berputus
asa. Mereka mendesak Ummu Salamah mencobanya lagi. Ummu Salamah menurut saja.
Sekali lagi ia sampaikan usulan kelompoknya itu kepada Rasulullah SAW di saat
Beliau berada di rumahnya. Namun Rasulullah SAW tidak menanggapi sedikit pun.
Kelompok Ummu Salamah masih belum berputus asa. Mereka tetap membujuk Ummu
Salamah agar mau mengatakan sekali lagi. Dan lagi-lagi Ummu Salamah menuruti
kehendak mereka. Untuk ketiga kalinya Ummu Salamah menyampaikan hal itu kepada
Rasulullah. Beliau bersabda kepada Ummu Salamah : jangan kamu sakiti aku
tentang Aisyah. Sesungguhnya wahyu tidak turun kepadaku ketika aku berada dalam
kain seorang wanita kecuali Aisyah”. Seketika itu Ummu Salamah berkata : “Aku
bertaubat kepada Akkah karena telah menyakitimu wahai Rasulullah”.
Kemudian
kelompok Ummu Salamah memanggil Fatimah putri Rasulullah SAW. Mereka mengutus
Fatimah agar menyampaikan pesan kepada Rasulullah yang isinya : “Sesungguhnya
istri-istri mu mendambakan supaya berlaku adil menyangkut putri Abu Bakar
(yaitu Aisyah). Mendengar perkataan putrinya itu Rasulullah SAW berkata : Wahai
putriku apakah kamu tidak menyenangi apa yang aku senangi? Fatimah menjawab :
“Tentu saja ayah”. Fathimah lalu pulang dan menceritakan kepada mereka
tanggapan Rasulullah tersebut. Namun mereka membujuk Fatimah supaya balik lagi
menghadap Rasulullah namun Fatimah menolak.
Selanjutnya mereka mendesak Zainab
binti Jahsy. Meski dengan terpaksa Zainab mau juga menemui Rasulullah SAW dan
berkata : “Sesungguhnya istri-istrimu mendampakan Engkau berlaku adil terkait
putri Abu Quhafah”. Zainab mengucapkan kata-katanya itu dengan suara yang agak keras sehingga
terdengar oleh Aisyah yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu. Aku
sempat mencaci dalam hati. Kemudian Rasulullah SAW memandangku barangkali dia akan bicara. Akhirnya Aku terpaksa bicara
untuk menangkis ucapan Zainab sehingga Zainab diam, Selanjutnya Rasulullah SAW
bersabda : “Sesungguhnya ia putri Abu Bakar” (H.R. Bukhari Muslim).
Dari Aisyah
r.a. : Bahwa
orang-orang menanti-nantikan untuk memberikan hadiah pada waktu Rasulullah saw.
berada di rumah Aisyah. Mereka melakukan hal itu untuk mendapatkan keridaan
Rasulullah saw.. (H.R. Muslim No.4471)
Aisyah r.a.,
berkata :
Beberapa orang istri Nabi saw. mengutus Fatimah binti Rasulullah saw. untuk
menemui beliau. Lalu Fatimah meminta izin masuk, sedang Rasulullah saw. masih
bersamaku dalam selimut. Lalu beliau mengizinkannya, kemudian Fatimah berkata:
Wahai Rasulullah! Sesungguhnya istri-istrimu yang lain mengutusku untuk
menemuimu, mereka meminta keadilan seperti yang engkau berikan kepada putri Abu
Quhafah. Saat itu aku hanya diam saja. Rasulullah saw. berkata kepada Fatimah:
Wahai putriku! Tidakkah kamu menyukai apa yang aku sukas.i? Fatimah menjawab:
Benar. Rasulullah saw. berkata lagi: Maka cintailah istriku yang satu ini.
Mendengar perkataan ayahnya tersebut, Fatimah lalu segera beranjak meninggalkan
Rasulullah untuk kembali kepada para istri beliau yang lain dan mengabarkan
kepada mereka apa yang telah ia katakan dan apa yang telah dikatakan oleh
Rasulullah saw. kepadanya. Lalu mereka berkata kepadanya: Kami merasa kamu
belum berbuat sesuatu apapun untuk kami, maka kembalilah menghadap Rasulullah
saw. dan katakan kepada beliau: Sesungguhnya istri-istrimu yang lain sangat
mendambakan keadilan seperti yang engkau perlihatkan kepada putri Abu Quhafah
itu.
Fatimah menjawab: Demi Allah aku tidak mau mengajak bicara beliau tentang
Aisyah selama-lamanya. Aisyah berkata: Lalu istri-istri Nabi saw. itu menyuruh
Zainab binti Jahsy ra., istri Nabi dan dialah yang menandingiku di antara
mereka untuk merebut kedudukan di hati Rasulullah saw., dan aku tidak pernah
melihat seorang wanita pun selain Zainab yang lebih baik dalam beragama, lebih
bertakwa kepada Allah, lebih jujur bicaranya, paling kuat bersilaturahmi,
paling banyak bersedekah dan paling sering mengalami cobaan dalam dirinya dalam
melakukan pekerjaan untuk bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah kecuali
perilaku mudah emosi dan marah yang ada pada dirinya namun ia cepat kembali
(tenang). Ia berkata: Lalu Zainab meminta izin menemui Rasulullah saw. yang
pada waktu itu beliau sedang (tidur) bersama Aisyah dalam selimutnya seperti
saat Fatimah menemuinya.
Kemudian Rasulullah saw. mempersilakannya, dan Zainab
pun berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya istri-istrimu yang lain mengutusku
untuk menemuimu, mereka meminta keadilan seperti yang engkau berikan kepada
putri Abu Quhafah. Aisyah berkata: Kemudian ia menyinggung tentang diriku dan
melampaui batas, namun aku tetap memandang Rasulullah saw. dan melihat ke arah
mata beliau apakah beliau mengizinkan aku untuk ikut berbicara. Aisyah
melanjutkan: Zaenab tetap tidak beranjak sampai aku ketahui bahwa Rasulullah
saw. sudah tidak merasa keberatan kalau aku membela diri. Aisyah melanjutkan:
Ketika aku menyinggungnya dan terus tidak memberi kesempatan sedikitpun padanya
sampai aku selesai membalasnya. Aisyah melanjutkan: Lalu Rasulullah saw.
tersenyum dan berkata: Ia memang benar-benar putri Abu Bakar. (H.R. Muslim No.4472)
Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw.
apabila hendak melakukan perjalanan, beliau selalu mengadakan undian di antara
istri-istrinya, lalu keluarlah undian tersebut untuk Aisyah dan Hafshah
sehingga mereka berdua berangkat bersama Rasulullah saw. Dan pada malam hari,
Rasulullah saw. berjalan bersama Aisyah untuk bercakap-cakap dengannya. Suatu
kali berkatalah Hafshah kepada Aisyah: Maukah kamu malam ini menunggangi untaku
dan aku menunggangi untamu sehingga kamu dapat melihat begitu juga aku. Aisyah
menjawab: Baiklah. Maka Aisyah lalu menunggangi unta milik Hafshah dan Hafshah
menunggangi unta Aisyah. Lalu datanglah Rasulullah saw. menghampiri unta milik
Aisyah yang ditunggangi oleh Hafshah kemudian mengucapkan salam dan berjalan
bersamanya sampai mereka turun berhenti. Tiba-tiba Aisyah merasa kehilangan
Rasulullah dan merasa cemburu. Ketika mereka turun berhenti, mulailah Aisyah
menendangkan kakinya ke tumbuh-tumbuhan izkhir yang harum baunya sambil berkata:
Ya Tuhanku! Semoga ada kalajengking atau ular yang menggigitku sedang aku tidak
dapat mengatakan sesuatu apapun kepada rasul-Mu. (H.R. Muslim
No.4477)
Dari Anas bin
Malik ra., ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Keutamaan Aisyah atas
wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid (bubur daging dan roti) atas
makanan yang lainnya. (H.R. Muslim No.4478)
Bersambung bag.2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar