Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

'Manajemen POLIGAMI' (bag.1)





Oleh : Abuakmal Mubarok & Rama D.Wijaya

Bismillahirahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pembahasan poligami dalam tulisan ini akan kami hadirkan bagi anda dalam beberapa episode (secara berlanjut/bersambung).
Tetapi pada intinya pembahasan ini akan kami bagi dalam 2 bahasan.
Bahasan pertama yaitu tentang Poligami yg diajarkan Rasulullah, dalam hal ini kami akan lebih banyak menuliskan tentang kehidupan rumahtangga rasulullah dalam berpoligami. Pada bahasan ini kami mengharapkan agar tulisan ini menjadi wawasan dan pengetahuan khusus bagi anda tentang bagaimana rasulullah menjalani kehidupan rumahtangganya bersama istri2 beliau.

Dan pada bahasan kedua kami akan memandang poligami dari sisi pandang masyarakat umum. tapi tentu saja pada bahasan tersebut (sisi pandang umum) kami tetap akan merujuk pada kaidah-kaidah syari dan mencoba memahaminya dari sudut pandang seobyektif mungkin.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hak uji materil soal Poligami yang menyatakan bahwa hidup berpoligami tidak bertentangan dengan Konstitusi Negara dan boleh dilakukan dengan sejumlah syarat, antara lain izin dari isteri pertama dan hakim, menimbulkan polemik tentang hal yang satu ini kembali.
Di satu sisi, yang berpandangan poligami halal dilakukan menggugat syarat adanya izin isteri pertama dan hakim mengingat hal itu tidak disyaratkan oleh Islam. Sedang yang kjedua, yang menolak adanya poligami berpandangan bahwa diperbolehkannya poligami hanya akan menambah penderitaan perempuan.
Terlepas dari kontroversi di atas, terlepas dari kontroversi aneka ayat dan kajian syariah yang biasa dipergunakan sebagai landasan argumentasi masing-masing pihak, maka ada baiknya kita menengok kembali perjalanan hidup Rasulullah SAW, seorang manusia teladan dan terbaik sepanjang zaman. Rasulullah berpoligami, namun pada situasi dan kondisi yang sangat khusus.
Poligami Rasulullah

Dalam sirah disebutkan, Rasulullah mengakhiri masa lajangnya di usia 25 tahun dengan mengawini seorang perempuan mulia bernama Khadijah binti Khuwalid yang saat itu merupakan seorang janda empat anak dari perkawinan sebelumnya dan telah berusia 40 tahun. Ini adalah pernikahan yang ditunjuk Allah karena Khadijah merupakan wanita mulia dan yang pertama memeluk Islam. Dari Rasulullah SAW, Khadijah mendapat 6 orang anak lagi.
Rasulullah menjalani monogami—tidak menikah lagi—selama 25 tahun bersama Khadijah. Tidak ada satu pun petunjuk bahwa selama bersama Khadijah, Rasulullah pernah menyatakan niat untuk melakukan poligami atau tergoda dengan perempuan lain. Kesetiaan terhadap Khadijah dijalaninya selama 25 tahun masa pernikahan hingga Khadijah wafat.
Jika Rasulullah mau poligami di masa itu, di saat masih muda dan prima, tentu Rasulullah akan mudah untuk melakukannya. Terlebih sejumlah pemimpin suku Quraisy pernah merayu Beliau dengan tawaran perempuan-perempuan paling cantik seantero Arab sekali pun agar Rasulullah mau menghentikan dakwahnya. Tawaran yang di saat sekarang ini sangat menggiurkan, sebuah tawaran yang banyak sekali membuat pejabat, Raja, Presiden, dan bangsawan jatuh dari kursi kekuasaannya, tidak membuat Rasulullah bergeming. Rasulullah tetap setia pada Khadijah dan Dakwah Islam.
Ketika Khadijah wafat di kala Rasulullah berusia 50 tahun, beberapa waktu dilalui Rasulullah dengan menduda. Barulah di saat usia beliau menginjak 51 atau dilain kisah ada yang menulis 52 tahun, maka Rasulullah mengakhiri masa dudanya dengan menikahi Aisyah yang baru berusia 9 tahun (ada catatan lain yang mengatakan Aisyah ketika dinikahi Rasulullah berusia 19 tahun). Namun pernikahan dengan Aisyah ini baru disempurnakan ketika Beliau hijrah ke Madinah.
Setelah dengan Aisyah, Rasulullah yang telah berusia 56 tahun menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah, seorang janda berusia 70 tahun dengan 12 orang anak. Setelah dari Saudah, Rasulullah kembali menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda berusia 45 tahun, lalu dengan Ummu Salamah (janda berusia 62 tahun). Di saat berusia 57 tahun, Rasulullah kembali menikahi Ummu Habibah (janda 47 tahun), dan Juwairiyah binti Al-Harits (janda berusia 65 tahun dengan telah punya 17 anak).
Setahuh kemudian Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab (janda berusia 53 tahun dengan 10 orang anak), Maimunah binti Al-Harits (anda berusia 63 tahun), dan Zainab binti Harits (Janda 50 tahun yang banyak memelihara anak-anak yatim dan orang-orang lemah).
Setahun kemudian, Rasulullah menikah lagi dengan Mariyah binti Al-Kibtiyah (gadis 25 tahun yang dimerdekakan), lalu Hafshah binti Umar bin Khattab (janda 35 tahun, Rasulullah berusia 61 tahun), dan ketika berusia 61 tahun itulah Rasulullah baru menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah, saat mereka telah hijrah ke Madinah.
Dalam setiap pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah SAW terdapat keistimewaan-keistimewaan dan situasi khusus sehingga Allah mengizinkan Beliau untuk itu. Dari segala catatan yang ada, tidak pernah ada satu catatan pun yang menyatakan bahwa pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah disebabkan Rasulullah ingin menjaga kesuciannya dari perzinahan atau dari segala hal yang berkaitan dengan hawa nafsu. Maha Suci Allah dan Rasul-Nya.
Alasan yang banyak dikemukakan para poligamor sekarang ini dalam melakukan kehidupan poligami adalah untuk menjaga kesucian mereka dari perzinahan. Ini tentu tidak salah. Hanya saja, dengan memiliki isteri lebih dari satu, hal itu bukanlah jaminan bahwa seorang lelaki terbebas dari godaan terhadap perempuan lain. Rasulullah SAW tidak pernah menjadikan alasan ini untuk poligaminya.
Dalam tulisan kedua akan dipaparkan satu-persatu keistimewaan pernikahan poligami Rasulullah SAW., yang dilakukan bukan karena desakan hawa nafsu, bukan agar tidak tergoda lagi dengan perempuan lain, bukan untuk alasan klise menjaga syahwat, dan sebagainya. Tujuan poligami Rasulullah SAW memiliki landasan yang lebih agung dan mulia. Bukan sekadar alasan yang dicari-cari agar bisa nikah lagi

ANTI PATI TERHADAP POLIGAMIKepada saudari-saudariku yg kontra dan menentang poligami, harap diingat firman Allah berikut:

'Wahai orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah kepadamu dan janganlah kamu melampaui batas' (Q.s Al Maidah:87).
'Katakanlah tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyak keburukan itu menarik hatimu. Maka bertakwalah keapda Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat agar kamu beruntung' (Q.s Al maidah:100)


TENTANG KEADILAN DALAM POLIGAMI

Orang sering menggunakan alasan “kemampuan berlaku adil” sebagai syarat berpoligami sementara di sisi lain mereka mengunci dengan keyakinan bahwa manusia tidak akan mungkin berlaku adil, sehingga dengan kata lain mereka hendak mengatakan bahwa poligami itu mustahil dilakukan karena bertindak adil itu sendiri mustahil dilakukan.

Sebagian orang mengatakan bahwa mustahil berlaku adil dalam poligami karena laki-laki pasti lebih mencintai isterinya yang lebih muda atau lebih cantik. Dan cinta yang sesungguhnya itu pasti tidak bisa diduakan, maka pasti seorang laki-laki pun akan mencintai salah satu saja dari sekian banyak isteri-isterinya.

‘Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya’ (Q.S. Al-Ahzab : 4)
Maka di sini kami sampaikan bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak sama dalam mencintai isteri-isterinya. Rasulullah SAW secara terang-terangan dan diketahui oleh orang banyak bahwa Beliau lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri lainnya.

Dan ketidak samaan perasaan cinta Rasulullah ini bukanlah sesuatu yang salah atau tercela terbukti ketika isteri-isteri lainnya meminta keadilan perilaku Rasulullah SAW terkait dengan tindakan Beliau yang lebih mencintai Aisyah, maka Rasulullah tidak mengatakan bahwa Beliau telah bersalah bahkan mengesahkan atau menegaskan kepada Aisyah bahwa tindakan Beliau tersebut adalah sesuatu yang sah-sah saja.

Dari Al-Laits dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Abdurrahman dari Aisyah r.a. berkata : “Para istri Nabi SAW mengutus Fathimah (Putri Nabi) untuk menemui Nabi. Lalu Dia menjumpai Nabi sedang tidur terlentang bersamaku (Aisyah). Lalu Dia (Fathimah) berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu (yang lain) meminta keadilan kepadamu berkaitan dengan putri Ibnu Quhafah ‘ (yaitu Aisyah, karena Nabi lebih cinta pada Aisyah). Maka saat itu saya (Aisyah) diam saja. Lalu Rasulullah SAW bertanya : ‘Bukankah engkau (Fathimah) mencintai apa yang aku cintai?’ Fathimah menjawab :’Benar’. Nabi bersabda :’Maka cintailah pula wanita ini (yaitu Aisyah)’.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).

Dalam bercumbu dan kasih sayang Nabi SAW juga nyata-nyata tak sama dan hal ini diketahui oleh isteri-isteri beliau yang lain dan diketahui pula oleh para sahabat (artinya Rasulullah tidak menyembunyikan tindakan tidak adilnya ini).

Abu Qois, pembantu Amr bin Al-Ash berkata : Amr mengutusku untuk menemui Ummu Salamah (istri Nabi) lalu berkata : “Tolong tanyakan pada Rasulullah SAW apakah memeluk istrinya ketika sedang berpuasa?” Jika Ummu Salamah menjawab “tidak” maka katakan padanya bahwa Aisyah pernah memberitahu kami bahwa Rasulullah SAW pernah memeluk (Aisyah) ketika beliau sedang berpuasa. Maka saya (Abu Qois) benar-benar bertanya pada Ummu Salamah dan dia ternyata memang menjawab “tidak” lalu saya beritahukan apa yang dikabarkan oleh Abdullah (Amr bin Al Ash).  Lalu Ummu Salamah berkata : “Sesungguhnya jika Rasulullah SAW melihat Aisyah, maka beliau  (Nabi ) tidak mampu menahan diri  untuk tidak mendekatinya (yaitu mendekati Aisyah) sedangkan kepada saya (Ummu Salamah) tidak begitu”. (H.R. Muslim)

Namun dalam riwayat lain dikabarkan bahwa Nabi pernah pula memeluk Ummu Salamah ketika sedang berpuasa, hanya saja mungkin tidak sesering dengan Aisyah.

Bahkan Rasulullah SAW bila sedang gundah sangat mengingikan segera berada di rumah Aisyah karena Aisyah adalah istri yang paling cerdas dan pandai menghibur hati Rasulullah

Dari Aisyah r.a. : Apabila Rasulullah saw. sedang merasa gundah, beliau akan bertanya-tanya: Di manakah aku hari ini, di manakah aku esok hari, karena merasa lama menunggu hari giliran berada di rumah Aisyah. Aisyah melanjutkan: (aku mendambakan) Ketika pada hari giliranku Allah mencabut nyawa beliau yang masih berada dalam pelukanku. (H.R. Muslim No.4473).

Dari sini kita tahu bahwa praktek poligami yang dilakukan Rasulullah SAW bukanlah adil seperti keadilan yang disangkakan oleh orang pada masa sekarang bahwa adil berarti sama rata sama rasa dalam segala hal. Pada kenyataannya pada jaman itu, semua sahabat dan istri-istri Rasulullah tahu bahwa Rasulullah lebih mencintai Aisyah. Bahkan ketika Fathimah menyampaikan protes dari istri-istri Rasulullah lainnya tentang masalah ini, ternyata Rasulullah malah membenarkan tindakannya dengan bersabda : “Bukankah engkau (Fathimah) mencintai apa yang aku cintai? ’Maka cintailah pula wanita ini (yaitu Aisyah)”.

Kita tahu bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan yang terbaik. Dan Rasulullah SAW tentu adalah manusia yang paling tahu dengan syari’at Allah dibandingkan dengan semua manusia di muka bumi ini hingga saat ini. Maka tidak mungkin Rasulullah melakukan sesuatu yang menyalahi syari’at karena hendak menyenangkan hawa nafsunya sendiri. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ketidaksamaan perlakuan Rasulullah terhadap istri-istri beliau dibandingkan terhadap Aisyah adalah bukan sesuatu yang menyalahi syari’at. Rasa cinta dan sayang Rasulullah yang lebih kepada Aisyah dibandingkan istri-istrinya yang lain juga bukan sesuatu yang menyalahi prinsip keadilan dalam poligami. Padahal jelas-jelas dalam Al-Qur’an dituntut berlaku adil jika melakukan poligami. Sehingga kita bertanya keadilan seperti apa yang sebenarnya dituntut oleh syari’at Islam?


TENTANG MAKSUD AYAT “JIKA KAMU TAKUT TIDAK MAMPU BERBUAT ADIL MAKA KAWINILAH SATU SAJA”.

Urwah bertanya pada Aisyah r.a. tentang firman Allah “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak_ perempuan yatim), maka kawinilah satu saja” (Q.S. 4:3) Maka Aisyah menjawab : “Wahai anak saudaraku, anak yatim itu (yang menjadi asbabun nuzul ayat itu) berada dalam asuhan walinya, lalu walinya menginginkan dia karena kecantikan dan hartanya, dan hendak mengurangi maharnya, maka ia dilarang menikahinya kecuali ia mampu berbuat adil dalam menyempurnakan mas kawinnya”  (H.R. Bukhari Muslim).

Dari hadits di atas jelas bahwa pembicaran adil dalam Q.S. 4:3 bukan seperti yang dimaksudkan oleh orang jaman sekarang yang mengaitkan ayat tsb dengan keadilan dalam berpoligami.
Sebagian masyarakat jaman sekarang juga menolak poligami dengan argumen bahwa Allah pun telah berfirman bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil dalam berpoligami yaitu dalam ayat sbb :
“Dan sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian) walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian”  (Q.S. 4:129)”.

Ibnu Sirin r.a. berkata : “Saya bertanya kepada Abidah As-Salmany tentang maksud firman Allah ‘Dan sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian) walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian (Q.S. 4:129)’ Maka jawab Abidah : Maksudnya adil dalam masalah cinta dan jima’ (bersetubuh)”
Menurut Ibnu Abbas : Maksud ayat tsb adalah seseorang tak akan mampuberbuat adil dalam masalah jima’ (seks) sekalipun manusia ingin berbuat demikian.

Menurut Ibnul Qoyyim  Al-Jauzi : Maksud ayat tsb adalah beliau (Nabi SAW) mampu berbuat adil dalam masalah nafkah dan pembagian malam (menginap) di antara istri-istri beliau namun dalam masalah perasaan cinta, beliau tidak mampu dan tidak memilikinya.

Yang lebih mendekati kebenaran adalah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim di atas sesuai dengan hadits berikut ini :
Dari Hamdah bin Salamah dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abdullah bin Yazid dari Aisyah berkata : Rasulullah membuat pembagian di antara istri-istrinya lalu berdoa : Ya Allah inilah perbuatanku menurut apa yang aku miliki maka janganlah Engkau mencelaku tantang apa yang Engkau miliki  sedangkan aku tidak memiliki (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)


BENARKAH RASULULLAH TIDAK RELA FATIMAH DIMADU?

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin Makhromah berkata : “Ali melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah : kaummu meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena putrimu; Ali menikahi putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya mendengar ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku menikahkan anakku dengan Abul As bin Robi’ dan dia tidak membohongiku, sesungguhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang membuatnya marah. Demi Allah putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak akan pernah berkumpul dalam naungan seorang laki-laki. Maka kemudian Ali membatalkan (lamaran itu)”. (H.R. Bukhari Muslim).

Rasulullah saw bersabda:“Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.”
Rasulullah berkhutbah di dalam mesjid di hadapan kaum muslimin. di situ hadir Ali bin Abi Thalib. maka Rasulullah berkata, “Demi Allah, selama Fatimah adalah putri Rasulullah, maka aku tidak akan mengizinkan putriku serumah dengan putri musuh Allah.”

Mengenai Rasul saw melarang Ali  bin Abu Tholib berpoligami, itu karena Ali Bin Abu Tholib berencana menikah dengan  putri Abu Jahal, dan tentunya Ali bin Abu Tholib ingin menyelamatkan putri Abu Jahal yang muslimah dari kekejian ayahnya, namun Rasul saw tak menyetujui itu, karena mensejajarkan putri beliau saw dengan Putri Abu Jahal akan membuat fitnah baru dengan mengatakan bahwa Rasul saw memerangi kuffar namun berbesan dengan musuh Allah, memerintahkan muslimin memerangi orang orang kafir namun menyambung hubungan keluarga dengan pimpinan Musuh Allah.

Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi aku  tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya” (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, Hadits: 9026).

Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali r.a. menikah lagi, karena wanita yang hendak dinikahi Ali r.a. adalah anak musuh Allah Swt, yaitu Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw, tidak layak menyandingkan putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. “Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, “Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)
Adapun kenyataannya Ali bin Abi Thalib r.a. tetap berpoligami dan memiliki beberapa orang isteri dan anak-anak, diantaranya :

1.    ’Abbaas bin ’Ali bin Abi Thaalib, ’Abdullah bin ’Ali, Ja’far bin ’Ali bin Abi Thaalib, dan ’Utsmaan bin ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka bernama : Ummul-Baniin binti Hizaam bin Daarim[1]
2.    ’Ubaidullah bin ’Ali bin Abi Thaalib dan Abu Bakr bin ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka bernama : Lailaa binti Mas’uud  Ad-Daarimiyyah [2]
3.   Yahya bin ’Ali bin Abi Thaalib, Muhammad Al-Ashghar bin ’Ali bin Abi Thaalib, dan ’Aun bin ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka adalah : Asmaa’ binti ’Umais [3]
4.    Ruqayyah binti ’Ali bin Abi Thaalib dan ’Umar bin ’Ali bin Abi Thaalib – dimana ia meninggal pada usia tigapuluh lima tahun.
Ibu mereka adalah : Ummu Hubaib binti Rabii’ah [4]
5.    Ummul-Hasan binti ’Ali bin Abi Thaalib dan Ramlah Al-Kubraa binti ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka adalah : Ummu Mas’uud binti ’Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiy [5].
Memang Ali bin Abi Thalib menikahi 5 orang wanita di atas adalah setelah meninggalnya Fathimah putri Rasulullah. Namun ini membantah tuduhan bahwa Rasulullah melarang poligami kepada Ali bin Abi Thalib.

SUMBER / KET :
[1]  Kasyful-Ghummah fii Ma’rifatil-Aimmah.
[2] Idem, Al-Irsyaad hal. 167, dan Mu’jamul-Khuu’iy 21/66.
[3] Idem.
[4] Idem, Al-Irsyaad hal. 167, dan Mu’jamul-Khuu’iy 13/45.
[5] Kasyful-Ghummah fii Ma’rifatil-Aimmah oleh ‘Ali Al-Arbiliy 2/66. Silakan lihat nama maraji’ Syi’ah yang menetapkan nama anak-anak ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu tersebut, yaitu pada kitab Al-Imaamah wan-Nash oleh Al-Ustadz Faishal Nuur hal. 683-686.


KECEMBURUAN ISTERI-ISTERI RASULULLAH DAN ULAH MEREKA

Cemburu adalah perasaan normal dan manusiawi yang ada pada setiap manusia, bahkan Allah pun digambarkan memiliki rasa cemburu.  Oleh karena itu perasaan cemburu bukanlah sesuatu yang tercela. Seringkali tersakiti hati wanita karena rasa cemburu ini dijadikan alasan pembenaran untuk mengharamkan poligami.

Allah bukannya tidak tahu tentang adanya perasaan cemburu wanita ini. Bukankah Allah juga yang menciptakan wanita? Adanya perasaan cemburu juga bukan sesuatu yang lantas mengesahkan dilarangnya poligami. Terbukti bahwa Rasulullah SAW tahu dan semua orang juga tahu bahwa beberapa kali timbul gejolak dan kecemburuan isteri-isteri Rasulullah SAW, namun beliau hanya memaklumi dan mendiamkan hal itu, tidak mengecamnya dan tidak pula lantas melarang para lelaki untuk berpoligami karena khawatir timbul perasaan cemburu isterinya
Aisyah r.a. berkata : Nabi SAW agak lama tingggal di rumah Zainab binti Jahsy untuk meminum madu, maka aku bersepakat dengan Hafshah jika Nabi SAW masuk pada salah satu dari kami, maka akan kami tegur dan menyindir : Aku berbau maghafir (getah pohon yang tidak terasa tapi berbau busuk) apakah engkay makan maghafir? Maka datanglah Nabi SAW kepada salah satu dari kami dan ditanya begitu. Jawab Nabi SAW : “Tidak, saya hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy dan (lain kali) tidak akan saya minum lagi”.

Tak lama setelah itu turun ayat : “Wahai Nabi, mengapa kamu haramkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu karena hendak menyenangkan hati isteri mu (Q.S. At-Tahim : 1)” (H.R. Bukhari Muslim).

Maka dalam hal ini Allah justru menegur Rasulullah  karena menuruti kecemburuan sebagian isterinya sampai-sampai Rasulullah SAW bersumpah tidak akan minum madu lagi dari Zainab binti Jahsy maka Allah menyuruh Nabi untuk membatalkan sumpahnya.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. At-Tahim [66] : 2)”.

Banyak peristiwa penting yang tidak diabadikan Allah dalam ayat Al-Qur’an. Namun mengenai ulah kecemburuan isteri Nabi ini bahkan Allah mengabadikan dalam Al-Qur’an. Mengapa? Tentu saja bukan karena tanpa alasan. Melainkan ini merupakan pelajaran penting bagi kaum muslimin dalam hal mengelola rumah tangga khususnya jika berpoligami. Bahwa kecemburuan wanita adalah sesuatu yang wajar namun jangan sampai para suami lemah hati dan menuruti tingkah ulah kaum wanita ketika sedang cemburu.

Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. At-Tahim [66] : 3).

Dan Allah menyuruh kedua isteri Nabi yaitu Hafshah (anak Umar bin Khattab) dan Aisyah (anak Abu Bakar Ash Shiddiq) untuk bertobat :
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula(Q.S. At-Tahim [66] : 4).

Di antara isteri-steri Nabimemang Aisyah lah yang paling cantik, dinikahi ketika masih perawan dan paling cerdas. Maka wajar jika Aisyah juga menyadari keunggulannya ini sehingga ia jugalah yang paling pencemburu dan banyak tingkah.

Aisyah r.a. berkata : Rasulullah SAW sangat suka madu dan halwa (dodol) ketika beliay masuk ke rumah Hafshah binti Umar dan tertahan di situ agak lama, maka aku merasa cemburu dan aku bertanya-tanya mengapa lama? Tiba-tiba aku mendapat berita bahwa hafshah mendapat hadiah madu dari kaummnya dan menghidangkannya pada Nabi SAW itulah yang menyebabkan beliau tertahan agak lama. Aku berkata : Demi Allah aku akan mencari hilah (akal/siasat) lalu aku mendatangi Saudah binti Zam’ah bahwa tentu nanti Nabi akan datang kepadamu, maka tanyakanlah : “Apakah engkau makan maghafir?” Tentu beliau akan menjawab : “Tidak”. Maka tanyakan kepadanya : “Mengapa berbau tidak sedap?” Beliau akan menjawab : “Aku diberi minum madu oleh Hafshah” Maka katakan kepadanya : “Mungkin lebahnya telah makan urfuth yang bergetah maghafir”. Dan nanti saya (Aisyah) akan berkata begitu juga ketika Beliau datang kepadaku, dan Anda Shafiyah (isteri Nabi yang lain) berkata juga lah begitu. 

Saudah berkata : “Demi Allah tidaklah Nabi SAW berdiri di muka pintu melainkanaku sudah akan mengatakan sesuai perintah Aisyah tapi aku sangat takut”. Maka ketika Nabi mendekati Saudah ia berkata : “Ya Rasulullah apakah engkau makan maghafir?” Jawab Nabi : “Tidak”. Maka ditanya : “Bau apakah ini?” Jawab Nabi : “Aku diberi minum madu oleh Hafshah” Saudah berkata : “Mungkin lebahnya telah makan urfuth”. Kemudian ketika Nabi masuk ke tempat Aisyah, Aisyah juga bertanya yang sama dan ketika masuk kepada Shafiyah, juga ditanya seperti itu, kemudian ketika Nabi kembali kepada Hafashah ditawari untuk diberi madu Nabi menjawab : “Aku tidak ingin itu lagi”. Maka Saudah berkata : “Demi Allah kami lah yang mengharamkan itu pada Nabi SAW” Aisyah berkata : “Diamlah” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid I No. 940).

Ketika Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay, wanita Yahudi Khaibar yang kemudian ditawan dan masuk Islam, maka semua istri Nabi cemburu karena melihat sosok Shafiyyah sebagai wanita yang paling cantik dan paling bersih kulitnya.

Ibn Sa‘ad meriwayatkan dari Nha ibn Yasar, dia berkata, “Ketika Shafiyyah datang dari Khaibar, dia tinggal di rumah Haritsah ibn Al-Nu‘man. Para perempuan Anshar mendengar kabar ini dan langsung mendatangi rumah Haritsah untuk me lihat kecantikannya, termasuk Aisyah yang datang untuk menyelidikinya. Setelah Aisyah ra keluar, Rasulullah SAW lalu menanyakan kesannya terhadap Shafiyyah seraya bertanya, ‘Bagaimana kamu menilainya?’ Aisyah  menjawab, Aku hanya melihat seorang perempuan Yahudi.  ‘Nabi bersabda Iagi, janganlah kamu berkata seperti ini, karena dia telah memeluk Islam.”

Kecemburuan seperti ini bukan hanya menimpa Aisyah r.a., melainkan sudah menyebar ke dalam hati semua istri Nabi SAW.

Ibn Sa‘ad meriwayatkan lagi dari Aisyah., Suatu saat Rasulullah SAW sedang dalam perjalanan, lalu kemudian unta kepunyaan Shafiyyah mengalami sakit, sedangkan Zainab binti Jahsy memiliki unta yang lain. Rasulullah SAW pun bersabda kepada Zainab :  ‘Unta kepunyaan Shafiiyyah terkena sakit, bisakah kamu memberinya unta yang lain?’ Zainab menjawab, ‘Mengapa aku harus memberi perempuan Yahudi itu?’ Karena sikap Zainab yang seperti itu, Rasulullah SAW meninggalkannya pada bulan Dzulhijjah dan Muharram, dan tidak pernah mendatanginya. Zainab berkat : ‘Bahkan sampai aku merasa putus asa menghadapinya”.

Dalam riwayat lain, Shafiyyah r.a. bercerita, “Suatu ketika Rasulullah masuk menemuiku, sedangkan aku telah mendengar  sesuatu yang telah dikatakan Aisyah  dan Hafshah yang menyatakan, ‘Kami lebih mulia di hadapan Rasulullah daripada Shafiyyah. Kami adalah istri-istrinya dan putri-putri dari pamannya. Kata-kata itu pun sampai ke telinga Rasulullah, sehinga heliau bersabda, ‘Kenapa tidak kamu (Shaiiyyah) jawab kepada mereka, ‘Bagaimana kalian lebih baik dariku, sementara suami ku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun a.s., dan pamanku adalah Musa a.s.?”

Dari Anas berkata : Pada suatu saat Nabi SAW berada di samping beberapa orang istri beliau, salah seorang ummul mu’minin mengirimkan satu piring makanan. Tiba-tiba istri yang ketempatan rumahnya oleh Nabi SAW berada (yaitu Aisyah) memukul tangan pelayan yang membawa piring makanan itu sehingga piringnya jatuh dan pecah. Lalu Nabi SAW mengumpulkan pecahan piring danmakanan yang tadinya berada di piring yang pecah itu. Beliau berkata : Ibumu sedang cemburu. Beliau menahan pelayan tadi sampai beliau memberikan piring ganti dari istri yang beliau berada di rumahnya. Piring yang utuh itu beliau serangkan kepada istri yang piringnya pecah dan beliau menahan piring yang sudah pecah di rumah istri beliau yang memecahkan piring tadi (H.R. Bukhari).

Dari Anas berkata : Nabi SAW memiliki sembilan istri. Apabila beliau menggilir (pada salah seorang istri) maka mereka semua akan kebagian. Setiap malam mereka berkumpul di rumah istri yang akan beliau datangi (mendapat giliran). Pada suatu malam Beliau berada di rumah Aisyah, maka datanglah Zainab dan Beliau mengulurkan tangannya untuk menyambut Zainab. Aisyah berkata : “Ini Zainab” (seolah menegaskan bahwa Zainab bukan gilirannya) Lalu Nabi SAW menahan tangannya. Beberapa saat kemudian  mereka berdua beryengkar dengan suara yang keras dan ucpan yang kotor. Lalu terdengar suara iqomatushshalat. Abu Bakar lewat di rumah itu dan mendengar pertengkaran mereka berdua. Abu Bakar lalu berkata : “Keluarlah wahai Rasulullah untuk menunaikan shalat dan sumpal saja mulut mereka dengan pasir”. Rasulullah SAW lalu keluar. Aisyah merasa kesal dan terganggu dengan sikap ayahnya tersebut. Setelah Rasulullah SAW selesai menunaikan shalat, Abu Bakar pergi menemui Aisyah dan melontarkan kata yang keras : “Apakah layak kamu berbuat begini?” (H.R. Muslim).

Aisyah r.a. berkata :  istri-istri Rasulullah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Aisyah, Hafshah dan Saudah. Sementara kelompok kedua terdiri dari Ummu Salamah dan Istri-istri Rasulullah SAW lainnya. Semua kaum muslimin sudah sama-sama tahu betapa cintanya Rasulullah kepadaku (dibanding istri lainnya). Apabila ada salah seorang sahabat hendak memberi hadiah kepada Rasulullah SAW maka biasanya ia akan menangguhkan pemberian sampai Rasulullah SAW sedang berada di rumah ku. Suatu hari ada seorang sahabat mengirimkan hadiah kepada Rasulullah SAW ketika Beliau berada di rumahku. Rupanya hal ini diketahui kelompok Ummu Salamah.

Kelompoknya berkata kepada Ummu Salamah : “Kamu berbicaralah kepada Rasulullah SAW supaya Beliau mau menasehati para sahabatnya agar barang siapa bermaksud memberikan hadiah kepada Beliau supaya diberikan saja di rumah istri manapun beliau sedang berada”. Ummu Salamah menyampaikan kepada Rasulullah SAW apa yang diusulkan kelompoknya itu. Namun Beliau tidak menanggapi apa yang disampaikan Ummu Salamah. Ketika hal itu disampaikan pada kelompoknya, mereka tidak berputus asa. Mereka mendesak Ummu Salamah mencobanya lagi. Ummu Salamah menurut saja. Sekali lagi ia sampaikan usulan kelompoknya itu kepada Rasulullah SAW di saat Beliau berada di rumahnya. Namun Rasulullah SAW tidak menanggapi sedikit pun. 

Kelompok Ummu Salamah masih belum berputus asa. Mereka tetap membujuk Ummu Salamah agar mau mengatakan sekali lagi. Dan lagi-lagi Ummu Salamah menuruti kehendak mereka. Untuk ketiga kalinya Ummu Salamah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda kepada Ummu Salamah : jangan kamu sakiti aku tentang Aisyah. Sesungguhnya wahyu tidak turun kepadaku ketika aku berada dalam kain seorang wanita kecuali Aisyah”. Seketika itu Ummu Salamah berkata : “Aku bertaubat kepada Akkah karena telah menyakitimu wahai Rasulullah”. 

Kemudian kelompok Ummu Salamah memanggil Fatimah putri Rasulullah SAW. Mereka mengutus Fatimah agar menyampaikan pesan kepada Rasulullah yang isinya : “Sesungguhnya istri-istri mu mendambakan supaya berlaku adil menyangkut putri Abu Bakar (yaitu Aisyah). Mendengar perkataan putrinya itu Rasulullah SAW berkata : Wahai putriku apakah kamu tidak menyenangi apa yang aku senangi? Fatimah menjawab : “Tentu saja ayah”. Fathimah lalu pulang dan menceritakan kepada mereka tanggapan Rasulullah tersebut. Namun mereka membujuk Fatimah supaya balik lagi menghadap Rasulullah namun Fatimah menolak. 

Selanjutnya mereka mendesak Zainab binti Jahsy. Meski dengan terpaksa Zainab mau juga menemui Rasulullah SAW dan berkata : “Sesungguhnya istri-istrimu mendampakan Engkau berlaku adil terkait putri Abu Quhafah”. Zainab mengucapkan kata-katanya  itu dengan suara yang agak keras sehingga terdengar oleh Aisyah yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu. Aku sempat mencaci dalam hati. Kemudian Rasulullah SAW memandangku barangkali  dia akan bicara. Akhirnya Aku terpaksa bicara untuk menangkis ucapan Zainab sehingga Zainab diam, Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya ia putri Abu Bakar” (H.R. Bukhari Muslim).

Dari Aisyah r.a. : Bahwa orang-orang menanti-nantikan untuk memberikan hadiah pada waktu Rasulullah saw. berada di rumah Aisyah. Mereka melakukan hal itu untuk mendapatkan keridaan Rasulullah saw.. (H.R. Muslim No.4471)

Aisyah r.a., berkata : Beberapa orang istri Nabi saw. mengutus Fatimah binti Rasulullah saw. untuk menemui beliau. Lalu Fatimah meminta izin masuk, sedang Rasulullah saw. masih bersamaku dalam selimut. Lalu beliau mengizinkannya, kemudian Fatimah berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya istri-istrimu yang lain mengutusku untuk menemuimu, mereka meminta keadilan seperti yang engkau berikan kepada putri Abu Quhafah. Saat itu aku hanya diam saja. Rasulullah saw. berkata kepada Fatimah: Wahai putriku! Tidakkah kamu menyukai apa yang aku sukas.i? Fatimah menjawab: Benar. Rasulullah saw. berkata lagi: Maka cintailah istriku yang satu ini. 

Mendengar perkataan ayahnya tersebut, Fatimah lalu segera beranjak meninggalkan Rasulullah untuk kembali kepada para istri beliau yang lain dan mengabarkan kepada mereka apa yang telah ia katakan dan apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Lalu mereka berkata kepadanya: Kami merasa kamu belum berbuat sesuatu apapun untuk kami, maka kembalilah menghadap Rasulullah saw. dan katakan kepada beliau: Sesungguhnya istri-istrimu yang lain sangat mendambakan keadilan seperti yang engkau perlihatkan kepada putri Abu Quhafah itu. 
Fatimah menjawab: Demi Allah aku tidak mau mengajak bicara beliau tentang Aisyah selama-lamanya. Aisyah berkata: Lalu istri-istri Nabi saw. itu menyuruh Zainab binti Jahsy ra., istri Nabi dan dialah yang menandingiku di antara mereka untuk merebut kedudukan di hati Rasulullah saw., dan aku tidak pernah melihat seorang wanita pun selain Zainab yang lebih baik dalam beragama, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur bicaranya, paling kuat bersilaturahmi, paling banyak bersedekah dan paling sering mengalami cobaan dalam dirinya dalam melakukan pekerjaan untuk bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah kecuali perilaku mudah emosi dan marah yang ada pada dirinya namun ia cepat kembali (tenang). Ia berkata: Lalu Zainab meminta izin menemui Rasulullah saw. yang pada waktu itu beliau sedang (tidur) bersama Aisyah dalam selimutnya seperti saat Fatimah menemuinya. 
Kemudian Rasulullah saw. mempersilakannya, dan Zainab pun berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya istri-istrimu yang lain mengutusku untuk menemuimu, mereka meminta keadilan seperti yang engkau berikan kepada putri Abu Quhafah. Aisyah berkata: Kemudian ia menyinggung tentang diriku dan melampaui batas, namun aku tetap memandang Rasulullah saw. dan melihat ke arah mata beliau apakah beliau mengizinkan aku untuk ikut berbicara. Aisyah melanjutkan: Zaenab tetap tidak beranjak sampai aku ketahui bahwa Rasulullah saw. sudah tidak merasa keberatan kalau aku membela diri. Aisyah melanjutkan: Ketika aku menyinggungnya dan terus tidak memberi kesempatan sedikitpun padanya sampai aku selesai membalasnya. Aisyah melanjutkan: Lalu Rasulullah saw. tersenyum dan berkata: Ia memang benar-benar putri Abu Bakar. (H.R. Muslim No.4472)

Dari  Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. apabila hendak melakukan perjalanan, beliau selalu mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu keluarlah undian tersebut untuk Aisyah dan Hafshah sehingga mereka berdua berangkat bersama Rasulullah saw. Dan pada malam hari, Rasulullah saw. berjalan bersama Aisyah untuk bercakap-cakap dengannya. Suatu kali berkatalah Hafshah kepada Aisyah: Maukah kamu malam ini menunggangi untaku dan aku menunggangi untamu sehingga kamu dapat melihat begitu juga aku. Aisyah menjawab: Baiklah. Maka Aisyah lalu menunggangi unta milik Hafshah dan Hafshah menunggangi unta Aisyah. Lalu datanglah Rasulullah saw. menghampiri unta milik Aisyah yang ditunggangi oleh Hafshah kemudian mengucapkan salam dan berjalan bersamanya sampai mereka turun berhenti. Tiba-tiba Aisyah merasa kehilangan Rasulullah dan merasa cemburu. Ketika mereka turun berhenti, mulailah Aisyah menendangkan kakinya ke tumbuh-tumbuhan izkhir yang harum baunya sambil berkata: Ya Tuhanku! Semoga ada kalajengking atau ular yang menggigitku sedang aku tidak dapat mengatakan sesuatu apapun kepada rasul-Mu. (H.R. Muslim No.4477)

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid (bubur daging dan roti) atas makanan yang lainnya. (H.R. Muslim No.4478)


Bersambung bag.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar