Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

Musibah, Ujian, Peringatan, atau Azab ?



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Setelah kecelakaan kereta api, tabrakan bis di beberapa kota, tragedi tugu tani, dan beberapa bulan yg lalu adalah berita terbaru tentang kecelakan jatuhnya pesawat sukhoi. Hmmm musibah seakan tak mau beranjak dari negeri ini.

Tak pelak lagi bahwa segala kejadian di bumi ini BUKANLAH sebuah kebetulan. Semuanya sudah menjadi kehendak sang pembuat kejadian, yaitu Allah SWT. Tak terkecuali adanya musibah2 tersebut. Jangankan jatuhnya pesawat sukhoi, jatuhnya sehelai daun dari pohon pun tak luput dari ijin Allah.
Tinggal kita sebgai hamba (manusia) mampu mengambil ibrahnya atau tidak.

Pertanyannya sekarang: “BAGAIMANA KITA MENGGUNAKAN LOGIKA KITA UNTUK MEMAHAMI DAN MENGHAYATI MUSIBAH INI SEBAGAI UJIAN, AZAB, BALASAN, ATAU PERINGATAN…??


MARI  KITA ANALISA SATU PERSATU.

1.         MUSIBAH SEBAGAI UJIAN.

Musibah merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Silih berganti datang, bagaikan sapuan kuas warna-warni yang mengisi lukisan kehidupan. Begitulah adanya musibah, dan begitulah sunnatullah yang berlaku, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 ”Sungguh, Kami pasti akan menguji manusia dengan sedikit ketakutan, kelaparan, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembir abagi orang2 yg sabar (Al-Baqarah:155).

Namun, bukanlah sikap yang bijak jika kita menyikapi setiap musibah yang datang dengan cara-cara jahiliyah, menangis meraung-raung, memaki diri dan orang lain, atau bahkan sumpah serapah yang tak sopan atau bahkan stress dan frustasi. Sebab, semua itu tidak akan mengurangi kadar musibah, dan justru menambah dua masalah berat yaitu musibah itu sendiri ditambah beban perasaan kita sendiri.

Musibah juga kerap kali membuat seseorang begitu frustasi, seakan dunia sudah berakhir, dan tak jarang berakhir dengan usaha bunuh diri, wal iyadzu billah. Stres dan depresi yang melanda, jika tak diiringi benteng iman yang kokoh, memang bisa melahirkan atraksi bunuh diri. Beberapa artis barat, yang notabene berlimpah materi, ternyata berakhir mengenaskan dengan menghilangkan nyawa mereka sendiri.

Sebagai seorang muslimah, yang merupakan taman tarbiyah bagi generasi penerus, sikap seperti itu tentunya perlu dibuang jauh-jauh dari kamus kehidupan. Maka, sikap SABAR menjadi perisai yang ampuh ketika menghadapi musibah.

Menyambung dari ayat yg saya kutip di atas, Al-Baqarah, 155 , bahwa Allah akan menguji hamba2Nya dengan rasa takut, kekurangan harta, jiwa , dan buah2an…Akan tetapi, setelah itu Allah menyambung firmanNya di ayat berikutnya dengan berfirman:

”…Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali). Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-Baqarah: 155-157)

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, seorang ulama yang karya-karyanya banyak berbicara masalah hati, membahas lebih jauh terapi penghilang duka lara dalam buku beliau. Buku yang oleh penerbit dan penerjemahnya diberi judul ‘Meredam Duka Saat Menghadapi Musibah‘ ini banyak memberikan kiat dan terapi agar kita terhibur dan tidak larut dalam kesedihan yang panjang.

Hal pertama yang patut kita sadari, sebagai terapi yang paling mujarab, adalah bahwa kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat di atas. Keyakinan tersebut mempunyai dua prinsip agung, yang jika seorang hamba benar-benar memahami kedua prinsip tersebut, maka ia akan terhibur dari musibah yang menimpanya.

Ibnul Qoyyim menjabarkan dua prinsip tersebut sebagai berikut:

Pertama, bahwa seorang hamba beserta keluarga dan hartanya benar-benar merupakan milik Allah SWT. Milik Allah itu telah diserahkan kepada hambaNya sebagai pinjaman, titipan. maka jika Allah mengambil kembali pinjaman itu darinya, kedudukannya seperti pemberi pinjaman yang mengambil barang yang dipinjam.

Keluarga dan hartanya itu selalu berada di antara dua ketiadaan, yaitu ketiadaan sebelumnya dan ketiadaan sesudahnya. Kepemilikan hamba terhadapnya hanyalah kesenangan yang dipinjamkan dalam jangka waktu sementara. Hamba bukanlah yang mengadakannya dari ketiadaan, sehingga tidak bisa menjadi pemiliknya secara hakiki. Hamba juga tidak bisa menjaganya dari berbagai bencana setelah ia ada. Juga tidak bisa mengekalkan keberadaannya.

Jadi, seorang hamba sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadapnya, tidak memiliki secara hakiki. Bahkan, ia hanya dapat menggunakannya dalam batas wewenang seperti seorang budak yang diperintah dan dilarang, bukan sesuka hatinya seperti wewenang seorang pemilik. Karena itu, seorang hamba tidak boleh melakukan tindakan terhadapnya kecuali sesuai dengan perintah Pemilik yang hakiki.

Kedua, tempat kembali seorang hamba adalah Allah, tuannya yang sejati. Ia pasti meninggalkan dunia di belakangnya dan menghadap kepada Rabbnya seorang diri, sebagaimana ketika pertama kali ia diciptakan-Nya, tanpa ditemani oleh keluarga, harta, atau kerabat, melainkan hanya ditemani oleh amal kebajikan atau amal kejahatan.
Bila demikian asal muasal seorang hamba, apa yang ditinggalkannya dan akhir hidupnya, bagaimana ia bisa bergembira dengan sesuatu yang ada atau berduka atas sesuatu yang tiada? Jadi, BERPIKIR TENTANG ASAL MUASAL KEHIDUPAN, merupakan TERAPI paling mujarab terhadap suatu musibah.

Pemahaman lain yang perlu kita yakini adalah bahwa apa pun yang ditakdirkan menimpa kita, tidak mungkin untuk dihindari, sebaliknya apa pun yang tidak ditakdirkan terluput dari kita, tidak mungkin menimpa kita. Allah pun berfirman:

”Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah sangat mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23).

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya"(QS.8:25).

Dalam tasirnya Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
“Allah telah memperingatkan hamba-hambanya yang mukmin tentang fitnah, yaitu cobaan dan ujian berupa segala hal yang tidak menyenangkan (bencana, celaka, sial, malang, sedih, susah, jelek, buruk, jahat) yang menimpa secara merata pada semua orang, tidak hanya menimpa pelaku-pelaku maksiat dan dosa saja. Lebih dari itu, keadaan fitnah itu sedemikian parahnya sehingga tidak dapat ditolak dan dihilangkan”.

Ibnu Katsir pun mengutip hadits Nabi SAW yang menjelaskan fenomena tersebut:
“Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dari Nabi saw, bahwa beliau saw bersabda," Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kamu menyuruh pada yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran, jika tidak maka Allah menimpakan azab kepada kamu semua, lalu kamu berdoa, namun Dia tidak mengabulkan doa kalian."(HR.Ahmad dan al-Tirmidzi, berkata al-Tirmidzi: hadits hasan)

Dari Ummu Salamah ra istri Nabi saw, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Jika kemaksiatan merajalela pada umatku, maka Allah akan meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya."
Aku (Ummu Salamah) bertanya," Wahai Rasulullah, tidak adakah orang-orang shaleh di tengah-tengah mereka ketika itu?"
Beliau menjawab," Ada."
Ummu Salamah bertanya," Bagaimana Allah memperlakukan orang-orang shaleh itu?"
Beliau bersabda," Mereka pun tertimpa musibah yang menimpa manusia lain. Kemudian orang shaleh kembali kepada ampunan dan keridhaan Allah."
(HR. Ahmad).


2.  MUSIBAH SEBAGAI BALASAN / KONSEKUENSI PERBUATAN (JAZA)

Jika kita merusak hutan, maka musibah banjir dan longsor adalah sebuat balasan. Bila kita mengotori udara dengan asap pabrik dan asap kendaraan, maka musibah pemanasan global dan gangguan pernafasan adalah sebuah balasan.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, yang akibatnya Allah membuat mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. 30:41)


3. MUSIBAH SEBAGAI PERINGATAN (INDZAR).

Musibah ini diberikan kepada mukmin yang merosot keimanannya. Peringatan ini karena kasih sayang Allah swt. Seseorang yang berada dalam kesempitan rezeki, misalnya, bermunajat di malam hari agar Allah memberikannya keluasan rezeki. Shalat tahajjud ia jaga, shalat Dhuha ia pelihara, puasa sunat senin kamis tidak pernah terlewat. Sampai akhirnya Allah memberikan jalan keluar. Bisnisnya berkembang, karyawan bertambah, kesibukan semakin meningkat.

Dan Karena demikian sibuknya satu persatu ibadah sunahnya mulai ia tinggalkan. Shalat-shalatnya pun semakin tidak khusyu'. Seharusnya bertambahya nikmat membuat ia bertambah dekat dengan Allah, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, nikmat bertambah malah membuatnya semakin jauh dari Allah. Orang ini sedang mengundang datangnya musibah. Musibah yang datang kepadanya sebagai peringatan untuk meningkatkan kembali keimanannya yang merosot itu.

Bisa saja terjadi tiba-tiba ordernya menurun, piutangnya tidak dibayar, di sana sini terjadi kerugian. Akibatnya ia terlilit hutang. Dalam keadaan bangkrut tadi tidak ada yang mau menolongnya. Ketika itulah ia kembali kepada Allah untuk memohon pertolongan dengan cara memperbaiki ibadah-ibadahnya yang selama ini sudah tidak ia perhatikan. Tercapailah tujuan musibah yaitu pemberi peringatan.


4. MUSIBAH SEBAGAI UJIAN KEIMANAN (IBTILA)

Musibah ini adalah tanda kecintaan Allah Ta'ala pada seseorang. Musibah ini diberikan kepada para Nabi yang ma'shum (terjaga dari berbuat salah) dan orang-orang saleh yang derajat nya ada di bawah mereka. Semakin tinggi derajat keimanan dan kekuatan agama seseorang justru ujian (musibah) yang menimpanya semakin berat.

Dari Mush'ab bin Sa'd dari ayahnya. Ayahnya berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw," Manusia manakah yang paling berat ujiannya?" Beliau saw menjawab," Para Nabi, kemudian disusul yang derajatnya seperti mereka, lalu yang di bawahnya lagi. Seseorang diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya itu kokoh maka diperberatlah ujiannya. Jika agamanya itu lemah maka ujiannya pun disesuaikan dengan agamanya. Senantiasa ujian menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun."
 (HR. al-Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah, hadits hasan shahih)

Al-Quran mencatat dua orang Nabi as diuji dengan musibah yang tidak pernah diderita oleh siapa pun dari hamba-hamba Allah swt. Nabi Ayyub as ditimpa musibah kehilangan harta, kematian anak-anak bahkan tubuhnya terkena penyakit selama delapan belas tahun. Dosa apakah yang menjadi penyebab Nabi Ayyub as menderita. Penyebabnya bukan dosa tapi justru kuatnya keimanan.

Nabi Yunus as ditimpa musibah berada dalam kegelapan yang tindih menindih. Ia ditelan ikan dan dibawa ke dasar lautan. Kegelapan perut ikan, kegelapan dalamnya lautan, kegelapan malam dan kesedihan hati yang tiada tara. Musibah yang beliau derita bukan karena azab atau peringatan karena merosotnya iman, tetapi justru karena ketinggian iman.

Orang-orang kafir mendapatkan musibah karena kekafirannya.
Orang-orang mukmin mendapatkan musibah karena keimanannya.
Dalam kehidupan dunia ini, musibah adalah keniscayaan.

Soooo...musibah yg terjadi di negeri ini, mulai dari tsunami, kecelakaan kereta, banjir, kebakaran, jatuhnya pesawat..
ManakAh yg merupakan ujian, balasan, azab, dan peringatan..??
MARI KITA RENUNGKAN BERSAMA. DAN JAWABANNYA ADA DI KEPALA ANDA MASING-MASING.

Wassalamualaikum





Zuhud Bukan Berarti LUSUH..!


Cc: Abuakmal Mubarok


Bagaimana sebenarnya sikap zuhud itu? Orang banyak yang salah paham bahwa zuhud itu seolah harus nampak dalam sikap lahir atau penampilan luar,  seperti pakaian lusuh, sepatu butut, dan makan seadanya.

Ada yang menyangka zuhud ialah meninggalkan dunia beserta isinya, tidak berambisi mencari harta, atau yang lebih mengherankan lagi adalah orang yang menampilkan sikap zuhud itu dengan menjauhkan diri dari kehidupan dunia, tidak mau mencari rezeki dan hanya tawakal menunggu rezeki datang sendiri, tinggal di tempat yang jauh dari keramaian (tempat  terpencil), beribadah saja tanpa memikirkan kebutuhan anak istri, rumah berantakan, bahkan tidak pernah dibersihkan dll.

Padahal zuhud itu adalah amalan batin dan letaknya di hati. Orang yang kumal bisa jadi zuhud bisa jadi tidak zuhud. Demikian pula orang yang rapih dan klimis bisa zuhud bisa juga tidak zuhud. Karena memang zuhud tidak ditentukan oleh penampilan luar.


Definisi zuhud: menurut bahasa, lafahz zahidha fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya “berpaling dari sesuatu”, meninggalkan sesuatu itu karena kehinaannnya atau karena menganggapnya rendah atau tidak memprioritaskannya. Lafazh zahuda fi asy-syai'i artinya tidak membutuhkannya, jika dikatakan zahida fi ad-dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang haram, dari dunia, karena takut hisabnya (perhitungan di akherat kelak ) dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksaan-Nya. Tazahhada artinya pun menjadi orang zuhud dan ahli ibadah. az-Zahid adalah ahli ibadah. bentuk jama'nya adalah zuhad wa zuhaad . Lafazh az-Zahadah fi asy-syai'i kebalikan dari kesenangan kepadanya, ridho kepada yang sedikit dan yang jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu karena Alloh SWT semata.

Makna zuhud secara terminologis (istilah) , Ibnul Jauzi mengatakan ," az-zuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Senada dengan itu menurut Ibnu  Qudamah, pengertian zuhud adalah pengalihan keinginan atau kehendak dari sesuatu kepada sesuatu hal yang jauh lebih baik".

Menurut syaikhul islam Ibnu Taimiyah, " Zuhud adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, entah itu karena memang tidak ada manfaatnya, atau karena keaadaannya yang tidak prioritas, atau karena dikhawatirkan dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, baik manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi."

Mungkin pengertian zuhd yang paling baik adalah yag dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib : zuhd terletak pada dua kalimat dalam Al Qur’an yaitu firman Allah : Agar kamu tidak berduka cita atas apa yang luput darimu dan tidak bersukaria atas sesuatu yang diberikan olehNya kepadamu (Q.S. 57:23)
Maka barangsiapa tidak berduka cita atas sesuatu yang telah pergi dan tidak bersukaria atas sesuatu yang datang sesungguhnya ia telah mencakup sikap zuhud yang sempurna (Nahjul Balaghah)

Senada dengan Ali, Imam Al Qusyairi adalah "tidak merasa bangga terhadap kemewahan dunia yg telah ada ditangannya,dan tidak pula merasa sedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya.

Sementara menurut Ibnu Rajab Al Hambali : Zuhud adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya, serta membebaskan diri darinya (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani, 11/232)

Abu Sulaiman Ad Daroni  mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang”  Aku sendiri (Abu Suliaman Ad Daroni) berpendapat, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”
(Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.” (Jaami’ul Ulum, hal. 3509)

Misalnya bisnis yang dijalani membuat seseorang sibuk pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkan bisnisnya itu. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.


Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta

Terkait dengan pertanyaan yang dikemukakan sdr Dwi apakah makan dengan bengkoang saja itu termasuk sikap Zuhud? Jawabannya tergantung dari orang itu sendiri. Karena zuhud termasuk amalan hati dan tidak bisa dinilai dari perilaku lahiriyah semata. Jika ia memang miskin dan hanya makan dengan bengkoang saja lalu ia tidak bersedih hati dan ringan hatinya menjalani itu semua maka itu termasuk zuhud. Sedangkan jika ia sebenarnya mampu untuk untuk membeli makanan yang  4 sehat 5 sempurna, namun sengaja menggembelkan dirinya maka dikhawatirkan terjatuh pada salah 1 dari 2 kemungkinan yaitu riya’ ingin dikatakan terlihat zuhud atau alim, atau kikir kepada anak dan istrinya.

Zuhud tidak berarti hidup miskin apalagi tidak mau mencari nafkah dan hanya mengha-bis kan waktu berzikir atau beribadah. Zuhud juga tidak berarti memberi makan anak istri dengan makanan seadanya padahal ia sanggup membeli makanan yang lebih bergizi.

Allah justru menyuruh kita untuk mencari dunia :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi . (Q.S. Al-Qashash : 77)

Allah juga menyuruh kita untuk mencari karunianya dimuka bumi :

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jum’ah  : 10)


Ketika Ali bin Abi Tholib mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoniy (yang kaya  bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. ...” ( Jaami’ul Ulum, hal. 350)

Ibnu Rajab juga mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.

Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”

Ibnul Mubarok mengatakan,

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh) Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Aku juga bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”. (Siyar A'lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387)


Sifat-sifat Zuhud, setelah kita lihat dalam penjelasan para ulama, kurang lebih dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Tidak hubud dunia (tidak mencintai dunia)

Orang yang zuhud tidak selalu harus miskin. Orang yang zuhud bisa saja miskin dan bisa saja kaya. Yang penting, zuhud ialah tidak mencintai dunia dan memandang dunia ini sebagai sesuatu yang hina.

Berangkat dari cara pandangnya yang tidak menganggap dunia sebagai hal yang penting maka ia akan terwujud dalam sikap yang sederhana dalam menggunakan segala yang dimilikinya,

2. Menerima apa yg ada,
Maksudnya.. tidak merisaukan sesuatu yg sudah tak ada,tetapi tetap dengan tidak meninggalkan kewajibannya dalam mencari rejeki.

Dalam pandangannya, pujian yang datang dari makhluk tidak akan membuat dia jadi takabur, begitu pula celaan dan cacian tidak akan membuat dia bersusah hati, tetapi itu malah jadi jalan untk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

3. Mendahulukan ridho Allah SWT dari pada ridho manusia,
dan akan merasa tenang jiwannya ketika hanya bersama Allah SWT. Dan merasa bahagia dengan mengerjakan syari'atNYA

Untuk memperjelas dalil-dalil tentang zuhud, berikut kami paparkan dalil-dalil yang ada dari Qur’an dan Hadits.

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)


“Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)

Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)


 Keluarga Rasulullah Hidup Sederhana

Orang yang mempraktekkan hidup menggembelkan diri sering berdalil dengan hadits-hadits yang menceritakan tentang kondisi kehidupan Rasulullah yang amat sederhana

Sejak berpindah ke Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah merasa kenyang karena makan gandum selama tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat. (H.R. Muslim No.5274)

Dari Aisyah r.a., ia berkata:Kami, keluarga Muhammad sering hidup selama satu bulan tidak menyalakan api (memasak), karena makananannya hanya kurma dan air. (H.R. Muslim No.5280)

Dari Aisyah r.a., ia berkata: Ketika Rasulullah wafat, di lemariku tidak ada sesuatu yang dapat dimakan manusia, kecuali setengah roti gandum yang berada dalam sebuah lemari milikku lalu aku memakan sebagian untuk beberapa lama, kemudian aku timbang ternyata telah habis. (H.R. Muslim No.5281)

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, belum pernah Rasulullah membuat keluarganya kenyang selama tiga hari berturut-turut dengan roti gandum sampai beliau wafat. (H.R. Muslim No.5286)

Mengenai hal ini, mungkin penjelasan terbaik adalah perkataan Ali bin Abi Thalib ketika ditanya Ashim bin Ziyad : Wahai amirul mukminin, Anda sendiri memberi contoh dengan menganakan pakaian amat kasar dan memakan makanan yang kering? Maka Ali menjawab L: Ketahuilah, diriku bukan seperti dirimu, sebab Allah telah mewajibkan seorang pemimpin yang benar agar mengukur dirinya dengan keadaan rakyatnya yang paling lemah, sehingga orang miskin tidak sampai tersengat oleh kepedihan kemiskinannya (Nahjul Balaghah) 

Wallahualam bishowab.