Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Setelah kecelakaan kereta api,
tabrakan bis di beberapa kota, tragedi tugu tani, dan beberapa bulan yg lalu
adalah berita terbaru tentang kecelakan jatuhnya pesawat sukhoi. Hmmm musibah
seakan tak mau beranjak dari negeri ini.
Tak pelak lagi bahwa segala kejadian
di bumi ini BUKANLAH sebuah kebetulan. Semuanya sudah menjadi kehendak sang
pembuat kejadian, yaitu Allah SWT. Tak terkecuali adanya musibah2 tersebut.
Jangankan jatuhnya pesawat sukhoi, jatuhnya sehelai daun dari pohon pun tak
luput dari ijin Allah.
Tinggal kita sebgai hamba (manusia)
mampu mengambil ibrahnya atau tidak.
Pertanyannya sekarang: “BAGAIMANA
KITA MENGGUNAKAN LOGIKA KITA UNTUK MEMAHAMI DAN MENGHAYATI MUSIBAH INI SEBAGAI
UJIAN, AZAB, BALASAN, ATAU PERINGATAN…??
MARI KITA ANALISA
SATU PERSATU.
1. MUSIBAH
SEBAGAI UJIAN.
Musibah merupakan bagian tak
terpisahkan dari hidup kita. Silih berganti datang, bagaikan sapuan kuas
warna-warni yang mengisi lukisan kehidupan. Begitulah adanya musibah, dan
begitulah sunnatullah yang berlaku, sebagaimana yang dinyatakan dalam
firman-Nya:
”Sungguh, Kami pasti akan menguji manusia
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, serta kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembir abagi orang2 yg sabar
”(Al-Baqarah:155).
Namun, bukanlah sikap yang bijak
jika kita menyikapi setiap musibah yang datang dengan cara-cara jahiliyah,
menangis meraung-raung, memaki diri dan orang lain, atau bahkan sumpah serapah
yang tak sopan atau bahkan stress dan frustasi. Sebab, semua itu tidak akan
mengurangi kadar musibah, dan justru menambah dua masalah berat yaitu musibah
itu sendiri ditambah beban perasaan kita sendiri.
Musibah juga kerap kali membuat
seseorang begitu frustasi, seakan dunia sudah berakhir, dan tak jarang berakhir
dengan usaha bunuh diri, wal iyadzu billah. Stres dan depresi yang melanda,
jika tak diiringi benteng iman yang kokoh, memang bisa melahirkan atraksi bunuh
diri. Beberapa artis barat, yang notabene berlimpah materi, ternyata berakhir
mengenaskan dengan menghilangkan nyawa mereka sendiri.
Sebagai seorang muslimah, yang
merupakan taman tarbiyah bagi generasi penerus, sikap seperti itu tentunya
perlu dibuang jauh-jauh dari kamus kehidupan. Maka, sikap SABAR menjadi perisai
yang ampuh ketika menghadapi musibah.
Menyambung dari ayat yg saya kutip
di atas, Al-Baqarah, 155 , bahwa Allah akan menguji hamba2Nya dengan rasa
takut, kekurangan harta, jiwa , dan buah2an…Akan tetapi, setelah itu Allah
menyambung firmanNya di ayat berikutnya dengan berfirman:
”…Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’
(Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali).
Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-Baqarah:
155-157)
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, seorang
ulama yang karya-karyanya banyak berbicara masalah hati, membahas lebih jauh
terapi penghilang duka lara dalam buku beliau. Buku yang oleh penerbit dan
penerjemahnya diberi judul ‘Meredam Duka Saat Menghadapi Musibah‘ ini banyak
memberikan kiat dan terapi agar kita terhibur dan tidak larut dalam kesedihan
yang panjang.
Hal pertama yang patut kita sadari,
sebagai terapi yang paling mujarab, adalah bahwa kita adalah milik Allah dan
akan kembali kepada Allah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat di atas.
Keyakinan tersebut mempunyai dua prinsip agung, yang jika seorang hamba
benar-benar memahami kedua prinsip tersebut, maka ia akan terhibur dari musibah
yang menimpanya.
Ibnul Qoyyim menjabarkan dua prinsip
tersebut sebagai berikut:
Pertama, bahwa seorang hamba beserta
keluarga dan hartanya benar-benar merupakan milik Allah SWT. Milik Allah itu
telah diserahkan kepada hambaNya sebagai pinjaman, titipan. maka jika Allah
mengambil kembali pinjaman itu darinya, kedudukannya seperti pemberi pinjaman
yang mengambil barang yang dipinjam.
Keluarga dan hartanya itu selalu
berada di antara dua ketiadaan, yaitu ketiadaan sebelumnya dan ketiadaan
sesudahnya. Kepemilikan hamba terhadapnya hanyalah kesenangan yang dipinjamkan
dalam jangka waktu sementara. Hamba bukanlah yang mengadakannya dari ketiadaan,
sehingga tidak bisa menjadi pemiliknya secara hakiki. Hamba juga tidak bisa
menjaganya dari berbagai bencana setelah ia ada. Juga tidak bisa mengekalkan
keberadaannya.
Jadi, seorang hamba sama sekali
tidak memiliki pengaruh terhadapnya, tidak memiliki secara hakiki. Bahkan, ia
hanya dapat menggunakannya dalam batas wewenang seperti seorang budak yang
diperintah dan dilarang, bukan sesuka hatinya seperti wewenang seorang pemilik.
Karena itu, seorang hamba tidak boleh melakukan tindakan terhadapnya kecuali
sesuai dengan perintah Pemilik yang hakiki.
Kedua, tempat kembali seorang hamba
adalah Allah, tuannya yang sejati. Ia pasti meninggalkan dunia di belakangnya
dan menghadap kepada Rabbnya seorang diri, sebagaimana ketika pertama kali ia
diciptakan-Nya, tanpa ditemani oleh keluarga, harta, atau kerabat, melainkan
hanya ditemani oleh amal kebajikan atau amal kejahatan.
Bila demikian asal muasal seorang
hamba, apa yang ditinggalkannya dan akhir hidupnya, bagaimana ia bisa
bergembira dengan sesuatu yang ada atau berduka atas sesuatu yang tiada? Jadi,
BERPIKIR TENTANG ASAL MUASAL KEHIDUPAN, merupakan TERAPI paling mujarab
terhadap suatu musibah.
Pemahaman lain yang perlu kita
yakini adalah bahwa apa pun yang ditakdirkan menimpa kita, tidak mungkin untuk
dihindari, sebaliknya apa pun yang tidak ditakdirkan terluput dari kita, tidak
mungkin menimpa kita. Allah pun berfirman:
”Tiada suatu bencana pun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah sangat mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid:
22-23).
“Dan peliharalah dirimu dari pada
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu
dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya"(QS.8:25).
Dalam tasirnya Imam Ibnu Katsir
menjelaskan:
“Allah telah memperingatkan
hamba-hambanya yang mukmin tentang fitnah, yaitu cobaan dan ujian berupa segala
hal yang tidak menyenangkan (bencana, celaka, sial, malang, sedih, susah,
jelek, buruk, jahat) yang menimpa secara merata pada semua orang, tidak hanya
menimpa pelaku-pelaku maksiat dan dosa saja. Lebih dari itu, keadaan fitnah itu
sedemikian parahnya sehingga tidak dapat ditolak dan dihilangkan”.
Ibnu Katsir pun mengutip hadits Nabi
SAW yang menjelaskan fenomena tersebut:
“Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dari
Nabi saw, bahwa beliau saw bersabda," Demi yang jiwaku dalam
genggaman-Nya, hendaklah kamu menyuruh pada yang ma'ruf dan mencegah
kemungkaran, jika tidak maka Allah menimpakan azab kepada kamu semua, lalu kamu
berdoa, namun Dia tidak mengabulkan doa kalian."(HR.Ahmad dan al-Tirmidzi,
berkata al-Tirmidzi: hadits hasan)
Dari Ummu Salamah ra istri Nabi saw,
ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Jika kemaksiatan
merajalela pada umatku, maka Allah akan meratakan mereka dengan azab dari
sisi-Nya."
Aku (Ummu Salamah) bertanya,"
Wahai Rasulullah, tidak adakah orang-orang shaleh di tengah-tengah mereka
ketika itu?"
Beliau menjawab," Ada."
Ummu Salamah bertanya,"
Bagaimana Allah memperlakukan orang-orang shaleh itu?"
Beliau bersabda," Mereka pun
tertimpa musibah yang menimpa manusia lain. Kemudian orang shaleh kembali
kepada ampunan dan keridhaan Allah."
(HR. Ahmad).
2.
MUSIBAH SEBAGAI BALASAN / KONSEKUENSI PERBUATAN (JAZA)
Jika kita merusak hutan, maka
musibah banjir dan longsor adalah sebuat balasan. Bila kita mengotori udara
dengan asap pabrik dan asap kendaraan, maka musibah pemanasan global dan
gangguan pernafasan adalah sebuah balasan.
"Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, yang akibatnya
Allah membuat mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. 30:41)
3. MUSIBAH SEBAGAI PERINGATAN
(INDZAR).
Musibah ini diberikan kepada mukmin
yang merosot keimanannya. Peringatan ini karena kasih sayang Allah swt.
Seseorang yang berada dalam kesempitan rezeki, misalnya, bermunajat di malam
hari agar Allah memberikannya keluasan rezeki. Shalat tahajjud ia jaga, shalat
Dhuha ia pelihara, puasa sunat senin kamis tidak pernah terlewat. Sampai
akhirnya Allah memberikan jalan keluar. Bisnisnya berkembang, karyawan
bertambah, kesibukan semakin meningkat.
Dan Karena demikian sibuknya satu
persatu ibadah sunahnya mulai ia tinggalkan. Shalat-shalatnya pun semakin tidak
khusyu'. Seharusnya bertambahya nikmat membuat ia bertambah dekat dengan Allah,
tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, nikmat bertambah malah membuatnya
semakin jauh dari Allah. Orang ini sedang mengundang datangnya musibah. Musibah
yang datang kepadanya sebagai peringatan untuk meningkatkan kembali keimanannya
yang merosot itu.
Bisa saja terjadi tiba-tiba ordernya
menurun, piutangnya tidak dibayar, di sana sini terjadi kerugian. Akibatnya ia
terlilit hutang. Dalam keadaan bangkrut tadi tidak ada yang mau menolongnya.
Ketika itulah ia kembali kepada Allah untuk memohon pertolongan dengan cara
memperbaiki ibadah-ibadahnya yang selama ini sudah tidak ia perhatikan.
Tercapailah tujuan musibah yaitu pemberi peringatan.
4. MUSIBAH SEBAGAI UJIAN KEIMANAN
(IBTILA)
Musibah ini adalah tanda kecintaan
Allah Ta'ala pada seseorang. Musibah ini diberikan kepada para Nabi yang
ma'shum (terjaga dari berbuat salah) dan orang-orang saleh yang derajat nya ada
di bawah mereka. Semakin tinggi derajat keimanan dan kekuatan agama seseorang
justru ujian (musibah) yang menimpanya semakin berat.
Dari Mush'ab bin Sa'd dari ayahnya.
Ayahnya berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw," Manusia manakah yang
paling berat ujiannya?" Beliau saw menjawab," Para Nabi, kemudian
disusul yang derajatnya seperti mereka, lalu yang di bawahnya lagi. Seseorang
diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya itu kokoh maka diperberatlah
ujiannya. Jika agamanya itu lemah maka ujiannya pun disesuaikan dengan
agamanya. Senantiasa ujian menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka
bumi tanpa dosa sedikit pun."
(HR. al-Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn
Majah, hadits hasan shahih)
Al-Quran mencatat dua orang Nabi as
diuji dengan musibah yang tidak pernah diderita oleh siapa pun dari hamba-hamba
Allah swt. Nabi Ayyub as ditimpa musibah kehilangan harta, kematian anak-anak
bahkan tubuhnya terkena penyakit selama delapan belas tahun. Dosa apakah yang
menjadi penyebab Nabi Ayyub as menderita. Penyebabnya bukan dosa tapi justru
kuatnya keimanan.
Nabi Yunus as ditimpa musibah berada
dalam kegelapan yang tindih menindih. Ia ditelan ikan dan dibawa ke dasar
lautan. Kegelapan perut ikan, kegelapan dalamnya lautan, kegelapan malam dan
kesedihan hati yang tiada tara. Musibah yang beliau derita bukan karena azab
atau peringatan karena merosotnya iman, tetapi justru karena ketinggian iman.
Orang-orang kafir mendapatkan
musibah karena kekafirannya.
Orang-orang mukmin mendapatkan
musibah karena keimanannya.
Dalam kehidupan dunia ini, musibah
adalah keniscayaan.
Soooo...musibah yg terjadi di negeri
ini, mulai dari tsunami, kecelakaan kereta, banjir, kebakaran, jatuhnya
pesawat..
ManakAh yg merupakan ujian, balasan,
azab, dan peringatan..??
MARI KITA RENUNGKAN BERSAMA. DAN
JAWABANNYA ADA DI KEPALA ANDA MASING-MASING.
Wassalamualaikum
Wassalamualaikum
Alhamdulillah.. terimakasih artikelnya, bermanfaat. Soal Indzar, saya jadi tersadar:')
BalasHapusArtikel ini sangat menarik dan saya senangi. Izinkan saya menyalinnya sebagai bahan khutbah Jum'at.
BalasHapusSangat bermanfaat 👍
BalasHapus