Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

* Dosakah Menikahi Karena Tertarik Fisik? * (bag.2)

   (Seri Pemahaman Fikih)
                                                         

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian 1 yg ditulis oleh bapak abuakmal mubarok. Dan disini sya ingin melanjutkannya dengan menulis di bagian 2 untuk bahasan yg sama.

Kita tentu sudah sangat hafal dengan hadist yg populer berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra, ia mendengar bahwa bahwa Nabi bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Nikahilah wanita yang taat beragama, engkau akan beruntung" (Muttafaq Alaih).

Pertanyaannya sekarang, dosakah bila kita menikahi wanita karena MEMANG tertarik dgn fisiknya? atau MEMANG tertarik karena dia KAYA? atau karena MEMANG dia anaknya pak jendral yg kaya raya?

sudah kita kita ketahui bersama, bahwa Allah telah menjadikan ketertarikan pada lawan jenis itu dalam ayat berikut: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)"(Q.s Al imran,14).

Juga di hadist rasulullah berikut: "Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya karena boleh jadi kecantikannya itu akan membinasakannya dan janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya karena boleh jadi hartanya akan menjadikannya sombong. Tapi nikahilah mereka karena agamanya, dan budak yang hitam kulitnya tapi taat beragama itu lebih baik: (H.R. Ibnu Majah).

Akan tetapi, cukupkah nash ayat dan sabda rasul itu kita jadikan hujjah agar kita menikahi seseorang karena agamanya?
Secara sudut pandang syara, memang jelas bhwa agama menjadi faktor utama bagi kita dalam memilih pendamping hidup. tapi mesti kita ketahui bawhwa ayat dan hadist diatas adalah bersifat ANJURAN dan BUKAN sebagai PERINTAH mutlak dari Allah dan rasulNya.

Kenapa saya berkata demikian..?
Karena di sisi lain Islam juga membolehkan kita bahwa ketertarikan seseorang pada daya tarik fisik adalah sesuatu yang manusiawi bahkan hal itu dianggap sebuah kebaikan jika wanita berusaha tampil menarik secara fisik di hadapan suami sehingga menyenangkan pandangan suaminya.

"Sebaik-baik istri ialah yang menyenangkanmu bila engkau memandangnya" (H.R. Thabrani)

Lafaz hadis pada kalimat “Menyenangkan bila engkau memandangnya” itu mengisyaratkan kebaikan penampilan dan perilaku. Walaupun seorang wanita mungkin saja tidak menarik raut wajahnya, namun semaksimal mungkin ia tampil menarik, dengan berdandan, menyisir rambut, merawat muka, merapikan pakaian, dan tampil bersih di hadapan suami, sehingga menyenangkan pandangan suaminya.

"Kawinilah (oleh mu) wanita lain yang “kamu sukai”… (Q.S. AN nisa,3).

Istilah wanita yang “kamu sukai”, mengisyaratkan juga bahwa menikahi seseorang memang berdasarkan rasa suka. Jadi Allah pun membolehkan faktor rasa “suka” atau “tertarik”. Jika tidak ada rasa suka sama sekali hanya semata taat dijodohkan oleh orang tua atau ustadz nya maka dikhawatirkan tidak melanggengkan perkawinan itu sendiri. Namun jika memang kita menyukai jodoh yang disodorkan oleh orang tua atau ustadz maka hal itu telah memenuhi perintah Allah agar menikahi seseorang yang “disukai”.

Oleh karena itulah Rasulullah SAW membolehkan seorang pria jika hendak menikah agar memantapkan pilihannya dan melanggengkan perkawinan agar terlebih dahulu melihat wanita yang akan dinikahinya.

Dari Abu Hurairah RA berkata, “Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya, ‘Sudahkah kau lihat dia?’ Ia mengatakan, ‘Belum!’ Kemudian Nabi mengatakan, ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.’” (H.R. Muslim)

Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa orang2 Anshar (Madinah) matanya agak lebih sipit seperti orang cina dibanding orang Mekah.

Hal ini tidak bertentangan dengan kaidah pergaulan secara umum bahwa antara pria dan wanita harus menundukkan pandangan (tapi bukan berarti memejamkan mata atau tidak melihat sama sekali).
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian rasulullah mengatakan kepadanya, “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.”
Kemudian Mughirah pergi kepada dua orangtua perempuan tersebut, dan memberitahu-kan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orangtuanya itu tidak suka (kalau anak gadisnya dilihat orang). Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan, ‘Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah.’
Kata Mughirah, ‘Setelah melihatnya, saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya.’” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).

bebrapa hari lalu tak sengaja saya melihat postingan di sebuah grup dakwah Grupnya gak perlu saya sebutkan),dimana disitu ada member yg bertanya bolehkah laki2 yg ingin meminang kita mengajukan syarat agar ia bisa melihat rambutku (si wanita)?
dan komentarpun bermunculan. apa isinya..?? yg jelas sebagian besar komentar mengatakan tidak boleh karena begini dan begitu. tapi tak ada satupun komentar yg memberikan dalil atas pelarangan tersbut. hmmmmm...

padahal Rasulullah SAW pernah bersabda dalam salah satu haditsnya, “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka lakukanlah” (H.R. Abu Daud).
Melihat wanita yang disukai bisa dengan cara sepengetahuan yang bersangkutan atau tidak sama sekali demikian pula boleh dengan sepengetahuan keluarganya atau tidak, selama melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang calon isterinya, “Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.”

Hal ini tidak bertentang an dengan ketentuan syariat bahwa secara umum “jika tidak ada keperluan yang dibenarkan oleh syari’at” maka laki-laki yang bukan mahram tak boleh memandang wanita, sebagaimna dijelskan dalam surat An nur ayat 30-31 (silahkan buka mushafnya).

Istilah “gadhul bashar” atau menundukkan pandangan tidak berarti “memejamkan mata” atau “matanya ditutup sesuatu sehingga tidak bisa melihat”. Melainkan cukup memalingkan pandangan saja sebagaimana hadits:

Dari Abdullah bin Abbas ia berkata : “seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah SAW untuk minta fatwa lalu Fadal memandang wanita itu (terus menerus) karena kagum dengan kecantikannya. Lalu Nabi SAW menoleh (pada Fadhal) dan saat itu Fadhal masih saja memandangi wanita itu, Nabi SAW segera memegang leher Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak lagi memandang ke arah wanita itu” (H.R. Bukhari Muslim).

Oleh karena itu Rasulullah berpesan pada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh" (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

Dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." (H.R Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih) (Kitab Bulughul Maram Ibnu Hajar asqolani)

Dari Said Ibnu al-Musayyab bahwa Umar Ibnu al-Khaththab berkata: Laki-laki manapun yang menikah dengan perempuan dan setelah menggaulinya ia mendapatkan perempuan itu berkudis, gila, atau berpenyakit kusta, maka ia harus membayar maskawin karena telah menyentuhnya dan ia berhak mendapat gantinya dari orang yang menipunya (Atsar Umar dikutip dalam Bulughul Maram min ‘Adilatil Ahkam)

Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Nabi SAW bercerita : “Telah keluar 3 orang untuk berjalan-jalan tiba-tiba turun hujan lebat hingga mereka terpaksa berlindung di dalam gua. Tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutup mulut gua. Lalu salah seorang berdoa : Ya Allah, Engkau mengetahui dahulu aku jatuh cinta pada wanita sepupuku dengan sehebat hebat cinta pria pada wanita, tiba-tiba ia berkata : kamu tidak bisa memiliki aku kecuali dapat memberiku 100 dinar. Maka aku berusaha sehingga dapat mengumpulkan sebanyak itu. Ketika telah kuberikan dan ia (wanita itu) telah menyerah kepadaku dan aku telah duduk di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata : takutlah pada Allah dan janganlah membuka tutup kecuali dengan haknya. Mendengar hal itu aku langsung bangkit dan meninggalkannya"(H.R. Bukhari Muslim).

wallahualam bishowab


BERDOSAKAH JIKA MENIKAH KARENA TERTARIK FISIK? (bag 1)


Oleh : Abu Akmal Mubarok

Agama menganjurkan memilih jodoh berdasarkan agamanya dan bukan melihat hartanya, fisiknya atau keturunannya.
Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Nikahilah wanita yang taat beragama, maka engkau akan berbahagia." (H.R. Muttafaq Alaihi)

Ada yang menulis di dunia maya ini bahwa cinta hakiki adalah cinta tanpa perlu melihat fisiknya. Dan kalaupun dilihat fisiknya, adalah fisiknya yang selalu terpelihara menundukkan pandangan. Lalu kalaupun dilihat kekayaannya maka kekayaan ilmunya, dan kalaupun dilihat keturunannya maka pilihlah keturuanan orang sholeh. Artinya semua ditafsiri sebagai kiasan dan diarahkan kepada pertimbangan agama semata.
Penafsiran seperti ini sungguh mulia dan dan sangat bagus jika memang dia sanggup menjalaninya begitu karena agama pun menyukai jika bisa mencintai tanpa memandang fisiknya.

Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya karena boleh jadi kecantikannya itu akan membinasakannya dan janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya karena boleh jadi hartanya akan menjadikannya sombong. Tapi nikahilah mereka karena agamanya, dan budak yang hitam kulitnya tapi taat beragama itu lebih baik (H.R. Ibnu Majah)

Bila ada yg berbulat hati menikahi seseorang tanpa tahu sama sekali seperti apa fisiknya, itu bagus saja. Bila ada yang menikah hanya bertukar biodata tanpa tahu seperti apa calon pasangannya juga boleh-boleh saja. Namun janganlah timbul sikap berlebihan dengan merasa bahwa melihat fisik adalah terlarang dalam Islam dan jika bisa menikah tanpa sama sekali melihat fisik itu lebih islami daripada yang terlebih dahulu melihat fisik. Ada pula mak comblang atau ustad/ustadzah atau murobbi/ murobiyah yang mengecam muridnya /mad’u nya ketika menuntut untuk terlebih dahulu melihat calon pasangannya. Sesungguhnya Islam adalah agama yang realistis dan Rasulullah S.A.W. pun tidak melarang melihat calon pasangan yang hendak dinikahi, bahkan lebih dari itu Rasulullah S.A.W. justru memerintahkan untuk melihat calon pasangan yang hendak dinikahinya.
Karena kesukaan pada yang indah adalah salah satu kecenderungan manusia dan tidak perlu dipungkiri atau dinafikkan.

Sesungguhnya Allah indah dan senang kepada keindahan. Bila seorang ke luar untuk menemui kawan-kawannya hendaklah merapikan dirinya. (H.R. Al-Baihaqi)

Ibnu mas’ud ia memarfukannya : “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji dari kesombongan” Ada seseorang yang bertanya : Sesungguhnya seseorang suka kalau pakaiannya bagus dan terompahnya bagus” Ia (Rasulullah SAW) bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. (H.R. Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud).

Islam bukanlah agama yang bersifat esoteris yaitu yang memandang sebagala macam kesenangan dunia dan keinginan di hati manusia itu sebagai kotor dan harus dijauhi. Berbeda dengan agama-agama lain yang berpendapat jika hendak mencapai kesucian maka harus meninggalkan segala hal duniawi. Bahkan sebaliknya Islam menyatakan bahwa ketertarikan kepada lawan jenis, anak-anak harta, kendaraan dan tanah adalah manusiawi.

Begitu juga Allah telah menjadikan ketertarikan pada lawan jenis itu Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran [3]:14).

Di sisi lain Islam juga mengisyaratkan bahwa ketertarikan seseorang pada daya tarik fisik adalah sesuatu yang manusiawi bahkan hal itu dianggap sebuah kebaikan jika wanita berusaha tampil menarik secara fisik di hadapan suami sehingga menyenangkan pandangan suaminya.
Sebaik-baik istri ialah yang menyenangkan mu bila engkau memandangnya (H.R. Thabrani)

Kata-kata “Menyenangkan bila engkau memandangnya” itu mengisyaratkan kebaikan penampilan dan perilaku. Walaupun seorang wanita mungkin saja tidak menarik raut wajahnya, namun semaksimal mungkin ia tampil menarik, dengan berdandan, menyisir rambut, merawat muka, merapikan pakaian, dan tampil bersih di hadapan suami, sehingga menyenangkan pandangan suaminya. Ini termasuk katagori indah secafa fisik.
Kawinilah (oleh mu) wanita lain yang “kamu sukai”, … (Q.S. AN Nisa:3)

Istilah wanita yang “kamu sukai”, mengisyaratkan juga bahwa menikahi seseorang memang berdasarkan rasa suka. Jadi Allah pun membolehkani faktor rasa “suka” atau “tertarik”. Jika tidak ada rasa suka sama sekali hanya semata taat dijodohkan oleh orang tua atau ustadz nya maka dikhawatirkan tidak melanggengkan perkawinan itu sendiri. Namun jika Anda percaya penuh dan menerima apapun jodoh yang disodorkan oleh orang tua atau ustadz maka hal itu telah memenuhi perintah Allah agar menikahi seseorang yang “disukai” dengan catatan berarti ia siap menyukai apapun yang akan disodorkan pada dirinya.

Oleh karena itu lah Rasulullah SAW membolehkan seorang pria jika hendak menikah agar memantapkan pilihannya dan melanggengkan perkawinan untuk melihat wanita yang akan dinikahinya.
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." (H.R Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi tsiqah (dipercaya). Hadits shahih menurut Hakim) (Bulughul Maram min ‘Adilatil Ahkam)

Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa orang-orang Anshar (Madinah) matanya agak lebih sipit dibanding orang Mekah.
Dari Abu Hurairah RA berkata, “Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya, ‘Sudahkah kau lihat dia?’ Ia mengatakan, ‘Belum!’ Kemudian Nabi mengatakan, ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.’” (H.R. Muslim)

Ketika Rasulullah S.A.W. menyatakan “di mata orang Anshar ada sesuatu” maka sebagian ulama menjeklaskan bahwa yang dimaksud adalah mata orang Anshor lebih sipit dibanding orang Mekah. Maka jelas ini menunjukkan aspek fisik menjadi salah satu pertimbangan dalam menyukai pasangan yang hendak dinikahinya dan ini bukanlah sesuatu yang nista.

Hal ini tidak bertentangan dengan kaidah pergaulan secara umum bahwa antara pria dan wanita harus menundukkan pandangan (tapi bukan berarti memejamkan mata atau tidak melihat sama sekali).
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan kepadanya, “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” Kemudian Mughirah pergi kepada dua orangtua perempuan tersebut, dan memberitahu-kan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orangtuanya itu tidak suka (kalau anak gadisnya dilihat orang). Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan, ‘Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah.’ Kata Mughirah, ‘Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya.’” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan Ad-Darimi).

Dari Jabir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang sekiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka lakukanlah.” (H.R. Abu Daud, Al Hakim, dan Ahmad).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi S.A.W pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi dan lihatlah. Maka
Ketika Rasulullah SAW masih hidup pun, ada seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya bukan karena keburukan agama suaminya bukan pula karena kemiskinan atau buruk akhlak suaminya, namun semata karena tidak cinta dan tidak suka.

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa istri Tsabit Ibnu Qais r.a. menghadap Nabi S.A.W. dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka menjadi durhaka setelah masuk Islam (karena enggan pada suami). Lalu Rasulullah S.A.W. bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?". Ia menjawab: Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan sekali talak (talak satu) ." (H.R Bukhari).

Ketidak sukaan istri Tsabit bin Qais adalah karena tidak suka dengan wajahnya yang jelek, dan hal ini adalah manusiawi. Dan ketidak sukaan ini sudah cukup mendalam sehingga ia enggan atau jijik jika melayani suaminya.

Dari Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, r.a: Bahwa Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata: “Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya”. (H.R. Ibnu Majah)
Sahal Ibnu Abu Hatsmah berkata : “Itu adalah permintaan cerai dari wanita (khulu) yang pertama dalam Islam” (H.R. Ahmad).

Hadits di atas menunjukkan bahwa walaupun faktor agama menjadi pertimbangan utama namun ketertarikan fisik bukanlah sesuatu yang terlarang. Dan orang yang tidak menyukai atau tidak tertarik fisik dari pasangannya bukanlah sesuatu yang tercela.
Melihat calon pasangan yang disukai bisa dengan cara sepengetahuan yang bersangkutan atau tidak sama sekali demikian pula boleh dengan sepengetahuan keluarganya atau tidak, selama melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang calon isterinya, “Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.”

Hal ini tidak bertentang an dengan ketentuan syariat bahwa secara umum “jika tidak ada keperluan yang dibenarkan oleh syari’at” maka laki-laki yang bukan mahram tak boleh memandang wanita.
“Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya; kerana yang demikian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha meneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. Dan katakanlah kepada orang-orang mu'min perempuan: hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan jangan menampak-nampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya, dan hendaknya mereka itu melabuhkan tudung sampai ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau kepada ayahnya atau kepada mertuanya atau kepada anak-anak laki-lakinya atau kepada anak-anak suaminya, atau kepada saudaranya atau anak-anak saudara laki-lakinya (keponakan) atau anak-anak saudara perempuannya atau kepada sesama perempuan atau kepada hamba sahayanya atau orang-orang yang mengikut (bujang) yang tidak mempunyai keinginan, iaitu orang laki-laki atau anak yang tidak suka memperhatikan aurat perempuan dan jangan memukul-mukulkan kakinya supaya diketahui apa-apa yang mereka rahasiakan dari perhiasannya.” (an-Nur: 30-31).

Istilah “gadhul bashar” atau menundukkan pandangan tidak berarti “memejamkan mata” atau “matanya ditutup sesuatu sehingga tidak bisa melihat”. Melainkan cukup memalingkan pandangan saja sebagaimana hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Abbas ia berkata : “seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah SAW untuk minta fatwa lalu Fadal memandang wanita itu (terus menerus) karena kagum dengan kecantikannya. Lalu Nabi SAW menoleh (pada Fadhal) dan saat itu Fadhal masih saja memandangi wanita itu, Nabi SAW segera memegang leher Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak lagi memandang ke arah wanita itu” (H.R. Bukhari Muslim).

Oleh karena itu Rasulullah berpesan pada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh." (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

Melihat dan mempertimbangkan faktor fisik juga merupakan keniscayaan dalam pernikahan karena jangan sampai nanti orang menceraikan dan menyesali pilihannya karena merasa belum seksama mengetahui kondisi fisik pasangannya. Salah satu kondisi fisik yang dimaksud di sini adalah termasuk penyakit yang dideritanya, seperti cacat pada tubuhnya, atau tidak bisa menghasilkan keturunan, harus secara jujur dijelaskan oleh mak comblang atau perantaranya atau oleh yang bersangkutan. 

Dari Said Ibnu al-Musayyab bahwa Umar Ibnu al-Khaththab r.a. berkata: Laki-laki manapun yang menikah dengan perempuan dan setelah menggaulinya ia mendapatkan perempuan itu berkudis, gila, atau berpenyakit kusta, maka ia harus membayar maskawin karena telah menyentuhnya dan ia berhak mendapat gantinya dari orang yang menipunya (Atsar Umar dikutip dalam Bulughul Maram min ‘Adilatil Ahkam).

Demikian pula bila dikhawatirkan cacat tubuh atau kondisi fisik seseorang itu dapat menghilangkan selera, sehingga dikhawatirkan bisa mempengaruhi kelanggengan pernikahannya maka hal ini harus dijelaskan sebelum perkawinan. Misalnya rambutnya botak total atau botak sebagian (pitak) ada bagian tubuh yang bekas luka bakar yang menjijikkan dll. Maka ini termasuk perkara yang dibolehkan agama untuk dilihat dan dipertimbangkan apakah seseorang bisa menerima kondisi calon pasangannya. Hal ini lebih baik daripada dipaksakan dan menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga. Namun jika Anda menyatakan diri siap menerima apapun resikonya tanpa harus melihat terlebih dahulu calon pasangan Anda maka hal itu bagus bagus saja dan andaikan Anda bersabar dengan kekurangan fisik pasangan Anda maka hal itu akan mendapat pahala tersendiri dari sisi Allah. insyaAllah. Wallahua’lam.

'Jauhilah Sikap Ghuluw (Berlebihan) Dalam Islam'


 
MENGAPA PARA AKTIFIS GERAKAN ISLAM HARUS MENJAUH DARI SIKAP EKSTREM (GHULUW) DALAM BERAGAMA?

Kita dudukkan dulu apa definisi dari ekstrim dalam beragama.
Ekstrem : Menurut etimologis bahasa Arab bermakna berdiri di tepi, jauh dari tengah.
Dlm bahasa Arab awalnya digunakan untuk hal yg materil, misalnya dlm berdiri, duduk atau berjalan. Lalu kemudian digunakan juga pada yg abstrak seperti sikap menepi dlm beragama, pikiran atau kelakuan.

DALIL-DALIL SYARIAT YG MELARANG SIKAP EKSTREM DAN GHULUW:

Islam memerintahkan ummatnya bersikap adil dan moderat sesuai al-Quran dan as-Sunnah : "Demikianlah KAMI jadikan kamu ummat yg adil dan moderat (wasathan) supaya kalian menjadi saksi atas manusia" (QS.Al BAqarah:143).


Dalil2 syariat selalu menyeru umat Islam, apalagi para dai dan aktifis Islamnya, kepada sikap adil , moderat , seimbang, dan melarang berlebih-lebihan yg diistilahkan dg ekstrem dan ghuluw, mempersulit dan meperberat.

Mari kita lihat dalil-dalil berikut ini :

1. Bersabda rasulullah: “Hindarkanlah oleh kalian sikap ekstrem dlm beragama, karena sebenarnya orang2 sebelum kalian telah sesat karenanya” (HR Ahmad dlm musnadnya, Nasa’i dan Ibnu Majah dlm sunannya).

2. Bersabda rasulullah : “Binasalah orang2 yg mutanathi’un! Binasalah orang2 yg mutanathi’un! Binasalah orang2 yg mutanathi’un!”

Imam Nawawi dlm syarah Shahih Muslim berkata : Al-Mutanathi’un adalah org yg sok berdalam2 ketika membahas suatu permasalahan, sehingga penafsiran dan pendapatnya melampaui batas (Shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud).

3. Bersabda rasulullah : “Janganlah kalian memberat2kan suatu permasalahan agama, karena suatu kaum telah memperberat diri mereka sendiri sehingga ALLAH pun memperberat atas mereka” (HR abu Ya’la dlm musnadnya dari Anas bin Malik ra).

4. Rasulullah prnah sangat marah kepada sahabatnya Mu’adz ra ketika Mu’adz menjadi imam bagi orang banyak dan memanjangkan bacaannya sehingga memberatkan para ma’mum dibelakangnya. Sehingga kata Nabi SAW : “Apakah kamu mau menimbulkan bencana hai Mu’adz?!” (HR Bukhari).

5. Nabi pun senantiasa menasihati para sahabatnya saat berangkat untuk menyiarkan Islam dg sabdanya : “Permudahlah oleh kalian semua dan jangan dipersulit, gembirakanlah mereka dan jangan disusahkan, bersepakatlah dg mereka dan jangan berselisih.” (HR Bukhari Muslim).

Maka bagaimanakah jika kita menyaksikan sikap nabi kita yg begitu pengasih, begitu lembut dan begitu pemaaf dlm memilih fatwanya kepada orang lain... Sementara ada orang yg mengaku pembela bliau tapi kemudian mengesankan sikap yg kasar dan mencari pendapat yg paling keras dlm bersikap dan berfatwa, dan berargumen bahwa ini termasuk wala’ dan bara’??


TANDA-TANDA EKSTREMITAS DALAM BERAGAMA :

1. Ta’ashub (fanatisme buta),

Yaitu fanatik pada satu pendapat dan menyalahkan pendapat yg berbeda dengannya walaupun pendapat yg lain itu terdapat dalil yg kuat dan shahih.

Hal ini misalnya dg menuduh fasik dan durhaka kepada orang yg berbeda pendapat dengannya. Yang sangat mengherankan adalah diantara mereka hanya menerima ijtihad bagi dirinya dan kelompoknya dlm masalah2 yg sangat pelik dan rumit istinbath hukumnya, tetapi menolak ijtihad para ulama spesialis baik perorangan maupun kelompok untuk berijtihad berbeda dg pendpt mereka tsb.
Seolah-olah mereka berkata pd anda : “Hakku untuk berbicara dan berpendpt dan kewajibanmu hanyalah mendengarkan dan taat. Pendapatku benar dan tdk pernah salah sementara pendptmu salah dan tidak pernah benar.”NAudzubillah..kita berlindung dari sikap ghuluw seperti ini.

Yg lbh berbahaya lagi jika sikap ini diikuti dg membawa tongkat pemukul, yg bukan terbuat dr besi atau kayu melainkan berupa tuduhan seperti bid’ah , kufur, sesat, dsb. Kita berlindung kepada ALLAH SWT dari yg demikian...

2. Mewajibkan kepada manusia sesuatu yg tidak diwajibkan ALLAH SWT atas mereka.

Tidak ada larangan bagi seseorang untuk mewajibkan untuk dirinya ttg suatu pendapat sepanjang bedasarkan dalil, tetapi syariat tidak dpt menerima jika ia lalu mewajibkannya juga kepada orang lain, karena kemampuan dan keinginan ummat berbeda2, bukankah ALLAH SWT berfirman ttg sifat Nabi SAW : “...menghalalkan segala yg baik bagi mereka mengharamkan segala yg buruk, serta membuang beban2 berat dan melepaskan belenggu yg ada pd diri mereka” (QS al-A’raaf:157).

Contoh dlam hal ini adalah: mewajibkan adanya hukum niqob atau cadar.
Ada sebagian akhwat yg mengatakan cadar itu wajib, shingga dia menganggap muslimah yg sudah berbusana syari tetaplah berdosa jika tidak bercadar.
Ini adalah salah satu sikap ghuluw dalam beragama. di dalam nash quran maupun sunnah tidak ada satupun dalil yg mewajibkan pemakaian cadar. dalil tentang pkaian syari bagi muslimah hanyalah surat An nuur 31 dan Al azhab 59 serta bebrapa hadist nabi.

Adapun pemakaian cadar jika itu ia wajibkan utk dirinya sendiri atau anggota jamaahnya maka tak mengapa, tapi jangan sampai hal itu menjadikan sikap ghuluw dgn menyalahkan saudari-saudarinya yg sudah berhijab lalu dikatakan berdosa krn tidak bercadar.

3. Selalu memperberat saat ada kesempatan untuk memilih.

Seperti memperlakukan negara bukan Islam sebagai negara Islam, atau memperlakukan aturan Islam secara ketat bagi semua kaum muslimin tanpa melihat tingkat keimanan dan pengetahuan mereka ttng Islam. Hendaknya pendekatan fikih dakwah digunakan saat mensikapi dan menyampaikan dakwah, yaitu memusatkan pd hal2 yg ‘ushul’ (pokok, dasar) dlm agama, dan pendekatan fiqh dakwah ini merupakan ketetapan sunnah Nabi SAW, sebagaimana pesan Nabi saat mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman (HR Bukhari Muslim).

Seperti sikap bersikeras melarang duduk di atas kursi dg alasan hal tsb bukan sunnah Nabi SAW, melarang wanita berbicara dlm diskusi karena takut terkena fitnah, melarang menggunakan celana karena merupakan cara orang Barat, mewajibkan memakai gamis dan tidak boleh dgn rok panjang dan baju lengan panjang, dsb.

4. Mudah Memvonis Sesat dan Mengkafirkan.

Padahal ALLAH SWT menyebutkan dlm al-Qur’an : “Serulah manusia kepada jalan RABB-mu dg hikmah dan pelajaran yg baik. Dan bantahlah mereka dg cara yg lebih baik” (QS an-Nahl:125).

Dlm ayat yg lain disebutkan : “Maka karena rahmat ALLAH kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut kepada mereka, dan jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka mereka akan lari dr sekelilingmu” (QS ali-Imran:153).

Bahkan kepada Fir’aun saja untuk dakwah pertamanya ALLAH SWT memerintahkan Musa as untk bersikap lembut : “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya ia telah durhaka. Bicaralah kamu berdua kepadanya dg lembut, mudah2 an ia menjadi ingat dan takut” (QS Thaha:43-44).

Barulah setelah Fir’aun menolak dan mengabaikan dakwah, maka Musa as mendoakan kecelakaan untuknya.

5. Buruk sangka (su’uzhan) kepada para Ulama Islam.

Yaitu memandang mereka (ulama) selalu dg 'kacamata hitam', selalu menyembunyikan kebenaran dan kebaikan mereka dan membesar2kan keburukan dan kesalahan mereka. Mereka menganggap kesalahan kecil dlm masalah ijtihad sekalipun sebagai sebuah dosa besar dan menabuh genderang perang trhadapd pelakunya.

Jika ada sebuah fatwa yg mengandung 2 kemungkinan yaitu kebaikan dan keburukan, maka mereka serta-merta mengambil sisi buruknya, hal ini sangat berbeda dg sikap salafus-shalih yg selalu berkata : “Sungguh aku selalu mencarikan alasan pembenaran bagi pendapat saudaraku sampai 70 kali, setelah itu akupun masih berkata : Mungkin masih ada alasan lain yg blm kuketahui..”

Rasulullahbersabda : “Jika kalian mendengar seorang menyatakan : Manusia lainnya telah celaka, maka org itulah yg paling celakan diantara mereka.” (HR Muslim)

6. Bahaya pengkafiran.

Akumulasi dari sikap ghuluw dan ekstremitas dlm beragama mencapai puncaknya jika seorang sudah bermain dgn label pengkafiran. Sikap inilah yg telah membinasakan kaum Khawarij, sekalipun mreka adalah kaum plaling hebat dlm pelaksanaan berbagai ibadah dlm sejarah Islam, tetapi mereka celaka karena telah terjerumus kepda jurang pengkafiran kepd ummat Islam yg lain bahkan pd para ulama ummat seperti khalifah Ali ra.

Kelompok ini karena kerendahan ilmunya tidak mengetahui bgmna kemarahan Rasul SAW yg luarbiasa terhadap anak dr anak angkatnya yg paling disayanginya yaitu Usamah bin Zaid ra, ketika mendengar Usamah membunuh seorang kafir yg telah mengucapkan syahadah saat terdesak dlm peperangan.

Walaupun Usamah telah memberikan argumentasi : “Wahai Rasulullah ia hanya mengucapkan itu karena takut dg pedang.”
Maka jawab Nabi SAW : “Mengapa tidak engkau belah dadanya (jika memang engkau mengetahui isi hatinya)?” ,
Maka jawab Usamah ra : “Ya RasuluLLAH, mohonkan ampun bagi saya.”
Maka jawab Nabi SAW : “Apakah yg akan engkau perbuat jika nanti di hari Kiamat berhadapan dengan La ilaha illaLLAH??”
Selanjutnya kata Usamah ra : “Tidak henti2nya Nabi SAW mengulang-ulang pertanyaannya itu, sampai aku menginginkan alangkah inginnya jika saat itu aku baru masuk Islam karena takutnya.”

Walillahihamdu wal minah...Wallahua'lam bishowab.