Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

Subuh Yang Indah Bersamamu, Ya Rasulullah…

Dini hari di Madinah Al-Munawwarah. 
Aku saksikan sahabat-sahabat berkumpul di masjidmu. Angin sahara membekukan kulitku. Gigiku gemeretak, kakiku berguncang.
Tiba-tiba pintu hujrahmu terbuka. Dan kau datang, ya Rasulallah. Kami pandang engkau.
“Assalamu ‘alaika ayyuhan nabi warahmatullahi wabarakatuh,”
kudengar salam disampaikan bersahut-sahutan. Kau

tersenyum, ya Rasulallah. Wajahmu bersinar laksana bulan purnama. Angin sahara berubah hangat. Cahayamu memasuki seluruh daging dan jiwaku. Dini hari di Madinah berubah menjadi pagi yang indah. Kudengar kau bersabda, “Adakah air pada kalian?”

Cepat-cepat kutengok gharibah-ku. Kulihat para sahabat yang lain sibuk memeriksa kantong mereka, “Tak ada setitik air pun, ya Rasulallah.” Kusesali diriku, mengapa tidak kucari air yang cukup sebelum tiba di masjidmu. Beruntung benar sekiranya kubasahi wajah dan tanganmu dengan percikan air dari kantung airku.

Kudengar suaramu yang indah, “Bawakan padaku wadah yang masih basah.”
Aku ingin loncat mempersembahkan gharibah airku tapi ratusan sahabatmu berdesakan mendekatimu. Kau ambil satu gharibah air yang kosong. Kau celupkan jari jemarimu yang mulia. Subhanallah, kulihat air mengalir dari sela-sela jemarimu. Kami berdesakan, berebutan berwudhu dari pancuran sucimu. Betapa sejuk air itu ya Rasulallah. Betapa harum air itu ya Nabiyallah. Betapa lezat air itu, ya Habiballah. Kulihat Abdullah bin Mas’ud pun mereguk sepuas-puasnya.

Dan sahabat Billa bin Rabbah mengumandangkan iqomat: Qad qamatish shalah, qad qamatish shalah…

Alangkah bahagianya aku bisa salat di belakangmu, ya Sayyidal Anam. Ayat-ayat suci mengalir dari suaramu. Melimpah, memenuhi jantung dan seluruh pembuluh darahku laksana taburan mutiara.
Usai salat subuh, kau pandangi kami, masih dengan senyum yang indah itu. Cahaya wajahmu, ya Rasulallah, tak mungkin aku lupakan. Ingin kubenamkan setetes diriku dalam samudera dirimu. Ingin kujatuhkan sebutir pribadiku pada sahara tak terhingga pribadimu.

Kudengar kau berkata, “Menurut kalian, siapakah mahluk yang paling menakjubkan imannya?”
Kami jawab serempak, “Malaikat, ya Rasulallah.”
“Bagaimana mereka tak beriman, padahal mereka berada di samping Tuhan mereka?” jawabmu.
“Kalau begitu para nabi, ya Rasulallah.”
“Bagaimana mereka tak beriman, bukankah wahyu turun kepada mereka?”
“Kalau begitu kami, sahabat-sahabatmu, ya Rasulallah.”
“Bagaimana kalian tak beriman padaku padahal aku berada di tengah-tengah kalian? Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman? Mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan.”

Aku tahu, ya Rasulallah, kami telah saksikan mukjizatmu. Air yang mengalir dari jemarimu tadi, dan sempurnanya kitab suci Al-quran yg diturunkan kepadamu adalah mukjizat terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Kulihat wajahmu yang bersinar, kulihat air telah mengalir dari sela jemarimu, bagaimana mungkin kami tidak beriman kepadamu. Kalau begitu siapa ya Rasulallah, orang yang kau sebut paling menakjubkan imannya?

Langit Madinah bening, bumi Madinah hening. Kami termangu. Ah, gerangan siapa mereka itu? Siapa yang kau puji itu, ya Rasulallah? Kutahan napasku, kucurahkan perhatianku. Dan bibirmu yang mulia mulai bergerak:

“Orang yang paling menakjubkan imannya adalah kaum yang datang sesudahku. Yang beriman kepadaku, padahal mereka tak pernah melihat dan berjumpa denganku. Yang paling menakjubkan imannya adalah orang yang datang setelah aku tiada. Yang membenarkan aku padahal mereka tak pernah melihatku. Mereka adalah saudara-saudaraku.”

Kami terkejut. “Ya Rasulallah, bukankah kami saudaramu juga?”
Kau menjawab, “Benar, kalian adalah para sahabatku. Adapun saudaraku adalah mereka yang hidup setelah aku. Yang beriman kepadaku padahal mereka tak pernah melihatku. Merekalah yang beriman kepada yang gaib, yang menunaikan salat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang diberikan kepada mereka (QS. Al-Baqarah; 3)”.

Kau diam sejenak ya Rasulallah. Langit Madinah bening, bumi Madinah hening. Kudengar kau berkata, “Alangkah rindunya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku. Alangkah beruntungnya bila aku dapat bertemu dengan saudara-saudaraku.”

Suaramu parau dan butiran air mata tergenang di sudut matamu. Kau ingin berjumpa dengan mereka, ya Rasulallah. Kau rindukan mereka, ya Nabiyallah. Kau dambakan mereka, ya Habiballah…

Wahai Rasulullah, kau ingin bertemu dengan mereka yang tak pernah dijumpaimu, mereka yang bibirnya selalu bergetar menggumamkan shalawat untukmu. Kau ingin datang memeluk mereka, memuaskan kerinduanmu. Kau akan datang kepada mereka yang mengunjungimu dengan shalawat. Masih kuingat sabdamu, “Barangsiapa yang datang kepadaku, aku akan memberinya syafaat di hari kiamat.”
Ya wajihan ‘indallah, isyfa’lana ‘indallah.
Wahai yang mulia di sisi Allah, berikanlah syafaat kepada kami di sisi Allah.

Yaa Rasulullah, engkau mencintai kami semua padahal kami adalah umatmu yang datang setelah 1400 tahun engkau tiada. Engkau menganggap kami adalah saudaramu-saudaramu padahal engkau tidak pernah melihat kami sebelumnya, sehingga para sahabatmu mencemburui kami.
Padahal siapalah kami ya Rasulullah..?? kami hanyalah umatmu akhir zaman yg kadang sering lalai dari sunahmu. kami hanyalah umatmu yang sering bermaksiat kepada Allah dan sering mengabaikan sunah-sunahmu.

Tetapi menjelang detik-detik sepeninggalmu engkau masih sanggup berkata," ummatii..ummatii..ummatii..."!.

Yaa Rasul, betapa engkau mencintai kami melebihi dirimu sendiri. Betapa engkau mengasihi kami lebih dari seorang ibu menyayangi anak kandungnya. Padahal engkau tidak pernah melihat kami seorangpun.

Lalu, pantaskah diri ini..
Pantaskah diri ini..
Pantaskah diri ini menerima syafaatmu..???

Pantaskah diri ini minum di telagamu kelak..??
Pantaskah diri ini menjadi tetanggamu di surga..??
Pantaskah diri kami ini kau sebut saudaramu..??

Ya rasulullah, subuh ini akan menjadi subuh terindah disepanjang hariku..!

#Memangnya kapan aku pernah sholat subuh bareng rasul..?? (mengkhayal itu indah) T.T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar