Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

AYAT-AYAT PERANG DAN ETIKA BERJIHAD





Cc: Abuakmal mubarok


PERINTAH BERJIHAD

Suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah dari perbuatan mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu (akibat dari nahi mungkar tsb) (Q.S. Luqman : 17)

Kedua kaki hambaKu yang diliputi debu dalam Sabilillah tidak akan disentuh api neraka (H.R. Bukhari)
Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lidahmu (H.R. Nasa’i)

Tiada tetes yang lebih disukai Allah daripada setets di jalan Allah (H.R. Ath-Thawi)

Jihad yang paling baik ialah mengucapkan yang benar di hadapan penguasa yang zhalim (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i)

Syahid yang terbaik ialah syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang mengucapkan kebenaran di hadapan penguasa jahat sampai ia dibunuh (oleh penguasa tsb)(H.R. Al-Hakim)

Dan berjihadlah kamu di jalanNya agar kamu beruntung (Q.S. 5:35)

Dari Abu Hurairah Nabi SAW bersabda : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Bila mereka telah mengucapkan ini berarti mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya, dan hisab mereka berada di tangan Allah (jika mereka tidak benar dengan perkataannya) (H.R. Bukhari Muslim Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).

Imam Ahmad berkata (I/216) berkata Ishaq bin Yusuf Al-Azraq telah menceritakan kepada kamu dari Sufyan dari Al A’masy dari Muslim al-Bathin dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata : Ketika Nabi SAW diusir dari Makkah Abu Bakar Berkata : “Mereka (Quraisy) telag mengusir Nabi mereka, Innalillaahi wa inna ilaihi roji’un pasti mereka akan binasa”. Lalu turunlah ayat : telah diijinkan berperang bagi orang – orang yang diperangi (Q.S. 22:39) .
Maka beliau nabi SAW tahu bahwa akan terjadi peperangan. Lalu Ibnu Abbas berkata : “Ini adalah ayat yang pertama turun berkaitan dengan ayat-ayat perang” (H.R. Tirmidzi, Thabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Dari hadits ini diketahui bahwa ayat ini turun ketika masih di Mekkah, sedangkan surat 22:39 termasuk surat Madaniyah (turun di Madinah)


AYAT PERANG SURAT AT-TAUBAH

Surat yang di dalamnya banyak mengandung ayat-ayat tentang perang adalah Surat At-Taubah.
Ali bin Abi Thalib berkata : Bismillaahirahmaanirrahiim adalah suatu kedamaian sedangkan surat At-Taubah diturunkan tanpa kedamaian.

Telah diwajibkan bagi kamu untuk berperang (qital) sedangkan kamu tidak menyukainya. Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagimu dan bisa jadi kamu mencintai sesuatu padahal hal itu buruk bagi kamu. Allah lah yang mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui (Q.S. 2 : 216)

Menurut para Mufasir ayat ini (Q.S. 2:216) turun pada tahun ke-2 hijriyah atau tahun ke-2 di Madinah) dan merupakan ayat yang pertama turun yang mewajibkan berperang (Munawar Cholil 3/193)

Menurut sejarah, Fathu Mekah terjadi pada 18 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah dimana 10.000 kaum Muslimin berangkat menaklukan kota Mekah. Perlu diketahui bahwa setelah penaklukan Mekah maka Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di dalam Ka’bah. Namun kabilah-kabilah di sekitar Mekah dan negeri-negeri Arab yang jauh masih dibiarkan melakukan peribadatan di Ka’bah dengan ibadat cara mereka sendiri-sendiri sesuai tradisi jahiliyah. 

Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW tak mau secara frontal merusak konsensus (perjanjian tak tertulis) yang umum ada di kalangan seluruh penduduk jazirah Arabia bahwa mereka berbagai bangsa dan keyakinan dibolehkan beribadat di Ka’bah. Memang selama ribuan tahun semenjak Nabi Ibrahim, Ka’bah telah menjadi pusat peribadatan berbagai bangsa-bangsa. Sesungguhnya ini adalah puing-puing sisa dari syari’at yang disampaikan Nabi Ibrahim kepada berbagai bangsa di Timur Tengah. Hanya saja risalah Ibrahim ini telah mengalami penyelewengan dan distorsi dicampur dengan tradisi dan karangan orang-orang. Tiap bangsa dam kabilah memiiki kreasi peribadatan sendiri dan memiliki sesembahan sendiri yang disimpan di dalam atau di sekitar Ka’bah. Lalu semua bangsa bangsa itu juga bersepakat mengenai keharaman 4 bulan haram dimana mereka pantang berperang dan menumpahkan darah.

Itu semua adalah perjanjian umum (konsensus) di kalangan bangsa Arab. Adapun selain itu Nabi SAW juga terikat perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin Quraisy beberapa waktu sebelum penaklukan Mekah. Oleh karena itu maka Allah menurunkan surat At-Taubah sampai ayat 24 (Q.S. 9:1-24) yang diawali dengan pemutusan perjanjian.

Setelah beberapa hari kemudian, Alalh melanjutkan perintah untuk menyempurnakan kesucian kota Makkah bahwa orang-orang musyrik dilarang memasuki Makkah. Maka turunlah Q.S. 9:27-28. Sehubungan dengan turunnya ayat-ayat tersebut, Nabi SAW memerintakan Ali bin Abi Thalib menyusul Abu Bakar ke Makkah dan menyampaikan ayat ini. 

Nabi bersabda pada Ali : “Keluarlah engkau (Ali) dengan membawa kisah ini dari permulaan surat Bara’ah (pemutusan hubungan) dan beritahukanlah kepada orang banyak bahwa pada hari Nahar (Qurban) ketika orang berkumpul di Mina bahwa orang Kafir tidak boleh masuk surga dan orang musyrik tidak boleh mengerjakan haji mereka (versi jahiliyah) dan orang telanjang tidak boleh thawaf di Bait dan barang siapa memiliki perjanjian dengan Aku maka perjanjian tsb akan sampai pada masanya. Ketika Abu Bakar bertemu melihat Ali datang tergesa gesa Abu Bakar bertanya: Mengapa engkau tergesa gesa apakah Nabi SAW memerintahkan engkau memimpin jama’ah haji?

Setelah mereka selesai mengerjakan ibadah haji bersama kaum musyrikin (sebagian masih musyrik) di padang Arafah, berangkatlah rombongan ke Mina. Di situ Ali berdiri mengucapkan pidato : “Wahai manusia sesungguhnya orang kafir tidak akan masuk surga dan orang musyrik sesudah tahun ini tidak boleh mengerjakan haji dan orang telanjang tidak boleh thawaf di Baitullah. Dan barang siapa masih dalam perjanjian dengan Rasulullah maka perjanjian itu akan disempurnakan (sampai masa yang diperjanjikan). Beliau SAW memberi waktu selama 4 bulan mulai dari hari beliau memberitahukan hal ini pada mereka agar tiap tiap kaum kembali ke negeri mereka. Kemudian setelah itu tidak ada perjanjian lagi bagi orang musyrik dan tidak pula ada jaminan melainkan bagi orang yang masih ada perjanjian sampai masa berlakunya.

Setelah penaklukan Mekah barulah terjadi perang Hunain, perang Mu’tah dan Perang Tabuk melawan pihak Romawi.  Pada bulan Dzulqaidah tahun ke-9 Hijriyyah Nabi memerintahkan kepada Abu Bakar Ash Shiddiq untuk memimpin jama’ah haji kaum muslimin dari Madinah sebanyak 300 orang menuju Mekah. Hal ini dikarenakan Nabi sibuk mengirim utusan dan dakwah ke berbagai bangsa dan sebagai akibatnya setiap hari datang utusan dari berbagai negeri untuk menyatakan ketundukan dan keislaman mereka. Hal ini juga buah dari kemenangan kaum Muslim dalam perang Tabuk melawan pasukan Romawi dari Syiria. Maka pamor dan imej kaum muslimin naik dan disegani di kalangan berbagai bangsa.

Maka pada waktu itu Abu Bakar dalam perjalanan ke Mekah turun wahyu kepada Nabi di Madinah yang kemudian diurutkan oleh Nabi sebagai Q.S. 9: 1-24 dan ayat 5 yang berbunyi : “Bunuhlah orang musyrik dimana saja kamu jumpai, tangkap lah dan kepunglah mereka….

Ibnu Abbas mengatakan : Allah SWT menyuruh Nabi SAW untuk memerangi orang yang terikat perjanjian dengan beliau jika mereka tidak mau masuk Islam. Dan segala bentuk ikatan perjanjian dinyatakan gugur (setelah masa tenggang 4 bulan) Ad-Dhahak mengatakan : ayat At-Taubah menghapuskan segala transaksi yang terjadi antara Rosulullah dengan orang-orang musyrik.

Menurut Imam Ahmad : Surat Al Bara’ah (At Taubah) termasuk surat yang akhir diturunkan (menjelang Rasulullah wafat) dan ayat 5 nya disebut ayat pedang.

Ayat ini yang berbunyi : Apabila sudah habis bulan-bulan haram (4 bulan) maka bunuhlah orang musyrik dimanapun kalian jumpai mereka, tangkaplah mereka, kepunglah dan intailah mereka di tempat pengintaian (Q.S  9:5) menghapuskan dan membatalkan (nasakh) ayat-ayat sebagai berikut :
1.     Kewajiban Rosul hanyalah menyampaikan (Q.S. 5 : 99)
2.     Dan Kami tidak menjadikan kamu sebagai pemelihara mereka (Q.S. 104 & 107)
3.     Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamamu sebagai main-main dan senda gurau (6:70)
4.     Barang siapa melihat kebenaran maka manfaatnya bagi mereka sendiri barang siapa melakukan dosa maka kerugian bagi dirinya sendiri (Q,S. Al an’am:104)
5.     Maka tinggalkanlah apa apa yang mereka ada-adakan (Q.S. 6:137)
6.     Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kami menunggu pula (Q.S. 6:158)
7.     Dan berpalinglah kamu dari orang-orang bodoh (Q.S. AL araaf:199)
8.     Maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik (Q.S. Al-Hijr 85)
Dan ayat ayat lain yang seluruh nya berjumlah 124 ayat

Namun Yusuf Qardhawiy menyatakan bahwa argumen serta dalil yang menyatakan bahwa ayat pedang (Q.S. 9:5) membatalkan ratusan ayat lain adalah lemah dan tidak masuk akal. Tidak ada hadits yang nyata menerangkan pembatalan tersebut. Yang benar adalah bahwa masing-masing ayat memiliki kondisi dan situasi tersendiri dalam penerapannya. Ketika umat Islam sedang lemah maka strategi dakwah diterapkan sebaik baiknya. Adapun jika telah berdiri pemerintahan dan kekuasaan umat Islam yang kokoh maka law enforcement (penegakan hukum) diterapkan.

Lebih lanjut Yusuf Qardhawiy mengatakan bahwa nasikh dan mansukh mensyaratkan adanya 2 ayat atau lebih  atau hadits yang saling bertentangan. Nasikh dan mansukh tak bisa dijadikan pergangan kecuali ada pertentangan yang nyata antara dua nash atau lebih sehingga tak bisa dipadukan dan mustahil memberlakukan keduanya (Kitab Kaifa Nata’mal ma’al Qur’an Al Azhim)


PERINTAH BERPERANG

Salah satu pembahasan yang hangat di masyarakat adalah benarkah Islam memerintahkan untuk berjihad dalam artian membunuh (qital) atau berperang? Dan jika benar demikian, apakah perang itu dengan tujuan membela diri (defensif) atau menyerang (ofensif)?

Jika benar ada perang yang bersifat ofensif (inisiatif menyerang duluan bukan karena diserang), bukankah itu membenarkan tuduhan bahwa Islam disebarkan dengan pedang sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang-orang Barat? Jika memang ada perintah untuk menyerang, maka kapankah hal itu dilakukan? Apakah hal itu boleh dilakukan atas inisiatif individu (perseorangan)? Apakah penyerangan itu boleh dilakukan oleh sekelompok atau segelintir orang muslim? Ataukah penyerangan itu baru boleh dilakukan oleh institusi negara Islam?

Kenyataannya, memang Islam bukanlah agama yang mengajarkan menjadi pengecut dan pasrah berdiam diri ketika umatnya diserang. Dalam Al-Qur’an memang bertebaran ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk bangkit melawan dan membela diri dari kezhaliman dan penganiayaan.
Bahkan sejarah menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang heroik (berjiwa pahlawan). Hampir kebanyakan pahlawan-pahlawan melawan penjajahan Barat (dalam sejarah Indonesia) baik dari mulai jaman kerajaan-kerajaan jaman dahulu kala hingga jaman modern menjelang kemerdekaan Indonesia, dipelopori atau dipimpin oleh kyai atau ulama.



BERPERANG UNTUK MEMBELA DIRI

Telah diijinkan berperang bagi orang –orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka itu telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, semata-mata hanya karena mereka berkata “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian lainnya, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani dan rumah ibadat Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah. (Q.S. 22:39)

Dari ayat di atas kita dapat menangkap beberapa hal sebagai berikut :
1.    Telah diijinkan berperang, artinya sebelumnya ada masa-masa umat muslim diperintahkan menahan diri untuk tidak berperang

2.    Alasan diijinkan berperang itu karena umat muslim telah lebih dahulu dianiaya dan diserang. Artinya berperang di sini bersifat defensif (membela diri) bukan ofensif (menyerang)

“Dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya” (Q.S. 9:36)
“Jika mereka memerangi kamu (terlebih dahulu) maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir” (Q.S. 2:191)
“Oleh karena itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya kepadamu” (Q.S. 2:194)
Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami? (Q.S. 2:246)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana kamu temui mereka, dan usirlah mereka darimana (dahulu) mereka telah mengusir kamu (Q.S. 2:190-191)

3.    Orang yang telah memerangi itu pantas untuk diberi balasan yang sepadan dan Allah berkehendak menyiksa
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan perantara tangan-tangan mu” (Q.S. 9:14)


BERPERANG SEBAGAI HUKUMAN ATAS PENGKHIANATAN ATAU PELECEHAN

Terkadang perintah berperang itu adalah untuk membalas tindakan pelecehan dan penghinaan orang kafir terhadap Allah dan Rasulnya sebagaimana ayat berikut ini :
Jika mereka merusak sumpahnya (perjanjian Hudaibiyah) sesudah mereka berjanji, dan mencaci maki agamamu maka perangilah pemimpin orang kafir itu (Q.S. 9:12)

Maka berperanglah kamu di jalan  Allah (fii sabilillah) tidaklah kamu dibebani melainkans sesuai kesanggupan sendiri (Q.S. 4:84)

Dan berperanglah kamu sekalian (secara berjamaah) di jalan  Allah (fii sabilillah) ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. 4:84)

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir di sekitar mu itu (yang telah menyerangmu) dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama-sama orang yang takwa (Q.S. 9:123)


BERPERANG UNTUK MENEGAKKAN  SYARI’AT ALLAH

Namun dalam ayat-ayat dan hadits lainnya kita mendapati bahwa perintah berperang itu bersifat ofensif (menyerang), bukan dengan tujuan membela diri (defensif) melainkan untuk menundukkan manusia agar mau menerima kalimat “Laa ilaaha illa Allah”.
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah” (Q.S. 2:193)
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah” (Q.S. 8:39)
“Sebab itu, perangilah kawan-kawan setan itu” (Q.S. 4:76)

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian, mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RosulNya dan mereka tidak beragama dengan benar, yaitu orang-orang yang telah (pernah) diberi kitab, hingga mereka (mau) membayar jizyah, sedang mereka dalam keadaan tunduk (pada pemerintahan muslim) (Q.S. 9:29)

Dari Abu Musa r.a. Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa berperang (qotalu) untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi maka itulah (yang disebut) fii sabilillah (di jalan Allah)(H.R. Bukhari)

Dari Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW bersabda : aku diperintah memerangi orang-orang hingga mereka mengakui Laa ilaaha illa Allah. Maka siapa yang telah mengucap Laa ilaaha illa Allah telah terpelihara daripadaku jiwa dan hartanya kecuali menurut kewajiban dalam Islam (yaitu membayar zakat hartanya harus dipungut) (H.R. Bukhari Muslim)
Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabd
a : Aku diperintah untuk memerangi oang-orang hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah serta sampai mereka menunaikan shalat dan membayar zakat (H.R. Bukhari Muslim)


BERBAGAI ALASAN BERPERANG

Pada  uraian sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa di dalam Al-Qur’an memang bertebaran berbagai ayat yang memerintahkan berperang. Demikian pula kita jumpai nuansa yang sama dalam hadits Rasulullah SAW.  Namun di sisi lain kita juga menjumpai ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk bersabar, menahan diri, berdialog dan berdakwah dengan baik, tidak ada paksaan dalam agama, serta menahan diri walaupun umat muslim dilecehkan dan diserang.  Sepintas lalu di sini kita mendapati  inkonsistensi (ketidak samaan di satu saat ke saat yang lain), dan kontradiksi (saling berlawanan).

Jika kita tidak terlebih dahulu mengumpulkan dan merenungkan berbagai ayat dan hadits yang bertebaran itu, niscaya kita akan terjebak pada salah satu dari 2 golongan yang sama-sama salah, yaitu :

1.     Golongan orang-orang yang berkesimpulan bahwa dalam Islam tidak ada perintah berjihad dan kita harus senantiasa berdamai dan mengalah saja serta semata-mata berdialog dengan orang-orang kafir.
2.    Golongan orang-orang yang sembrono dan terburu nafsu  yang menggampangkan perang bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, serta seolah tidak ada jalan lain dalam memperjuangkan syari’at Islam kecuali dengan mengangkat senjata.

Dari ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertebaran itu, dapat kita petakan berbagai  hal sebagai berikut :
1.    Perang dilakukan untuk membela diri karena umat muslim telah dianiaya dan diusir dari kampung halamannya (Q.S. 22:39)
Ustadz Muhammad AhmadAl’Adawy dalam Kitab Da’watur Rasul menulis : “sesungguhnya jika kita perhatikan benar-benar apa yang dikisahkan Allah tentang sebab-sebab perang dalam Islam, niscaya akan Engkau jumpai bahwa perang itu tidak disyari’atkan oleh Islam untuk menyuruh kalian menyukai pertumpahan darah, meruntuhkan rumah tangga atau meyatimkan anak-anak, melainkan hal itu disyari’atkand dengan pengetahuan Allah. Meskipun dalam peperangan itu mendatangkan bahaya namun hal itu disyari’atkan juga untuk menolak bahaya yang lebih besar lagi yaitu kekafiran. Sekiranya Allah tidak membolehkan manusia menolak kekerasan dengan kekerasan dan menolak permusuhan dengan permusuhan lagi, maka niscaya tak akan langgeng tegak kebenaran di muka bumi ini dan tak akan disembah Allah dengan segala aturan ibadatnya”.
2.    Perang dilakukan karena hukuman atas dikhianatinya perjanjian perdamaian (Q.S. 9:12)
3.    Perang dilakukan oleh pemerintah (khalifah) kaum muslimin karena penolakan syariat Islam yaitu tidak mau mengharamkan yang diharamkan Allah, tidak mau sholat dan tidak mau membayar zakat (Q.S. 9:29).
Ayat inilah yang menjadi landasan khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ketika memerangi suatu kabilah yang menolak membayar zakat.
4.    Perang dilakukan karena membalas pelecehan terhadap kaum muslimin (Q.S. 9:123). Hal inilah yang melatar belakangi perang Badr dimana dipicu oleh pelecehan kaum musyrikin terus menerus dan puncaknya ketika salah seorang kafir melecehkan seorang muslimah di pasar Madinah.
5.    Perang dilakukan dilakukan untuk menundukkan manusia agar agama itu hanya untuk Allah (Q.S. 8:39) (2:193)


KAPANKAH BERPERANG ITU DILAKUKAN?

Kemudian kita dapat mengupas lebih lanjut, apakah alasan-alasan perang di atas itu ada masa-masanya? Apakah alasan-alasan perang dilakukan itu berdasarkan tahapan-tahapan yang berurutan? Misalnya ketika terjadi pelecehan atau penghinaan terhadap agama, apakah harus terlebih dahulu berdialog, kemudian jika mereka tidak juga berhenti dari melecehkan Islam barulah kita mengangkat senjata? Ataukah tidak ada tahapannya melainkan berdasarkan kondisi dan situasi kaum muslimin saja? Misalnya jika kita lemah maka berdialog dan jika kita kuat maka langsung kita perangi saja? Memahami persoalan ini sangat diperlukan agar kita tidak terjebak pada sikap dan tindakan yang gegabah karena persoalan peperangan berarti pesoalan dengan nyawa manusia, dan Islam tidak menggampang-gampangkan dalam persoalan nyawa manusia (terlepas ia muslim atau kafir).

“ Barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi maka seakan akan ia telah membunuh semua manusia. (Q.S. 5:32)


PADA SAAT UMAT ISLAM LEMAH MAKA DIANJURKAN TIDAK MELAWAN

Dari Ibnu Abbas berkata Abdurrahman bin Auf dan para sahabat mendatangi Nabi SAW ketika di Mekkah, lalu mereka mengatakan : “wahai Rasulullah, kami dahulu dalam kemuliaan sedangkan kami masih dalam keadaan musyrik, lalu (kini) ketika kami telah beriman kami (merasa) menjadi orang yang lemah (karena dianiaya namun tidak melawan). Maka Nabi SAW bersabda : “Aku diperintahkan untuk memaafkan dan jangan berperang” Kemudian turunlah Q.S. 4:77. (H.R. An Nasa’i dan Al-Hakim)

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka “Tahanlah tanganmu (dari berperang)”, laksanakanlah (dalam kondisi ini) salat dan tunaikan zakat” Ketika mereka diwajibkan berperang tiba-tiba sebagian mereka takut kepada manusia (pihak musuh) seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut lagi. Mereka berkata : “ya Tuhan kami mengapa Engkau wajibkan (berperang) kepada kami ? Mengapa tidak Engkau tunda beberapa waktu lagi?” Katakanlah : “Kesenangan di dunia itu hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dizhalimi sedikitpun”. (Q.S. 4:77)

Alm. Sayyid Qutbh dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an mengatakan ketika menafsirkan ayat ini bahwa : “Mereka kini telah diizinkan berperang karena dizhalimi setelah mereka ditahan untuk tidakberperang ketika di Mekkah dulu. Tokoh-tokoh seperti Umar binKhattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib harus menahan diri untuk tidak mengangkat senjata walaupun terus dilecehkan dan dianiaya.

Pada saat situasi inilah umat Islam harus mampu bersabar dan memaafkan orang yang menganiaya mereka dengan kesabaran yang tinggi.
“Maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik” (Q.S. Al-Hijr 85)

Surat Al-Hijr adalah surat Makkiyyah, artinya diturunkan saat Rasulullah SAW masih di Mekkah. Dengan kata lain saat itu umat Islam belum memiliki institusi pemerintahan yang otonom  dan belum memiliki kekuatan yang memadai untuk melawan.


PADA SAAT UMAT ISLAM AGAK KUAT MAKA DIANJURKAN MEMBERI PELAJARAN

Pada saat umat muslim telah memiliki institusi pemerintahan yang otonom di Madinah dengan pengikut yang berimbang (dibanding musuh mereka di Mekkah), demikian pula syri’at Islam telah tegak dalam masyarakat tersebut dan mereka bisa diajak komitmen untuk berjihad bagi Islam , maka boleh dikatakan kondisi umat Islam sudah agak kuat.

Situasi awal di Madinah (sekitar 1 tahun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah) adalah situasi dimana umat Islam sudah agak-agak kuat. Dalam situasi ini kaum muslimin diijinkan untuk berperang dan membalas pengusiran mereka dari Mekkah.

Telah diijinkan berperang bagi orang –orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka itu telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, semata-mata hanya karena mereka berkata “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian lainnya, tentulah telah dirobohkan biara-boara Nasrani dan rumah ibadat Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah. (Q.S. 22:39)

Alm. Sayyid Qutbh dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an mengatakan ketika menafsirkan ayat ini bahwa : Ijin berperang baru diberikan pada surat-surat Madaniyyah yaitu ketika telah berdiri institusi negara / daulah yang kokoh dengan pengikut yang berimbang.

Untuk itu sebelumnya dituntut dari kaum muslimin untuk membangun kekuatan yang sanggup menggentarkan musuh-musuh Allah.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan itu) kamu menggentarkan musuh-musuh Allah” (Q.S.Al-Anfaal :60)
Ali bin Abi Thalib berkata : “Kembalikanlah batu itu dari mana ia datang (dilempar) karena sesungguhnya kejahatan itu tak dapat ditolak kecuali dengan kekerasan pula”


JIKA MEREKA BERHENTI MEMERANGI MAKA KITA JUGA HARUS BERHENTI BERPERANG

Tetapi jika mereka berhenti (dari memerangi mu) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. 2:192)

Dan jika mereka condong pada perdamaian maka condonglah (kamu) kepada nya (perdamaian itu) dan bertwakallah pada Allah (Q.S. 8:61)

Namun jika mereka membiarkan mu dan tidak memerangi kamu serta mengajukan perdamaian padamu, Allah tidak memberi jalan bagimu untuk (memerangi) mereka. (Q.S. 4:90)


ADAB-BERPERANG

Beberapa waktu lalu kita mendengar kelompok yang ektrim ini mengubah modusnya yaitu dengan memasukkan racun ke dalam botol aqua yang kemudian diletakkan di kantin-kantin kantor Polisi. Jelas orang-orang yang mengaku sedang berjihad melawan thogut ini tidak mengerti adab-adab berperang di dalam Islam. Itupun jika memang bisa dikatakan mereka sedang dalam situasi berperang.

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana kamu temui mereka, dan usirlah mereka darimana (dahulu) mereka telah mengusir kamu (Q.S. 2:190-191)

Dari ayat di atas jelas dikatakan bahwa jangan “melampaui batas” dalam berperang dan Allah sangat tidak menyukai orang –orang yang melampaui batas.
Alm. Sayyid Qutbh dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an mengatakan ketika menafsirkan ayat ini bahwa : “tindakan melampaui batas terjadi ketika memerangi orang-orang yang tidak ikut terlibat dalam peperangan dan tindakan melampaui batas juga terjadi jika memerangi penduduk sipil  yang hidup damai dan menginginkan keselamatan yang tidak merupakan ancaman terhadap Islam dan jama’ah kaum muslimin seperti wanita, anak-anak, orang tua dan para rahib (ahli ibadah) yang berkonsentrasi hanya beribadah”.

Rasulullah melarang menebarkan racun di negeri-negeri musuh (H.R. Ath Thawi)
“Janganlah kamu berkhianat, janganlah kamu melakukan sadisme pada musuh, jangan membunuh anak-anak, wanita dan orang tua” (H.R. Ath-Thabrani & Abu Daud)

Pada tahun 90-an kita mendengar bagaimana sadisnya bangsa Serbia yang notabene Kristen Orthodoks di Eropa Tengah, membantai ribuan muslim Bosnia dan Kroasia. Baik anak-anak maupun wanita mengalami kekejaman yang paling sadis dalam sejarah kemanusiaan semenjak kekejaman Hitler, Komunis Rusia ataupun Rezim Komunis di Vietnam dan Kamboja. Namun kita sebagai Muslim dengan alasan apapun tidak boleh melakukan balas dendam dengan kesadisan yang serupa. Itulah yang dilakukan ketika para mujahidin Arab datang ke Bosnia membantu membebaskan Bosnia dari kekejaman Serbia. Kedatangan para Mujahidin tsb untuk menolong saudaranya yang muslim dan menghentikan kebiadaban bangsa Serbia, bukan untuk membalas dendam. Sehingga mereka tidak membalas melakukan kesadisan serupa kepada tentara Serbia. Itulah jihad yang benar yang sesuai dengan tuntunan Islam.

Dari Ibnu Umar r.a. berkata suatu ketika ditemukan seorang wanita terbunuh pada peperangan Rasulullah, lalu Rasulullah melarang membunuh wanita dan anak-anak (H.R. Bukhari Muslim, Malik Abu Daud dan Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah mengatakan Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya api tidak boleh dipakai untuk menyiksa kecuali oleh Allah” (H.R. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi)

Hal ini tentu berbeda dengan jika kita menggunakan senjata api atau bom dalam peperangan, dimana bom bisa saja menghasilkan api yang membakar musuh. Namun pada dasarnya kaum Muslimin tidak dibolehkan sengaja membakar manusia atau bahkan hewan sekalipun baik untuk menyiksa atau membunuh.

Dari Abu Ya’la berkata : Kami pernah berperang bersama Abdurrahman bin Khalid bin Walid kemudian ia datang dengan membawa (tawanan) 4 orang musuh yang kekar, lalu ia memerintahkan agar mereka dibunuh dengan punggung pedang (Bagian yang tumpul dengan tujuan menyiksa mati perlahan-lahan). Lalu berita ini sampai pada Abu Ayyub Al-Anshori, maka ia (Abu Ayyub) berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW melarang membunuh dengan punggung pedang, Demi jiwaku yang ada di tanganNya, sekalipun ayam yang kubunuh tak akan kulakukan dengan cara demikian. Ketika perkataan ini sampai pada Abdurrahman maka ia pun memerdekakan 4 budak (sebagai tebusan kesalahannya) (H.R. Abu Daud dan Ahmad)

Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah berwasiat kepada prajuritnya : “Kalian akan mendapati orang yang mengaku bahwa mereka hanyalah ahli ibadah (Yang tak ikut berperang) maka biarkanlah  mereka dan janganlah ada wanita, anak-anak dan orang lanjut usia yang dibunuh” (H.R. Malik)

Dari Buraidah berkata : Adapun Rasulullah SAW bila mengangkat seorang amir pasukan atau sariyah (ekspedisi) beliau menyampaikan wasiat agar bertaqwa pada Allah dan berwasiat kepada kaum muslimin yang menyertainya (Sebagai pasukan) agar berbuat baik, lalu Nabi SAW bersabda : “Bunuhlah orang yang kafir kepada Allah, perangilah mereka tapi jangan kalian berkhianat, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak” (H.R. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Dari Abdullah bin Yazid Al-Anshori r.a. berkata : Rasulullah melawang perbuatan merampas dan membunuh dengan cara mencincang (H.R. Bukhari, Abu Daud, Ahmad, Thabrani, Ibnu Abi Sya’ibah)
Dari Abu Hurairoh r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu membunuh dalam peperangan hendaklah ia menghindari bagian wajah” (H.R. Bukhari Muslim)


ANTARA LABEL FORMAL DAN HAKIKAT

Dalam atsar riwayat Abu Ubaid diceritakan : Ketika Umar bin Khattab berkuasa menjadi khalifah maka orang-orang Bani Taghlib yang beragama Nasrani menolak penggunaan istilah jizyah, yaitu pungutan semcam pajak yang dikenakan kepada penduduk non-muslim di bawah perlindungan pemerintahan Muslim. Mereka mau membayar asalkan diubah menjadi istilah shodaqoh. Maka Umar setuju saja karena soal istilah tidaklah prinsip, padalah istilah jizyah itu berasal dari firman Allah dalam Qur’an.

Umar berkata : “Mereka adalah kaum yang bodoh, mereka senang dengan makna hakikatnya namun menolak menggunakan istilahnya”. Sebagian riwayat mengatakan Umar berkata : “Namakanlah oleh kalian apa saja namanya”.

Demikian pula ketika Umar menemukan ada seorang Yahudi tua renta yang mengemis dari rumah ke rumah maka Umar menyetujui untuk mengambil dana dari Baitul Maal umat Muslim bahkan memberi jaminan bantuan bagi orang tsb sepanjang sisa hidupnya. Umar lalu mengutip Q.S. At-Taubah :60 “sesungguhnya sedekah itu adalah untuk orang-orang fakir dan orang miskin (tanpa menyebutkan apakah ia muslim atau kafir)” (Al-Kharaj Abu Yusuf Juz 2 Hal 715)

Umar melakukan itu karena memandang masalah istilah atau penamaan label tidak membahayakan Islam sepanjang hakikatnya terlaksana. Maka tidak masalah jika sekarang diistilahkan dengan pajak, jaminan sosial atau apapun namanya.

Bahkan Nabi SAW pernah mengirimkan harta kepada penduduk Mekah ketika terkena bencana alam padahal ketika itu belum Futuh Mekah dengan kata lain Mekah masih merupakan Darul Harb yaitu daerah kafir yang memerangi Islam.

Abu Ubaid meriwayatkan dalam Kitab Al-Amwal, sebuah hadits dari Sayyid Al-Musayyab bahwa Rasulullah pernah bersedekah pada sebuah keluarga Yahudi.
Dari Annas r.a. mengatakan bahwa Nabi SAW pernah menjenguk sebuah keluarga Yahudi yang sedang sakit dan menawarkan Islam kepada mereka (H.R. Bukhari)
Bahkan mungkin kita tidak menyangka jika suatu ketika Nabi mengijinkan Non-Muslim memasuki masjid dan beribadah di dalamnya.

Dari Ibnu Ishaq dalam Kitab Sirohnya meriwayatkan utusan negeri Najran yang Nasrani pernah menghadap Rasulullah SAW dan diterima di dalam masjid. Lalu ketika tiba waktu sembahyang sore hari (Nasrani pada zaman itu masih sholat 3 waktu sehari namun kiblat menghadap Baitul Maqdis) mereka hendak sholat di masjid. Orang-orang mencegahnya tapi Nabi SAW bersabda : “Biarkanlah mereka” Lalu mereka menghadap ke Timur (Baitul Maqdis) dan sholat (dengan cara mereka sendiri).

Berdasarkan hadits ini Ibnul Qoyyim Al-Jauzi dalam Kitab Hadyun Nabawi berkata membolehkan Non-Muslim memasuki masjid dan bersembahyang sepanjang itu dalam keadaan musafir dan tidak menjadi kebiasaan. Hal ini berbeda dengan anggapan kebanyakan orang selama ini yang melarang non-muslim masuk ke masjid karena dianggap najis.

Kita harus mencontoh Nabi yang cerdik dan luwes dalam berdakwah, tidak mengutamakan label formal melainkan mementingkan hakikat dan keuntungan dakwah jangka panjang. Strategi ini terutama dilakukan ketika kondisi Umat Islam sedang lemah berhadapan dengan kekuatan kafir. Jika kita bersikeras mengutamakan label formal sedangkan dampaknya pada dakwah sering tidak dipikirkan. Kondisi saat ini lebih parah lagi, jangankan orang non-muslim, orang muslim sendiri sering alergi dan antipati terhadap legalisasi syari’at Islam. Sehingga sebelum berhadapan dengan non muslim pun malah dari kalangan internal muslim sendiri yang lebih sengit menentang syari’at Islam.

Kita harus meneladani Nabi SAW ketika melakukan negosiasi dengan Kafir Mekah dan menandatangani perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu utusan juru runding dari Quraisy yaitu Suhail bin Amr menolak ditulisnya kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim pada kertas perjanjian. Maka disepakati untuk diganti dengan Bismikallahuma saja.  Demikian pula Suhail keberatan dituliskan kata “Muhammad Rosulullah”. Suhail berkata : “kau tuliskan saja namamu dan bapakmu!”  karena Suhail tidak mau mengakui Muhammad sebagai Rosulullah. Sehingga Rosulullah mengganti menjadi “Muhammad bin Abdillah”. Umar dan para sahabat lain yang menyaksikan proses negosiasi ini terbelalak dan hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi. Apalagi ketiika isi perjanjian itu sangat berat sebelah diantaranya : Jika ada orang Quraisy yang masuk Islam dan lari ke Madinah maka harus diserahkan kembali ke Mekah. Sedangkan jika ada orang Islam yang murtad lari ke Mekah, Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan ke Madinah.

Namun karena ketajaman strateginya Rasulullah mengalah dan menyetujui isi perjanjian itu. Jika saat itu yang dikedepankan adalah sikap gengsi atau mementingkan label formal maka tentu Rasulullah merasa terhina dan tidak bisa menerima isi perjanjian itu. Jika demikian, maka posisi Islam yang sedang lemah ketika itu akan berhadapan dengan musuh yang masih kuat. Padahal Islam membutuhkan jeda waktu yang cukup untuk berkembang dan menyusun kekuatan.

Hal strategi jangka panjang di balik ini tidak bisa ditangkap oleh Umar dan para sahabat lainnya. Hanya Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib yang tetap tsiqoh (percaya) dengan apa yang dilakukan Rasulullah. Sampai sampai saat itu para sahabat diliputi keraguan : “Benarkah yang berada di hadapan mereka kini adalah Rosulullah?” Umar sampai menghampiri Abu Bakar lalu berkata : “Bukankah dia ini Rasulullah?” Abu Bakar menjawab : “Benar”. Lalu Umar bertanya lagi : “Bukankah kita ini muslimin?” Abu Bakar menjawab : “Iya memang”. Umar berkata : “Lalu kenapa kita mau saja direndahkan dalam soal agama?” Abu Bakar menjawab : “Duduklah di tempat mu! Aku bersaksi bahwa ia benar-benar Rasulullah”. Dengan keimanan yang mantap Abu Bakar tetap percaya dengan apa yang dilakukan Rasulullah.

Para sahabat semakin geregetan dan hampir guncang iman mereka ketika belum selesai perjanjian itu ditandatangani,  tiba-tiba datang Abu Jundal bin Suhail bin Amr (anak kandung Suhail) melompat lompat dalam keadaan terikat. Ternyata Abu Jundal masuk Islam lalu disiksa oleh Quraisy. Lalu ia berhasil melarikan diri dalam keadaan terikat dan bersusah payah lari ke Madinah dengan dikejar oleh pasukan Quraisy. Melihat hal itu Suhail (juru runding yang notabene ayah dari Abu Jundal) berkata : “Wahai Muhammad, ini adalah yang pertama kutuntut darimu agar menepati perjanjian  supaya Engkau kembalikan dia kepadaku”. 

Nabi SAW menjawab : “Tapi kita belum menyelesaikan perjanjian?” Suhail dengan arogan menjawab : “Demi Allah kalau begitu aku tidak akan mau membuat perjanjian selamanya”. Akhirnya Nabi SAW pun mengalah dan menyerahkan Abu Jundal. Seketika itu juga Abu Jundal berteriak : “Wahai Muslimin.. wahai muslimin apakah kalian kembalikan aku pada kaum musyrikin padahal aku datang  dalam keadaan muslim?”  Tidakkah kalian lihat aku tersiksa?”

Semua sahabat Nabi yang hadir di situ geram dan hendak mencabut pedangnya.  Umar tidak sabar lagi dan segera menghambur mendekati Rasulullah dan berkata : “Bukankah engkau ini Nabiyullah yang sebenarnya?” Nabi menjawab : “Tentu” Dengan gemetar menahan emosi Umar berkata lagi : “Bukankah kita dalam kebenaran dan musuh dalam kebatilan?” Nabi menjawab lagi : “Ya benar”.  Umar berkata : “Lalu mengapa kita memberikan kehinaan pada agama kita?” Beliau SAW menjawab : “Sungguh aku ini Rasulullah dan aku tidak mendurhakai Nya dan Dia (Allah) adalah penolongku”.

Semua orang yang hadir dengan mata berkaca-kaca menahan perasaan menyaksikan Abu Jundal kembali diseret oleh pasukan kafir Quraisy . Ternyata dalam perjalanan menuju Mekah, Abu Jundal kembali berhasil meloloskan diri dan lari bersembunyi ke sebuah dusun orang Baduy. Untuk menenangkan kegusaran Umar, Allah menurunkan Q.S. Al-Fath : 1-2  “Inna fatahna laka fathamubiina..” Umar bertanya : “Wahai Rasulullah apakah ini berarti kemenangan?” Nabi menjawab : “Ya, demi dzat yang diriku ada di tanganNya sesungguh nya ini adalah kemenangan”. (H.R. Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Al-Hakim)

Maka strategi mengalah Rasulullah ini memang ternyata membawa kemenangan. Gencatan senjata ini dimanfaatkan Rasulullah untuk meluaskan dakwah ke segenap Jazirah Arabia, hingga Yaman dan Bahrain. Beberapa bulan setelah perjanjian Hudaibiyah ini Rasulullah berhasil menaklukkan Mekah dengan membawa  10.000 pasukan hasil dari dakwah beliau ke seluruh Arabia.
Tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (Q.S. 5:2)


BERHUKUM PADA HUKUM ALLAH

Salah satu persoalan yang sering berpusar pada pemuda-pemuda yang bersemangat adalah adanya ayat-ayat yang menyuruh orang beriman untuk berhukum pada hukum Allah. Sebenarnya hal ini tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika pemuda-pemuda yang bersemangat ini memahami teks ayat sebagaimana teks apa adanya dan kemudian menganggap orang yang tidak berhukum pada hukum Allah itu adalah kafir. Padahal jika dikupas-kupas, masalah “berhukum pada hukum Allah” ini tidak sesederhana dalam ucapannya.

Ungkapan “berhukum pada hukum Allah” itu sendiri perlu diperjelas seperti apa wujudnya. Apakah harus mencantumkan secara teks dalam dokumen kenegaraan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Qur’an? Dalam konteks ke-Indonesia-an, hal ini diwujudkan dalam teks piagam Jakarta sebagaimana dituntut oleh sebagian pejuang muslim pada saat awal berdirinya Indonesia dulu. Sehingga dicoretnya kata-kata ini menjadi argumen bagi sebagian orang bahwa saat ini kita (muslimin Indonesia) tidak berhukum pada hukum Allah walaupun mereka menegakkan sholat, menunaikan zakat dan melaksanakan perintah Allah lainnya serta meninggalkan larangan Allah lainnya.

Demikian pula apakah “berhukum pada hukum Allah” bisa diterapkan pada perseorangan saja? Atau harus secara kolektif (sekelompok orang)? Ataukah harus level daulah (negara)? Jika negaranya tidak berhukum pada hukum Islam, apakah orang atau kelompok orang yang ada di negara itu ikut disalahkan atas tidak berlakunya hukum Islam itu? Sehingga orang atau kelompok orang itu layak disebut kafir? Atau bisakah diri kita sendiri atau sekelompok orang itu menyatakan diri “berhukum pada hukum Allah” sementara negara tempat ia hidup tidak menerapkan hukum Allah? Jika bisa demikian, bagaimana prakteknya? Tentu ada saat-saat tertentu orang tsb mau tidak mau harus melaksanakan hukum negara yang tidak berlandaskan hukum Allah.

Belum lagi masalah ijtihadiyyah dimana dalam khazanah fikih bisa jadi penerapan praktek syariat tidak mesti sama persis dengan teks ayat atau hadits. Misalnya saja Umar bin Khattab pernah membatalkan pemberian zakat pada mu’allaf (orangyang baru memeluk Islam) karena pemberian itu pada mulanya untuk mengambil hati orang yang baru memeluk Islam namun ketika Islam sudah kokoh, Umar merasa tidak perlu lagi melaksanakan hal itu, padahal itu nyata-nyata diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Maka dalam hal “berhukum pada hukum Allah ini” apakah orang yang mengganti hukum potong tangan bagi orang yang mencuri diganti dengan hukum penjara itu termasuk “tidak berhukum pada hukum Allah?”

Dalam Al-Qur’an banyak sekali bertebaran ayat-ayat yang memerintahkan untuk berhukum pada hukum yang telah ditetapkan Allah di dalam Kitabnya.
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (Q.S. 5:50)

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (Q.S. 6:57)

Mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka (Q.S. ...)

Sungguh Kami yang menurunkan Taurat  di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang dengan kitab itu para Nabi berserah diri pada Allah dan memberi putusan perkara pada bangsa yahudi...... maka barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir (Q.S. 5:44)

Kami telah menetapkan bagi mereka di dalam Taurat bahwa nyawa dibalas nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah mereka itulah orang yang zhalim (Q.S. 5:45)

Dan Kami menurunkan Injul kepadanya (Isa) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang membernarkan kitab sebelumnya (Taurat) .... Dan hendaklah  pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang yang fasik (Q.S. 5:46-47)

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an)… maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran (Q.S. 5:48)
Dan hendaklah engkau (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau (Muhammad) menuruti keinginan mereka (Q.S. 5:49)

Wahai orang beriman, janganlah kamu jadikan pemimpin orang-orang yang membuat agamamu menjadi bahan ejekan dan permainan, yaitu orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir (musyrik) (Q.S. 5:57)

Sejarah turun nya ayat (Asbabun Nuzul) Q.S. 4:65

Dari Zuhri dari Urwah : Zubair bersengketa dengan orang Anshar tentang pengairan ladang, lalu Nabi berkata : Wahai Zubair siramlah kemudian biarkan air itu sampai ke tetanggamu. Lalu orang-orang Anshar itu berkata : “Wahai Rasulullah mentang-mentang  ia (Zubair) itu anak bibimu?” (Zubair memang masih sepupu Nabi).  Maka wajah Rasulullah berubah warna (karena marah) lalu berkata lagi :”Siramlah Zubair tahanlah air itu hingga kembali ke dasar kebun lalu alirkan air (irigasi) itu ke kebun tetanggamu”. Lalu Zubair berkata : “Aku tak mengira” Kemudian turun ayat berkaitan dengan hal itu. “Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu (Nabi) menjadi hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan” (Q.S. 4:65) (H.R.  Bukhari Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah, Ath Thabari, Ibnu Jarir).

Dari Sahl bin Sa’ad r.a. pAda waktu perang Khaibar, Ali bertanya kepada Nabi SAW apakah kami perangi sampai mereka beriman seperti kami? Jawab Nabi SAW : “Perlahan-lahan lah kamu berjalan sampai ke daerah mereka, lalu ajaklah mereka masuk Islam, dan beritahukan kepada mereka apa-apa yang wajib bagi mereka. Demi Allah jika Allah memberi hidayah pada seseorang karena ajakanmu niscaya itu lebih baik daripada mendapat kekayaan dan ternak (rampasan perang)” (H.R. Bukhari Muslim)
Wahai orang yang beriman, janganlah kamu jadikan pemimpin orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan yaitu orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir (musyrik) (Q.S. 5:57)


TIDAK BERHUKUM PADA HUKUM ALLAH ADALAH KAFIR YANG DERAJATNYA DI BAWAH KAFIR MURTAD

Abdullah bin Abbas mengatakan : “Kufur disini (Q.S. 5:44) bukanlah kufur yang mengeluarkan dari Islam akan tetapi jika diperbuatnya (tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah) maka ia terkena sebagian kekufuran namun bukan seperti orang yang kufur tidak beriman pada Allah dan hari akhir”

Berkata Atha’ bin Thawwus : “Itulah (Q.S. 5:44) kufur yang berada di bawah tingkatan kufur, dan itulah (Q.S. 5:45).
 kezhaliman yang berada di bawah kezhaliman serta kefasikan (Q.S. 5:47) yang di bawah kefasikan
Sedangkan Ibnul Qoyyim Al-Jauzy membedakan antara pelaksanaan perseorangan dan negara. Pada level negara wajib menerapkan hukum Allah, adapun perorangan cukup mengimani dan meyakini wajibnya pelaksanaan syari’at hukum Allah. Kalaupun negara nya tidak menerapkan hukum Allah, maka pribadi / individu itu terbebas dari dosa asalkan mengimani dan meyakini wajibnya pelaksanaan syari’at hukum Allah. Ibnul Qoyyim Al-Jauzy berkata : Yang benar adalah melaksanakan hukum deangan selain hukum Allah itu mencakup 2 kekufuran yaitu kufur kecil dan kufur besar tergantung keadaan si penguasa. Jika ia percaya akan wajibnya melaksanakan hukum Allah lalu ia beralih kepada selain hukum Allah karena pembangkangan dan ia menyadari bahwa dirinya sebenarnya telah melakukan dosa maka ini adalah kufur kecil. Namun jika ia tidak melaksanakan hukum Allah dengan sebuah keyakinan bahwa memang hukum Allah itu tidak wajib dilaksanakan di muka bumi ini maka itu adalah kufur besar.



BERHUKUM PADA HUKUM ALLAH ADALAH  KEWAJIBAN KHALIFAH

Menerapkan hukum Allah adalah kewajiban khalifah atau kepala negara. Dalam hal ini pemerintahan orang muslim wajib menerapkan hukum Allah dalam setiap aspek kehidupannya.

Abdullah bin Abbas r.a. mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia memerlukan pemimpin dan bertahkim (mengikuti keputusan hukum) pada seorang pemimpin.  Masalah menegakkan hukum bukanlah persoalan orang perorangan. Dan hal ini pun diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an ketika memerintahkan mengambil penengah (hakim) untuk menyelesaikan perselisihan suami istri (Q.S. ….) sebagaimana tahkim untuk menentukan besarnya denda jika orang yang ihram (haji) telah membunuh binatang dengan sengaja (Q.S. 5:95)

Ketika kaum Khawarij menganggap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya telah kafir, mereka meneriakkan semboyan “Laa hukma illa Allah” (tiada hukum kecuali bagi Allah) ini bentuk lain dari “Inil hukmu illa Allah” yang disebutkan dalam Q.S. 6:57 Q.S. 6:62, Q.S. 12:40, Q.S. 12:67 maka Ali bin Abi Thalib berkata :”Sungguh itu adalah kalimat yang haq namun digunakan untuk sesuatu yang bathil. Memang benar tiada hukum kecuali bagi Allah namun mereka bermaksud mengatakan tiada kepemimpinan (kekhalifahan) kecuali bagi Allah (padahal di bumi mesti ada seorang manusia yang dijadikan pemimpin). Padahal masyarakat haruslah memiliki pemimpin, apakah ia orang yang baik maupun orang yang jahat. Artinya hukum Allah bisa wujud dimuka bumi dan diterapkan dengan adanya pemimpin seorang manusia. Do bawah kepemimpinan manusia maka masyarakat bisa melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan orang yang kafir biarlah menikmati hidupnya namun Allah menetapkan segala sesuatunya”.

Abu Ishaq Asy-Syatibi (Imam Asy Syatibi) dalam Kitab Muwafaqat wal I’tishom meriwayatkan Said bin Jubair berkata tentang orangKhawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, bahwa “Sebagian ayat-ayat Allah mutasyabih yang diikuti oleh golongan Huriyyah (Khawarij) ialah firman Allah  “Barang siapa yang tidak menghukumi menurut yang diturunkan Allah maka mereka itu kafir” (Q.S. 5:44) lalu mereka merangkainya dengan ayat “Kemudian orang-orang kafir itu berpaling dari Allah (Q.S. 6:1)”

Abdullah bin Abbas berkata pada Umar : Hai Amirul Mukminin, Al-Qur’an telah diturunkan pada kita, lalu kita membacanya dan kita tahu dalam hal apa ayat tsb diturunkan. Tapi nanti akan datang kaum yang membaca Al-Qur’an tapi mereka tak paham dalam hal apa ayat tsb diturunkan. Maka tiap golongan punya pendapat lalu mereka pun saling berbeda pendapat dan bila mereka saling berselisih, mereka akan saling berperang. Mendengar ramalan Ibnu Abbas yang mengerikan ini Umar dan Ali yang mendengarnya menegur Abdullah hingga Abdullah bin Abbas pun menyingkir pergi. Namun Umar terus terpikir perkataan Abdullah bin Abbas tadi danlalu menemui Abdullah bin Abbas lagi di rumahnya dan berkata : “Tolong ulangi apa yang kau katakan tadi..”


MASALAH BERHAKIM PADA THOGUT

Salah satu ayat yang senada dengan masalah “berhukum pada hukum Allah” yang sering dijadikan argumen dalam mengkafirkan orang adalah ayat bertahkim pada thogut  yang terdapat dalam Surat Annisaa.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim pada thogut padahal mereka diperintahkan untuk mengingkari thogut. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Q.S. 4:60)

Dari Ikrimah dari Bnu Abbas r.a ia berkata : Abu Barzah Aslami dikenal sebagai dukun yang sering diminta memutuskan perkara di antara orang-orang Yahudi (di Madinah). Lalu sekelompok kaum musyrikin pergi kepadanya untuk meminta keputusan suatu perkara, maka turunlah ayat Q.S. 4:60-62 (H.R. Thabrani)
Berdasarkan asbabun nuzul ayat tersebut maka kitaketahui bahwa ayat ini mengecam orang yahudi dan musyrikin yang meminta keputusan perkara kepada dukun yang dicap sebagai thogut (orang yang melampaui batas). Maka thogut yang dimaksud dalam ayat ini adalah dukun. Namun pada akhirnya orang yahudi tidak puas dan tidak merasa tenteram dengan keputusan yang diambil sang dukun, hingga akhirnya turun musibah dari Allah. Barulah akhirnya mereka datang ke Rasulullah SAW dan berkata minta penyelesaian perdamaian yang sempurna.


MASALAH MENGKAFIRKAN ORANG (TAKFIR)

Abdullah bin Umar r.a. berkata Rasulullah SAW bersabda : Tiap orang yang berkata pada saudaranya : “hai kafir!”  maka pasti akan menimpa pada salah satunya (Bukhari Muslim)
Misalnya jika yang dituduhnya tidak kafir maka yang menuduhlah yang menjadi kafir.
Tiga perkara berasal dari iman (1) tidak mengafirkan orang yang mengucapkan : “Laa ilaaha ilallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkan nya dari Islam karena suatu perbuatanmu (H.R. Abu Daud)


ORANG YANG MEMERANGI MUSLIM

Bahkan golongan khawarij yang menganggap banyak sahabat sebagai kafir, (bahkan jaman sekarang neo khawarij menganggap semua muslim di luar golongannya adalah kafir) dan mereka mengangkat senjata melawan hingga membunuhnya Ali bin Abi Thalib masih dianggap sebagai bagian dari kaum Muslimin. (walau banyak yang menganggap telah keluar dari Islam berdasarkan hadits Rasulullah)

Ali bin Abi Thalib ketikan ditanya tentang golongan Khawarij : “Apakah mereka kafir ya Amirul Mukmiknin?” Ali menjawab : “Mereka lari dari kekafiran”. Ali ditanya lagi oleh orang-orang : “Bagaimana mereka itu sebenarnya?” Ali menjawab secara diplomatis : “Mereka dulu adalah saudara kita, kini mereka durhaka kepada kita”. Ada 3 hak kalian (wahai Khawarij) yang tetap akan kami berikan : kami tak akan melarang kalian memasuki masjid kami, tak pula menahan bagian kalian dari tunjangan negara dan tidak mendahului memerangi kalian selama kalian tidak berbuat kerusakan di bumi. (Nahjul Balaghah)

Jadi Ali bin Abi Thalib pun sangat berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Khawarij walaupun jelas-jelas kaum Khawarij malah mengkafirkan Ali dan sahabat – sahabat lainnya. Padahal berdasarkan hadits Rasulullah barang siapa yang menuduh seorang muslim kafir maka kekafiran itu akan berbalik kepadanya. Namun kekafiran itu akan berbalik karena dibalikkan oleh Allah, sehingga bukan dalam kapasitas Ali untuk memutuskan apakah mereka berstatus kafir atau tidak.

Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata : Sesungguhnya mereka tidak menjadi kafir dengan nyata, namun mereka hanyalah mengucapkan perkataan yang dapat membawa kepada kekufuran. Imam Syaukani dalam Kitab Nailul Authar Jilid VII mengatakan bahwa kebanyakan ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwa kaum Khawarij masih bagian dari kaum Muslimin.
Maka sebagian orang pada masa kini dengan penuh semangat mengecam balik orang yang tidak mau mengecap kafir golongan khawarij. Apakah mereka merasa lebih paham agama dibandingkan Ali bin Abi Thalib?


ORANG YANG MELAKUKAN DOSA BESAR

Dari Ubadah bin As Shamit : Nabi SAW bersabda : Barang siapa bersaksi tiada Ilah selain Allah yang Maha Esa yang tiada sekutu baginya serta Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul Nya bersaksi bahwa firmanNya yang disampaikan kepada Maryam yang diberi Ruh dari Nya bahwa Surga itu benar adanya dan neraka benar adanya maka dia akan masuk surga meski bagaimanapun amal perbuatannya (H.R. Bukhari)

Dari Abu Dzar berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan Laa ilaaha illa Allah kemudian ia mati dengan tetap membawa kalimat itu melainkan ia akan masuk surga (H.R. Muslim)

Dari Abu Dzar Al-Ghifari bahwa Nabi SAW  bersabda : Jibril datang kepadaku menyampaikan kabar gembira bahwa orang yang meninggal dunia dari umatmu dengan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Allah niscaya akan masuk surga. Lalu Nabi bertanya : walaupun ia berzina? Walaupun ia mencuri? Jibril menjawab : walaupun ia berzina, walaupun ia mencuri. (H.R. Bukhari Muslim)

Orang Islam walaupun fasih menzhalimi dirinya tetap masuk surga. “Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri (zhalim li nafsih) dan di antara mereka ada yang pertengahan (Muqtashid) dan di antara mereka ada yang bersegera melakukan kebajikan (sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka (ketiga golongan itu) surga dan mereka masuk ke dalamnya… (Q.S. Al-Faathir 32-33)


MEMBUNUH TANPA HAK

Dan karena itu kami telah tetapkan bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi maka seakan akan ia telah membunuh semua manusia. (Q.S. 5:32)

Hukuman bagi orang –orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi  ialah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang atau diasingkan dari kediaman mereka. Yang demikian itu kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar (Q.S. 5:33)

Dari Jarir r.a. berkata : ketika Haji Wada Nabi SAW menyuruh supaya memanggil orang-orang untuk mendengarkan khutbah Nabi SAW lalu Nabi bersabda : Janganlah kalian sepeninggalku kembali menjadi kafir karena sebagian kamu memenggal sebagian yang lain (H.R. Bukhari Muslim)

Abdullah bin Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang menyerang kami (muslim) dengan senjata, ma aia bukanlah bagian dari umatku” (H.R. Bukhari Muslim)

Dari Miqdad bin Al-Aswad r.a. bertanya kepada Nabi SAW : “Bagaimana pendapatmu jika aku berhadapan dengan orang kafir lalu ia memukul tanganku dengan pedangnya hingga tanganku patah, lalu ia lari berlindung di belakang pohon dan berkata ‘Aku Islam pada Allah (aslamtu lillah) ’ Apakah boleh aku membunuhnya?” Nabi SAW menjawab : “Jangan Anda bunuh”. Al-Miqdad berkata : “Tapi ia telah memutuskan tanganku”. Jawab Nabi : “Jangan  membunuhnya, jika Anda membunuhnya maka Anda akan menduduki kedudukannya sebagaimana ia sebelum menyatakan kalimat itu” (H.R. Bukhari Muslim)

Usamah bin Zaid berkata : Rasulullah SAW mengutus kami ke daerah Al-huraqoh maka kami menyerbu suku di daerah itu di pagi hari hingga mengalahkan mereka lalu aku dengan sahabat Anshar mengejar salah seorang dari mereka dan ketika telah terkepung tiba-tiba ia berkata :  “Laa illaha ilallah” lalu kawanku Al-Anshari itu menghentikan pedangnya. Sedangkan aku langsung menikamkan tombakku hingga ia mati. Dan ketika kita kembali ke Madinah, berita itu telah sampai pada Nabi hingga Nabi langsung bertanya kepadaku : “Ya Usamah apakah Anda membunuh orang yang mengucap Laa ilaaha ilallah?” Jawabku : “Ia hanya menyelamatkan diri”. Maka Nabi mengulang ulang teguran itu terus menerus hingga aku sangat menyesal dan ingin sekiranya aku belum menjadi Islam pada hari itu (H.R. Bukhari Muslim)

Ibnu Abbas r.a. menjelaskan bahwa ayat : “Wa laa taqulu liman alqo ilaikumus salama lasta mukmina” (Jangan kamu berkata pada orang yang mengaku islam padamu itu kafir karena mengharapkan harta Q.S. 4:94) itu turn ketika ada peristiwa seorang sedang menggembala kambing ketika melihat datang sebarisan pasukan kaum muslimin lalu ia memberi salam “Assalamu’alaikum” (untuk menunjukkan bahwa dirinya seorang muslim). Tapi oleh pasukan muslimin (dianggap orang itu cuma berlagak sebagai muslim saja) langsung ditangkap dan dibunuh lalu diambil kambingnya sebagai ghonimah (rampasan perang) maka Allah menurunkan ayat tersebut. (H.R. Bukhari Muslim Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud)

Imam Al-Ghazali berkata : “Kesalahan dalam membiarkan 1.000 orang kafir hidup adalah lebih ringan daripada dosa menumpahkan darah satu orang muslim. Sudah selayaknya seseorang menjaga diri dari mengkafirkan orang lain selama ia mendapatkan jalan (alasan) untuk itu (yaitu tidak mengkafirkan).


AYAT-AYAT YANG DIJADIKAN DALIL BOM BUNUH DIRI

Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki (Q.S. 3:169)

Di antara manusia ada orang-orang yang menjual diri nya untuk mencari keridhoan Allah (Q.S. 2:207)

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah (fii sabilillah) mereka membunuh atau terbunuh (Q.S. 9:11)

Ada yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan dibolehkannya bom bunuh diri :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan diri demi mencari keridhoan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya” (Q.S. 2:207)

Padahal asbabun nuzul ayat ini adalah ketika Shuhaib bin Sinan Ar Rumi yang baru memeluk Islam ingin hijarh ke Madinah sementara hartanya disita kafir Quraisy.

Dari Auf dari Abu Utsman An Nahdi dari Shuaib ia berkata : Ketika aku hendak hijrah dari Mekah kepada Rasulullah SAW (di Madinah) orang-orang Quraisy berkata kepadaku : Wahai Shuhaib kamu datang kepada kamu tanpa membawa harta dan sekarang kamu hendak keluar dengan membawa harta? Demi Allah hal itu tidak boleh terjadi selamanya. Aku bertanya pada mereka : Apakah jika hartaku aku serahkan pada kalian maka kalian akan membiarkan aku pergi? Mereka menjawab : Ya. Maka aku serahkan seluruh hartaku lalu mereka pun membiarkan aku pergi. Kemudian aku keluar hingga sampai di Madinah. Ketika hal itu sampai ke telinga Rasulullah SAW, beliau bersabda “Beruntunglah shuaib.. beruntunglah Shuhaib, (lalu turun ayat Q.S. 2:207)” (H.R. Thabrani Al-Hakim dan Baihaqi)


MASALAH PERINTAH DAN LARANGAN

Orang yang terlalu bersemangat dan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan yang akhirnya membawa pada sikap sembrono dalam bertindak sering beranggapan bahwa semua perintah dalam ayat Qur’an maupun hadits Nabi adalah bersifat wajib. Demikian pula sebagian mereka menganggap sedangkan semua semua larangan dalam ayat Qur’an maupun hadits Nabi adalah berarti haram.

Padahal Imam Az-Zarkasyi mengatakan bahwa : perintah Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an hukumnya wajib kecuali ada qorinah (dalil lain) yang menunjukkan ketidak wajibannya. Dan semua perintah dalam hadits hukumnya adalah istihbab (yaitu lebih disukai) kecuali ada qorinah lain yang menunjukkan hukum lainnya. Seorang ulama mazhab Maliki yaitu Al-Abhari membedakan antara sunnah dan fardhu. Sunnah adalah perintah dari Rasulullah sedangkan fardhu (wajib) adalah perintaj dari Allah.

Sedangkan semua larangan dalam Al-Qur’an hukumnya adalah haram kecuali ada dalil lain yang menunjukkan selain itu. Sedangkan semua larangan yang berasal dari hadits hukumnya maksimal adalah makruh (lebih baik dihindari / tidak dilakukan) kecuali ada dalil lain yang menjelaskan selain itu.
Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin jelas mendudukkan perintah Rasulullah SAW dalam posisi istihbab (lebih disukai) dan nadab (anjuran) dan mendudukan setiap larangan dari Nabi sebatas makruh


PERSOALAN GAYA BAHASA ARAB

Salah satu penyebab kesalah pahaman bagi sebagian pemuda yang terlalu bersemangat dan kemudian membawa pada sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam bertindak adalah berawal dari ketidak mengertian akan gaya dan sifat bangsa Arab.

Setiap bangsa dan ras tentu memiliki gaya kebiasaan tersendiri. Misalnya kita sama-sama mengetahui bahwa dalam pandangan atau cita rasa suku Sunda, maka suku Madura dari Jawa Timur tentu dianggap cara bicaranya lebih keras atau kasar. Namun jika dibandingkan dengan orang Batak, tentu gaya bahasanya lebih kasar lagi. Bagi orang Sunda yang tidak paham budaya Madura dan Batak, bisa-bisa tersinggung ketika mendengar berbicara dengan mereka. Sementara orang Madura pun yang bagi orang Sunda sudah dianggap kasar, bisa-bisa juga masih tersinggung dengan sikap orang Batak yang lebih keras lagi cara bicaranya.

Demikian pula bangsa Arab memiliki gaya dan tradisi sendiri dalam bersikap dan berbicara termasuk dalam susunan kata dan gaya bahasa yang sering dipakai. Bagi bangsa Arab hal ini tidak masalah karena mereka tahu maksudnya. Namun bagi bangsa non-Arab bisa jadi hal ini membawa kesalah pahaman. Salah satu gaya bahasa Arab yang bisa jadi menimbulkan kesan yang salah pada orang Non-Arab adalah gayanya yang hiperbola (berlebihan). Orang-orang Arab sering kali menggunakan kata-kata dan istilah yang “tinggi” atau “dilebihkan” dalam menceritakan atau menyatakan sesuatu.

Kita jangan heran jika sering mendengar digunakan kata-kata “Yang paling ini adalah ini” padahal maksudnya tidak seperti itu. Istilah “yang paling” atau “yang ter..”  dalam bahasa Inggris disebut “superlatif” tentunya hanya ada satu saja yang menempati kedudukan tertinggi.

Sebagai contoh : “Gunung tertinggi di dunia adalah Gunung Himalaya”. Kita bisa memahami bahwa gunung yang tertinggi tentulah hanya satu yaitu Himalaya. Kita akan bingung jika mendengar pernyataan : “Gunung yang tertinggi di dunia adalah Gunung Himalaya, Gunung Alpen dan Gunung Jayawijaya”. Tentu kita akan berkomentar “ yang tertinggi kok lebih dari satu, apakah mereka sama tingginya? Tapi tentunya pasti ada yang paling tinggi di antara ketiganya”

Namun kenyataannya dalam gaya bahasa Arab bisa jadi “yang paling” dan “yang ter” itu tidak satu melainkan banyak. Semua hal menduduki posisi “yang paling” atau “yang ter” karena maksudnya adalah sama-sama utamanya atau sama-sama baiknya.

Salah satu contohnya adalah :
Dari Abu Dzar : perkataan yang paling disukai Allah adalah seorang hamba yag mengatakan “Subhanallah wa bihamdihi” (H.R. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
Dari Samurah bin Jundub perkataan yang paling disukai Allah ada 4 yaitu : “Subhanallah, wal hamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, dan wallahu akbar” (H.R. Muslim dan Ahmad)

Contoh lainnya:
Dari Abu Said : Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah yang paling afdhol adalah sedekah kepada famili yang memusuhinya” (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Thabrani, dihasankan oleh Imam Suyuthi, disahihkan oleh Albani)
Dari Sa’ad bin Ubadah,Rasulullah SAW bersabda :  “Sedekah yang paling afdhol adalah memberi minum air” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Majah, shaih oleh Imam Suyuthi Hasan oleh Albani)

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah yang paling afdhol adalah kesungguhan orang yang punya sedikit (harta) dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu” (H.R. Abu Daud dan Al Hakim disahihkan oleh Imam Suyuthi)

Dari Abu Hurairah seorang sahabat bertanya : Shodaqoh apa yang paling besar balasannya? Nabi SAW menjawab : “Kamu bershodaqoh saat keadaan sehat, merasa kikir dan takut melarat, mengharap kaya dan takut miskin” (H.R. Bukhari)
Pada kedua hadits di atas kita jumpai bahwa 4 hal yang berbeda semuanya diberi status “sedekah yang paling afdhol (paling utama)”.

Contoh lainnya lagi :
Dari shuhaib Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang memberi makanan dan membalas salam” (H.R. Abu Ya’la dan Al-Hakim disahihkan oleh Imam Suyuthi dan hasan oleh Albani)
Dari Irbad, Rasulullah SAW bersabda : “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik membayar (hutang)” (H.R. Nasa’i)

Dari Ali bin Abi Thalib Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Qur’an dan mengajarkannya” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”

Jadi semua hal yang baik-baik dikatakan dengan istilah “sebaik-baik kamu” atau “yang terbaik” padahal maksudnya adalah semuanya itu sama baiknya dan sama utamanya.
Dapat kita lihat kecenderungan gaya bahasa dalam perkataan bangsa Arab bahwa mereka sering berkata dengan istilah yang “lebih” atau dalam dunia tata bahsa disebut gaya bahasa hiperbola. Jika kita hanya membaca satu hadits saja dan meyakininya sedemikian rupa maka kita akan terdorong bertindak berlebihan karena kita meyakini yang kita dengar itu adalah “hal yang paling” dan tak mungkin ada “paling” yang lain.
Demikian pula jika ada kalimat Arab yang menyatakan bahwa “jika tidak begini maka ia kafir” atau “jika tidak mau begitu ia zhalim” maka pada kenyataannya atau dalam aplikasinya “tidak begitu-begitu amat”.
Contoh : Abu Dzar r.a. telah mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tiada seorang yang bernasab kepada orang yang bukan ayahnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kafir (H.R. Bukhari Muslim)

Demikianlah hadits di atas jika kita pahami secara sepintas bahwa orang yang melakukan hal di atas pastilah dihukumi kafir. Namun pada kenyataannya penerapan orang yang mengaku-ngaku bernasab pada seseorang yang bukan ayahnya tidak lah dicap kafir oleh Rasulullah dan para sahabat. Karena memang mereka (orang Arab) paham bahwa maksud dari ucapan Rasulullah tidaklah “begitu-begitu amat”. Melainkan cara pengucapan seperti itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa perbuatan seperti itu adalah benar-benar buruk, menyerupai kekufuran namun tidak sampai membuat orang murtad atau keluar dari Islam.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang tidak sudi bernasab pada ayah kandungnya itu adalah suatu kekufuran (H.R. Bukhari Muslim)

Persoalan inilah yang sering muncul ketika memahami sebuah teks ayat atau hadits dengan apa adanya tanpa meninjau siroh (sejarah) bagaimana aplikasi atau penerapan dari ayat atau hadits tersebut pada oleh Rasulullah sendiri atau oleh para sahabat, demikian juga praktek yang dilakukan oleh Tabi’in dan generasi setelahnya. Terkadang kita perlu  juga meninjau penjelasan atau tafsir atas ayat atau hadits tersebut oleh para sahabat maupun tabi’in. Hal ini diperlukan karena generasi terdahululah yang lebih mengerti dalam hal apa ayat atau hadits tersebut muncul dan merekalah yang berguru langsung dari Rasulullah SAW.



MELEBIHKAN KEUMUMAN MAKSUD YANG TERBATAS

Salah satu kiat dalam memahami nash dalil baik Al-Qur’an maupun hadits adalah mencoba terlebih dahulu menengok asal usul peristiwa yang melatar belakanginya sehingga kita memahami dalam konteks apa pembicaraan ayat atau hadits tersebut. Dari situ kita dapat mengambil kesimpulan dan menarik premis (pernyataan) baik itu maksud khusus maupun maksud umum sepanjang konteksnya masih benar sesuai dengan maksud nash tersebut.

Misalnya ada pernyataan “Orang yang sembrono sering meletakkan barang sembarangan sehingga mengundang pencuri. Maka dari itu, simpanlah milikmu rapat2 agar tidak mengalami kerugian”.
Kalimat pertama itu adalah makna khusus yang menjelaskan konteks pembicaraan sehingga muncul pernyataan kalimat kedua. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Kalimat kedua, adalah premis umum (kesimpulan umum) yang diperluas berdasarkan kejadian khusus pada kalimat pertama.

Walaupun kalimat pertama adalah pernyataan khusus, namun tetap saja kita tidak paham apa yang dibicarakan sebelum kita bertanya “peristiwa” apa yang melatar belakangi timbulnya pernyataan itu. Ternyata dari informasi yang kita dapat, pernyataan itu timbul dari peristiwa si Hasan yang sembrono dan menaruh handphone nya secara sembarangan sehingga dicuri orang.

Kalimat kedua adalah filosofi yang sudah diperluas. Penyataan “simpanlah milikmu rapat2” tentu tidak hanya dimaksudkan dalam hal menyimpan handphone saja (sebagaimana latar belakang peristiwa khusus pada kalimat pertama) namun juga bisa diterapkan pada hal lain misalnya simpanlah dompetmu , simpanlah perhiasan gelang emas mu, simpanlah dokumen kantor yang penting, simpanlah uangmu dan lain-lain. Yang mana “simpanlah milikmu rapat2” ini diterapkan pada berbagai hal masih bisa diterima kebenarannya oleh semua orang.
Demikian pula pernyataan “agar tidak mengalami kerugian” walaupun konteks peristiwa yang melatar belakangi maksudnya adalah “kecurian” namun maksudnya bukan hanya supaya tidak kecurian, melainkan bisa lebih luas lagi misalnya agar tidak kepanasan (misalnya handphone kalau terkena panas sinar matahari bisa rusak layar LCD nya) atau agar tidak kehujanan (misalnya uang dan dokumen penting bisa rusak jika basah kehujanan).
Demikianlah premis kedua ini telah mengalami perluasan (generalisasi) makna namun masih bisa diterima sepanjang batas-batas yang masih proposional. Namun kalimat kedua ini bisa diperluas bukannya tanpa batas. Tetap saja ada batasan dalam memperluas maksud yang umum itu (limited generalization).  Ada batasan, yang mana jika kita kaitkan dengan hal yang sudah di luar konteks maka itu menjadi “lebay” dan tidak proporsional lagi.


Misalnya adal orang yang memperluas makna “milikmu” diartikan sebagai “istri dan anak-anak” sebagai salah satu harta miliknya, sehingga pernyataan “simpanlah milikmu rapat2”diterapkan berupa tindakan “mengurung rapat2 di dalam rumah” sehingga anak dan istrinya dilarang keluar rumah karena khawatir celaka atau diculik orang. Tindakan ini jelas “lebay” dan tidak proporsional.

Begitu pula jika ada orang yang meluaskan makna kata “simpanlah” itu seluas luasnya sehingga menjadi “tidak boleh digunakan sama sekali melainkan disimpan saja” sehingga ia tidak mau memakai jam tangannya, ia tidak mau memakai laptopnya, dengan alasan takut rusak (mengalami kerugian), maka sepintas lalu tindakan ini sesuai dengan dalil kalimat “simpanlah milikmu rapat2 agar tidak mengalami kerugian”. Lalu untuk apa dia punya laptop jika tidak dipakai? Tentu saja mentawilkan seperti ini menjadi berlebih-lebihan dan sudah keluar dari konteks yang dimaksud. Dengan kata lain secara berkelakar kita dapat berkata “gitu ya gitu tapi gak gitu banget maksudnya…”

Inilah salah satu perumpamaan dan contoh dimana sikap berlebih-lebihan dan radikal bisa timbul dari perluasan makna yang tidak proporsional atau pentakwilan kalimat yang keluar dari konteks, dimana hal itu bisa timbul karena ketidak pahaman konteks peristiwa yang melatar belakanginya atau tidak bisa membatasi diri pada “keumuman maksud” sehingga terdorong pada sikap “kebablasan”.

Pada contoh kalimat di atas, ketika memperluas makna kata “milikmu” boleh-boleh saja diperluas, namun tetap harus mengacu bahwa yang dimaksud adalah benda benda berharga seperti handphone, laprop, dompet, uang, perhiasan dll. Membatasi diri pada makna “milikmu” itu hanyalah handphone (sebagaimana peristiwa khusus yang melatarbelakanginya) tentu saja adalah sikap sempit dan salah. Namun meluaskan makna “milikmu” meliputi istri, anak bahkan rambutku, hidungku, mataku, bahkan lebih jauh lagi pada hal-hal yang majazi misalnya perasaanku, pikiranku, ideku.. wah wah jelas ini sudah sangat berlebihan dan melenceng dari maksud kalimat semula. Lho, bukankah perasaanku, pikiranku, ide-deku itu juga adalah milikku? Jawabnya:  iya bener sih bener, perasaanku, pikiranku, ide-deku itu juga termasuk milikmu, namun ya gak pas kalau diterapkan pada kalimat itu, maksud kalimat itu bukan meliputi hal-hal yang sedemikian.

Kesalahan dalam mentakwilkan dan memperluas makna secara berlebih-lebihan seperti ini sering terjadi dalam memahami teks ayat maupun hadits. Kita ambil contoh pada hadits sebagai berikut :
Dari Hudzaifah Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (H.R. Abu Daud, Ibnu Umar & Thabrani)

Ada orang yang meluaskan maksud kata “meniru suatu kaum” itu pada tindakan “meniru segala apa saja” sehingga melarang meniru segala apa yang berasal dari Barat yang kafir karena khawatir di mata Allah akan dicap termasuk golongan orang kafir Barat.
Padahal kita tahu Rasulullah SAW meniru dan mengambil ide mengawinkan putik kurma serta meniru ide pertahanan peperangan menggunakan parit pada perang Khandaq yang mana ide-ide itu berasal dari bangsa Persia (Farsi), yang mana kita tahu bangsa Farsi adalah kaum musyrik yang saat itu menyembah api.  Namun Rasulullah SAW tetap menirunya sepanjang hal itu dianggap masuk akal dan baik dan tidak khawatir dianggap termasuk orang kafir.

Terkadang kita harus menilik dulu konteks hadits tsb diucapkan Rasulullah SAW karena peristiwa apa atau menanggapi apa? Terkadang kita juga harus mencari-cari versi lengkap dari hadits tersebut karena kadang kala hadits itu hanya sampai pada kita sepotong saja tidak dikutip secara utuh. Terkadang juga hadits itu diriwayatkan atau diceritakan dari berbagai jalur yang mana satu jalur berbeda dengan jalur lainnya, terkadang jalur yang satu berbeda kalimatnya dengan jalur lainnya, dan kadang pula jalur yang satu lebih lengkap dari jalur lainnya.



PENERAPAN BERTAHAP TIDAK MENYALAHI KOMITMEN HATI

Dari uraian sebelumnya kita memahami adanya perbedaan antara komitmen hati dan penerapan dalam  amal atau tindakan, yang mana hal itu memang ada dan dibolehkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan juga dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat maupun tabi’in. Perbedaan dalam tindakan itu tidak serta merta menggambarkan berkhianatnya hati dari keyakinan yang hakiki akan syari’at Allah.

Maka lebih lanjut kita akan bahas bahwa salah satu kaidah dalam penerapan suatu hal yang bersifat mengubah sesuatu yang telah mapan dalam masyarakat diperlukan adanya pentahapan (tajarud). Hal ini diisyaratkan oleh Al-Qur’an misalnya ketika kita diajak mengamati dan memikirkan tentang bagaimana alam ini dibangun dalam enam tahapan :

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 masa (Q.S. 10:3)
Tentu saja Allah Azza wa Jalla amat sangat mampu untuk menciptakan apa saja dalam sepersekian detik sekaligus tanpa ada tahapan. Namun mengapa Allah menciptakan hal itu dengan adanya tahapan? Mengapa Allah mesti mengadakan hukum fisika dan hukum alam? Bukankah Allah sanggup membuat segala sesuatunya serba ajaib dan sekali jadi? Maka semua ini dijadikanNya sebagai pelajaran bagi kita manusia bahwa segala sesuatunya terjadi secara bertahap tak ada yang sekaligus jadi, tak ada yang semudah membalikkan telapak tangan.

Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz memprotes ayahnya (yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz) yang tak segera memberantas kemaksiatan setelah dilantik menjadi khalifah. Ia berkata : “apa yang menyebabkan ayah tidak segera bertindak? Demi Allah tidaklah aku akan peduli betapa dalamnya kekuasaan takdir akan menenggelamkan aku dan engkau dalam kebenaran” . Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata : “Anakku, janganlah tergesa-gesa, karena Allah SWT telah mencela khamr sampai 2 X dan baru kali yang ketiga Dia mengharamkannya. Aku khawatir bila memaksakan kebenaran atas manusia secara sekaligus, maka mereka akan mengingkari kebenaran secara sekaligus pula sehingga timbullah fitnah yang besar” (Kitab Al Muawafaqat wal Ihtiyat Jilid II)

Demikianlah pemahaman Khalifa Umar bin Abdul Aziz karena kedalaman ilmunya dan pengertiannya akan syari’at,  tidak seperti yang disangkakan sebagian pemuda yang terburu nafsu, yang menganggap penerapan bertahap dan perlahan-lahan adalah sebuah sikap pengecut dan takut pada manusia.
Perlu diketahui bahwa ayat pertama yang mengecam khamr baru turun di Madinah pada tahun ke-3 Hijriyyah setelah perang Badr artinya 3 tahun setelah Rasulullah pindah ke Madinah. Sehingga sebagian sahabat termasuk Umar bin Khattab saja masih sering shalat dalam keadaan mabuk. Mengapa Allah membiarkan hal itu demikian lama? Padahal di mata kita saat ini mabuk adalah sesuatu yang sangat tercela. Mengapa Allah tidak menurunkan ayat itu di awal-awal kepindahan Rasulullah SAW ke Madinah? Bukankah saat itu telah tegak masyarakat Islam?

Sedangkan pengharaman total lewat ayat yang ketifa baru terjadi pada tahun ke-6 Hijriyyah setelah perjanjian Hudaibiyyah, yaitu menjelang Fathu Mekkah. Alalh lebih mementingkan perintah sholat 5 waktu  (melalui peristiwa Isro Mi’roj) ketimbang persoalan khamr, yaitu turun 3 tahun sebelum Hijrah ke Madinah (atau pada tahun ke-11 masa kenabian). Itupun setelah Rasulullah 11 tahun diangkat menjadi Nabi. Selama sebelum itu, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan sholat hanya 3 waktu sehari dan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis mengikuti sisa-sisa risalah Nabi Ibrahim.

Kita juga bisa melihat bahwa ayat mengenai zina baru turun pada tahun ke-5 Hijriyah (5 tahun setelah menetap di Madinah) sedangkan pengharaman riba lebih lama lagi yaitu tahun ke-8 Hijriyyah yaitu setelah melampaui peristiwa Fathu Mekkah. Di sini kita bisa melihat bahwa koreksi dalam hal praktek-praktek ekonomi termasuk paling akhir diterapkan, sementara perbaikan masalah aqidah dan pokok keyakinan adalah yang paling pertama diprioritaskan.


MENGUBAH DENGAN TANGAN TIDAK BERARTI  DENGAN  CARA KEKERASAN

Islam memang bukan agama yang berdiam diri dengan kemaksiatan apalagi ketidak adilan atau kerusakan di muka bumi ini. Siapapun yang bermaksud melakukan kemaksiatan, kecurangan, kezhaliman dan penindasan pasti merasakan umat Islam sebagai batu sandungan yang utama.


KESELARASAN TUJUAN DAN CARA MENCAPAINYA

Jika kita merasa haus tentulah kita melangkah untuk mencari air dan setelah mendapatkan air, tindakan selanjutnya adalah memasukkan air itu ke mulut kita dan menelannya. Dengan cara demikian maka rasa haus kita akan hilang. Tindakan kita untuk melangkah mencari air lalu meminumnya adalah tahapan-tahapan yang benar dan selaras dengan tujuan yaitu menghilangkan rasa dahaga.

Pertama, tindakan itu harus selaras secara logika rentetan sebab akibat dengan tujuannya. Jika kita merasa haus tapi tindakan nya adalah makan nasi tentu tidak sesuai dengan tujuan semula.
Kedua, tindakan itu memiliki tahapan langkah yang harus dilakukan. Walaupun kita tahu minum itu menyelesaikan masalah haus, namun jika belum ada air maka apa yang mau diminum? Kita harus melangkah dulu berupaya mencari air. Jika airnya itu jauh di dalam tanah maka harus diupayakan menggali sumur atau mengebor pipa dan memasang pompa air untuk menyedot air ke permukaan. Demikianlah hukum alam ini bahwa segala sesuatu nya ada tahapannya dan setiap tahapan harus selaras dengan tujuan awal.
Demikian pula dalam masalah perjuangan menegakkan syari’at Allah di muka bumi ini. Beberapa pemuda yang penuh semangat nampaknya terjebak pada kepuasaan penyaluran emosi sesaat tanpa mempedulikan keselarasan antara tindakan dan tujuan yang hendak dicapai.

Misalnya pemuda yang sangat gerah dan risau dengan maraknya miras yang dijual bebas di swalayan. Sedangkan pemerintah hanya mengatur masalah cukai (pajak) untuk miras tanpa bermaksud melarangnya. Sehingga miras yang sudah membayar cukai adalah legal atau sah untuk diperjualbelikan. Polisi hanya bisa menangkap penjual miras yang ilegal alias tidak membayar pajak.
Maka akhirnya pemuda yang marah ini kemudian menghancurkan swalayan yang menjual miras. Tujuan jangka panjangnya adalah ingin menegakkan syari’at di muka bumi ini, namun tindakan yang dilakukan sama sekali tidak menggambarkan arah tercapainya tujuan.

Mungkin mereka berdalih bahwa tujuan jangka pendeknya adalah yang penting umat tidak minum miras lagi. Benarkah jika toko tersebut dihancurkan lalu mereka kapok menjual miras lagi? Mungkin saja untuk sekian waktu toko itu tutup tidak berjualan. Namun mereka bisa bangkit lagi misalnya saja karena tokonya diasuransikan. Namun yang lebih dipertanyakan lagi benarkah orang yang suka mabuk kemudian bertobat dan insyaf setelah toko yang menjual miras itu dihancurkan? Mungkin saja sementara waktu mereka kesulitan mendapatkan toko yang menjual miras, namun yang namanya pemabuk dan masih jadi pemabuk, mereka akan berusaha mendapatkan miras dari tempat lain. Berarti tindakan menghancurkan toko yang menjual miras sama sekali tidak selaras dengan tujuan semula yaitu memberantas miras di muka bumi ini. Terlebih jika tujuannya adalah tegaknya syari’at Islam jelas jauh panggang dari api. Karena masyarakat malah tidak simpati dengan aksi kekerasan dan phobia dengan syari’at Islam.

Ada sebagian yang berdalih bahwa yang penting adalah niatnya. Tentu saja tidak demikian. Niat yang baik harus disetai dengan cara yang benar. Misalnya niatnya mulia yaitu ingin bersedekah mamun caranya kasar dengan melemparkan makanan atau uang kepada fakir miskin, mungkin saja fakir miskin itu merasa terhina dan tidak malah berbalik marah. Yang lebih celaka lagi mereka mengeneralisir bahwa umat Islam itu adalah umat yang kasar dan justru mereka tertipu dengan kelemahlembutan kaum kafir yang memanfaatkan situasi ini.



SEMUA SALING TERKAIT

Hampir dalam banyak hal menyangkut kemungkaran dan kezhaliman yang terjadi di muka bumi ini semuanya tidaklah berdiri sendiri sendiri melainkan saling terkait. Sehingga upaya untuk mengubah kemungkaran atau bahkan lebih jauh lagi jika ingin menghentikan atau menghapus kemungkaran itu tidak dapat dilakukan secara parsial (sektoral).

Kita hendaknya belajar dari pengalaman sejak jaman dahulu kala bahwa mengubah kemungkaran secara sebagian sebagian adalah usaha yang sia-sia. Yang dimaksud dengan sia-sia di sini bukanlah dari segi pahala amal perjuangannya melainkan dari sisi keefektifan tercapainya tujuan.

Kita semua terlebih bangsa Indonesia khususnya dan dunia Islam pada umumnya sebenarnya telah memiliki pelajaran berharga dari usaha perlawanan para pendahulu kita dalam menyingkirkan penjajah Barat. Ribuan peperangan telah berlaku dan jutaan nyawa telah melayang namun kalian seakan tak pernah mengambil pelajaran.

Salah satu pelajaran yang telah kita sadari sejak dahulu kala adalah bahwa perlawanan secara parsial itu tidak efektif membawa hasil. Penjajah Belanda yang hanya berpenduduk 3 Juta orang saat itu bisa menjajah ratusan tahun bangsa Indonesia yang wilayahnya luas dan penduduknya puluhan juta jiwa. Belanda dengan pasukan yang sedikit bisa memobilisai pasukan dan memindahkannya ke sana kemari untuk memadamkan perlawanan karena perlawanan itu dilakukan silih berganti dengan jumlah kecil di sana sini. Antara satu perlawanan dengan perlawanan yang berikutnya memiliki jeda waktu yang panjang yang membuat Belanda cukup waktu untuk mengalihkan pasukannya dan menyusun kembali kekuatannya.

Demikian pula harus kita sadari bahwa kunci dari sukses Belanda menjajah Indonesia tidak hanya masalah persenjataan yang lebih modern, namun juga masalah manajemen logistik (perbekalan), kejelian strategi, informasi dari mata-mata yang tersebar, pemahamannya atas karakter bangsa Indonesia yang mudah diadu domba dan tentu saja dukungan keuangan yang kuat. Belum lagi jika kita lihat bahwa Bangsa Belanda merupakan bagian dari Bangsa Barat yang saat itu saling bahu membahu memerangi umat Islam dan membagi-bagi daerah jajahannya satu sama lain. Dukungan finansial dan perdagangan antar negara, pertukaran informasi dan strategi di antara mereka demikian erat. Maka masalahnya adalah tidak sesederhana itu, ini adalah suatu sistem yang terjalin saling berkait berkelindan satu sama lain saling memperkuat.

Dalam contoh kecil pemberantasan miras, permasalahannya bukan semata-mata si penjual miras. Melainkan adanya pabrik miras yang memproduksi miras dengan bahan baku dari berbagai bahan yang merupakan produksi pertanian dan buah-buahan dari berbagai desa, berikut ribuan buruh pabrik serta penghasilan pajak bagi pemerintah bagik dari pabrik maupun produk jadi minumannya. Yang terakhir adalah para penikmat miras yang tersebar di seantero negeri semua ini berjalin berkelindan membentuk persoalan miras.

Apakah toko miras yang menjual sehingga mempengaruhi orang membeli miras? Ataukah karena orang sudah lebih dulu banyak yang mengkonsumsi mirah sehingga toko itu menjualnya? Ataukah pabrik duluan yang membuat baru ada orang yang meminum? Ataukah karena banyak orang minum miras maka didirikanlah pabrik miras? Sebagian orang berkata : “Ah terserah lah mana yang duluan yang penting kita bertindak saja, mana yang bisa lebih mudah dihantam duluan itulah yang kita lakukan” Begitulah langkah perjuangan tanpa strategi yang matang. Sebenarnya mereka malas terlalu rumit berfikir dan tidak peduli dengan keselarasan tujuan. Yang penting amarah dan kesabaran menuntut penyaluran segera. Maka tindakan seperti ini hanyalah memuaskan ego pribadi saja yang menuntut pelampiasan atas emosi sesaat.

Wallahualam bishowab.
Wassalamualaikum.