(Cc: + Abuakmal Mubarok)
Assalamualaikum
Beberapa hari menjelang lebaran yang lalu saya mendapat
sms beruntun dari kawan saya. Sms itu bukan berisi ucapan mohon maaf lahir dan
batin, melainkan berisi nada keputus asaan seorang suami yang sudah tidak tahan
lagi dengan situasi rumah tangganya. Suasana yang seharusnya penuh kebersamaan
dan saling bermaafan itu, bagi kawan saya justru berubah menjadi suasana
genting.
“Saya sudah tidak tahan lagi. Istri saya tidak menghargai
saya sebagai suami”, begitu isi sms nya kepada saya. “Dia tidak lagi menganggap
saya sebagai kepala rumah tangga”. Begitulah menurut kawan saya itu istrinya
tidak pernah mendengarkan perkataannya bahkan tidak pernah melayani nya walau
hanya sekadar menyisakan makan malam atau membuatkan minuman. Ternyata selama
ini istrinya sudah 2 X mengajukan gugatan cerai. Namun si suami tidak bersedia
menceraikan istrinya. Ujung-ujungnya sang istri melakukan boikot kecil-kecilan.
Tetap berumah tangga namun tidak menggagap suaminya.
Selidik punya selidik ternyata kawan saya ini dulu pernah
memiliki toko namun entah bagaimana tokonya bangkrut. Dia juga sempat mencoba
berbagai usaha lainnya namun selalu gagal. Sementara itu istrinya seorang PNS yang gajinya lumayan. Walhasil,belanja
rumah tangga dan sekolah anak dibiayai dari penghasilan istrinya. Cicilan rumah
dan motor pun dibiayai dari penghasilan istrinya.
Namun menurut kawan saya itu,
ia tidak pernah berhasil bisnis karena istrinya tidak pernah mendukungnya,
bahkan selalu meremehkan usaha yang dilakukannya. “Dagang kayak gitu mana bisa
mencukupi kebutuhan keluarga!” Begitu katanya istrinya sering bilang. Bahkan
untuk menagih tagihan dagangan pun istrinya tidak mau meminjamkan motornya.
Saya sering melihat rumah tangga yang seperti ini. Suami
yang semestinya menjadi kepala rumah tangga kehilangan wibawa karena tidak
berhasil menopang ekonomi keluarga. Terlebih pada jaman sekarang ini, konon
pemilik perusahaan lebih menyukai pegawai wanita ketimbang pria. Alasannya,
pegawai wanita lebih tekun, lebih telaten, tidak bertingkah macam-macam, dan
dalam situasi tertentu lebih luwes dalam menghadapi konsumen. Walhasil, banyak
posisi kerja yang diisi oleh wanita,
sehingga lapangan kerja yang memang sulit ini menjadi semakin sulit lagi bagi
pria.
Dalam Islam, sebenarnya istri tidak wajib mencari nafkah
walaupun kondisi ekonomi keluarga kekurangan. Suami tidak boleh memaksa istri
untuk bekerja. Suamilah yang bertanggung jawab mencari nafkah. Dan karena peran
dan tanggung jawab itulah suami menjadi pemimpin rumah tangga.
“Kaum laki-laki
adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena laki-laki telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka” (Q.S. 4:34)
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
(Q.S. Ath-Thalaq : 7)
Demikian pula dalam hadits dikatakan : Dari Ibnu Umar “Laki-laki adalah pemimpin keluarga dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya” (H.R. Mutafaq alaih)
Namun, jkika wanita bekerja ke luar rumah, itu boleh saja
asalkan menjaga adab dan akhlak sebagai
seorang muslimah serta telah diijinkan suami. Jika ia belum menikah, tentu
harus seijin ayahnya atau walinya. Jaman sekarang ini sering kita jumpai bahwa
bekerjanya wanita bukan karena desakan ekonomi atau kebutuhan keluarga
melainkan karena “bete” terus menerus di rumah atau “sayang ijazah sarjana nya
karena sudah sekolah mahal-mahal tidak dipakai bekerja”. Alasan yang lebih parah lagi adalah “ingin
punya penghasilan sendiri” supaya bebas kalau mau beli apa-apa tidak perlu
minta dari suami. Soalnya kalau minta suami mesti mengemis, merajuk, kadang dikasih kadang tidak.
Kadang kala kita lupa seolah ijab qabul pernikahan itu
hanya sekadar menghalalkan untuk mereguk kenikmatan satu sama lain tanpa ingat
aspek tanggung jawab dan pengakuan peran masing-masing. Ketika wanita bersedia
dinikahi oleh seorang pria dan menyerahkan ijin menikahkan pada walinya, maka
itu berarti bersedia dipimpin oleh laki-laki yang bakal menjadi suaminya. Jika
tidak bersedia dipimpin oleh dia, mestinya ya jangan menikah. Demikian pula
lelaki ketika mengambil sumpah ijab qabul dengan diawali bersyahadat, maka ia
telah bersumpah di hadapan Allah untuk memikul tanggung jawab memimpin dan
menafkahi wanita itu. Jika belum mampu memimpin dan mencari nafkah ya jangan
menikah.
Wallahualambishowab
Saya ada 1 pertanyaan
BalasHapusBagaimana jika seorang istri meminta ijin bekerja karena seluruh keluarga besarnya(Mulai dari kakek neneknya, orang tuanya dan saudaranha) bergantung kepadanya?