Bahwa dikatakan: “bukankah dalam Al-Qur’an sudah ditetapkan
pezina itu dihukum dera?”.
Jawabannya “benar” demikianlah hukum Allah. Namun
dalam Islam ada tataran “idiil” yang menjadi komitmen iman untuk diimani, dan
ada tataran “praktis” yaitu masalah penerapan atau aplikasinya dalam kehidupan.
Pertama, dalam tataran “praktis” sebagian ulama mengatakan bahwa ayat-ayat yang mengatur masalah hukum kenegaraan, kemasyarakatan dan pidana dalam Islam bersifat muqoyyad (bersyarat) yaitu baru bisa terlaksana setelah tegaknya komponen-komponen islami lainnya. Sedangkan ayat-ayat perintah tentang ibadah mahdhoh (ibadah ritual kepada Allah) bersifat muthlaq tidak menunggu wujudnya komponen lainnya.
Mengapa demikian? Islam adalah sistem yang komperhensif, artinya komplit lengkap. Ibarat sebuah mesin, ia terdiri dari berbagai komponen atau bagian-bagian yang saling terkait. Jika ingin mesin itu berjalan dengan baik dan benar maka harus menggunakan suku cadang asli dan dipasang serta difungsikan dengan benar. Jika tidak maka jalannya mesin akan janggal dan bahkan tidak berfungsi sama sekali. Coba bayangkan jika mobil Ferari yang hebat tapi sebagian komponennya menggunakan komponen mesin jahit, maka jangan lantas katakan “Ferari katanya hebat, kok ngaco begini ?”
Demikian pula satu komponen dalam Islam yaitu hukum pidana (hudud) harus diterapkan sinkron dengan komponen-komponen lainnya dalam Islam. Jika tidak maka akan terasa janggal dan aneh. Maka dari itu, Allah menyuruh kita untuk memeluk Islam jangan setengah-setengah. Ntar kalo setengah-setengah jangan salahkan Islam jika tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan atau terasa janggal di sana sini.
“Hai orang-orang yang beriman, masukklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah) dan jangalah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah : 208)
Perlu diketahui bahwa 13 tahun lamanya Rasulullah SAW berdakwah di Mekkah, ayat-ayat yang turun adalah seputar masalah Aqidah, yaitu membereskan konsep ke-Tuhan-an, dan keimanan lainnya. Belum ada ayat-ayat tentang puasa, zakat, atau pidana. Bahkan ayat tentang haramnya khamr (arak) baru turun pada tahun 9 Hijriyah, setelah perjanjian Hudaibiyyah yaitu menjelang Futuh (penaklukan) Mekah. Artinya setelah 9 tahun berdiri institusi resmi pemerintahan Islam di Madinah, sebagian sahabat masih banyak yang shalat dalam keadaan mabuk, termasuk Umar bin Khattab. Ini menunjukkan betapa penerapan pidana (hudud) harus diterapkan bertahap.
Demikianlah yang terjadi terhadap sistem Islam. Jika Anda menerapkan Islam setengah-setengah, maka jangan salahkan jika buah yang dijanjikan oleh Islam tidak akan terjadi. Sebaliknya yang terjadi adalah ketimpangan-ketimpangan, keterbelakangan, kehinaan dan Islam akan terasa janggal.
Wajar jika orang menganggap pencuri dipotong tangannya adalahj terasa kejam, karena di tengah kondisi kemakmuran yang tidak merata, kemiskinan di mana mana, pengangguran berjuta juta orang, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, perekonomian dikuasai segelintir orang dsb. Dalam kondisi seperti ini, para koruptor lah yang harus dihukum potong tangan (sebagian orang malah menganggap layak koruptor dihukum mati).
Namun jika ekonomi Islam diterapkan, dimana orang-orang miskin mendapat santunan dari negara, yang kekurangan makanan bisa mengambil dari baitul maal setempat, orang yang berutang dibayarkan utangnya dari dana zakat, orang yang kehabisan bekal diperjalanan dapat mengambil dana di baitul maal, sehingga kemakmuran merata di kalangan masyarakat. Dalam situasi ekonomi seperti demikian, tidak ada alasan untuk mencuri, karena jika kekurangan sewaktu-waktu dapat meminta santunan dari baitul maal. Maka dalam situasi kemakmuran yang merata seperti itu, sungguh KETERLALUAN orang yang mencuri, dan hanya orang yang serakahlah yang mencuri dalam situasi demikian. Maka, tidaklah terasa kejam orang yang mencuri akan dihukum potong tangan.
Contoh lainnya, dalam masalah hukum dera bagi pezina. Apabila sistem kehidupan yang Islami diterapkan, maka wanita-wanita akan merasa aman, karena Islam sangat preventif dalam mengatur pergaulan lawan jenis. Demikian pula laki-lakinya merasa aman dari godaan syahwat. Sebab-wanita-wanita diperintahkan menutup aurat, siaran media apapun dan hal-hal yang dapat merangsang syahwat dilarang. Pernikahan dipermudah, sedangkan perceraian dipersulit (bukan sebaliknya). Negara berkewajiban mencarikan jodoh dan memberikan santunan bagi yang tidak mampu menikah. Tidak boleh ada wanita yang tidak kebagian jodoh, demikian pula janda-janda harus ada yang mengawininya. Pada jaman Rasulullah begitu ada seorang menjadi janda langsung dicarikan orang yang mau menikahinya.
Pertama, dalam tataran “praktis” sebagian ulama mengatakan bahwa ayat-ayat yang mengatur masalah hukum kenegaraan, kemasyarakatan dan pidana dalam Islam bersifat muqoyyad (bersyarat) yaitu baru bisa terlaksana setelah tegaknya komponen-komponen islami lainnya. Sedangkan ayat-ayat perintah tentang ibadah mahdhoh (ibadah ritual kepada Allah) bersifat muthlaq tidak menunggu wujudnya komponen lainnya.
Mengapa demikian? Islam adalah sistem yang komperhensif, artinya komplit lengkap. Ibarat sebuah mesin, ia terdiri dari berbagai komponen atau bagian-bagian yang saling terkait. Jika ingin mesin itu berjalan dengan baik dan benar maka harus menggunakan suku cadang asli dan dipasang serta difungsikan dengan benar. Jika tidak maka jalannya mesin akan janggal dan bahkan tidak berfungsi sama sekali. Coba bayangkan jika mobil Ferari yang hebat tapi sebagian komponennya menggunakan komponen mesin jahit, maka jangan lantas katakan “Ferari katanya hebat, kok ngaco begini ?”
Demikian pula satu komponen dalam Islam yaitu hukum pidana (hudud) harus diterapkan sinkron dengan komponen-komponen lainnya dalam Islam. Jika tidak maka akan terasa janggal dan aneh. Maka dari itu, Allah menyuruh kita untuk memeluk Islam jangan setengah-setengah. Ntar kalo setengah-setengah jangan salahkan Islam jika tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan atau terasa janggal di sana sini.
“Hai orang-orang yang beriman, masukklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah) dan jangalah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah : 208)
Perlu diketahui bahwa 13 tahun lamanya Rasulullah SAW berdakwah di Mekkah, ayat-ayat yang turun adalah seputar masalah Aqidah, yaitu membereskan konsep ke-Tuhan-an, dan keimanan lainnya. Belum ada ayat-ayat tentang puasa, zakat, atau pidana. Bahkan ayat tentang haramnya khamr (arak) baru turun pada tahun 9 Hijriyah, setelah perjanjian Hudaibiyyah yaitu menjelang Futuh (penaklukan) Mekah. Artinya setelah 9 tahun berdiri institusi resmi pemerintahan Islam di Madinah, sebagian sahabat masih banyak yang shalat dalam keadaan mabuk, termasuk Umar bin Khattab. Ini menunjukkan betapa penerapan pidana (hudud) harus diterapkan bertahap.
Demikianlah yang terjadi terhadap sistem Islam. Jika Anda menerapkan Islam setengah-setengah, maka jangan salahkan jika buah yang dijanjikan oleh Islam tidak akan terjadi. Sebaliknya yang terjadi adalah ketimpangan-ketimpangan, keterbelakangan, kehinaan dan Islam akan terasa janggal.
Wajar jika orang menganggap pencuri dipotong tangannya adalahj terasa kejam, karena di tengah kondisi kemakmuran yang tidak merata, kemiskinan di mana mana, pengangguran berjuta juta orang, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, perekonomian dikuasai segelintir orang dsb. Dalam kondisi seperti ini, para koruptor lah yang harus dihukum potong tangan (sebagian orang malah menganggap layak koruptor dihukum mati).
Namun jika ekonomi Islam diterapkan, dimana orang-orang miskin mendapat santunan dari negara, yang kekurangan makanan bisa mengambil dari baitul maal setempat, orang yang berutang dibayarkan utangnya dari dana zakat, orang yang kehabisan bekal diperjalanan dapat mengambil dana di baitul maal, sehingga kemakmuran merata di kalangan masyarakat. Dalam situasi ekonomi seperti demikian, tidak ada alasan untuk mencuri, karena jika kekurangan sewaktu-waktu dapat meminta santunan dari baitul maal. Maka dalam situasi kemakmuran yang merata seperti itu, sungguh KETERLALUAN orang yang mencuri, dan hanya orang yang serakahlah yang mencuri dalam situasi demikian. Maka, tidaklah terasa kejam orang yang mencuri akan dihukum potong tangan.
Contoh lainnya, dalam masalah hukum dera bagi pezina. Apabila sistem kehidupan yang Islami diterapkan, maka wanita-wanita akan merasa aman, karena Islam sangat preventif dalam mengatur pergaulan lawan jenis. Demikian pula laki-lakinya merasa aman dari godaan syahwat. Sebab-wanita-wanita diperintahkan menutup aurat, siaran media apapun dan hal-hal yang dapat merangsang syahwat dilarang. Pernikahan dipermudah, sedangkan perceraian dipersulit (bukan sebaliknya). Negara berkewajiban mencarikan jodoh dan memberikan santunan bagi yang tidak mampu menikah. Tidak boleh ada wanita yang tidak kebagian jodoh, demikian pula janda-janda harus ada yang mengawininya. Pada jaman Rasulullah begitu ada seorang menjadi janda langsung dicarikan orang yang mau menikahinya.
Dengan cara ini, wanita-wanita terjaga dari lembah pelacuran, laki-laki juga
aman karena tak ada wanita-wanita penggoda. Mata laki-laki juga aman dari
pemandangan yang merangsang. Maka Anda dapat membayangkan, dalam situasi
masyarakat yang Islami seperti itu, tidak ada alasan untuk melakukan zina.
Hanya orang yang benar-benar KETERLALUAN dan bejat moralnya yang masih melakukan
zina. Jika demikian keadaannya, maka hukum rajam bagi orang yang berzina
menjadi tidak terasa kejam.
Kedua, kalaupun komponen kehidupan islami lainnya telah terwujud, untuk mencapai pada satu kesimpulan dan tindakan menghukum seorang (karena zina, atau kejahatan lainnya) tidaklah semudah itu. Karena harus ada 4 orang saksi yang melihatnya. Jika hanya 1 orang yang melihatnya (walau itu adalah suaminya) maka itu tidak cukup untuk menerapkan pidana (karena kesaksian 1 orang bisa saja subyektif)
“Dan orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri…” (Q.S. 24:6) “Mengapa mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi? (Oleh karena mereka tidak(bisa mendatangkan saksi ) mereka itulah di sisi Allah orang-orang yang berdusta” (Q.S. 24:13)
Bahkan dalam Hadits, Rasulullah SAW mensyaratkan “seperti melihatnya timba masuk ke dalam sumur”. Artinya walaupun kecurigaan sudah sangat kuat (misalnya melihat berduaan ke dalam kamar) tidak bisa dihukum berdasarkan dugaan (karena bisa saja ia tidak melakukan apa-apa walaupun berduaan di dalam kamar). Bahkan dalam Islam, orang yang tidak bisa mendatangkan 4 orang saksi sebaiknya diam saja, jika tidak, maka dialah yang dihukum dera karena dianggap melakukan tuduhan palsu.
“Dan orang-orang yang menuduh wanita (berzina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan 80 kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan mereka lah orang yang fasik, kecuali meeka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. 24 : 4-5)
Hal ini menguatkan keterangan sebelumnya bahwa zina yang dilakukan dengan terbuka amat terang-terangan lah yang dihukum pidana. Sedangkan zina yang dilakukan secara sembunyi sembunyi diserahkan hukumnya pada Allah. Hal ini bukanlah berarti “kok enak ya”. Ya gak lah. (Hukum Allah di neraka itu lebih pedih daripada hukum manusia di bumi). Demikianlah kata Rasulullah bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan zhohir yang nampak saja. Sedangkan yang tidak nampak hal itu diserahkan kepada Allah.
“Dari Um Salamah istri Nabi SAW berkata : Rasulullah SAW bersabda : adakalanya dua orang yang bersengketa datang kepadaku, satu diantaranya lebih pandai dalam berhujjah dari lawannya, sehingga saya kira dialah yang benar dan aku memenangkannya, Maka siapa yang aku menangkan dengan melanggar hak seorang muslim, maka bagaikan potongan api neraka yang kuberikan kepadanya, terserah padanya mengambil atau menolaknya” (H.R. Bukhari Muslim Alu’lu wal Marjan II no. 1114)
Persayaratan adanya saksi itu bisa gugur jika ada pengakuan dari si pelaku sendiri. Namun itu pun masih diberi kesempatan bertobat kecuali ia melakukannya lagi secara terang-terangan. Dalam kasus, Rasulullah SAW mendiamkan orang itu sampai 4 X.
Dari Abu Hurairah berkata : “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau di masjid lalu laki-laki itu berkata : Wahai Rasulullah aku telah berzina!. Lalu Rasulullah berpaling darinya hingga laki-laki itu mengulangi perkataannya 4X”. (H.R. Bukhari XV/132) .
Kedua, kalaupun komponen kehidupan islami lainnya telah terwujud, untuk mencapai pada satu kesimpulan dan tindakan menghukum seorang (karena zina, atau kejahatan lainnya) tidaklah semudah itu. Karena harus ada 4 orang saksi yang melihatnya. Jika hanya 1 orang yang melihatnya (walau itu adalah suaminya) maka itu tidak cukup untuk menerapkan pidana (karena kesaksian 1 orang bisa saja subyektif)
“Dan orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri…” (Q.S. 24:6) “Mengapa mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi? (Oleh karena mereka tidak(bisa mendatangkan saksi ) mereka itulah di sisi Allah orang-orang yang berdusta” (Q.S. 24:13)
Bahkan dalam Hadits, Rasulullah SAW mensyaratkan “seperti melihatnya timba masuk ke dalam sumur”. Artinya walaupun kecurigaan sudah sangat kuat (misalnya melihat berduaan ke dalam kamar) tidak bisa dihukum berdasarkan dugaan (karena bisa saja ia tidak melakukan apa-apa walaupun berduaan di dalam kamar). Bahkan dalam Islam, orang yang tidak bisa mendatangkan 4 orang saksi sebaiknya diam saja, jika tidak, maka dialah yang dihukum dera karena dianggap melakukan tuduhan palsu.
“Dan orang-orang yang menuduh wanita (berzina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan 80 kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan mereka lah orang yang fasik, kecuali meeka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. 24 : 4-5)
Hal ini menguatkan keterangan sebelumnya bahwa zina yang dilakukan dengan terbuka amat terang-terangan lah yang dihukum pidana. Sedangkan zina yang dilakukan secara sembunyi sembunyi diserahkan hukumnya pada Allah. Hal ini bukanlah berarti “kok enak ya”. Ya gak lah. (Hukum Allah di neraka itu lebih pedih daripada hukum manusia di bumi). Demikianlah kata Rasulullah bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan zhohir yang nampak saja. Sedangkan yang tidak nampak hal itu diserahkan kepada Allah.
“Dari Um Salamah istri Nabi SAW berkata : Rasulullah SAW bersabda : adakalanya dua orang yang bersengketa datang kepadaku, satu diantaranya lebih pandai dalam berhujjah dari lawannya, sehingga saya kira dialah yang benar dan aku memenangkannya, Maka siapa yang aku menangkan dengan melanggar hak seorang muslim, maka bagaikan potongan api neraka yang kuberikan kepadanya, terserah padanya mengambil atau menolaknya” (H.R. Bukhari Muslim Alu’lu wal Marjan II no. 1114)
Persayaratan adanya saksi itu bisa gugur jika ada pengakuan dari si pelaku sendiri. Namun itu pun masih diberi kesempatan bertobat kecuali ia melakukannya lagi secara terang-terangan. Dalam kasus, Rasulullah SAW mendiamkan orang itu sampai 4 X.
Dari Abu Hurairah berkata : “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau di masjid lalu laki-laki itu berkata : Wahai Rasulullah aku telah berzina!. Lalu Rasulullah berpaling darinya hingga laki-laki itu mengulangi perkataannya 4X”. (H.R. Bukhari XV/132) .
Dalam riwayat Muslim disebutkan
Rasulullah bersabda : Celakalah kamu, pulanglah dan minta ampunlah pada Allah
dan bertobatlah padaNya”. (H.R. Muslim VIII/101)
Demikian pula sikap Khalifah Abu Bakar ketika datang seorang dari Suku Aslam lalu berkata : “Ada seseorang yang melakukan zina!” Lalu Abu Bakar bertanya pada orang tsb : “ Apakah engkau telah menyebarkan berita ini kepada orang lain selain aku?” Orang itu menjawab : “Belum”. Lalu Abu Bakar berkata : “Bertobatlah kepada Allah dan tutuplah dengan tutup Allah karena Allah menerima tobat hamba-hambaNya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha II/821)
Ada kisah, dimana si pelaku lah yang ngotot terus menerus mendesak kepada Rasulullah SAW untuk minta dihukum, maka barulah hukuman itu dilaksanakan atas desakan si pelaku sendiri. Jika tidak demikian, maka hukuman itu diserahkan pada Allah.
Diriwayatkan dari Buraidah bahwa Ma’iz bin Malik Al Aslami datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata : ” Ya Rasulullah saya telah menganiaya diri saya sendiri dan berbuat zina, karena itu saya ingin engkau menyucikan diri saya”. Rasulullah SAW menolaknya. Maka keesokan harinya dia (Ma’iz) datang lagi dan berkata : “ Ya Rasulullah saya telah berbuat zina” Maka Rasulullah menolak (untuk menghukumnya) untuk kedua kalinya. Lalu Beliau mengutus orang untuk menyelidiki “Apakah akalnya tidak terganggu (gila)?” Mereka menjawab : “Setahu kami akalnya sehat dan ia termasuk orang yang baik di antara kami”. Lalu Ma’iz datang untuk ketiga kalinya. Lalu Rasulullah menolaknya lagi dan mengutus lagi orang untuk menanyakan apakah otak nya (Ma’iz) terganggu? Maka ketika ia (Ma’iz) datang lagi untuk keempat kalinya, Rasulullah SAW pun menyuruh digalikan lubang lalu ia (Ma’iz) dimasukkan ke lubang itu dan dilaksanakan hukum rajam. “ (H.R. Muslim V/120).
Demikian pula sikap Khalifah Abu Bakar ketika datang seorang dari Suku Aslam lalu berkata : “Ada seseorang yang melakukan zina!” Lalu Abu Bakar bertanya pada orang tsb : “ Apakah engkau telah menyebarkan berita ini kepada orang lain selain aku?” Orang itu menjawab : “Belum”. Lalu Abu Bakar berkata : “Bertobatlah kepada Allah dan tutuplah dengan tutup Allah karena Allah menerima tobat hamba-hambaNya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha II/821)
Ada kisah, dimana si pelaku lah yang ngotot terus menerus mendesak kepada Rasulullah SAW untuk minta dihukum, maka barulah hukuman itu dilaksanakan atas desakan si pelaku sendiri. Jika tidak demikian, maka hukuman itu diserahkan pada Allah.
Diriwayatkan dari Buraidah bahwa Ma’iz bin Malik Al Aslami datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata : ” Ya Rasulullah saya telah menganiaya diri saya sendiri dan berbuat zina, karena itu saya ingin engkau menyucikan diri saya”. Rasulullah SAW menolaknya. Maka keesokan harinya dia (Ma’iz) datang lagi dan berkata : “ Ya Rasulullah saya telah berbuat zina” Maka Rasulullah menolak (untuk menghukumnya) untuk kedua kalinya. Lalu Beliau mengutus orang untuk menyelidiki “Apakah akalnya tidak terganggu (gila)?” Mereka menjawab : “Setahu kami akalnya sehat dan ia termasuk orang yang baik di antara kami”. Lalu Ma’iz datang untuk ketiga kalinya. Lalu Rasulullah menolaknya lagi dan mengutus lagi orang untuk menanyakan apakah otak nya (Ma’iz) terganggu? Maka ketika ia (Ma’iz) datang lagi untuk keempat kalinya, Rasulullah SAW pun menyuruh digalikan lubang lalu ia (Ma’iz) dimasukkan ke lubang itu dan dilaksanakan hukum rajam. “ (H.R. Muslim V/120).
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar