Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

'Cara Mengendalikan Marah'


Bismillah..

Sehubungan banyak sahabat yang bertanya seputar masalah marah dan sifat temperamental atau emosional yang sulit dikendalikan. Dari mana asalnya marah? Marah adalah sebuah tindakan yang diawali dari timbulnya perasaan marah. Perasaan marah ini disebut juga dengan amarah. Amarah adalah perasaan marah, sedangkan marah itu sendiri adalah tindakan yang dilakukan sebagai ekspresi rasa marah. Orang bisa saja merasakan amarah namun belum tentu disalurkan atau dilampiaskan dalam wujud tindakan marah. 

Amarah itu sendiri timbul ketika ada “stimulus” yaitu peristiwa pencetus yang menyebabkan timbulnya perasaan marah. Sebuah peristiwa atau tindakan yang ditimpakan pada diri kita akan bisa mendatangkan amarah setelah melalui proses penilaian kognitif. Proses penilaian kognitif ini adalah proses membandingkan antara peristiwa yang terjadi dengan ukuran atau kriteria yang kita miliki. Ukuran dalam otak ini ada yang bersumber dari insting atau intuisi dan ada yang berasal dari nilai normatif. Insting atau intuisi adalah nilai asal yang sudah ada sejak manusia lahir. Sedangkan norma adalah hasil perenungan atas pengalaman hidup, pendidikan, bacaan, ajaran, indoktrinasi dll.

Seorang bayi yang marah karena lapar dan tidak segera disusui ibunya, maka marahnya adalah marah intuitif karena rasa marahnya bersumber dari insting dalam diri manusia.
Sedangkan orang yang marah kepada orang yang dianggap nakal atau pada peristiwa yang dianggap keterlaluan, itu adalah marah normatif,  yang bersumber pada norma kehidupan yang dianut orang tersebut. Dalam hal ini setiap orang akan memiliki reaksi marah yang berbeda. Orang Arab tidak tersinggung jika dipegang jenggotnya, sedangkan di Timur mungkin hal itu akan menyinggung. Di Barat, orang justru merasa tersinggung jika kita tidak menatap lawan bicara ketika diajak bicara, sebaliknya orang Timur merasa tersinggung jika ditatap matanya. Rasa marah seperti ini berbeda beda karena bersumber pada nilai normatif, ajaran dan pendidikan yang diterima seseorang selama masa hidupnya.

Marah intuitif dan marah normatif  adalah wajar dan normal sepanjang kadarnya tidak berlebihan. Baik marah intuitif maupun marah normatif  bisa saja kadarnya tidak wajar dan sulit dikendalikan. Maka ini adalah suatu hal yang abnormal dan harus diatasi.
Ketika membahas masalah pengendalian marah, idealnya pengendalian itu berada pada tahap paling awal yaitu pengendalian perasaan. Logikanya, kalo Anda mampu jangan sampai merasa marah / tersinggung, maka pasti tidak akan melakukan tindakan marah. Orang yang sensitif, perasaannya mudah tersinggung, sehingga pasti ia akan mudah marah.

Jika perasaan Anda tidak bisa dicegah untuk tidak tersinggung, maka boleh-boleh saja Anda merasa marah atau tersinggung, asalkan jangan ditindaklanjuti dengan tindakan marah atau agresif, terlebih jika destruktif atau anarkis. Kalaupun ternyata rasa marah itu harus mendapat penyaluran atau pelepasan, maka wujud tindakan marah itu diusahakan yang elegan dan santun. Inilah yang sejelek-jeleknya pengendalian. Kalau marah yang elegan pun Anda tidak bisa lakukan, berarti memang Anda tidak mampu mengendalikan diri.

Ada dua katagori terapi pengendalian marah. Katagori pertama ialah pengendalian diri ketika pas rasa amarah itu terjadi. Katagori kedua, adalah latihan pengendalian diri ketika perasaan amarah itu tidak ada (dalam kondisi tenang). Yang terakhir ini disebut terapi proaktif.

Terapi Pengendalian Diri Ketika Rasa Amarah itu Terjadi, diantaranya :

Cara pertama adalah dengan menghindari atau meninggalkan hal-hal yang menyebabkan kita emosi atau menjauhi peristiwa yang memicu rasa marah.

Sa’id bin Al Musayyab menceritakan ketika Rasulullah SAW sedang duduk bersama beberapa sahabatnya, seorang pria mencaci Abu Bakar. Namun Abu Bakar tetap diam. Orang itu tetap menyinggungnya untuk kedua kalinya, namun Abu bakar tetap diam. Ia menyinggungnya untuk ketiga kalinya dan akhirnya Abu Bakar pun balik membalasnya. Maka Rasulullah bangkit pergi. (Melihat hal itu )Abu Bakar pun menyusul Nabi dan bertanya : “Marahkan engkau kepadaku wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Seorang malaikat turun dari langit dan menampik apapun yang ia cercakan kepadamu, namun saat engkau membalasnnya, sesosok setan turun dan aku enggan duduk bersama sahabatku ketika setan turun ikut serta” (H.R. Abu Daud).

Cara kedua, ialah dengan melakukan jeda tindakan ragawi, misalnya mengubah posisi menjadi lebih rileks. Dengan cara itu, diharapkan emosi juga mereda.Rasulullah menasehati Abu Dzar : “Saat seseorang diantaramu didatangi amarah pada posisi berdiri, hendaklah ia duduk, jika amarahnya berlalu, maka hal itu baik. Jika tidak maka hendaklah ia berbaring” (H.R. Abu Daud).

Senada dengan kiat di atas adalah dengan cara berwudhu berkali-kali hingga rasa marah itu hilang. Athiyyah As-Sa’di meriwayatkan dari Abu Wa’il Al Qass : Kami menemui Urwah bin Muhammad bin As-Sa’di. Seorang pria berbicara kepadanya (Urwah) dan membuatnya marah maka ia berdiri dan melakukan wudlu, tak lama ia pun kembali dan berwudlu lagi lalu berkata : “Ayah ku memberitahuku menurut persaksian kakekku Athiyyah yang memberitakan dari Rasulullah SAW yang bersabda : “Amarah itu datangnya dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api dipadamkan dengan air, maka jika seseorang darimu marah, hendaklah ia berwudlu” (H.R. Abu Daud)

Cara ketiga, ialah dengan menghibur diri sendiri dengan cara melihat orang lain ada yang diperlakukan lebih buruk namun masih lebih sabar. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW : Abdullah bin Mas’ud menriwayatkan suatu ketika Nabi SAW membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan perang) seorang berkata : “pembagian ini tidak dilakukan secara adil demi keridhoan Allah”. Aku pergi menemui Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu dan beliau nampak marah sehingga bisa kusaksikan pada wajahnya. Lalu beliau berkata : “ Mudah-mudahan Allah mengkaruniakan rahmat bagi Musa, sebab ia telah disakiti dengan perlakukan yang lebih buruk daripada ini, namun ia tetap teguh dan bersabar” (H.R. Bukhari).

Cara keempat, kalaupun terpaksa menumpahkan amarah, maka sampaikanlah dengan kata-kata yang mulia sehingga bukannya caci maki melainkan nasihat yang menyadarkan lawan yang menyakiti Anda. Hal ini dicontohkan ketika Khalifa Umar bin Abdul Aziz dicaci maki dengan bahasa yang kasar, maka beliau mengatakan : “Sesungguhnya Aku masih lebih baik dari Fir’aun yang kafir dan mengaku sebagai Tuhan, namun Musa diperintahkan Allah untuk berkata dengan baik”. Jadi Umar bin Abdul Aziz tidak membalas kekasaran orang yang menyakitinya melainkan menasehatinya dengan kata-kata yang sangat mengena, walaupun tersirat di dalamnya sebuah rasa amarah.

Sedangkan terapi pengendalian diri pada saat kondisi tenang (tidak marah) ialah dengan berlatih mengolah rasa dengan cara tahanuts, shalat, tahajud dan zikir. Selain itu, hasil riset menyimpulkan bahwa marah normatif disebabkan oleh, kemampuan yang rendah dalam proses penilaian kognitif, disebabkan kurangnya wawasan, kurangnya pendidikan atau salah persepsi dan kurangnya kompetensi diri dalam menghadapi masalah. Maka terapi nya saat kondisi tenang adalah menambah wawasan, menambah ilmu, dan menambah kompetensi diri.
Ali bin Abi Thalib menasehati : “Telanlah rasa marah (amarah) mu sebab aku tidak menemukan minuman yang lebih manis daripada itu”.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar