Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

KESALAHAN-KESALAHAN UMUM YANG KHUSUS


Suatu ketika  di musim langka minyak ada orang yang tega menimbun minyak agar bisa dijual dengan harga mahal. Lalu seorang ibu-ibu tua bilang “sampeyan (anda) jangan mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain”. Kalimat ini terus bergaung dari mulut satu ke mulut lainnya. Sungguh luhur dan mulia sekali kelimat itu. Maka orang yang mendengarnya pun pasti manggut manggut. 

Namun apa yang terjadi kemudian? Ada yang berkata sinis “dokter senang ya kalau ada orang sakit? pekerjaannya kok mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain”. Sementara di kota yang lain seorang tukang jual air sumur dicemberuti,  karena “mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain” karena saat ini musim kemarau dan orang-orang sumurnya pada kering. Sedangkan di belahan dunia lain tukang tambal ban dianggap “mengambil keuntungan di atas penderitaan orang” yang apes ban nya kempes. Dan si kuncung bilang mang udin tukang baso “mengambil keuntungan di atas penderitaan orang” yang lagi kelaparan.

Anda pasti setuju kalau penafsiran dan penerapan kaidah “jangan mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain” ini telah berkembang menjadi lebay dan tidak proporsional lagi. Ini adalah perumpamaan dan contoh bagaimana sebuah kalimat sederhana yang bersifat umum dan luas bisa ditafsiri tidak proporsional lagi, berlebihan, digeneralisir (diartikan terlalu umum jadi terlalu luas) atau saat yang sama mengalami simplifikasi (nyari gampangnya aja) sehingga penerapan di lapangan menjadi salah kaprah dan serampangan.

Hal inilah yang sering terjadi dimana saja, dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam masalah agama. Dalam masalah agama, misalnya terjadi pada generalisasi kaidah 

“Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. (H.R. Abdu Daud, Tirmidzi ; hadits hasan shahih). 

Dari kalimat ini ada sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam meluaskan maksud sekaligus juga simplifikasi sehingga gampang saja mengecap bid’ah segala sesuatu yang tidak ada pada jaman Rasul. Padahal ulama salaf seperti  Imam Al-Nawawi  menyatakan : “Maksud Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (khusus). Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarah Shahih Muslim, /154).

Lalu kalaupun itu dibatasi masalah agama, lalu apa batasan yang disebut masalah agama? Apa-apa saja yang termasuk agama? Apakah sholat dan berdoa termasuk urusan agama? Anda pasti menjawab “ya” jelas.
Lalu bagaimanakah ketika Umar mengadakan shalat tarawih berjamaah secara rutin 30 hari penuh selama bulan puasa di masjid sedangkan hal itu tidak dilakukan oleh Nabi? Apakah anda berani mengatakan kalau Umar melakukan bid’ah? 

Bagaimana dengan doa yang dikarang oleh Imam Hanbal dan Ibnu Taimiyyah padahal itu tidak dicontohkan Nabi? Apakah Anda berani mengatakan pada ulama salafus sholeh itu telah melakukan bid’ah?
Apakah adzan termasuk urusan agama? Mungkin agak lama sedikit mikirnya, tapi pasti Anda juga menjawab “ya”, Lalu bagaimana dengan adzan 2 X sebelum jum’at yang itu dilakukan oleh Utsman bin Affan? Apakah utsman melakukan bid’ah?

Lalu persoalan bergeser pada arti sesuatu yang baru / diada-adakan. Apakah maksudnya sesuatu yang baru yang tidak ada pada jaman Nabi? Jika ya, apakah maksudnya baru secara fisik / zhahir nya? Ataukah secara hakikatnya? Maksudnya, apakah sesuatu itu Nampak baru tapi hakikatnya telah ada pada jaman Rasulullah, atau sesuatu yang sama sekali baru bahkan secara hakikatpun belum dikenal pada jaman Rasulullah.

Pada akhirnya kita memang harus sepakat dulu memberi definisi dan batasan untuk setiap istilah sebelum BURU-BURU berdebat dan saling menyalahkan. Memang begitulah semestinya agar persoalannya tidak serampangan. Karena sikap generalisasi dan simplikasi bisa membawa pada sikap sembrono dan asal-asalan.
Kesalahan dalam mentakwilkan dan memperluas makna secara berlebih-lebihan juga terjadi misalnya pada kasus hadits berikut :

Dari Hudzaifah Rasulullah SAW bersabda : “Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum” Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (H.R. Abu Daud, Ibnu Umar & Thabrani).

Ada orang yang meluaskan maksud kata “tasyabbaha” atau tasyabuh (meniru ) itu pada tindakan “meniru segala apa saja” sehingga meniru segala apa yang berasal dari Barat adalah kafir, karena khawatir di mata Allah akan dicap termasuk golongan orang kafir Barat. 

Kaidah ini menjadi salah kaprah dalam penerapannya ketika  pada masa Syaikh Abdul Karim Amrullah seorang ulama yang berdakwah di Sumatera Barat pada masa kolonial Belanda, beliau dinyatakan keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah oleh ulama lainnya, gara-gara memakai celana panjang (pantalon) serta jas dan dasi seperti orang Belanda yang kafir. Bahkan ketika itu banyak ulama masih mengharamkan mengajar memakai bangku dan papan tulis, serta menolak sepeda motor. Maka Syaikh Muh Djamil Djambek di Padang termasuk ulama yang mendobrak pandangan salah itu, dengan sengaja berdakwah dengan menggunakan sepeda motor.

Lalu bagaimana menurut anda…?????

1 komentar:

  1. klo menurut ane yee, yang smbarang itu yang salah N gc tw apa-apa tntng agama, pdhal ni yee dlm ushul fiqh ntu ude jelas mane ntu yang bisa dikategorikan general tw simple.......

    BalasHapus