Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

Seri Renungan : Apakah Manusia Dapat Melihat Tuhan (Allah) ?


MANUSIA DAPAT MELIHAT TUHAN ?

Salah satu alasan klasik yang menjadikan orang sukar percaya mengenai adanya Tuhan ialah karena manusia belum pernah melihat atau berjumpa dengan Tuhan.

“...Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata : ‘Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’ Maka mereka kemudian disambar petir karena kezalimannya, dan mereka kemudian menyembah anak sapi” (Q.S. An-Nisaa’ : 153)

Dalam sejarah belum pernah Tuhan menuruti permintaan manusia agar menampakkan diri atau dapat dilihat. Seperti telah dinyatakan sendiri dalam firman-Nya :

“Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan sedang Dia dapat mencapai segala penglihatan, karena Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”
(Q.S. Al-An’am : 103)

Walaupun Tuhan tidak mengijinkan hamba-Nya untuk melihat-Nya, namun Tuhan mengijinkan hamba-Nya berdialog langsung dan mendengar suara-Nya, seperti dapat kita baca dalam Al-Qur’an pada kasus Nabi Musa :

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunjat kepada Kami pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telag berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa : ‘ Ya Tuhanku, nampakkanlah (diriMu) kepadaku agar aku dapat melihat Mu’ Tuhan berfirman : ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku’. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali dia berkata : ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman’”.
 (Q.S. Al-A’raaf : 143)

Sebagian mufassir berpendapat bahwa suara yang dimaksud ialah benar-benar suara sebagaimana manusia mendengar suara. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa dialog tersebut terjadi melalui wahyu sebagaimana para Nabi biasa menerima wahyu. Yang jelas, apapun bentuk dialog tersebut melalui suara atau wahyu, hanya para Nabi-Nabi pilihan saja yang diijinkan mengalami hal ini.

Para mufassirin (ahli tafsir) sebagian berpendapat bahwa yang dinampakkan pada gunung itu adalah kebesaran dan kekuasaan Allah. Tapi sebagian ada juga yang menafsirkan bahwa yang nampak saat itu adalah cahaya Allah. Namun bagaimanapun juga yang nampak saat itu bukanlah berwujud seperti makhluq, sehingga apa yang nampak saat itu tidak ada bandingannya dengan apa yang pernah kita lihat di alam ini.

Allah berfirman : “Hai Musa. sesungguhnya Aku telah memilih kamu dari manusia lainnya untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepada mu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Q.S. Al A’raaf : 144)

Tetapi mengapa  Allah tidak mengijinkan manusia melihat-Nya ? Dari bunyi surat Al-A’raf di atas dapat kita ketahui penjelasan Allah bahwa sebuah gunung-pun akan hancur luluh jika Allah menampakkan diri-Nya. Apalagi manusia.

Namun bukan berarti bahwa manusia selamanya tidak dapat melihat Allah secara langsung, melainkan nanti di surga, manusia akan dapat melihat Allah secara langsung. Hal ini dijelaskan dalam hadits Qudsi sebagai berikut :

Allah berfirman: "Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur." (Q.S. Al-A’raaf:144)

“Allah berfirman dalam Hadits Qudsi kepada Nabi Musa : ‘ Hai Musa, engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku . Sungguh makhluq hidup pasti mati jika melihat-Ku, yang kering pasti mengering kerontang, yang basah pasti akan bertaburan. Yang dapat melihat-Ku hanyalah para penghuni surga yang tidak akan mati pandangannya dan tidak akan hancur binasa tubuhnya’.”
 (Hadits Qudsi riwayat Al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.)

Mungkin dapat kita simpulkan bahwa semua makhluq di dunia ini memang tidak dirancang untuk dapat tahan melihat Allah secara langsung. Baik itu sebuah gunung,  apalagi manusia. Namun  di surga nanti, dimana segala hukum alam dan materi tidak berlaku, dan segalanya memang telah dirancang oleh Allah sendiri untuk dapat melihat-Nya, maka manusia pun akan dapat melihat Allah secara langsung. Hal ini dijamin Allah bagi orang beriman yang masuk surga :

“Abu Musa r.a. berkata Rasulullah bersabda Dua surga dari perak semua perabot dan bejananya dan dua surga dari emas semua bejana dan alat-alatnya dan tidak ada hijab (tabir) antara mereka dengan Tuhan untuk dapat melihatnya kecuali tabir kebesaran Allah dalam surga Jannatu Adn” (H.R. Bukhari Muslim)

Dan  memang inilah aturan permainan di dunia. Manusia disuruh untuk mempercayai adanya Allah tanpa harus menyaksikannya. Namun jika manusia tersebut beriman dan  percaya, kemudian ia masuk surga, maka kelak ia akan benar-benar dapat memnbuktikan adanya Allah dengan mata kepalanya sendiri. Hal ini dijelaskan dalam hadits Qudsi berikut :

Malaikat Sayyarah datang menghadap Allah setelah melihat hamba-hamba yang sholeh. “Kami baru datang dari hadapan hamba-hamba-Mu yang rajin membaca tahlil, takbir, tahmid dan tamjid, membesarkan dan mengagungkan nama Engkau’. Allah bertanya : ‘Apakah mereka melihat-Ku ?’ Malaikat menjawab : ‘Tidak ya Allah, mereka tidak melihat-Mu’. Allah bertanya : ‘Bagaimana seandainya mereka  dapat melihat-Ku ?’’ Malaikat menjawab : ‘Seandainya mereka dapat menyaksikan Engkau, niscaya mereka lebih  tekun lagi dalam  menyanjung dan memperbesar nama-Mu’.”)[1]

Dalam masalah perjumpaan dengan Allah dan memandang-Nya, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ada yang berpendapat bahwa kita akan dapat melihat Allah sebagaimana cara kita melihat suatu benda di dunia ini. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kita tidak tahu bagaimana kelak cara kita memandang Allah, apakah seperti kita melihat binatang, atau seperti melihat matahari atau seperti menonton film. Begitu pula apakah memandangnya dengan mata kita seperti di dunia saat ini atau dengan mata yang lain yang dirancang khusus agar dapat melihat Allah. Wallahu A’lam, hanya Allah-lah yang tahu.

Namun Rasulullah menggambarkan cara kita melihat Tuhan sebagai berikut :

Abu Said Al-Khudri berkata : Kami bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah kami akan dapat melihat Tuhan pada ahri qiyamat ?” Jawab Nabi SAW : “apakah kalian merasa silau melihat matahari atau bulan ketika langir bersih tidak ada awan ?” Jawab kami “Tidak”. Maka Nabi SAW bersabda :”Demikianlah kalian tidak akan silau melihat Tuhanmu di hari qiyamat kecuali sebagaimana silaumu dalam melihat keduanya”
(H.R. Bukhari Muslim)

Di  dalam Al-Qur’an Allah juga menyebutkan  mengenai perjumpaan ini :

“Wajah-wajah kaum mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya lah mereka memandang” 
(Q.S. Al-Qiyaamah : 22 - 23)

Yang jelas itulah permainan  di dunia ini. Selama di dunia, manusia tidak dapat melihat Allah, surga maupun neraka. Manusia telah dibekali otak untuk berpikir. Disamping itu Allah telah  memberikan kitab-kitab dan nabi-nabi untuk menjelaskan akan adanya Allah dan hari kiamat. Manusia boleh percaya boleh tidak akan adanya Allah. DengaNakal pikiran, manusia  diminta untuk memikirkan hal ini. Namun setiap pilihan ada konsekuensinya. Dan hasilnya, akan dibuktikan di  akhirat  nanti.

Berkatalah orang-orang yang tidak (sabar) menanti-nanti pertemuan dengan Kami. “mengapakah tidak diturunkan saja kepada kita malaikat atau (mengapa) kita tidak melihat Tuhan kita ?”Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas dalam melakukan kezaliman.
(Q.S. Al Furqoon : 21)



1 komentar: