Suatu kata, selalu memiliki dua makna, yaitu makna secara etimologi
(ilmu bahasa atau dalam bahasa arab disebut secara luhghoh / lughowiy),
bisa juga disebut makna secara kamus atau leksikon. Kadang kala
dikatakan juga ini adalah makna secara harfiah. Misalkan mobil, berasal
dari bahasa inggris “mobile”, makna asal secara harfiahnya adalah
bergerak. Maka segala sesuatu yang bergerak disebut mobile. Telepon yang
bisa dibawa-bawa sambil bergerak disebut mobile phone (sekarang disebut
handphone). Orang yang selalu bergerak sibuk suka dijuliki orang yang
mobilitasnya tinggi. Walaupun demikian tidak setiap yang bergerak
disebut mobil. Bumi dan planet bergerak namun tidak disebut mobil. Benda
dilempar juga bergerak namun tidak disebut mobil.
Maka kita mengenal adanya makna secara istilah. Makna secara istilah itu bersifat spesifik mengacu pada maksud tertentu dan arti tertentu yang tidak seumum makna harfiah. Makna secara istilah telah mengalami pembatasan dan pengkhususan (takhsis) dari asal kata nya secara bahasa tadi. Contohnya secara istilah, makna dari “mobil” bukan semua yang bergerak, melainkan kendaraan beroda empat yang digerakkan oleh mesin. Maka secara istilah, makna mobil yang umum tersebut menjadi terbatas dan khusus.
Terkadang perdebatan dan kekisruhan timbul akibat perbedaan pijakan antara makna harfiah dan makna secara istilah. Oleh karena itu sebelum diskusi harus disepakati dulu apakah makna harfiah yang dipakai atau makna istilah yang dipakai. Masing-masing berargumen namun sesungguhnya masing-masing berpijak pada definisi yang berbeda. Kata yang diperdebatkan sama, namun yang satu berpijak pada makna harfiah dan yang satu nya lagi berpijak pada makna istilah.
Pada contoh kata “mobil” di atas, suatu ketika ada orang yang berkata bahwa setiap mobil pasti memiliki mesin. Orang yang satu lagi tidak setuju dengan pernyataan itu, dan meyakini tidak semua mobil memiliki mesin. Maka perdebatan ini sebenarnya timbul karena beda definisi. Yang satu mengatakan “setiap mobil memiliki mesin” karena yang dimaksud adalah makna mobil secara istilah yaitu kendaraan bernama mobil. Sedangkan orang yang satu lagi mengatakan “belum tentu yang namanya mobil memiliki mesin” karena ia mengambil makna umum secara harfiah, bahwa semua yang bergerak adalah mobil dan tidak setiap yang bergerak harus memakai mesin.
Contoh lainnya kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang secara harfiah atau bahasa “a”= tidak, dan “gama” = kacau. Jadi “agama” secara etimologi artinya “tidak kacau”. Maka semua yang tidak kacau secara bahasa bisa disebut agama. Namun secara istilah, yang dimaksud dengan agama adalah “suatu cara peribadatan untuk menyembah Tuhan”. Maka secara istilah, tidak semua hal yang “tidak kacau” bisa disebut agama. Orang yang berbaris teratur tidak disebut a-gama. Susunan benang yang saling terjalin rapih bukan disebut a-gama.
Uraian di atas hanyalah contoh betapa pemahaman makna kata berdasarkan asal usul bahasa adalah penting. Namun makna secara “istilah” berisifat spesifik, terbatas dan bisa jajdi berbeda dengan makna asalnya. Maka ketika berdiskusi atau berdebat, sepakati dulu makna mana yang dipakai. Kadang kala secara istilah pun orang berbeda-beda definisnya. Misalnya secara istilah definisi “mobil” adalah kendaraan bermesin dan beroda. Tapi ada yang berkata pesawat dan kereta api juga bermesin dan beroda namun ia bukan “mobil”. Akhirnya dicari definisi lain yang lebih tepat. Begitu juga definisi “manusia” ada yang bilang “hewan yang bisa tertawa”, atau “hewan yang bisa membuat alat” ada juga yang bilang “hewan yang berpolitik” dan sebagainya. Tentu saja jika sejak awal definisinya berbeda, tentu diskusi nya satu sama lain tak akan nyambung.
Demikian pula perdebatan mengenai pluralisme. Secara bahasa plural artinya jamak atau banyak. Namun secara istilah pluralisme orang mengartikannya berbeda-beda. Jika pluralisme itu artinya menerima kenyataan dan fakta bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam agama, berbagai keyakinan yang berbeda dan kita menghormati perbedaan itu maka pluralisme semacam ini adalah suatu hal yang diterima oleh Islam sebagaimana tercermin dalam firman Allah :
“Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dari jalan yang sesat." (Q.S. Al-Baqarah: 256).
Namun ada orang yang memahami pluralisme adalah paham (isme) yang berusaha membenarkan semua agama yang berbeda-beda. Paul Knitter (1985), misalnya, menganggap semua agama relatif, terbatas, parsial, dan tidak lengkap dalam melihat sesuatu , sehingga merasa agamanya yang paling benar adalah suatu sikap yang ofensif dan berpandangan sempit” Maka pluralisme semacam ini adalah tertolak.
Maka mengertilah kita ketika orang berdebat, yang satu mengatakan pluralisme itu sah-sah saja, yag satu lagi mengatakan pluralisme itu sesat. Maka kita harus bertanya dulu pluralisme yang mana nih yang dimaksud? Jangan-jangan keduanya berdebat karena berbeda maksud dengan istilah pluralisme itu.
Jika kita hanya berpegang pada makna harfiah saja, maka bisa terjadi kesalah pahaman dan berakibat pada paham yang salah. Sebagai contoh dahulu di Bandung pernah timbul aliran bernama Lembaga Kerasulan (LK). Mereka meyakini bahwa setiap juru dakwah layak disebut sebagai rasul, karena makna rasul adalah pembawa risalah. Sehingga setiap orang yang membawa risalah boleh disebut rasul.
Tentu saja penerapan makna harfiah kata “rasul” sebagai pembawa risalah tidak bisa serta merta diterapkan pada setiap orang yang membawa risalah. Sedangkan secara istilah, risalah di sini adalah kitab Allah sehingga rasul adalah yang diangkat oleh Allah sebagai utusanNya untuk mengajarkan risalahNya.
Demikian pula salah seorang ulama terkemuka di negeri ini dahulu pernah melontarkan bahwa semua Hindu, Budha, Shinto dan lain-lain termasuk dalam katagori ahlul kitab. Karena secara bahasa makna ahlul kitab adalah pemilik kitab atau yang pernah diberi kitab. Kalau berpegang pada makna harfiah saja, jangankan Hindu atau Budha, bahkan Hakim dan Jaksa pun juga layak disebut ahlul kitab karena memiliki kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata.
Arti ahlul kitab secara etimologi memang orang yang pernah diberi kitab. Namun secara istilah, makna ahlul kitab telah dibatasi Yahudi dan Nasrani. Dari mana kita mengetahui batasan tersebut? Tentu saja dari sabda Nabi s.a.w. sendiri :
Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu (yaitu yang pernah diberi kitab) sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (H.R. Bukhari)
Maka usaha untuk menyeret kembali makna istilah “ahlul kitab” kepada makna asal secara harfiah merupakan usaha penyesatan yang nyata bagi umat yang awam.
Abdullah bin Umar berkata “Saya tidak pernah mengetahui syirik yang lebih besar daripada orang yang menuhankan Isa atau manusia lainnya”. Dari sini orang menganggap bahwa Ibnu Umar berpendapat bahwa istilah “Ahlul Kitab” itu berlaku pada jaman dahulu saja ketika agama Yahudi dan Nasrani belum diubah oleh tangan manusia dan kitab tsb masih asli. Adapun setelah umat Yahudi menganggap Uzair sebagai anak sulung Allah dan umat Nasrani menganggap Yesus sebagai anak tunggal Allah, maka mereka termasuk sebagai musyrik.
Maka pandangan orang bahwa Ibnu Umar r.a. dengan perkataannya itu berpendapat bahwa Yahudi dan Nasrani saat ini tidak layak disebut ahlul kitab adalah kesalahpahaman dalam mencerna kata-kata tersebut.
Tentu saja benar bahwa Yahudi dan Nasrani itu musyrik karena menyekutukan Allah. Namun kemusyrikan Yahudi dan Nasrani tidak menyalahi penyebutan mereka sebagai ahlul kitab. Siapa yang bilang bahwa jika disebut ahlul kitab itu lantas maksudnya tidak syirik? Dan siapa bilang yang dimaksud musyrik itu adalah semua orang yang syirik termasuk Yahudi Nasrani?
Di sini ada masalah makna secara bahasa dan makna secara istilah. Yang benar adalah bahwa orang yang kafir itu musyrik (secara bahasa) karena menyekutukan Allah. Maka di dalam cakupan orang kafir yang musyrik itu, di dalamnya ada ahlul kitab (yaitu orang kafir yang pernah diberi kitab) dan ada juga orang musyrik secara istilah (yaitu musyrik secara istilah yaitu penyembah batu dan api). Maka sebutan kaum musyrikin dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an maksudnya adalah musyrik secara istilah dan bukan musyrik secara bahasa (semua yang menyekutukan). Penyebutan kaum musyrikin secara istilah maksudnya adalah para penyembah berhala yaitu kaum musyrikin Mekah (Quraisy), tidak termasuk dimaksudkan untuk Yahudi dan Nasrani
Adapun Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Mekah atau Jazirah Arab secara umum pada saat itu disebut sebagai ahlul kitab (punya istilah sendiri walaupun mereka musyrik juga). Dan kondisi mereka saat itu (saat ayat Al-Qur’an diturunkan dan memanggil mereka sebagai ahlul kitab) sudah mengalami penyimpangan dan kemusyrikan. Umat Yahudi menuhankan Uzair sedangkan Umat Nasrani menuhankan Isa (Yesus).
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (Q.S. At-Taubah [9] : 30)
Maka Allah menjuluki mereka “ahlul kitab” itu sudah dalam kondisi musyrik sebagaimana kondisi aqidah mereka pada jaman modern ini. Maka Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani (Al-Ahkam Al-Qur’an Imam Qurthubi Vol VI Hal 77).
Pernah juga salah satu intelektual muslim terkemuka di negeri ini mengajukan tesis keblinger bahwa sholat itu secara makna bahasa artinya berdoa. Maka setiap orang yang berdoa sudah bisa disebut melakukan sholat. Jadi sholat itu tidak seperti yang diyakini oleh orang Islam saja. Melainkan agama lain selama ia berdoa pada Tuhan juga sebenarnya melakukan sholat. Betapa kacaunya jika sebuah makna istilah jika disimpangkan kepada makna asal. Sholat memang artinya secara harfiah adalah berdoa. Namun sholat yang dimaksud pada kata “sholat’ dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah sholat sebagaimana Nabi s.a.w. sholat. Karena Rasulullah s.a.w. bersabda :
Maka bukanlah termasuk katagori makna “sholat” jika tata caranya tidak sesuai dengan batasan makna sholat yang dicontohkan Rasulullah s.a.w.
Telah menceritakan kepada kami Husain telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil berkata : saya berkata; kepada Jabir shalatlah bersama kami sebagaimana engkau melihat Rasulullah s.a.w. shalat. (H.R. Ahmad No. 14168)
Salah satu perdebatan yang sering muncul di dunia maya adalah pacaran vs ta’aruf. Kedua-duanya sebenarnya mengacu pada cara pendekatan dan penjajakan bagi dua insan berlainan jenis yang hendak menuju pada jenjang pernikahan. Namun orang sering mengartikan pacaran ialah cara penjajakan yang tidak islami, melanggar norma kesusilaan, yaitu dengan cara berdua-duaan, bersentuhan, berciuman bahkan lebih dari itu. Sedangkan ta’aruf arti sesungguhnya adalah saling mengenal, diartikan sebagai cara penjajakan yang Islami dan menjaga norma kesusilaan. Maka batasan makna pacaran dan ta’aruf yang barusan saya sebutkan ini adalah makna secara istilah.
Sedangkan perdebatan sering terjadi karena salah satu pihak berpijak pada makna secara bahasa bahwa “ta’aruf” artinya adalah saling mengenal, maka secara keumuman makna bahasa tidak ada indikasi atau petunjuk yang menyatakan bahwa kata ta’aruf itu pasti perilakunya islami. Maka jika makna secara bahasa yang dijadikan pijakan, akan ada pembedaan antara ta’aruf yang islami dan ta’aruf yang jahiliyah. Sehingga secara bahasa jika pacaran juga diartikan penjajagan atau perkenalan maka akan ada pula pacaran islami dan pacaran tidak islami. Maka jika kedua-duanya diambilk makna secara bahasa ta’aruf = pacaran dan ta’aruf islami = pacaran islami serta ta’aruf jahiliyah = pacaran tidak islami.
Namun ada yang ngotot bahwa pacaran itu sudah pasti tidak islami. Itu artinya ia mengambil makna secara istilah. Kalau begitu yang disepakati, maka ta’aruf jahiliyah = pacaran. Lalu masih ada lagi yang tidak setuju, dan berkata bahwa ta’aruf itu ya sudah pasti islami. Mungkin karena istilahnya dalam bahasa arab ? Oh bukan, ternyata karena definisinya menurut dia ta’aruf itu adalah cara perkenalan yang islami. Kalau begitu ta’aruf = pacaran yang islami sedangkan pacaran = ta’aruf yang jahiliyah. Masih ada yang teriak lagi.. bukan begitu!! pacaran ya pacaran! Ta’aruf ya ta’aruf!
Akhirnya jalan tengahnya saa katakan : sebenarnya yang mau dibahas adalah norma pergaulan lawan jenis dalam Islam kan? Kenapa jadi terjebak pada masalah istilah? Kalau mau membahas norma pergaulan pria wanita menurut Islam, ya tidak usah terjebak pada istilah. Artinya apapun istilahnya mau pacaran kek atau ta’aruf kek (atau mungkin nanti dalam cina dan rusia lain lagi) yang penting orang harus paham apa rambu-rambu dalam pergaulan lawan jenis. Jika tidak paham rambu-rambunya, maka bisa jadi ia menjuluki dirinya sedang melakukan ta’aruf namun dengan cara yang melanggar syari’at. Maka kalau sudah begini tidak salah dong kalau saya juluki itu adalah ta’aruf jahiliyah? Sedangkan di sisi lain ada orang yang mungkin saja tidak tahu istilah “ta’aruf” dalam bahasa arab, namun ia paham menjaga norma-norma kesusilaan sesuai syari’at Islam, maka saya menjuluki dia “wah ini namanya pacaran yang islami”. Maka sekali lagi apalah artinya istilah jika orang tidak tahu hakikat yang rambu-rambu yang harus diperhatikan.
Salah satu perdebatan klasik yang ada sejak jaman dahulu adalah perdebatan mengenai apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan? Pada masa Dinasti Abbasiyyah paham mengenai Al-Qur’an ini makhluk atau bukan mencapai puncaknya sehingga Khalifah Al-Makmun akan menghukum seseorang yang berbeda pandangan dengan dia. Dan salah satu korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang sempat dipenjara dan dihukum karena tidak mau mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk.
Seharusnya dalam perdebatan ini disepakati dulu apa yang Anda maksud dengan Al-Qur’an di sini? Qur’an dalam makna asalnya secara bahasa (lughoh) artinya adalah “bacaan”. Dari sisi ini maka bacaan apapun bisa saja disebut Qur’an. Namun secara istilah, tidak semua “bacaan” disebut Al-Qur’an. Melainkan bacaan berupa firman Allah lah yang disebut Al-Qur’an.
Jika kita analisa lebih dalam, Al-Qur’an asalnya adalah firman Allah yang disampaikan pada Malaikat Jibril a.s. kemudian disampaikan lagi kepada Rasulullah s.a.w. Maka Rasulullah pun membacakan firman Allah yang diwahyukan kepada beliau dari malaikat Jibril ini kepada para sahabatnya. Sampai di sini, semua yang disebut Al-Qur’an sebagai firman Allah jelas bukan makhluk. Firman atau ucapan Allah (tanpa kita membayangkan hakikat bagaimana cara Allah mengucapkannya dan tentu tidak akan sama dengan ucapan makhluk sebagaimana bunyi-bunyian yang keluar dari organ bernama mulut) merupakan bagian dari Allah itu sendiri sehingga firman Allah jelas bukan makhluk.
Nah ketika sahabat mendengar bacaan Al-Qur’an dari Rasulullah s.a.w. kebanyakan mereka menghafalknya di otak, sedangkan sebagian lagi mencatatnya di pelepah kurma, di tulang, di kulit dll. Tentu saja mereka menulis ada yang menggunakan pena, pisau, pahat atau alat-alat lainnya. Maka media untuk menuliskan ayat Al-Qur’an yaitu pelepah kurma, tulang, kulit atau pada jaman sekarang adalah kertas adalah makhluk Allah. Begitu pula pahat, paku, pena, dan pada jaman sekarang ada spidol, printer dll jelas makhluk Allah demikian pula tintanya. Namun esensi apa yang dituliskannya adalah firman Allah dan bukan makhluk Allah.
Lalu bagaimana dengan suara manusia yang membaca ayat Al-Qur’an dan pada konteks jaman sekarang bagaimana rekaman kaset, cd, file mp3 dan video orang yang membaca Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan? Tentu saja apa-apa yang keluar dari diri makhluk adalah makhluk. Sedangkan apa-apa yang keluar dari Allah adalah termasuk diri Allah itu sendiri. Manusia adalah makhluk maka suara yang keluar dari mulut kita adalah makhluk. Sedangkan Allah adalah khaliq (pencipta) maka ia bukanlah makhluk (yang diciptakan) sehingga firmanNya dan kalamNya adalah bukan makhluq.
Orang yang terlalu bersemangat akan ceroboh akan salah kaprah dan menuduh bahwa orang yang meyakini bahwa tulisan Al-Qur’an dan media tempat menulis Al-Qur’an itu sebagai makhluk adalah aliran Jahmiyah dan kafir. Demikian pula orang yang berpendapat bahwa bacaan Al-Qur’an adalah makhluk dihukumi sebagai kafir. Alasannya adalah ucapan Imam Ahmad yang berkata : “Janganlah kamu bermajelis dengan orang yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk’, dan janganlah kamu sholat di belakangnya karena ucapan ini termasuk ucapan Jahm.” (Thobaqot al-Hanabilah karya Abu Ya’la, Juz I hal 299). Padahal aliran Jahmiyah menganggap firman Allah atau kalam Allah (ucapan Allah) itu sendiri yang makhuk. Jadi apa yang keluar dari diri Allah termasuk pada ciptaan Allah (makhluk). Inilah yang kafir.
Adapun orang yang menganggap media tempat menulis Al-Qur’an itu sebagai makhluk dan suara bacaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh makhluk adalah makhluk, adalah aqidah yang benar dan dibenarkan oleh Imam Bukhari. Nashiruddin Al-Albani mengatakan (dalam haqiqoh bid’ah) bahwa maksud Imam Ahmad mengatakan demikian adalah sebagai kehati-hatian karena orang aliran jahmiyah pada masa itu sering menjebak orang dengan mengatakan “bacaan Al-Qur’an adalah makhluk dalam rangka agar orang sedikit demi sedikit terseret pada aliran Jahmiyah sehingga kemudian mengatakan bahwa kalam Allah itu sendiri yang makhluk. Maka Imam Bukhari sama sekali tidak terjatuh pada aliran Jahmiyah sebagaimana dituduhkan oleh sebagian pengikut madzhab Hanbali yang terlalu bersemangat.
Wallahua'lam
Maka kita mengenal adanya makna secara istilah. Makna secara istilah itu bersifat spesifik mengacu pada maksud tertentu dan arti tertentu yang tidak seumum makna harfiah. Makna secara istilah telah mengalami pembatasan dan pengkhususan (takhsis) dari asal kata nya secara bahasa tadi. Contohnya secara istilah, makna dari “mobil” bukan semua yang bergerak, melainkan kendaraan beroda empat yang digerakkan oleh mesin. Maka secara istilah, makna mobil yang umum tersebut menjadi terbatas dan khusus.
Terkadang perdebatan dan kekisruhan timbul akibat perbedaan pijakan antara makna harfiah dan makna secara istilah. Oleh karena itu sebelum diskusi harus disepakati dulu apakah makna harfiah yang dipakai atau makna istilah yang dipakai. Masing-masing berargumen namun sesungguhnya masing-masing berpijak pada definisi yang berbeda. Kata yang diperdebatkan sama, namun yang satu berpijak pada makna harfiah dan yang satu nya lagi berpijak pada makna istilah.
Berdebat Karena Berbeda Maksud dan Batasan Istilah
Pada contoh kata “mobil” di atas, suatu ketika ada orang yang berkata bahwa setiap mobil pasti memiliki mesin. Orang yang satu lagi tidak setuju dengan pernyataan itu, dan meyakini tidak semua mobil memiliki mesin. Maka perdebatan ini sebenarnya timbul karena beda definisi. Yang satu mengatakan “setiap mobil memiliki mesin” karena yang dimaksud adalah makna mobil secara istilah yaitu kendaraan bernama mobil. Sedangkan orang yang satu lagi mengatakan “belum tentu yang namanya mobil memiliki mesin” karena ia mengambil makna umum secara harfiah, bahwa semua yang bergerak adalah mobil dan tidak setiap yang bergerak harus memakai mesin.
Contoh lainnya kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang secara harfiah atau bahasa “a”= tidak, dan “gama” = kacau. Jadi “agama” secara etimologi artinya “tidak kacau”. Maka semua yang tidak kacau secara bahasa bisa disebut agama. Namun secara istilah, yang dimaksud dengan agama adalah “suatu cara peribadatan untuk menyembah Tuhan”. Maka secara istilah, tidak semua hal yang “tidak kacau” bisa disebut agama. Orang yang berbaris teratur tidak disebut a-gama. Susunan benang yang saling terjalin rapih bukan disebut a-gama.
Uraian di atas hanyalah contoh betapa pemahaman makna kata berdasarkan asal usul bahasa adalah penting. Namun makna secara “istilah” berisifat spesifik, terbatas dan bisa jajdi berbeda dengan makna asalnya. Maka ketika berdiskusi atau berdebat, sepakati dulu makna mana yang dipakai. Kadang kala secara istilah pun orang berbeda-beda definisnya. Misalnya secara istilah definisi “mobil” adalah kendaraan bermesin dan beroda. Tapi ada yang berkata pesawat dan kereta api juga bermesin dan beroda namun ia bukan “mobil”. Akhirnya dicari definisi lain yang lebih tepat. Begitu juga definisi “manusia” ada yang bilang “hewan yang bisa tertawa”, atau “hewan yang bisa membuat alat” ada juga yang bilang “hewan yang berpolitik” dan sebagainya. Tentu saja jika sejak awal definisinya berbeda, tentu diskusi nya satu sama lain tak akan nyambung.
Perdebatan Tentang Pluralisme
Demikian pula perdebatan mengenai pluralisme. Secara bahasa plural artinya jamak atau banyak. Namun secara istilah pluralisme orang mengartikannya berbeda-beda. Jika pluralisme itu artinya menerima kenyataan dan fakta bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam agama, berbagai keyakinan yang berbeda dan kita menghormati perbedaan itu maka pluralisme semacam ini adalah suatu hal yang diterima oleh Islam sebagaimana tercermin dalam firman Allah :
''Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku'' (Q.S. Al-Kafirun: 4)
“Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dari jalan yang sesat." (Q.S. Al-Baqarah: 256).
Namun ada orang yang memahami pluralisme adalah paham (isme) yang berusaha membenarkan semua agama yang berbeda-beda. Paul Knitter (1985), misalnya, menganggap semua agama relatif, terbatas, parsial, dan tidak lengkap dalam melihat sesuatu , sehingga merasa agamanya yang paling benar adalah suatu sikap yang ofensif dan berpandangan sempit” Maka pluralisme semacam ini adalah tertolak.
Maka mengertilah kita ketika orang berdebat, yang satu mengatakan pluralisme itu sah-sah saja, yag satu lagi mengatakan pluralisme itu sesat. Maka kita harus bertanya dulu pluralisme yang mana nih yang dimaksud? Jangan-jangan keduanya berdebat karena berbeda maksud dengan istilah pluralisme itu.
Salah Kaprah Makna Rasul
Jika kita hanya berpegang pada makna harfiah saja, maka bisa terjadi kesalah pahaman dan berakibat pada paham yang salah. Sebagai contoh dahulu di Bandung pernah timbul aliran bernama Lembaga Kerasulan (LK). Mereka meyakini bahwa setiap juru dakwah layak disebut sebagai rasul, karena makna rasul adalah pembawa risalah. Sehingga setiap orang yang membawa risalah boleh disebut rasul.
Tentu saja penerapan makna harfiah kata “rasul” sebagai pembawa risalah tidak bisa serta merta diterapkan pada setiap orang yang membawa risalah. Sedangkan secara istilah, risalah di sini adalah kitab Allah sehingga rasul adalah yang diangkat oleh Allah sebagai utusanNya untuk mengajarkan risalahNya.
Penyalahpahaman Makna Ahlul Kitab
Demikian pula salah seorang ulama terkemuka di negeri ini dahulu pernah melontarkan bahwa semua Hindu, Budha, Shinto dan lain-lain termasuk dalam katagori ahlul kitab. Karena secara bahasa makna ahlul kitab adalah pemilik kitab atau yang pernah diberi kitab. Kalau berpegang pada makna harfiah saja, jangankan Hindu atau Budha, bahkan Hakim dan Jaksa pun juga layak disebut ahlul kitab karena memiliki kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata.
Arti ahlul kitab secara etimologi memang orang yang pernah diberi kitab. Namun secara istilah, makna ahlul kitab telah dibatasi Yahudi dan Nasrani. Dari mana kita mengetahui batasan tersebut? Tentu saja dari sabda Nabi s.a.w. sendiri :
Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu (yaitu yang pernah diberi kitab) sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (H.R. Bukhari)
Maka usaha untuk menyeret kembali makna istilah “ahlul kitab” kepada makna asal secara harfiah merupakan usaha penyesatan yang nyata bagi umat yang awam.
Abdullah bin Umar berkata “Saya tidak pernah mengetahui syirik yang lebih besar daripada orang yang menuhankan Isa atau manusia lainnya”. Dari sini orang menganggap bahwa Ibnu Umar berpendapat bahwa istilah “Ahlul Kitab” itu berlaku pada jaman dahulu saja ketika agama Yahudi dan Nasrani belum diubah oleh tangan manusia dan kitab tsb masih asli. Adapun setelah umat Yahudi menganggap Uzair sebagai anak sulung Allah dan umat Nasrani menganggap Yesus sebagai anak tunggal Allah, maka mereka termasuk sebagai musyrik.
Maka pandangan orang bahwa Ibnu Umar r.a. dengan perkataannya itu berpendapat bahwa Yahudi dan Nasrani saat ini tidak layak disebut ahlul kitab adalah kesalahpahaman dalam mencerna kata-kata tersebut.
Tentu saja benar bahwa Yahudi dan Nasrani itu musyrik karena menyekutukan Allah. Namun kemusyrikan Yahudi dan Nasrani tidak menyalahi penyebutan mereka sebagai ahlul kitab. Siapa yang bilang bahwa jika disebut ahlul kitab itu lantas maksudnya tidak syirik? Dan siapa bilang yang dimaksud musyrik itu adalah semua orang yang syirik termasuk Yahudi Nasrani?
Di sini ada masalah makna secara bahasa dan makna secara istilah. Yang benar adalah bahwa orang yang kafir itu musyrik (secara bahasa) karena menyekutukan Allah. Maka di dalam cakupan orang kafir yang musyrik itu, di dalamnya ada ahlul kitab (yaitu orang kafir yang pernah diberi kitab) dan ada juga orang musyrik secara istilah (yaitu musyrik secara istilah yaitu penyembah batu dan api). Maka sebutan kaum musyrikin dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an maksudnya adalah musyrik secara istilah dan bukan musyrik secara bahasa (semua yang menyekutukan). Penyebutan kaum musyrikin secara istilah maksudnya adalah para penyembah berhala yaitu kaum musyrikin Mekah (Quraisy), tidak termasuk dimaksudkan untuk Yahudi dan Nasrani
Adapun Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Mekah atau Jazirah Arab secara umum pada saat itu disebut sebagai ahlul kitab (punya istilah sendiri walaupun mereka musyrik juga). Dan kondisi mereka saat itu (saat ayat Al-Qur’an diturunkan dan memanggil mereka sebagai ahlul kitab) sudah mengalami penyimpangan dan kemusyrikan. Umat Yahudi menuhankan Uzair sedangkan Umat Nasrani menuhankan Isa (Yesus).
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (Q.S. At-Taubah [9] : 30)
Maka Allah menjuluki mereka “ahlul kitab” itu sudah dalam kondisi musyrik sebagaimana kondisi aqidah mereka pada jaman modern ini. Maka Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani (Al-Ahkam Al-Qur’an Imam Qurthubi Vol VI Hal 77).
Penyimpangan Makna Sholat
Pernah juga salah satu intelektual muslim terkemuka di negeri ini mengajukan tesis keblinger bahwa sholat itu secara makna bahasa artinya berdoa. Maka setiap orang yang berdoa sudah bisa disebut melakukan sholat. Jadi sholat itu tidak seperti yang diyakini oleh orang Islam saja. Melainkan agama lain selama ia berdoa pada Tuhan juga sebenarnya melakukan sholat. Betapa kacaunya jika sebuah makna istilah jika disimpangkan kepada makna asal. Sholat memang artinya secara harfiah adalah berdoa. Namun sholat yang dimaksud pada kata “sholat’ dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah sholat sebagaimana Nabi s.a.w. sholat. Karena Rasulullah s.a.w. bersabda :
Maka bukanlah termasuk katagori makna “sholat” jika tata caranya tidak sesuai dengan batasan makna sholat yang dicontohkan Rasulullah s.a.w.
Telah menceritakan kepada kami Husain telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil berkata : saya berkata; kepada Jabir shalatlah bersama kami sebagaimana engkau melihat Rasulullah s.a.w. shalat. (H.R. Ahmad No. 14168)
Perdebatan Pacaran VS Ta’aruf
Salah satu perdebatan yang sering muncul di dunia maya adalah pacaran vs ta’aruf. Kedua-duanya sebenarnya mengacu pada cara pendekatan dan penjajakan bagi dua insan berlainan jenis yang hendak menuju pada jenjang pernikahan. Namun orang sering mengartikan pacaran ialah cara penjajakan yang tidak islami, melanggar norma kesusilaan, yaitu dengan cara berdua-duaan, bersentuhan, berciuman bahkan lebih dari itu. Sedangkan ta’aruf arti sesungguhnya adalah saling mengenal, diartikan sebagai cara penjajakan yang Islami dan menjaga norma kesusilaan. Maka batasan makna pacaran dan ta’aruf yang barusan saya sebutkan ini adalah makna secara istilah.
Sedangkan perdebatan sering terjadi karena salah satu pihak berpijak pada makna secara bahasa bahwa “ta’aruf” artinya adalah saling mengenal, maka secara keumuman makna bahasa tidak ada indikasi atau petunjuk yang menyatakan bahwa kata ta’aruf itu pasti perilakunya islami. Maka jika makna secara bahasa yang dijadikan pijakan, akan ada pembedaan antara ta’aruf yang islami dan ta’aruf yang jahiliyah. Sehingga secara bahasa jika pacaran juga diartikan penjajagan atau perkenalan maka akan ada pula pacaran islami dan pacaran tidak islami. Maka jika kedua-duanya diambilk makna secara bahasa ta’aruf = pacaran dan ta’aruf islami = pacaran islami serta ta’aruf jahiliyah = pacaran tidak islami.
Namun ada yang ngotot bahwa pacaran itu sudah pasti tidak islami. Itu artinya ia mengambil makna secara istilah. Kalau begitu yang disepakati, maka ta’aruf jahiliyah = pacaran. Lalu masih ada lagi yang tidak setuju, dan berkata bahwa ta’aruf itu ya sudah pasti islami. Mungkin karena istilahnya dalam bahasa arab ? Oh bukan, ternyata karena definisinya menurut dia ta’aruf itu adalah cara perkenalan yang islami. Kalau begitu ta’aruf = pacaran yang islami sedangkan pacaran = ta’aruf yang jahiliyah. Masih ada yang teriak lagi.. bukan begitu!! pacaran ya pacaran! Ta’aruf ya ta’aruf!
Akhirnya jalan tengahnya saa katakan : sebenarnya yang mau dibahas adalah norma pergaulan lawan jenis dalam Islam kan? Kenapa jadi terjebak pada masalah istilah? Kalau mau membahas norma pergaulan pria wanita menurut Islam, ya tidak usah terjebak pada istilah. Artinya apapun istilahnya mau pacaran kek atau ta’aruf kek (atau mungkin nanti dalam cina dan rusia lain lagi) yang penting orang harus paham apa rambu-rambu dalam pergaulan lawan jenis. Jika tidak paham rambu-rambunya, maka bisa jadi ia menjuluki dirinya sedang melakukan ta’aruf namun dengan cara yang melanggar syari’at. Maka kalau sudah begini tidak salah dong kalau saya juluki itu adalah ta’aruf jahiliyah? Sedangkan di sisi lain ada orang yang mungkin saja tidak tahu istilah “ta’aruf” dalam bahasa arab, namun ia paham menjaga norma-norma kesusilaan sesuai syari’at Islam, maka saya menjuluki dia “wah ini namanya pacaran yang islami”. Maka sekali lagi apalah artinya istilah jika orang tidak tahu hakikat yang rambu-rambu yang harus diperhatikan.
Perdebatan Qur’an Makhluk Allah atau Bukan?
Salah satu perdebatan klasik yang ada sejak jaman dahulu adalah perdebatan mengenai apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan? Pada masa Dinasti Abbasiyyah paham mengenai Al-Qur’an ini makhluk atau bukan mencapai puncaknya sehingga Khalifah Al-Makmun akan menghukum seseorang yang berbeda pandangan dengan dia. Dan salah satu korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang sempat dipenjara dan dihukum karena tidak mau mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk.
Seharusnya dalam perdebatan ini disepakati dulu apa yang Anda maksud dengan Al-Qur’an di sini? Qur’an dalam makna asalnya secara bahasa (lughoh) artinya adalah “bacaan”. Dari sisi ini maka bacaan apapun bisa saja disebut Qur’an. Namun secara istilah, tidak semua “bacaan” disebut Al-Qur’an. Melainkan bacaan berupa firman Allah lah yang disebut Al-Qur’an.
Jika kita analisa lebih dalam, Al-Qur’an asalnya adalah firman Allah yang disampaikan pada Malaikat Jibril a.s. kemudian disampaikan lagi kepada Rasulullah s.a.w. Maka Rasulullah pun membacakan firman Allah yang diwahyukan kepada beliau dari malaikat Jibril ini kepada para sahabatnya. Sampai di sini, semua yang disebut Al-Qur’an sebagai firman Allah jelas bukan makhluk. Firman atau ucapan Allah (tanpa kita membayangkan hakikat bagaimana cara Allah mengucapkannya dan tentu tidak akan sama dengan ucapan makhluk sebagaimana bunyi-bunyian yang keluar dari organ bernama mulut) merupakan bagian dari Allah itu sendiri sehingga firman Allah jelas bukan makhluk.
Nah ketika sahabat mendengar bacaan Al-Qur’an dari Rasulullah s.a.w. kebanyakan mereka menghafalknya di otak, sedangkan sebagian lagi mencatatnya di pelepah kurma, di tulang, di kulit dll. Tentu saja mereka menulis ada yang menggunakan pena, pisau, pahat atau alat-alat lainnya. Maka media untuk menuliskan ayat Al-Qur’an yaitu pelepah kurma, tulang, kulit atau pada jaman sekarang adalah kertas adalah makhluk Allah. Begitu pula pahat, paku, pena, dan pada jaman sekarang ada spidol, printer dll jelas makhluk Allah demikian pula tintanya. Namun esensi apa yang dituliskannya adalah firman Allah dan bukan makhluk Allah.
Lalu bagaimana dengan suara manusia yang membaca ayat Al-Qur’an dan pada konteks jaman sekarang bagaimana rekaman kaset, cd, file mp3 dan video orang yang membaca Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan? Tentu saja apa-apa yang keluar dari diri makhluk adalah makhluk. Sedangkan apa-apa yang keluar dari Allah adalah termasuk diri Allah itu sendiri. Manusia adalah makhluk maka suara yang keluar dari mulut kita adalah makhluk. Sedangkan Allah adalah khaliq (pencipta) maka ia bukanlah makhluk (yang diciptakan) sehingga firmanNya dan kalamNya adalah bukan makhluq.
Orang yang terlalu bersemangat akan ceroboh akan salah kaprah dan menuduh bahwa orang yang meyakini bahwa tulisan Al-Qur’an dan media tempat menulis Al-Qur’an itu sebagai makhluk adalah aliran Jahmiyah dan kafir. Demikian pula orang yang berpendapat bahwa bacaan Al-Qur’an adalah makhluk dihukumi sebagai kafir. Alasannya adalah ucapan Imam Ahmad yang berkata : “Janganlah kamu bermajelis dengan orang yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk’, dan janganlah kamu sholat di belakangnya karena ucapan ini termasuk ucapan Jahm.” (Thobaqot al-Hanabilah karya Abu Ya’la, Juz I hal 299). Padahal aliran Jahmiyah menganggap firman Allah atau kalam Allah (ucapan Allah) itu sendiri yang makhuk. Jadi apa yang keluar dari diri Allah termasuk pada ciptaan Allah (makhluk). Inilah yang kafir.
Adapun orang yang menganggap media tempat menulis Al-Qur’an itu sebagai makhluk dan suara bacaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh makhluk adalah makhluk, adalah aqidah yang benar dan dibenarkan oleh Imam Bukhari. Nashiruddin Al-Albani mengatakan (dalam haqiqoh bid’ah) bahwa maksud Imam Ahmad mengatakan demikian adalah sebagai kehati-hatian karena orang aliran jahmiyah pada masa itu sering menjebak orang dengan mengatakan “bacaan Al-Qur’an adalah makhluk dalam rangka agar orang sedikit demi sedikit terseret pada aliran Jahmiyah sehingga kemudian mengatakan bahwa kalam Allah itu sendiri yang makhluk. Maka Imam Bukhari sama sekali tidak terjatuh pada aliran Jahmiyah sebagaimana dituduhkan oleh sebagian pengikut madzhab Hanbali yang terlalu bersemangat.
Wallahua'lam
trimakasih atas pencerahannya, tapi kalau boleh tahu itu yg paling atas gambar apa ya, rasanya pernah lihat tapi gambarnya terlalu kecil.
BalasHapussgt bermanfaat :)
BalasHapuswaalaikumsalam, itu gambar yg membdeakan antara makna harfiah dan makna istilah akhi
BalasHapusSngt bermnfaat,
BalasHapus