Oleh : Abu Akmal Mubarok
Anda akan menjumpai berbagai tulisan
di dunia maya dari sebagian orang yang bersikeras bahwa makna bid’ah pada
hadits “kullu bid’atin dlolalah” bersifat umum tanpa kecuali. Orang
sulit untuk beranjak dari pemahaman dan kesan yang kuat bahwa perkataan “kullu
bid’atin dlolalah” adalah bersifat umum karena memahami kata “kullu” berarti
“setiap” atau “semua”. Sehingga arti nya menjadi “setiap / semua bid’ah adalah
sesat”. Oleh karena itu kita akan bahas bahwa tidak setiap kata “kullu”
menunjukkan hal yang umum. Dan seandainya kata “kullu” ini pun bermakna
umum, maka kata “bid’ah” di sini bukanlah dalam makna asal yang umum. Terlebih
lagi jika kata “kullu” nya tidak bermakna umum dan kata “bid’ah” nya
juga tidak bermakna umum.
Orang Salah Paham Dengan Keumuman
Makna Bid’ah Karena Ada Kata “Kullu”
Salah satu akar permasalahan yang
membuat kebanyakan orang salah paham adalah adanya kata “kullu” yang
berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga kalimat kullu bid’atin dlolalah artinya
menjadi setiap bid’ah itu sesat atau semua bid’ah itu sesat.
Padahal semua itu tidak bisa
disama-samakan. Sebuah kata kadang di sini maknanya beda dengan di sana.
Sebagaimana kata bid’ah di sini beda dengan bid’ah di sana. Maka kata kullu di
sini juga beda dengan kullu di sana. Memang kata kullu artinya “setiap” atau
“semua” tapi tidak setiap “kullu” artinya sungguh-sungguh “semua”. Hal ini
memang suatu hal yang biasa dalam gaya bahasa Arab (lihat tulisan kami yang
menjelaskan hal ini) Maka terkadang kata “kufur” tidak bermaksud
sungguh-sungguh kafir, kata fasiq tidak sungguh-sungguh fasik, maka ada pula
“semua” yang tidak sungguh-sungguh “semua”.
Kaidah ini dalam ushul fiqih
dikatakan bahwa hampir semua lafadz ‘aam (perkataan yang bermakna umum)
menuntut adanya pengecualian (takkhsish) sehingga tidak ada suatu perkataan
umum yang benar-benar umum (lihat tulisan kami yang membahas masalah lafadz ‘am
dan lafadz khas).
Masalah ini telah aku (Nawawi)
jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab "Tahziibul Asma'
wa-Lughat". Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya
diketahuilah bahwa hadist Nabi itu termasuk hadist yang 'am makshush dan begitu
juga hadist-hadist yang serupa dengannya. Dalam keadaan hadist itu sebagai
hadist yang 'am makhsush tidaklah tercegah oleh sabda Nabi "kullu
bid'atin" yang diperkuat dengan kata "kullu" melainkan tetap hal
umum itu dimasuki oleh takhsis (ada pengecualian) walaupun bersama
"kullu" seperti firman Allah : "Tudammiru kulla syai'in yang
berarti "Angin taufan itu menghancurkan segala sesuatu" (namun
kenyataannya tidak semua dihancurkan oleh angin topan) "(Tahziibul Asma' wa-Lughat)".
Tidak Semua Kata “Kullu”
Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)
Apakah kata “kullu” yang tidak
sungguh-sungguh bermakna “semua” itu hanya ada pada hadits “kullu bid’atin
dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak sekali kalimat “kullu” baik pada ayat
Al-Qur’an maupun hadits yang tidak bermakna umum.
Misalnya pada firman Allah SWT
berikut ini :
“Wa ja’alna minal maa’i KULLA
syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan segala sesuatu yang hidup)
(Q.S. Al-Anbiya [21]:30)
Dari ayat ini kata kulla memiliki
makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata syai’in yang artinya segala
sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan tanpa kecuali. Namun
kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish (dikecualikan / dibatasi) oleh
ayat-ayat lainnya :
“Dan Dia menjadikan Jin dari
nyala api” (Q.S. Ar-Rahman [55] : 15)
“Dan Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam)
dari api yang sangat panas (Q.S. Al-Hijr
:27)
Dari Urwah dari Aisyah Rasulullah
SAW bersabda : malaikat diciptakan dari cahaya (nur) sedang kan jin
diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah
disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)
Maka dari ayat dan hadits di atas
jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau bukan makhluk kasat mata namun
tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak terbuat dari air melainkan jin
terbuat dari api dan malaikat terbuat dari cahaya. Maka ayat dan hadits ini
men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30
Contoh lainnya adalah firman Allah
tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia
melubangi perahu yang mereka tumpangi
“Maka berjalanlah keduanya, hingga
tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata:
"Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya?" (Q.S. Al-Kahfi [18]:71)
Maka Nabi Khidir a.s. menjawab :
“Karena di hadapan Adapun bahtera
itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S.
Al-Kahfi [18]:79)
Tapi kenyataannya raja itu tidak
merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang masih bagus saja. Jika
tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu itu. Jika benar-benar
kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk yang bocor pun akan dirampas
oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah” (semua bahtera) pada ayat
tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”
Contoh lainnya lagi pada ayat :
“(Angin) yang menghancurkan segala
sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang tersisa
lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).
Ayat ini berbicara tentang kaum Nabi
Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud. Namun kenyataannya tidak sisa-sisa
peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa
bangunannya dan menjadi pelajaran bagi umat yang kemudian
Dan apakah tidak menjadi petunjuk
bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan
sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.” (Q.S. As-Sajadah [32] : 26)
Sebagian ulama ada yang mengajukan
dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat
Kullu nafsin dzaiqotul maut
(Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)
Namun kenyataannya tetap saja ada
yang dikecualikan yaitu pada ayat :
Dan ditiuplah sangkakala, maka
matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.
Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri
menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S.
Az-Zumar [39] : 68)
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup
sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi,
kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya
dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml
[27] : 87 )
Maka pada ayat itu ternyata ada
beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat yang meniup sangsakala
dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah makhluk yang berjiwa juga
karena ia adalah makhluk yang hidup.
Kadang kala kalimat umum itu tidak
mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai...” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)
Ayat di atas bermakna umum artinya
bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun kenyataannya bangkai binatang
dari laut tidak haram
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Laut
itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R. Tirmidzi)
Contoh lain kalimat umum yang tidak
menggunakan kata “kullu” misalnya pada ayat :
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S. Al-Baqarah [2]
:228).
Pada ayat di atas lafadz
al-mutholaqotu adalah isim jamak yang diikuti alif lam sehingga maknanya adalah
umum (lafadz ‘am) sehingga artinya wanita manapun dalam kondisi bagaimanapun.
Namun lafadz ‘am ini di-takhshish
(dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab
[33]:49).
Maka keumuman ayat Al-Baqarah
[2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci, itu
dikecualikan untuk wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan
belum pernah digauli.
Maka dari sini para ulama mengatakan
bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas dari pengecualian, kecuali
ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan Allah yang memang bersifat
mutlak dan tanpa kecuali.
Wahbah Zuhaili mengatakan : “Jumhur
ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki kecenderungan takhshish
(pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di kalangan ulama
(anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan (dari keumumannya)
maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang umum. Artinya bahwa tak
ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish melainkan sedikit saja”
(Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)
Demikian pula Muhammad bin Ali Asy
Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun kholaf
bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah sesuatu yang ja’iz (boleh)
dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dipandang keilmuannya yang
menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang
suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang memiliki komitmen yang rendah
terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan tidak ada dalil yang umum
melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah Ta’ala “dan Dia Allah Maha
Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal 246)
Demikian pula lah dalam pembahasan
masalah hadits bid’ah :
kullu muhdatsatin bid’ah, wa kullu
bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat (H.R. Ibnu Majah)
Bahwa perkataan kullu pada hadits di
atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau “setiap” melainkan hal itu
telah dikecualikan (ada takhshish nya)
Qorinah (Petunjuk) Tentang Adanya
Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah
Mereka yang bersikeras dengan
keumuman bahwa semua bid’ah tanpa kecuali adalah dlolal, juga
berkata bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah adalah tanpa dasar /
dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika
menyelenggarakan tarawih berjamaah dan berkata “hadza ni’matil bid’ah”
(ini adala bid’ah yang nikmat / bid’ah hasanah).
Orang-orang yang bersikeras dengan
keumuman makna “kullu bid’atin dlolalah” juga berkata bahwa
takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tidak boleh
sembarangan dilakukan beradasarkan akal-akal-an, melainkan harus berdasarkan
qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli.
Kami sepakat dengan mereka bahwa :
walaupun para ulama mengatakan telah masyhur di kalangan ulama adanya kaidah
setiap yang ‘aam (umum) menuntut adanya takhshishi kecuali hal-hal yang
berkaitan dengan kuasa Allah, namun takhshish (pengkhsususan / pembatasan)
makna yang ‘aam (umum) tadi harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi)
yang jelas yang didukung nash / dalil naqli. Dan sama sekali tidak terbersit
niat untuk akal-akal-an di sini. Demikian pula Imam Syafi’i, Ibnu Hajar
Asqolani, Ibnu Atsir Jaziri dan ulama-ulama besar salafus sholih sejak jaman
dahulu tak pernah akal-akal-an mencari-cari celah untuk melegal-kan perkara
bid’ah.
Jika mereka berpendapat bahwa
pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali
hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah
maka jelas itu adalah pendapat yang salah besar. Karena sesungguhnya qorinah
(petunjuk / indikasi) adanya pembagian bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu
nyata benar adanya dari hadits-hadits Nabi s.a.w. sendiri sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata telah menceritakan kepada
kami Abu ‘Awanah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair
dari Al-Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda :
“man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha kaa na lahu ajruha (Barang siapa
merintis sunnah yang baik kemudian sunnah itu dikerjakan, maka ia akan
mendapatkan pahalanya) dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila
biha kaa na ‘alaihi wizruhaa wa wizru man ‘amila biha (Dan barang siapa
merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan maka ia menanggung dosa
dan dosa orang-orang yang mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka (yang
mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Ibnu Majah)
Perhatikanlah hadits di atas,
bukankah jelas-jelas dalam redaksi hadits tersebut ada perkataan sunnatan
hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang
baik) ? Hadits ini dengan redaksi yang sama diriwayatkan dari jalur yang lain
sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata
telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Al-Hakam dari Abu Juhaifah ia
berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila
biha ba’dahu (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian dikerjakan
oleh orang-orang setelahnya), maka ia akan mendapatkan seperti pahala mereka
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan
fa’mila biha ba’dahu kaa na ‘alaihi wizruha wa mitslu (Dan barang siapa
merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan oleh orang-orang
setelahnya) maka ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Abu Daud dan
Ibnu Majah)
Maka jelas dalam hadits di atas
bahwa orang yang merintis sunnah yang baik akan mendapat pahala atas kebaikan
tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya. Kriteria membedakan
apakah rintisan-nya itu baik atau buruk tentu adalah dari timbangan syari’at
yaitu kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, ijtihad sahabat atau
ijma ulama.
Imam Syafi’i berkata : “Segala
perbuatan baru yang memiliki dasar dalil-dalil syara’ maa bukan termasuk bid’ah
(maksudnya bi’ah secara istilah) meskipun belum pernah dilakukan pada masa
salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena
suatu udzur yang terjadi saat itu (situasi kondisi yang tidak memungkinkan)
atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, atau barangkali hal itu (perkara
baru yang baik itu) belum terlintas di dalam pengetahuan mereka (sahabat nabi,
tabi’in, para salaf)” (Al-Hafizh Ghumari, Itqon fii Tahqiiq Ma’ani Bid’ah
Hal 5)
Orang Yang Mengatakan Bahwa “Sunah”
Di Situ Maksudnya Adalah Sunnah Nabi s.a.w. Yang Sudah Ada Di Jaman Nabi dan
Bukannya Perkara Baru
Lagi-lagi orang-orang yang terlalu
bersemangat ini (atau mungkin didorong oleh fanatisme kepada kelompoknya)
menolak adanya qorinah (petunuk) yang jelas tentang adanya bid’ah hasanah
berupa hadits-hadits di atas. Mereka berargumen bahwa sunnah di situ adalah
sunnah Nabi s.a.w. yaitu menghidupkan sunnah Nabi s.a.w. yang sudah lama
ditinggalkan orang dan bukannya perkara baru yang diadakan orang. maka barang
siapa yang menghidupkannya tentu akan mendapat pahala orang-orang yang
mengikutinya.
Ada juga yang mengatakan bahwa
hadits di atas asbabul wurudnya (latar belakang peristiwa timbulnya hadits)
adalah anjuran untuk bersedekah. Maka maksud perkataan “sunnatan“ di
situ adalah sunnah Rasulullah s.a.w. dan bukannya perkara baru.
Dalam menanggapi penyangkalan di
atas, kami berusaha untuk husnu dzhon (berprasangka baik) dalam hal ini,
mungkin saja mereka (yang menolak qorinah / petunju dalam hadits itu)
terpengaruh dengan hadits dengan redaksi yang sangat mirip namun berbeda
maknanya yatu :
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abu Syaibah berkata telah menceritakan kepada kami Zain bin Hulab
berkata telah menceritakan kepada kami Katsur bin Amru bin Auf Al-Muzani
berkata telah menceritakan kepdaku Bapakku dari Kakekku bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda : “Man ahyaa sunnatan min sunnatii fa’mila biha annaas kaa na lahu
mistlu ajri min ‘amila biha (Barang siapa menghidupkan satu sunnah dari
sunnah-sunnahku kemudian orang-orang mengerjakannya maka ia mendapatkan pahala
seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi sedikitpun
dari pahala mereka. Wa man abtada’a bid’atan fa’mila biha kaa na ‘alaihi au
zaaru man ‘amila biha (Dan barang siapa membuat bid’ah kemudian bid’ah itu
dikerjakan oleh orang-orang maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang
mengerjakannya)” (H.R. Ibnu Majah)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Yahya berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abu Uwais
berkata telah menceitakan kepadaku Katsur bin Abdullah dari Bapaknya dari
Kakeknya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahya
sunnatan min sunnati qod amiitat ba’dii fainnalahu min ajri mitsli ajri man
‘amila biha minannaas (Barang siapa menghidupkan sunnahku yang telah
ditinggalkan sepeninggalku maka ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala
orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man
abtada’a bid’atan laa yardlohaa Allah wa Rosuluhu fa inna ‘alaihi mitsla itsmi
man ‘amila biha minannaas (Dan barang siapa membuat bid’ah yang Allah dan
RasulNya tidak meridlainya, maka ia akan mendapatkan dosa orang yang
melakukannya) tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (H.R. Ibnu Majah)
Pada kedua hadits di atas sunnah di
sini memang sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang ditinggalkan orang, hal ini
ditandai dengan perkataan sunnatan min sunnati (sunnah dari sunnahku) maka
akhiran “i” adalah kata ganti yang berarti “ku” dimana “ku” disini adalah Nabi
Muhammad s.a.w. Oleh karena sunnah di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w.
yang sudah ada sebelumnya namun ditinggalkan oleh orang (tidak diamalkan lagi)
maka yang melakukannya dikatakan dengan kata “man ahya” (barang siapa
menghidupkan kembali).
Sedangkan pada hadits yang
sebelumnya, perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan
sayyi-a-tan (sunnah yang buruk) bukanlah sunnah Nabi s.a.w. yang
sudah ada, melainkan “perkara baru dalam agama yang diadakan”. Untuk itulah
redaksi hadits tersebut tidak diawali dengan kata man ahya (barang siapa
menghidupkan) melainkan “man sanna” yang artinya barang siapa merintis.
Maka kata “man sanna” ini menunjukkan bahwa ini adalah perkara baru
dalam agama yang belum ada sebelumnya atau tidak dicontohkan oleh Nabi s.a.w.
Selain itu jika perkataan sunnatan
di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya maka
apakah sunnah yang diajarkan Nabi s.a.w. itu ada sunnatan hasanatan (sunnah
yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)?? Sehingga
barang siapa yang melaksanakan sunnah Nabi s.a.w. yang buruk akan mendapat
dosa?? Tentu menjadi kacau pengertian hadits ini jika perkataan sunnatan di
sini diartikan sebagai sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya.
Kesalahpahaman Makna Sunnah
Kami juga ber-husnudzhon bahwa
mungkin saja ke-salah-paham-an dalam memahami makna sunnatan dalam hadits
“man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) timbul
karena ada dua pengertian sunnah dalam pembicaraan umum dan pembicaraan ilmu
fiqih. Dua pengetian ini bisa saling tertukar atau sekilas membingungkan.
Secara pembicaraan umum,
pengertian “sunnah” adalah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan atau diterima
orang untuk dilaksanakan. Secara makna bahasa atau makna lughoh dikatakan bahwa
sunnah ialah : “at-thoriqoh mardhiyyatan kanat au ghoiro mardhiyyah” (perilaku
yang diterima umum baik itu perbuatan baik yang diridhoi maupun yang tidak
diridhoi). Maka pengertian “sunnah” dalam pembicaraan umum tidak hanya
perbuatan yang baik saja melainkan juga bisa meliputi perbuatan buruk yang
sudah melembaga di masyarakat atau menjadi konsensus bersama untuk
dilaksanakan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, definisi
“sunnah” adalah : “ma ja’a ‘annin nabiyy shalallahu alaihi wa salam min qoulin
au fi’lin au taqriir” (segala sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w. baik itu
perkataan, perbuatan maupun pengakuan). Sebagian ulama ada yang menambahkan
pada definisi sunnah dengan “diamnya Nabi s.a.w.” artinya meliputi
perkara-perkara yang didiamkan oleh Nabi s.a.w. karena hal itu menunjukkan
adanya persetujuan Nabi s.a.w. atas perilaku tersebut. Nah pengertian sunnah
dalam ilmu fiqih inilah yang lebih sering kita pegang ketika membahas masalah
agama. Namun dalam pembicaraan hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang
siapa merintis sunnah yang baik) di atas, mengambil makna sunnah secara
pembicaraan umum meliputi perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah
diterima atau disepakati untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Maka dari itulah
ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan
sayyi-a-tan (sunnah yang buruk).
Pemilahan Bid’ah Oleh Para Ulama
Berada Pada Takhshish Yang Mana?
Kita kembali pada pembahasan makna
bid’ah secara istilah syari’ah dimana makna bid’ah yang semula umum, telah
mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yaitu :
Tahap 1 : Yang dimaksud bid’ah (secara
istilah) adalah bid’ah dalam perkara agama
Tahap 2 : Yang dimaksud bid’ah
(secara istilah) adalah yang menyerupai syari’at
Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah
(secara istilah) adalah yang terjadi pada syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah
(secara istilah) adalah yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.
Tahap 4 : Yang dimaksud bid’ah
(secara istilah) adalah yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an
maupun hadits Rasulullah s.a.w.
Oleh karena ahdats (membuat perkara
baru) atau muhdats juga merupakan persamaan dari bid’ah maka ia mengalami 4
tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yang sama yaitu :
Tahap 1 : Yang dimaksud muhdats
adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dalam perkara agama
Tahap 2 : Yang dimaksud muhdats
adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dengan tujuan menyerupai
syari’at
Tahap 3 : Yang dimaksud adalah
perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan pada syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap 3 : Yang dimaksud adalah
perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang belum ada di masa Muhammad
s.a.w.
Tahap 4 : Yang dimaksud adalah
perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang tidak memiliki landasan dari
nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.
Maka perlu dipahami bahwa pembagian
bid’ah oleh para ulama terjadi pada tahapan takhshish yang ke-3 dan bukan yang
ke-4.
Sebagai contoh Imam Asy-Syafi’i
berkata:
“Bid’ah ada dua macam:
Bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madmumah (yang tercela ). Bid’ah yang
sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi sunnah
adalah bid’ah tercela”. (Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, Juz 9 hal 113)
Imam Syai’i juga membagi muhdats
dengan perkataan yang sama : “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua
macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah,
atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat).
Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil
tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela (Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih
sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)
Imam Syafi’i membagi bidah menjadi
bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela) adalah dalam tingkatan
bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali yaitu perkara baru dalam agama, yaitu
yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan
yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun dalam tahap ini Imam
Syafi’i masih perlu membagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan
bid’ah yang madmumah (tercela) Hal ini dillakukan agar tidak salah kaprah bahwa
semua perkara baru dalam agama (yaitu sampai takhsish yang ketiga) adalah pasti
bid’ah yang tercela.
Lalu apa kriterianya untuk
mengetahui mana bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah
(tercela) ? Maka lebih lanjut Imam asy-Syafi’i menjelaskan kriterianya sb :
“Perkara-perkara baru itu terbagi
menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa
ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah
yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak
tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam
Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).
Maka sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, ini adalah tahapan takhshsish yang keempat dimana Al-Qur’an dan
Sunnah menjadi kriteria untuk memilah lagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah
(terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela).
Demikianlah Ibnu Taimiyyah ketika
mengomentari pernyataan Imam Syafi’i : “Maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di
atas ialah apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi
dalil, maka tidak disebut bid’ah (Majmu’ Al Fatawa, 20: 163)
Senada dengan Imam Syafi’i, Ibnu
Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata : “Jika bid’ah itu masuk
dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka disebut bid’ah
hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ maka
disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya
(baik atau buruk) maka menjadi bagian yang bersifat mubah (boleh-boleh saja).
Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal
253)
Ibnu Hajar Asqolani membagi bidah
menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah mustaqbahah (tercela)
adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali. Sudah jelas bagi
beliay bahwa yang dimaksud bid’ah atau muhdats adalah perkara baru dalam agama,
yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w,
dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi
menjadi bid’ah yang hasanah (baik) dan bid’ah yang mustaqbahah (tercela).
Demikian pula dengan Imam Ibnu Atsir
Al-Jaziri berkata : “Bid’ah itu terbagi dua yaitu bid’ah huda (bid’ah yang
sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dholal (bid’ah yang sesat). (An Nihayah
Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)
Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri membagi
bidah menjadi bid’ah huda (mendapat petunjuk) dan bid’ah dlolal (sesat) adalah
dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali, yaitu perkara baru
dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at
Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun
masih dibagi menjadi bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan bid’ah yang dlolal
(sesat).
Lalu apa kriterianya untuk
mengetahui mana bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan mana bid’ah yang dlolal
(sesat ) ? Maka lebih lanjut Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri menjelaskan kriterianya
sb :
Maka bid’ah yang menyalahi perintah
Allah dan Rasulullah s.a.w. tergolong bid’ah tercela dan tertolak (dzammi wal
inkar). Bid’ah yang masih termasuk di bawah naungan keumuman perintah Allah dan
dorongan Allah dan RasulNya maka termasuk hal yang terpuji sedangkan bid’ah
yang belum ada semisalnya seperti cara kedermawanan dan cara berbuat kebajikan,
maka tergolong yang terpuji (mahmudah) dan tidak mungkin hal tersebut
menyelisihi syara’ “ (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits
wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)
Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih
dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah
menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila
bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil
sunnah) maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib
mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya
apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi
syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)”
(Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)
Di sini Imam Abni Abdul Barr membagi
bid’ah menjadi bid’ah laa khoir (bid’ah yang tidak baik) dan ni’matil bid’ah
(diambil dari perkataan Umar bin Khattab yang artinya bid’ah yang nikmat).
Untuk membedakan mana bid’ah laa khoir dan mana yang ni’matil bid’ah,
maka sebagaimana penjelasan beliau di atas apabila bid’ah tersebut dalam
agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah) maka ia adalah
bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir). Sedangkan bid’ah yang tidak
menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil
bid’ah)”
Pembagian Bid’ah Berdasarkan Pada
Lima Hukum Fiqih
Pembagian Ulama menjadi bid’ah dua
jenis saja sebagaimana diuraikan di atas yaitu :
Imam Syafi’i membagi: bid’ah
mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela)
Ibnu Hajar Asqolani membagi :
bid’ah hasanah dan bidh’ah mustaqbahah
Ibnu Atsir Aj-Jaziri membagi :
bid’ah huda (sesui petunjuk) dan bidh’ah dlolal (sesat)
ternyata masih dianggap belum cukup
memadai karena kenyataannya bid’ah yang mahmudah (terpuji) pun ada yang
merupakan keharusan (wajib) diadakan dan ada juga yang tidak harus melainkan
lebih baik jika diadakan. Demikian pula bid’ah yang bid’ah madmumah (tercela)
kadarnya berbeda beda ada yang haram namun ada juga yang sekadar makruh.
Untuk itulah ulama lainnya membagi
bid’ah dengan pembagian yang berbeda yaitu sesuai kedudukan hukum fiqihnya
sesuai kadar kebolehannya dan kadar terlarangnya.
Contohnya adalah Imam Nawawi yang
mengatakan : “Para ulama berkata, bid'ah itu ada lima macam : wajib, mandub,
haram, makruh dan mubah. Termasuk bid'ah yang wajib adalah menyusun dalil-dalil
ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan akidah dan
para pelaku bid'ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid'ah yang mandub adalah
menyusun kitab-kitab ilmu, membangun madrasah, dan tempat-tempat pengajian
serta yang lainnya. Termasuk ia bid'ah yang mubah adalah memperbanyak
warna-warna, makanan dan lainnya. Sedangkan bid'ah yang haram dan makruh sudah
jelas”. (Lihat Dalam Kitab Tahziibul Asma' wa-Lughat)
Imam Shan’ani juga mengatakan :
Ulama membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah wajib, seperti memelihara
ilmu-ilmu agama dengan cara membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok
dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah mandubah seperti membangun
berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti memakan berbagai makanan dan baju
yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram) dan e) bid’ah makruhah
sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah) telah jelas contohnya. Dengan
demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat adalah kata-kata umum yang
dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)
Imam Izzuddin bin Abdussalam seorang
ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah terbagi lima : bid’ah wajibah,
bid’ah muharamah, bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah, dan bid’ah
mubahah (bid’ah yang mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu ialah dengan
cara membandingkan bid’ah (hal baru tsb) dengan kaidah-kaidah syari’at. Apabila
bid’ah (hal baru) itu masuk ke dalam kaidah wajib maka disebut bid’ah wajibah.
Jika masuk kedalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharamah. Apabila masuk
ke dalam kaidah sunnat maka menjadi bid’ah mandubah Dan apabila masuk dalam kaidah
mubah menjadi bid’ah mubahah” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam
juz 2 hal 172)
Lebih lanjut Imam Izzuddin bin
Abdussalam memberikan contoh sebagai berikut : “Bid’ah wajibah memiliki
banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu (jaman Nabi takada ilmu
nahwu) sebagai sarana memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasul s.a.w. Hal ini
hukumnya wajib karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat
menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab
terlaksananya hal yang wajib, maka hukumnya juga wajib. Contoh kedua, adalah
ilmu jarh dan ta’dil (dulu tak ada ilmu jarh wa ta’dil) untuk membedakan hadits
yang shahih yang shahih dan lemah. Bid’ah muharamah memiliki banyak contoh,
diantaranya bid’ah ajaran qadariyah, jahmiyah, murji’ah dan mujassimah.
Sedangkan menolak terhadap bid’ah jenis ini adalah hal yang wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak
contoh, diantaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap
perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, diantaranya
termasuk shalat tarawih (berjamaah). Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh,
diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushaf Al-Qur’an. Bid’ah
mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya memakan makanan dan minuman yang
lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju
kebesaran, dll.” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih
Al-Anam juz 2 hal 133)
Maka perlu dipahami di sini bahwa
pembagian bid’ah menjadi lima katagori sesuai dengan status hukum fiqihnya
yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah adalah pada posisi
pen-takhshish-an yang ketiga. Dan mereka para ulama sampai pada
pen-takhshish-an yang keempat dengan menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah
sehingga akhirnya bisa menetapkannya termasuk pada bid’ah yang wajib, haram,
sunnah, makruh atau mubah.
Pembagian ini menjadi lain
perkaranya jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah jelas-jelas
bid’ah yang sesat. Maka jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah
takhshish yang ke-4 akan menimbulkan tuduhan bahwa para ulama itu telah
menyimpang dan sesat dengan pembagian bid’ah tersebut.
Jika Makna Bid’ah Yang Telah
Ditakhshish 4 Tahap, Tentu Kita Setuju Semua Bid’ah Adalah Sesat
Makna bid’ah yang benar-benar
lengkap secara istilah atau secara syari’at menurut cara penjelasan kami adalah
makna bid’ah yang telah mengalami pentakhshishan 4 (empat) tahap yaitu :
-
Takhshih pertama : Maksudnya perkara baru adalah di bidang agama
-
Takhshih kedua : Maksudnya agama adalah yang menyerupai thariqah,
syari’at baru &ghuluw
-
Takhshih ketiga : Maksudnya agama adalah agamanya syari’at Muhammad s.a.w. dan
tidak ada pada masa Muhammad s.a.w.
-
Takhshih keempat : Yang tidak memiliki dalil / landasan dari Al-Qur’an dan
Sunnah,
Tentu saja kita setuju jika makna
bid’ah yang dipakai pada hadits kullu bid’atin dlolalah dan kullu
dlolalah fii naar adalah makna secara istilah atau makna syariat yang
lengkap yang telah ditakhshish dalam 4 tahapan di atas. Jika pengertian bid’ah
ini yang diambil, maka semua sepakat bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kalimat
lengkapnya agar tidak salah paham : “semua bid’ah yang tidak sesuai dengan
sunnah adalah sesat” atau ““semua bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya adalah sesat”.
Maka bid’ah dlolalah lah yang sesat.
Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih
dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah
menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila
bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil
sunnah) maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib
mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya
apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at
dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)”
(Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)
Lihatlah perkataan Ibnu Abdul Baar
bahwa yang dimaksud harus kita jauhi harus kita tinggalkan sebagaimana hadits :
adalah bid’ah yang tercela yaitu yang telah didetilkan, dirinci melalui
pentakhshishan 4 tahap di atas.
Demikian pula Imam Jurjani
mengatakan :
Bid’ah ialah perbuatan yang
menyelisihi sunnah. Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa
berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu
yang selaras dengan dalil syar’i
(Al-Jurjani dalam At-Ta’rifaat Juz 1 hal 13)
Jika Yang Dimaksud Makna Bid’ah Yang
Telah Ditakhshish 4 Tahap, Tentu Tak Ada Bid’ah Hasanah.
Dari uraian makna “bid’ah” secara
istilah yang telah spesifik dan khusus sebagaimana telah ditakhshish dalam 4
tahap jelas tidak pada tempatnya dibagi lagi menjadi bid’ah terpuji atau bid’ah
tercela. Dan pada makna khusus ini juga tidak bisa dibagi lagi ada bid’ah
hasanah dan bid’ah dlolalah. Kalimat lengkapnya agar lebih jelas adalah : “tak
ada bid’ah dlolalah yang hasanah” (tak ada bid’ah sesat yang baik).
Maka wajar jika ada ulama dan
sebagian umat muslim yang ngotot mengatakan tak ada bid’ah hasanah. Perkataan
ini tidak harus menjadi perdebatan melainkan ditempatkan dan diartikan bahwa di
sini yang dipakai adalah makna secara istilah atau makna bid’ah secara syariat
yang telah ditakhshish secara lengkap dan detil, sehingga maksudnya kalimat
“tak ada bid’ah hasanah” adalah “bid’ah yang itu tuh” bukan bid’ah secara umum,
yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syari’at, yaitu
syari’atnya Muhammad s.a.w., yaitu yang tak ada pada masa Muhammad s.a.w. dan yaitu
yang tak ada landasan dalil syar’iny baik Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat,
tabi’in atau ijma ulama.
Hal ini sesuai dengan penjelasan
Ibnu Taimiyyah sebagai berikut : Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah
dengan bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya
yang menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk sunnah. Namun jika bukan wajib
dan bukan pula sunnah, maka tidak ada seorang ulama pun boleh mengatakan amalan
tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah (Majmu’
Al Fatawa, 1: 162)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar