Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

Pembahasan Masalah Bid'ah (BAGIAN 3)



Oleh : Abu Akmal Mubarok

Anda akan menjumpai berbagai tulisan di dunia maya dari sebagian orang yang bersikeras bahwa makna bid’ah pada hadits “kullu bid’atin dlolalah” bersifat umum tanpa kecuali. Orang sulit untuk beranjak dari pemahaman dan kesan yang kuat bahwa perkataan “kullu bid’atin dlolalah” adalah bersifat umum karena memahami kata “kullu” berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga arti nya menjadi “setiap / semua bid’ah adalah sesat”. Oleh karena itu kita akan bahas bahwa tidak setiap kata “kullu” menunjukkan hal yang umum. Dan seandainya kata “kullu” ini pun bermakna umum, maka kata “bid’ah” di sini bukanlah dalam makna asal yang umum. Terlebih lagi jika kata “kullu” nya tidak bermakna umum dan kata “bid’ah” nya juga tidak bermakna umum.

Orang Salah Paham Dengan Keumuman Makna Bid’ah Karena Ada Kata “Kullu”

Salah satu akar permasalahan yang membuat kebanyakan orang salah paham adalah adanya kata “kullu” yang berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga kalimat kullu bid’atin dlolalah artinya menjadi setiap bid’ah itu sesat atau semua bid’ah itu sesat.

Padahal semua itu tidak bisa disama-samakan. Sebuah kata kadang di sini maknanya beda dengan di sana. Sebagaimana kata bid’ah di sini beda dengan bid’ah di sana. Maka kata kullu di sini juga beda dengan kullu di sana. Memang kata kullu artinya “setiap” atau “semua” tapi tidak setiap “kullu” artinya sungguh-sungguh “semua”. Hal ini memang suatu hal yang biasa dalam gaya bahasa Arab (lihat tulisan kami yang menjelaskan hal ini) Maka terkadang kata “kufur” tidak bermaksud sungguh-sungguh kafir, kata fasiq tidak sungguh-sungguh fasik, maka ada pula “semua” yang tidak sungguh-sungguh “semua”.

Kaidah ini dalam ushul fiqih dikatakan bahwa hampir semua lafadz ‘aam (perkataan yang bermakna umum) menuntut adanya pengecualian (takkhsish) sehingga tidak ada suatu perkataan umum yang benar-benar umum (lihat tulisan kami yang membahas masalah lafadz ‘am dan lafadz khas).

Masalah ini telah aku (Nawawi) jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab "Tahziibul Asma' wa-Lughat". Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadist Nabi itu termasuk hadist yang 'am makshush dan begitu juga hadist-hadist yang serupa dengannya. Dalam keadaan hadist itu sebagai hadist yang 'am makhsush tidaklah tercegah oleh sabda Nabi "kullu bid'atin" yang diperkuat dengan kata "kullu" melainkan tetap hal umum itu dimasuki oleh takhsis (ada pengecualian) walaupun bersama "kullu" seperti firman Allah : "Tudammiru kulla syai'in yang berarti "Angin taufan itu menghancurkan segala sesuatu" (namun kenyataannya tidak semua dihancurkan oleh angin topan) "(Tahziibul Asma' wa-Lughat)".

Tidak Semua Kata “Kullu” Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)

Apakah kata “kullu” yang tidak sungguh-sungguh bermakna “semua” itu hanya ada pada hadits “kullu bid’atin dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak sekali kalimat “kullu” baik pada ayat Al-Qur’an  maupun hadits yang tidak bermakna umum.

Misalnya pada firman Allah SWT berikut ini :

Wa ja’alna minal maa’i KULLA syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan segala sesuatu yang hidup) (Q.S. Al-Anbiya [21]:30)

Dari ayat ini kata kulla memiliki makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata syai’in yang artinya segala sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan tanpa kecuali. Namun kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish (dikecualikan / dibatasi) oleh ayat-ayat lainnya :

Dan Dia menjadikan Jin dari nyala api” (Q.S. Ar-Rahman [55] : 15)
“Dan Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam) dari api yang sangat panas (Q.S. Al-Hijr :27)

Dari Urwah dari Aisyah Rasulullah SAW bersabda : malaikat diciptakan dari cahaya (nur) sedang kan jin diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)

Maka dari ayat dan hadits di atas jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau bukan makhluk kasat mata namun tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak terbuat dari air melainkan jin terbuat dari api dan malaikat terbuat dari cahaya. Maka ayat dan hadits ini men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30

Contoh lainnya adalah firman Allah tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia melubangi perahu yang mereka tumpangi

“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" (Q.S. Al-Kahfi [18]:71)

Maka Nabi Khidir a.s. menjawab :

“Karena di hadapan Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S. Al-Kahfi [18]:79)

Tapi kenyataannya raja itu tidak merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang masih bagus saja. Jika tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu itu. Jika benar-benar kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk yang bocor pun akan dirampas oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah” (semua bahtera) pada ayat tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”

Contoh lainnya lagi pada ayat :

“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang tersisa lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).

Ayat ini berbicara tentang kaum Nabi Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud. Namun kenyataannya tidak sisa-sisa peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa bangunannya dan menjadi pelajaran bagi umat yang kemudian

Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.” (Q.S. As-Sajadah [32] : 26)

Sebagian ulama ada yang mengajukan dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat

Kullu nafsin dzaiqotul maut (Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)

Namun kenyataannya tetap saja ada yang dikecualikan yaitu pada ayat :

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S. Az-Zumar [39] : 68)

Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml [27] : 87 ) 

Maka pada ayat itu ternyata ada beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat yang meniup sangsakala dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah makhluk yang berjiwa juga karena ia adalah makhluk yang hidup.

Kadang kala kalimat umum itu tidak mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai...” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)

Ayat di atas bermakna umum artinya bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun kenyataannya bangkai binatang dari laut tidak haram

Rasulullah s.a.w. bersabda : “Laut itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R. Tirmidzi)

Contoh lain kalimat umum yang tidak menggunakan kata “kullu”  misalnya pada ayat :

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S. Al-Baqarah [2] :228).

Pada ayat di atas lafadz al-mutholaqotu adalah isim jamak yang diikuti alif lam sehingga maknanya adalah umum (lafadz ‘am) sehingga artinya wanita manapun dalam kondisi bagaimanapun.

Namun lafadz ‘am ini di-takhshish (dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu :

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab [33]:49).

Maka keumuman ayat Al-Baqarah [2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci, itu  dikecualikan untuk wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

Maka dari sini para ulama mengatakan bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas dari pengecualian, kecuali ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan Allah  yang memang bersifat mutlak dan tanpa kecuali.

Wahbah Zuhaili mengatakan : “Jumhur ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki kecenderungan takhshish (pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di kalangan ulama (anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan (dari keumumannya) maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang umum. Artinya bahwa tak ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish melainkan sedikit saja” (Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)

Demikian pula Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun kholaf bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah sesuatu yang ja’iz (boleh) dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dipandang keilmuannya yang menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan tidak ada dalil yang umum melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah Ta’ala “dan Dia Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal 246)

Demikian pula lah dalam pembahasan masalah hadits bid’ah :

kullu muhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R. Ibnu Majah)

Bahwa perkataan kullu pada hadits di atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau “setiap” melainkan hal itu telah dikecualikan (ada takhshish nya)


Qorinah (Petunjuk) Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah

Mereka yang bersikeras dengan keumuman bahwa semua bid’ah tanpa kecuali adalah dlolal, juga berkata bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah adalah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah dan berkata “hadza ni’matil bid’ah”  (ini adala bid’ah yang nikmat / bid’ah hasanah).

Orang-orang yang bersikeras dengan keumuman makna “kullu bid’atin dlolalah”  juga berkata bahwa takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tidak boleh sembarangan dilakukan beradasarkan akal-akal-an, melainkan harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli.

Kami sepakat dengan mereka bahwa : walaupun para ulama mengatakan telah masyhur di kalangan ulama adanya kaidah setiap yang ‘aam (umum) menuntut adanya takhshishi kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kuasa Allah, namun takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tadi harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli. Dan sama sekali tidak terbersit niat untuk akal-akal-an di sini. Demikian pula Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani, Ibnu Atsir Jaziri dan ulama-ulama besar salafus sholih sejak jaman dahulu tak pernah akal-akal-an mencari-cari celah untuk melegal-kan perkara bid’ah.

Jika mereka berpendapat bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah maka jelas itu adalah pendapat yang salah besar. Karena sesungguhnya qorinah (petunjuk / indikasi) adanya pembagian bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu nyata benar adanya dari hadits-hadits Nabi s.a.w. sendiri sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair dari Al-Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha kaa na lahu ajruha (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian sunnah itu dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya) dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha kaa na ‘alaihi wizruhaa wa wizru man ‘amila biha (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan maka ia menanggung dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Ibnu Majah)

Perhatikanlah hadits di atas, bukankah jelas-jelas dalam redaksi hadits tersebut ada perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang baik) ? Hadits ini dengan redaksi yang sama diriwayatkan dari jalur yang lain sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Al-Hakam dari Abu Juhaifah ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha  ba’dahu (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya), maka ia akan mendapatkan seperti pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha ba’dahu kaa na ‘alaihi wizruha wa mitslu (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya) maka ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah)

Maka jelas dalam hadits di atas bahwa orang yang merintis sunnah yang baik akan mendapat pahala atas kebaikan tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya. Kriteria membedakan apakah rintisan-nya itu baik atau buruk tentu adalah dari timbangan syari’at yaitu kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, ijtihad sahabat atau ijma ulama.

Imam Syafi’i berkata : “Segala perbuatan baru yang memiliki dasar dalil-dalil syara’ maa bukan termasuk bid’ah (maksudnya bi’ah secara istilah) meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena suatu udzur yang terjadi saat itu (situasi kondisi yang tidak memungkinkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, atau barangkali hal itu (perkara baru yang baik itu) belum terlintas di dalam pengetahuan mereka (sahabat nabi, tabi’in, para salaf)” (Al-Hafizh Ghumari, Itqon fii Tahqiiq Ma’ani Bid’ah Hal 5)


Orang Yang Mengatakan Bahwa “Sunah” Di Situ Maksudnya Adalah Sunnah Nabi s.a.w. Yang Sudah Ada Di Jaman Nabi dan Bukannya Perkara Baru

Lagi-lagi orang-orang yang terlalu bersemangat ini (atau mungkin didorong oleh fanatisme kepada kelompoknya) menolak adanya qorinah (petunuk) yang jelas tentang adanya bid’ah hasanah berupa hadits-hadits di atas. Mereka berargumen bahwa sunnah di situ adalah sunnah Nabi s.a.w. yaitu menghidupkan sunnah Nabi s.a.w. yang sudah lama ditinggalkan orang dan bukannya perkara baru yang diadakan orang. maka barang siapa yang menghidupkannya tentu akan mendapat pahala orang-orang yang mengikutinya.

Ada juga yang mengatakan bahwa hadits di atas asbabul wurudnya (latar belakang peristiwa timbulnya hadits) adalah anjuran untuk bersedekah. Maka maksud perkataan “sunnatan“ di situ adalah sunnah Rasulullah s.a.w. dan bukannya perkara baru.

Dalam menanggapi penyangkalan di atas, kami berusaha untuk husnu dzhon (berprasangka baik) dalam hal ini, mungkin saja mereka (yang menolak qorinah / petunju dalam hadits itu) terpengaruh dengan hadits dengan redaksi yang sangat mirip namun berbeda maknanya yatu :

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah berkata telah menceritakan kepada kami Zain bin Hulab berkata telah menceritakan kepada kami Katsur bin Amru bin Auf Al-Muzani berkata telah menceritakan kepdaku Bapakku dari Kakekku bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahyaa sunnatan min sunnatii fa’mila biha annaas kaa na lahu mistlu ajri min ‘amila biha (Barang siapa menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku kemudian orang-orang mengerjakannya maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Wa man abtada’a bid’atan fa’mila biha kaa na ‘alaihi au zaaru man ‘amila biha (Dan barang siapa membuat bid’ah kemudian bid’ah itu dikerjakan oleh orang-orang maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakannya)” (H.R. Ibnu Majah)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abu Uwais berkata telah menceitakan kepadaku Katsur bin Abdullah dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahya sunnatan min sunnati qod amiitat ba’dii fainnalahu min ajri mitsli ajri man ‘amila biha minannaas (Barang siapa menghidupkan sunnahku yang telah ditinggalkan sepeninggalku maka ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man abtada’a bid’atan laa yardlohaa Allah wa Rosuluhu fa inna ‘alaihi mitsla itsmi man ‘amila biha minannaas (Dan barang siapa membuat bid’ah yang Allah dan RasulNya tidak meridlainya, maka ia akan mendapatkan dosa orang yang melakukannya) tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (H.R. Ibnu Majah)

Pada kedua hadits di atas sunnah di sini memang sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang ditinggalkan orang, hal ini ditandai dengan perkataan sunnatan min sunnati (sunnah dari sunnahku) maka akhiran “i” adalah kata ganti yang berarti “ku” dimana “ku” disini adalah Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena sunnah di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya namun ditinggalkan oleh orang (tidak diamalkan lagi) maka yang melakukannya dikatakan dengan kata “man ahya” (barang siapa menghidupkan kembali).

Sedangkan pada hadits yang sebelumnya, perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)  bukanlah sunnah Nabi s.a.w. yang sudah ada, melainkan “perkara baru dalam agama yang diadakan”. Untuk itulah redaksi hadits tersebut tidak diawali dengan kata man ahya (barang siapa menghidupkan) melainkan “man sanna” yang artinya barang siapa merintis. Maka kata “man sanna” ini menunjukkan bahwa ini adalah perkara baru dalam agama yang belum ada sebelumnya atau tidak dicontohkan oleh Nabi s.a.w.

Selain itu jika perkataan sunnatan di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya maka apakah sunnah yang diajarkan Nabi s.a.w.  itu ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)?? Sehingga barang siapa yang melaksanakan sunnah Nabi s.a.w. yang buruk akan mendapat dosa?? Tentu menjadi kacau pengertian hadits ini jika perkataan sunnatan di sini diartikan sebagai sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya.

Kesalahpahaman Makna Sunnah

Kami juga ber-husnudzhon bahwa mungkin saja ke-salah-paham-an dalam memahami makna sunnatan dalam hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) timbul karena ada dua pengertian sunnah dalam pembicaraan umum dan pembicaraan ilmu fiqih. Dua pengetian ini bisa saling tertukar atau sekilas membingungkan.

 Secara pembicaraan umum, pengertian “sunnah” adalah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan atau diterima orang untuk dilaksanakan. Secara makna bahasa atau makna lughoh dikatakan bahwa sunnah ialah : “at-thoriqoh mardhiyyatan kanat au ghoiro mardhiyyah” (perilaku yang diterima umum baik itu perbuatan baik yang diridhoi maupun yang tidak diridhoi). Maka  pengertian “sunnah” dalam pembicaraan umum tidak hanya perbuatan yang baik saja melainkan juga bisa meliputi perbuatan buruk yang sudah melembaga di masyarakat atau menjadi konsensus bersama untuk dilaksanakan.

Sedangkan dalam ilmu fiqih, definisi “sunnah” adalah : “ma ja’a ‘annin nabiyy shalallahu alaihi wa salam min qoulin au fi’lin au taqriir” (segala sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w. baik itu perkataan, perbuatan maupun pengakuan). Sebagian ulama ada yang menambahkan pada definisi sunnah dengan “diamnya Nabi s.a.w.” artinya meliputi perkara-perkara yang didiamkan oleh Nabi s.a.w. karena hal itu menunjukkan adanya persetujuan Nabi s.a.w. atas perilaku tersebut. Nah pengertian sunnah dalam ilmu fiqih inilah yang lebih sering kita pegang ketika membahas masalah agama. Namun dalam pembicaraan hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) di atas, mengambil makna sunnah secara pembicaraan umum meliputi perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah diterima atau disepakati untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Maka dari itulah ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk).


Pemilahan Bid’ah Oleh Para Ulama Berada Pada Takhshish Yang Mana?

Kita kembali pada pembahasan makna bid’ah secara istilah syari’ah dimana makna bid’ah yang semula umum, telah mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yaitu :
Tahap 1 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah bid’ah dalam perkara agama
Tahap 2 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang menyerupai syari’at
Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang terjadi pada syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.
Tahap 4 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.

Oleh karena ahdats (membuat perkara baru) atau muhdats juga merupakan persamaan dari bid’ah maka ia mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yang sama yaitu :

Tahap 1 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dalam perkara agama
Tahap 2 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dengan tujuan menyerupai syari’at
Tahap 3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan pada syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap 3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.
Tahap 4 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.

Maka perlu dipahami bahwa pembagian bid’ah oleh para ulama terjadi pada tahapan takhshish yang ke-3 dan bukan yang ke-4.

Sebagai contoh Imam Asy-Syafi’i berkata:
 “Bid’ah ada dua macam: Bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madmumah (yang tercela ). Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi sunnah adalah bid’ah tercela”. (Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, Juz 9 hal  113)

Imam Syai’i juga membagi muhdats dengan perkataan yang sama : “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)

Imam Syafi’i membagi bidah menjadi bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun dalam tahap ini Imam Syafi’i masih perlu membagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan bid’ah yang madmumah (tercela) Hal ini dillakukan agar tidak salah kaprah bahwa semua perkara baru dalam agama (yaitu sampai takhsish yang ketiga) adalah pasti bid’ah yang tercela.

Lalu apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela) ? Maka lebih lanjut Imam asy-Syafi’i menjelaskan kriterianya sb :

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).

Maka sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ini adalah tahapan takhshsish yang keempat dimana Al-Qur’an dan Sunnah menjadi kriteria untuk memilah lagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela).

Demikianlah Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari pernyataan Imam Syafi’i : “Maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas ialah apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah (Majmu’ Al Fatawa, 20: 163) 

Senada dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata : “Jika bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya (baik atau buruk) maka menjadi bagian yang bersifat mubah (boleh-boleh saja). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253) 

Ibnu Hajar Asqolani membagi bidah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah mustaqbahah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali. Sudah jelas bagi beliay bahwa yang dimaksud bid’ah atau muhdats adalah perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang hasanah (baik) dan bid’ah yang mustaqbahah (tercela).

Demikian pula dengan Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri berkata : “Bid’ah itu terbagi dua yaitu bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dholal (bid’ah yang sesat). (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267) 

Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri membagi bidah menjadi bid’ah huda (mendapat petunjuk) dan bid’ah dlolal (sesat) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan bid’ah yang dlolal (sesat).

Lalu apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan mana bid’ah yang dlolal (sesat ) ? Maka lebih lanjut Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri menjelaskan kriterianya sb :
 
Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah s.a.w. tergolong bid’ah tercela dan tertolak (dzammi wal inkar). Bid’ah yang masih termasuk di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan RasulNya maka termasuk hal yang terpuji sedangkan bid’ah yang belum ada semisalnya seperti cara kedermawanan dan cara berbuat kebajikan, maka tergolong yang terpuji (mahmudah) dan tidak mungkin hal tersebut menyelisihi syara’ “ (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)

Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)

Di sini Imam Abni Abdul Barr membagi bid’ah menjadi bid’ah laa khoir (bid’ah yang tidak baik) dan ni’matil bid’ah (diambil dari perkataan Umar bin Khattab yang artinya bid’ah yang nikmat). Untuk membedakan mana bid’ah laa khoir  dan mana yang ni’matil bid’ah, maka sebagaimana penjelasan beliau di atas apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir). Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)”


Pembagian Bid’ah Berdasarkan Pada Lima Hukum Fiqih

Pembagian Ulama menjadi bid’ah dua jenis saja sebagaimana diuraikan di atas yaitu :
Imam Syafi’i  membagi: bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela)
Ibnu Hajar Asqolani membagi :  bid’ah hasanah dan bidh’ah mustaqbahah
Ibnu Atsir Aj-Jaziri membagi :  bid’ah huda (sesui petunjuk) dan bidh’ah dlolal (sesat)
ternyata masih dianggap belum cukup memadai karena kenyataannya bid’ah yang mahmudah (terpuji) pun ada yang merupakan keharusan (wajib) diadakan dan ada juga yang tidak harus melainkan lebih baik jika diadakan. Demikian pula bid’ah yang bid’ah madmumah (tercela) kadarnya berbeda beda ada yang haram namun ada juga yang sekadar makruh.

Untuk itulah ulama lainnya membagi bid’ah dengan pembagian yang berbeda yaitu sesuai kedudukan hukum fiqihnya sesuai kadar kebolehannya dan kadar terlarangnya.

Contohnya adalah Imam Nawawi yang mengatakan : “Para ulama berkata, bid'ah itu ada lima macam : wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid'ah yang wajib adalah menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan akidah dan para pelaku bid'ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid'ah yang mandub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun madrasah, dan tempat-tempat pengajian serta yang lainnya. Termasuk ia bid'ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan lainnya. Sedangkan bid'ah yang haram dan makruh sudah jelas”. (Lihat Dalam Kitab Tahziibul Asma' wa-Lughat)

Imam Shan’ani juga mengatakan : Ulama membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan cara membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah mandubah  seperti membangun berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti memakan berbagai makanan dan baju yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram) dan e) bid’ah makruhah  sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah) telah jelas contohnya. Dengan demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)

Imam Izzuddin bin Abdussalam seorang ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah terbagi lima : bid’ah wajibah, bid’ah muharamah, bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah, dan bid’ah mubahah (bid’ah yang mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu ialah dengan cara membandingkan bid’ah (hal baru tsb) dengan kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah (hal baru) itu masuk ke dalam kaidah wajib maka disebut bid’ah wajibah. Jika masuk kedalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharamah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat maka menjadi bid’ah mandubah Dan apabila masuk dalam kaidah mubah menjadi  bid’ah mubahah” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam juz 2 hal 172)

Lebih lanjut Imam Izzuddin bin Abdussalam memberikan contoh sebagai berikut : “Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu (jaman Nabi takada ilmu nahwu) sebagai sarana memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasul s.a.w. Hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya hal yang wajib, maka hukumnya juga wajib. Contoh kedua, adalah ilmu jarh dan ta’dil (dulu tak ada ilmu jarh wa ta’dil) untuk membedakan hadits yang shahih yang shahih dan lemah. Bid’ah muharamah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran qadariyah, jahmiyah, murji’ah dan mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah jenis ini adalah hal yang wajib.

Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, diantaranya termasuk shalat tarawih (berjamaah). Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushaf Al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya memakan makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran, dll.” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam juz 2 hal 133)

Maka perlu dipahami di sini bahwa pembagian bid’ah menjadi lima katagori sesuai dengan status hukum fiqihnya yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah adalah pada posisi pen-takhshish-an yang ketiga. Dan mereka para ulama sampai pada pen-takhshish-an yang keempat dengan menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah sehingga akhirnya bisa menetapkannya termasuk pada bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah.

Pembagian ini menjadi lain perkaranya jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah jelas-jelas bid’ah yang sesat. Maka jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah takhshish yang ke-4 akan menimbulkan tuduhan bahwa para ulama itu telah menyimpang dan sesat dengan pembagian bid’ah tersebut.

Jika Makna Bid’ah Yang Telah Ditakhshish 4 Tahap, Tentu Kita Setuju Semua Bid’ah Adalah Sesat

Makna bid’ah yang benar-benar lengkap secara istilah atau secara syari’at menurut cara penjelasan kami adalah makna bid’ah yang telah mengalami pentakhshishan 4 (empat) tahap yaitu :
-          Takhshih pertama : Maksudnya perkara baru adalah di bidang agama
-          Takhshih kedua  : Maksudnya agama adalah yang menyerupai thariqah, syari’at baru &ghuluw
-          Takhshih ketiga : Maksudnya agama adalah agamanya syari’at Muhammad s.a.w. dan tidak ada pada masa Muhammad s.a.w.
-          Takhshih keempat : Yang tidak memiliki dalil / landasan dari Al-Qur’an dan Sunnah,

Tentu saja kita setuju jika makna bid’ah yang dipakai pada hadits kullu bid’atin dlolalah dan kullu dlolalah fii naar adalah makna secara istilah atau makna syariat yang lengkap yang telah ditakhshish dalam 4 tahapan di atas. Jika pengertian bid’ah ini yang diambil, maka semua sepakat bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kalimat lengkapnya agar tidak salah paham : “semua bid’ah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah sesat” atau ““semua bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya adalah sesat”. Maka bid’ah dlolalah lah yang sesat.

Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)

Lihatlah perkataan Ibnu Abdul Baar bahwa yang dimaksud harus kita jauhi harus kita tinggalkan sebagaimana hadits : adalah bid’ah yang tercela yaitu yang telah didetilkan, dirinci melalui pentakhshishan 4 tahap di atas.

Demikian pula Imam Jurjani mengatakan :

Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi sunnah. Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i (Al-Jurjani dalam At-Ta’rifaat Juz 1 hal 13)

Jika Yang Dimaksud Makna Bid’ah Yang Telah Ditakhshish 4 Tahap, Tentu Tak Ada Bid’ah Hasanah.

Dari uraian makna “bid’ah” secara istilah yang telah spesifik dan khusus sebagaimana telah ditakhshish dalam 4 tahap jelas tidak pada tempatnya dibagi lagi menjadi bid’ah terpuji atau bid’ah tercela. Dan pada makna khusus ini juga tidak bisa dibagi lagi ada bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah. Kalimat lengkapnya agar lebih jelas adalah : “tak ada bid’ah dlolalah yang hasanah” (tak ada bid’ah sesat yang baik).

Maka wajar jika ada ulama dan sebagian umat muslim yang ngotot mengatakan tak ada bid’ah hasanah. Perkataan ini tidak harus menjadi perdebatan melainkan ditempatkan dan diartikan bahwa di sini yang dipakai adalah makna secara istilah atau makna bid’ah secara syariat yang telah ditakhshish secara lengkap dan detil, sehingga maksudnya kalimat “tak ada bid’ah hasanah” adalah “bid’ah yang itu tuh” bukan bid’ah secara umum, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syari’at, yaitu syari’atnya Muhammad s.a.w., yaitu yang tak ada pada masa Muhammad s.a.w. dan yaitu yang tak ada landasan dalil syar’iny baik Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, tabi’in atau ijma ulama.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah sebagai berikut : Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk sunnah. Namun jika bukan wajib dan bukan pula sunnah, maka tidak ada seorang ulama pun boleh mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah (Majmu’ Al Fatawa, 1: 162)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar