Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

Pembahasan Masalah Bid'ah (BAGIAN 2)


Oleh : Abu Akmal Mubarok

Setelah kita memahami makna “bid’ah” secara bahasa, maka kita harus melangkah pada pembahasan makna bid’ah secara istilah. Mengapa? Karena jika kita berdiam pada makna harfiyah saja maka semua hal yang baru (apapun tanpa kecuali) akan disebut bid’ah padahal dalam hadits dikatakan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat berada di neraka. Berarti semua hal yang baru (apapun tanpa kecuali) adalah sesat dan masuk neraka. Tentu ini tidak masuk di akal karena peradaban umat Islam akan mandeg, dan ini bukan tujuan diturunkannya syari’at Islam.

Makna Bid’ah Secara Istilah

Sebagian orang menjulukinya “makna istilah” dengan “makna secara syari’at” dengan kata lain makna “secara istilah syari’at”.

Sebagaimana telah kami uraiakan di atas, bahwa makna secara istilah selalunya bersifat lebih spesifik dan terbatas. Dalam ilmu ushul fiqih, makna tersebut mengalami “takhshish” (pengkhususan). Sesuatu yang patut dicermati di sini, dan perlu dipahami dengan seksama ialah bahwa makna “bid’ah” dalam maknanya yang umum (dari makna bahasa) mengalami empat tingkatan takhsish atau tiga tahap pengkhususan.

Takhshish Tingkat Pertama

Dalam Al-Qur’an kita temukan salah satu julukan bid’ah disematkan pada perilaku pengikut Nabi Isa a.s. yang mengada-adakan kerahiban (rahib yaitu mengasingkan diri menjauhi dunia, tidak boleh menikah sebagai bentuk menyerahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan).

Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah (wa rahbaniyyatin abtada’uu) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. Al-Hadiid [57] : 27)

Perkataan “abtada’uu” yang mensifati kata rahbaniyyatin artinya adalah bid’ah. Berbeda dengan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menggunakan kata badi’u dan bid’an untuk hal-hal umum di luar agama, maka julukan bid’ah kali ini dinisbatkan pada penambah-nambahan dalam urusan agama. dan tata cara ibadah. Keterangan kata “untuk mencari keridha’an Allah”menunjukkan bahwa mereka (kaum Nasrani) bermaksud mengadakan hal ini sebagai sarana pendekatan diri pada Allah Sehingga hal ini jelas merupakan syari’at atau menandingi syari’at. Maka bid’ah pada ayat ini adalah bid’ah dalam perkara agama.

Hal ini sama dengan ayat pada Q.S. An-Najm bahwa orang kafir mengada-ada dalam perkara dewa dan tuhan-tuhan yang mereka sembah sebagai bid’ah dalam urusan agama.

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya (padahal) Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (Q.S. An-Najm [53] : 23) 

 Indikasi bahwa hal ini termasuk urusan agama terdapat pada firman Allah “(padahal) Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya / menyembah dewa-dewa itu”. Urusan sembah menyembah disebut ritual atau disebut ibadah mahdhoh. 

Maka dalam konteks ayat di atas makna bid’ah yang semula bersifat umum, mengalami pembatasan secara istilah syari’at adalah “hal baru yang diada-adakan dalam urusan agama”. Inilah takhshih tahap pertama.

Perhatikanlah bahwa dari semula makna bid’ah secara bahasa adalah sangat umum sangat luas yaitu “segala sesuatu yang baru” (apa saja tanpa kecuali) meliputi penciptaan langit dan bumi, bahkan kedatangan seorang Rasul pun disebut dengan “bid’ah”, kini pengertian itu mengalami perubahan bahwa dalam pengertian spesifik syari’at yang dimaksud “bid’ah” adalah “segala sesuatu yang baru dalam urusan agama”

Demikian pula adanya petunjuk (qorinah) adanya takhshish (pengkhususan) bid’ah hanya dalam perkara agama, bisa kita lihat pada hadits Rasulullah s.a.w. yang menjelaskan kata bid’ah ini dengan perkataan “min amrina (dari urusan kami) :

Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah r.a. berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: "Man ahdatsa fii amrina hadza (Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini) maa laisa fiihi (yang tidak ada di dalamnya) fahuwa radda (maka perkara itu tertolak)". (H.R. Bukhari No. 2499 Abu Daud No. 3990)

Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Ayahnya dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: " Man ahdatsa fii amrina hadza maa laisa minhu fahuwa radda (Barang siapa membuat perkara baru yang bukan dari kami maka tertolak)." (H.R. Ahmad No. 25124 Ibnu Majah No. 42, )

Perkataan “fii amrina” di atas mengisyaratkan adanya qorinah (petunjuk) untuk membatasi atau mengkhususkan (takhshish) dari semula makna umum bid’ah secara bahasa adalah “segala sesuatu yang baru (tanpa kecuali apapun itu perkaranya)” baik itu urusan agama atau bukan agama, menjadi “hanya perkara agama saja”. Maka pada tahap ini definisi bid’ah kita sepakati “yang dimaksud hal baru di sini adalah hal baru dalam urusan agama”

Dalam redaksi hadits lain petunjuk (qorinah) adanya takhshish (pembatasan) itu terdapat pada kata “laisa ‘alaihi amruna” (bukan berasal dari urusan kami) seperti pada hadits berikut ini :

“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa radda” Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan  yang bukan berasal dari urusan kami, maka (amalan) itu tertolak”. (H.R. Muslim).

Sedangkan kata “radd” maknanya adalah tertolak Imam Nawawi berkata : “Telah berkata para ahli bahasa arab bahwa yang dimaksud dengan ”raad” (tertolak) disini bermakna di tolak yang maknanya bahwa amalan tersebut bathil tidak dianggap sebagai ajaran agama.  (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi juz 16 ha; 12)

Orang masih ada saja yang meragukan keterangan “fii amrina” atau “laisa ‘alaihi amruna” sebagai qorinah (petunjuk) adanya takhshish bahwa yang dimaksud bid’ah hanyalah bid’ah dalam perkara agama karena tak ada perkataan yang tegas-tegas menyebut agama. Maka berikut ini kami sampaikan sabda Rasulullah s.a.w. ketika menasehati Abu Hurairah r.a.

Dari Thahir As-Shilfi dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Ajarkan orang-orang tentang sunnahku walaupun mereka membencinya, dan bila kamu suka janganlah berhenti walau sekejap matapun di tengah jalan hingga kamu masuk ke dalamnya serta Falaa tahditsu fii diinillah hadatsan bi ro’yika (Janganlah membuat perkara baru dalam diinullah (agama Allah) menurut pendapatmu sendiri)” (H.R. Imam Asy-Syatibi dalam I’tisham hal 50)

Dari hadits di atas jelas sekali dikatakan bahwa muhdats (perkara baru) itu adalah perkara di bidang agama berdasarkan perkataan “Falaa tahditsu fii diinillah”.

Dengan adanya takhsish tingkat pertama ini, maka ketika kita berbicara bid’ah, yang dimaksud adalah perkara baru dalam bidang agama. Sedangkan perkara-perkara baru di luar agama, seperti terkait sarana, kendaraan, bangunan, teknologi, kesehatan, pertanian, transportasi, model pakaian, jenis makanan, bukan termasuk perkara agama sehingga perkara baru dalam bidang ini bukan termasuk “bid’ah” yang dimaksud oleh hadits Nabi s.a.w. di atas.

Contohnya, jika Nabi s.a.w. dahulu menggunakan unta, maka saat ini kita menggunakan sepeda motor, mobil, pesawat, kereta api, bukanlah bid’ah walaupun hal itu tidak ada pada jaman Nabi s.a.w. Demikian pula jika saat ini ada listrik, lampu, mesin diesel, komputer, telepon, internet, walaupun semua itu tidak ada pada masa Nabi s.a.w namun itu tidak termasuk muhdats dan bid’ah yang dibicarakan pada hadits tersebut.

Demikianlah para ulama pun memahami hal ini bahwa yang dimaksud bid’ah yang sedang dibicarakan dalam hadits “kullu bid’atin dlolalah” adalah makna bid’ah secara syari’at yang sudah ditakhshish hanya bidang agama

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, membagi bid’ah menjadi bid’ah dalam adat istiadat (kehidupan di luar agama) dan bid’ah dalam bidang agama. Sedangkan bid’ah dalam bidang agama dibagi lagi menjadi bid’ah qauliyah iqtiqodiyyah (perkataan dan keyakinan) dan bid’ah dalam ibadah mahdhoh (teknis ibadah ritual).

Takhshish Tingkat Kedua

Dalam takhsish tingat kedua yaitu bahwa bid’ah itu maksudnya adalah perkara baru dalam agama (yaitu agamanya syari’at Muhammad s.a.w.) yang tidak ada pada masa Rasullah s.a.w. masih menyisakan kadar “keumumannya makna” yaitu sejauh mana batasan disebut masalah agama? Kapan sebuah urusan itu disebut urusan agama?

Imam al-Syathibiy dalam kitab al-I'tishaam mendefinisikan bid'ah sebagai berikut; "Suatu jalan baru (thariqah) di dalam agama yang dibuat-buat serupa dengan syariat, dimana, tujuan melakukan perbuatan itu adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt".


Berdasarkan perkataan Imam Syatibi ini maka batasan sesuatu disebut “agama” ialah jika :
1. Merupakan jalan baru (thariqah) di dalam agama
2. Menyerupai syariat
3. Berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beribadah kepada Allah swt.

Maka dari sini kita paham bahwa ketika sebuah perkara baru dalam agama, yaitu agamanya Nabi Muhammad s.a.w. dan belum ada contohnya / belum dilakukan pada jaman Nabi Muhammad s.a.w. akan tergolong bid’ah (maksudnya makna bid’ah secara istilah) jika si pelakunya meyakini ini sebagai thariqah dan menyerupai syari’at, yaitu tata cara baru dalam beribadah mahdhoh (ritual) yang dimaksudkan sebagai bentuk taqarub (pendekatan diri) kepada Allah SWT. Mengapa perlu saya sebutkan ibadah dengan embel-embel mahdhoh (ritual) karena pada dasarnya konsep Islam menganggap semua perbuatan ini adalah ibadah. Namun dalam konteks ini yang dibicarakan adalah ibadah ritual yang dimaksudkan untuk penyembahan dan hubungan langsung dengan Allah (hablum minallah).

Sedangkan jika pelakunya tidak meyakini ini sebagai ibadah mahdhoh (ritual) dan tetap menganggap perkara baru ini adalah tradisi saja, atau seremonial demi membangkitkan semangat umat Islam saja, maka hal itu tidak tergolong pada “bid’ah” yang dimaksud oleh hadits Rasulullah s.a.w. tersebut. Kalau soal perkara baru hal ini jelas perkara baru. Tapi hal ini tidak termasuk ibadah mahdhoh maka tidak tercakup yang dimaksud bid’ah pada hadits ini.

Sebagai contoh, kita mengadakan peringatan tragedi jatuhnya Palestina ke tangan Israel pada tahun 1948 dan 1967 atau peringatan tragedi pemusnahan muslim Bosnia Herzegovina pada tahun 1992, atau kita mengadakan acara peringatan tragedi jatuhnya kekhilafahan muslim terakhir pada tahun 1942, yang lantas diubah menjadi republik sekuler oleh Kemal Attaturk, atau kita mengadakan peringatan 1 April (Yang orang barat memperingatinya dengan lelucon april mop) yaitu dibantainya ribuan umat muslim di Spanyol, atau tragedi-tragedi lainnya demi mengingatkan umat Islam akan permusuhan kaum kafir. Maka walaupun hal ini adalah bid’ah (hal baru yang secara bahasa disebut bid’ah) namun tidak tergolong “menyerupai syari’at” sehingga tidak tergolong bid’ah (secara makna istilah syari’at). Maka ini adalah bid’ah yang bukan bid’ah. Sengaja kini saya menggunakan dua kata bid’ah pada satu kalimat, karena bid’ah yang pertama adalah bid’ah secara bahasa, sedangkan bid’ah kedua maksudnya adalah bid’ah secara makna istilah syari’at.

Demikian pula bisa saja umat Islam sepakat mengada-adakan peringatan kemenangan kaum muslimin merebut Konstatinopel, atau peringatan kemenangan kaum muslimin mengusir penjajah Rusia dari bumi Afghanistan pada tahun 1989 silam, dan pada acara itu dibacakan kisah-kisah heroik dalam sejarah demi untuk membangkitkan semangat dan kebanggan kita akan Islam. Maka jika mereka yang melakoni acara ini tidak meyakini ini sebagai bagian dari syari’at, ditandai dengan tidak adanya rasa wajib melaksanakan dan kalau tidak melaksanakan akan berdosa, maka hal ini adalah bid’ah yang bukan bid’ah (kali ini tidak perlu saya jelaskan karena sudah paham maksud saya menggunakan dua kata bid’ah dalam satu kalimat dimana bid’ah yang satu berbeda maknanya dengan bid’ah yang kedua). Namun andaikata acara seremonial ini diadakan rutin sampai akhirnya orang-orang meyakini (atau salah meyakini) acara ini sebagai bagian dari syari’at ditandai dengan rasa berdosa jika tidak menyelenggarakannya atau merasa berdosa jika tidak menghadirinya maka hal ini menyerupai syari’at dan inilah bid’ah yang memang “bid’ah”.

Termasuk juga bid’ah yang memang bid’ah (sesat) adalah ghuluw (berlebih-lebihan) baik itu menambahi dalam takarannya misal orang yang shalat magrib 4 rokaat atau shalat ba’diyah dzuhur 8 rakaat, atau thawaf mengitari ka’bah lebih dari 7 putaran. Namun ada juga termasuk bid’ah yang sesat adalah tarku bid’ah (meninggalkan / menghilangkan hal yang disyariatkan) yaitu menghilangkan salah satu rukun ibadah atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT.


Takhsish Tingkat Ketiga

Takhshih tingkat kedua di atas masih menyisakan kadar keumuman maksud yang cukup luas. Walaupun sudah di-takhshih (dikhususkan) bahwa yang dimaksud baru di sini bukan sembarang baru melainkan perkara baru dalam bidang agama, dan kriteria termasuk perkara agama itu telah dijelaskan namun “baru” itu diukur sejak kapan?

Maka di sini diperlukan takhsih yang ketiga, yaitu dipahami dari perkataan “laisa minhu (bukan dari kami)” dan “laisa fiihi “(bukan darinya)” atau dari kata “min amrina” dan “fii amrina” maka siapakah yang dimaksud dengan kata ganti “na” di sini? Juga siapakah yang dimaksud dengan kata ganti “hu” di sini ? Para ulama sepakat bahwa semua kata ganti di situ kembali pada Rasululllah s.a.w. dan para sahabatnya di masa itu.

Maka dengan adanya “qorinah” ini para ulama memberi tambahan keterangan (takhsish) bahwa yang dimaksud bid’ah adalah “hal baru dalam perkara agama adalah syariat yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Sedangkan makna “baru” di sini adalah “yang belum ada pada masa Rasulullah s.a.w.”  Imam Nawawi pun mengatakan : “Hiya ihdattsu maa lam yakkun fii ‘ahdi Rasulullah  “Bid’ah adalah perkara baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah s.a.w.” (Imam Nawawi dalam Tahzib Al Asma wa Lughot Juz 3 Hal 22) Imam Izzuddin bin Abdussalam seorang ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah s.a.w.” (Qawa’id Al-Ahkam fii mashalih Al-Anam juz 2 hal 172)

Maka pada tahap ini definisi bid’ah kita sepakati “hal baru dalam urusan agama Islam (syariat yang dibawa Muhammad s.a.w.) yang belum ada pada masa Rasulullah s.a.w.” Dengan ada nya pembatasan ini makna bid’ah telah mengalami takhshih dan rincian tiga tahap yaitu :
Tahap 1 Hanya masalah agama
Tahap 2 Hanya yang menyerupai syari’at
Tahap 3 Hanya syari’at nya Nabi Muhammad s.a.w. artinya sesuatu yang belum ada contohnya pada masa Nabi s.a.w.

 Maka dengan pembatasan ini, kita tidak mengurusi bid’ah atau penyimpangan syari’at pada masa Nabi Musa a.s. Demikian pula kita tidak membicarakan tambahan perkara baru dalam agama syari’atnya Nabi Isa a.s. Misalkan saja, shalat menghadap kiblat Ka’bah ditinjau dari syari’at Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.  jelas meruapakan bid’ah karena syari’at Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.  shalat menghadap baitul maqdis (masjidil aqsho).


Takhsish Tingkat Keempat

Walaupun kita sudah mentakhsis makna bid’ah tiga kali, baik itu untuk tujuan membatasi, mengkhususkan atau memerinci lebih detil agar tidak salah paham dengan apa yang dimaksud bid’ah pada hadits tersebut, namun lagi-lagi hal ini masih menyisakan kadar keumuman makna.

Ya, kita sudah sepakat yang dimaksud “baru” di sini adalah dalam perkara agama
Ya, kita juga sudah sepakat apa batasan “perkara agama” yaitu yang menyerupai syari’at
Kita juga sudah sepakat yang dimaksud “syari’at” di sini bukan syari’at Nabi-Nabi lain melainkan adalah “syari’at yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. (mengapa saya tidak katakan Islam saja?  Karena hakikatnya risalah yang dibawa oleh para Nabi dari Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w adalah Islam)

Kita juga sudah sepakat bahwa yang dimaksud “baru” di sini secara ukuran waktu adalah yang belum ada pada masa Rasulullah s.a.w.

Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan terkait sabda Nabi s.a.w. berikutnya yaitu “kullu bid’atin dlolalah”, yaitu apakah lalu semua perkara baru dalam agama syari’atnya Nabi Muhammad s.a.w. yang belum ada pada jaman Nabi s.a.w. itu dholal (sesat) ? Apa ukurannya hal dalam agama itu sesat atau tidak sesat?

Rasulullah s.a.w. bersabda : “wa manibtada’a bid’ata dlolalatin laa tardlillah wa rosuulahu fainna alaihi istmi man ‘amila biha laa yanqushu dzalika min atsamin naas dzalika (barang siapa melakukan bid’ah dlolalah yang tidak diridloi Allah dan Rosulnya maka baginya dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa sedikitpun mengurangi dosa orang yang mengikutinya)” (H.R. Tirmidzi)

Pada hadits di atas bid'ah dlolaah masih ada kriteria lebih lanjut yaitu yang tidak di-ridhoi Allah dan Rasulnya. Maka ini adalah qorinah (indikator) untuk takhshish tahap keempat bahwa tidak semua hal baru dalam bidang agama yang dianggap bid'ah yang sesat melainkan hal baru yang menyalahi syari'at Allah dan Rasulnya saja yang dianggap bid'ah yang sesat.

Demikian lah pemahaman para salafus sholih dan para muhaddits serta ahli ilmu fikih sejak dahulu kala.

Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi (catatan : beliau adalah ahli fiqih madzhab Maliki dam beda dengan tokoh Ibnu ‘Arabi yang menyebarkan paham wihdatul wujud) menuliskan sebagai berikut : “Perkara yang baru (bid’ah atau muhdats) tidak pasti tercela (tidak otomatis dlolal) hanya karena secara bahasa disebut bid’ah atau muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan bid’ah yang tercela (atau dlolal) itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan muhdats yang tercela (atau dlolal) itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”. (‘Aridath Al-Ahwadzi Syarh Jami Tirmidzi juz 10 hal 147)

Sebagaimana juga Imam Jalalluddin Suyuthi (penulis tafsir Jalalain dan Kitab Hadits Jami’us Shaghir) mengatakannya :
Maksud asal kata bid’ah adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Dalam istilah syari’at bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada masa Nabi s.a.w. maka hukum bid’ah terbagi menjadi lima” (Imam Suyuthi dalam Tanwir Al-Halik Juz 1 Hal 137)

Ibnu Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata : “Dari segi bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa da contoh sebelumnya. Namun dari segi syara’ (makna secara istilah syari’at) bid’ah diucapkan sebagai lawan dari sunnah, sehingga bid’ah (dalam makna ini) adalah yang pasti tercela. (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253) 

Sampai di sini sebenarnya Ibnu Hajar Asqolani telah sampai pada takhshish yang keempat sehingga berkata bahwa bid’ah dalam hal ini sudah pasti tercela. Namun kemudian beliau melanjutkan :
Namun sebenarnya jika bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya (baik atau buruk) maka menjadi bagian yang bersifat mubah (boleh-boleh saja). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253)

Imam Shan’ani mengatakan : “Menurut bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud bid’ah (secara makna syari’at) adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Qur’an dan sunnah. Ulama membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilu agama dengan cara membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah mandubah  seperti membangun berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti memakan berbagai makanan dan baju yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram) dan e) bid’ah makruhah  sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah) telah jelas contohnya. Dengan demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)

Imam asy-Syafi’i berkata :
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).

Di dalam kitab Jaami' al-'Uluum wal Hukm dinyatakan : “Setiap amal yang tidak sejalan dan terikat dengan syariat, niscaya akan ditolak. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus selalu terikat dengan hukum syariat, dan perbuatan akan ditolak jika tidak sejalan dan sesuai dengan hukum syariat”

Dalam kitab Al-Ta'aarif , Imam Al-Manawiy menyatakan : “Al-bid'ah adalah al-fi'lah al-mukhalifah li al-sunnah (bid'ah adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah); sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w; kulla muhdatsat bid'ah, wa kulla bid'ah dlalaalah wa kulla dlalaalah fi al-naar (setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan masuk ke dalam neraka). Akan tetapi, ada sebagian bid'ah yang tidak makruh (atau haram), sehingga dinamakan bid'ah mubah. Yang dimaksud dengan bid'ah mubah adalah semua perkara baru yang memiliki dasar di dalam syariat, atau perkara baru yang memberi konsekuensi mashlahat dan menghilangkan mafsadat (kerusakan)”. 

Dari uraian di atas jelaslah bahwa jika kita mengambil makna bid’ah dalam makna harfiah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada sebelumnya, maka secara akal sehat mengharuskan adanya pemilahan. Karena tidak mungkin segala sesuatu (tanpa kecuali) yang baru / tidak ada di jaman Nabi s.a.w. dianggap bid’ah yang sesat. Para ulama sejak dahulu telah memahami hal ini dan tidak menganggap semua bid’ah otomatis dlalalah dan tidak menganggap sesat semua amal kebajikan yang mungkin timbul di kemudian hari yang semula tidak pernah ada pada jaman Nabi s.a.w.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar