Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

Dien1. Menuju Pemahaman Islam (Seri Tauhid)

MEMAHAMI KEBERADAAN TUHAN
(BAGIAN 1)


Apakah Tuhan Ada ?

Sejak dahulu para filosof berusaha memikirkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti “siapakah manusia itu ? Siapakah diri kita sebenarnya ? Mengapa kita ada ? Untuk apa kita ada di muka bumi ? Dari mana asalnya kita ? Siapa yang menciptakan alam dan diri kita ?”, bahkan sampai sekarang. Kebanyakan para filosof mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengandalkan logikanya. Mereka  begitu percaya kepada kekuatan logikanya, sehingga tidak mau menengok kemungkinan mencari jawaban dari sumber di luar logikanya.

Inilah yang menjadi salah satu ganjalan terbesar bagi orang untuk mempercayai adanya Tuhan sejak dahulu kala, yaitu karena orang terbiasa membuktikan segala sesuatu di alam ini secara empiris. Artinya, orang baru percaya akan adanya sesuatu jika ia dapat melihatnya, atau merabanya, atau mendengarnya. Walaupun orang tidak bisa melihat angin, tapi ia percaya akan adanya angin karena kulit kita dapat merasakan desirannya.

Hal inilah yang dituntut orang sejak dahulu kala. Ketika Nabi Musa mendakwahkan kepada kaumnya agar menyembah Tuhan, maka mereka menuntut untuk melihat Tuhan :

Hai Musa, kami tidak akan percaya kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan mata kepala kami sendiri”. Maka karena itulah kemudian kamu disambar halilintar, sedangkan kamu menyaksikannya. (Q.S. Al-Baqarah : 55)

Inilah kesalahan cara berpikir kebanyakan orang, bahkan sampai hari ini. Karena kebanyakan orang berpikir dan melihat, hanya dari apa yang nampak di depan mata.

“Ahli kitab telah meminta kepadamu (Muhammad) agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata : ‘Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’ Maka mereka kemudian disambar petir karena kezalimannya, dan mereka kemudian menyembah anak sapi” (Q.S. An-Nisaa’ : 153)


Tuhan itu Ada, Karena Seharusnya Ia Ada

Ada orang yang berpendapat bahwa membuktikan Tuhan itu ada, sama sulitnya dengan membuktikan Tuhan itu tidak ada. Pendapat ini jelas tidak benar. Membuktikan Tuhan itu ada, jauh lebih mudah bahkan sangat mudah daripada membuktikan Tuhan itu tidak ada.

Secara filosofis manusia bisa meyakini adanya sesuatu jika dapat dibuktikan keniscayaan atau keharusan adanya sesuatu tersebut. Sesuatu itu bisa ada, jika secara logis, seharusnya ia memang ada. Walaupun kita tidak dapat melihatnya, merabanya bahkan memahaminya.

Marilah kita berpikir tentang alam semesta ini. Manusia hidup dalam sebuah ruangan yang disebut alam semesta. Di dalam ruangan tersebut, kita mengetahui satu hukum yang pasti berlaku, yaitu bahwa segala sesuatu di alam raya ini pasti ada yang asalnya atau ada yang membuatnya.
Batu berasal dari lava, dan lava berasal dari magma dalam inti bumi, bumi berasal dari pecahan matahari yang berputar, menggumpal dan membeku, dan semua bintang di alam semesta ini termasuk matahari berasal dari ledakan awal unsur-unsur makro kosmos yang disebut “big bang”. Tapi pertanyaannya kemudian, dari manakah asalnya big bang ? Sampai di sini para ilmuwan tidak dapat menjawabnya. Sebagian menjawab bahwa alam ini terjadi begitu saja secara kebetulan. Mungkinkah secara kebetulan ?

Salah satu pendapat menjelaskan teori terjadinya alam semesta secara kebetulan ini dengan perumpamaan sekumpulan balok-balok kayu berbentuk kubus, yang mana  di permukaannya tertulis huruf-huruf alfabet, seperti mainan anak-anak. Pada mulanya balok-balok kayu tersebut berserakan begitu saja. Suatu ketika, balok-balok kayu tersebut dilemparkan lalu secara kebetulan tersusunlah rangkaian huruf yang membentuk satu kata atau bahkan satu kalimat.









 






Tapi teori di atas menghadapi sebuah pertanyaan : “Siapakah  yang melemparkan balok itu sendiri ?“. Selain itu, jika kita  menggunakan teori probabilitas, maka suatu ketika balok-balok itu terlempar, bisa jadi membentuk satu kata atau kalimat. Tapi bagaimana dengan lemparan kedua, ketiga, dan seterusnya ? Jika kadang-kadang balok tersebut membentuk suatu kata atau kalimat, maka mungkin teori tersebut benar, bahwa dunia ini terjadi secara kebetulan.  Tetapi jika setiap kali lemparan tersusun kata-kata yang teratur, maka tidak mungkin hal itu terjadi secara kebetulan. Pastilah ada oknum yang mengaturnya.

Bahkan Dr Musthafa Mahmud berpendapat bahwa begitu teraturnya alam raya ini sehingga terlalu sepele jika diibaratkan sebagai sebuah kalimat, melainkan dunia ini ibaratnya adalah sebuah karya sastra yang maha agung, paling tidak seperti syair karangan Shakespeare )[1]. Maka bagaimana mungkin lemparan balok-balok huruf tadi secara kebetulan dapat menghasilkan tidak hanya sebuah kalimat, melainkan sebuah puisi atau karya sastra yang begitu indahnya? Tidak mungkin tidak, balok-balok tadi pasti disusun oleh akal yang maha pandai dan tidak mungkin dilemparkan secara kebetulan.

Begitulah kenyataannya  dunia ini terlihat begitu teraturnya, tertata rapi, dan penuh dengan aturan-aturan, penuh dengan detil-detil yang rumit.  Mungkinkah hal tersebut terjadi karena serangkaian kebetulan belaka ?

Siapakah Causa Prima ?

Dari  penjelasan di atas, mengertilah kita bahwa  harus ada satu oknum yang berperan sebagai ujung pangkal dari semua hal yang ada di jagat raya ini, yang disebut dengan “causa prima  atau “sebab dari segala sebab” atau “penyebab yang paling awal”. Dan sang causa prima inilah yang melemparkan balok-balok tadi.

Sejak 2500 tahun yang lalu, para filsuf Yunani sudah sampai pada kesimpulan ini. Namun mereka berbeda pendapat mengenai siapa yang menjadi causa prima ini. Thales, Anaximenes dan Herakleitos berpendapat bahwa sang causa prima itu pasti adalah salah satu dari apa yang ada di alam ini. Thales berpendapat asal muasal itu adalah air. Sedangkan Anaximenes berpendapat dzat yang asal itu adalah udara. Sedangkan Herakletos berpikir bahwa sang causa prima itu adalah api. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa dzat yang menjadi penyebab paling awal itu pasti tidak berasal dari alam ini, yaitu Anaximandros.

Tapi logikanya, adalah bahwa karena ia merupakan sebab awal dari adanya jagat raya ini, maka ia sendiri harus berada di luar ruangan yang disebut jagat raya ini. Sebab kalau ia adalah salah satu yang ada di alam semesta ini sendiri, maka ia harus tunduk pada hukum alam semesta, yaitu ada asalnya, atau ada yang membuatnya. Padahal sang causa prima ini haruslah tidak ada asalnya atau tidak ada yang membuatnya.

Karena ia berada di luar ruangan jagat raya ini, maka ia tidak tunduk kepada hukum sebab akibat. Artinya sang oknum causa prima itu tidak perlu memiliki asal muasal, sebab dia sendiri-lah asal muasal yang paling awal, atau pangkal dari segala sebab.


 

Katakanlah sementara ini kita belum tahu apa dan siapa oknum yang bertindak sebagai causa prima tersebut. Tetapi kita dapat memperkirakan ciri / karakteristiknya. Misalnya,  karena ia tidak terikat oleh hukum sebab akibat atau asal muasal, maka sang causa prima ini haruslah memiliki bentuk dan ciri yang tidak menyerupai apapun yang ada dalam ruangan jagat raya ini. Sebab ia bukanlah berasal dari salah satu yang ada di alam raya ini. Apabila ia sama dengan yang ada di  alam raya ini, pastilah  ia juga tunduk pada hukum yang ada di alam raya ini. Sehingga, Ia pasti memiliki ciri yang berbeda dengan segala apa yang ada di alam raya ini.

Selain itu, sang causa  prima ini tentunya memiliki kemampuan untuk mencipta. Artinya ia mampu mengadakan sesuatu dari semula yang tidak ada, menjadi ada. Kemampuan mencipta ini merupakan kemampuan yang luar biasa. Dan diperlukan ide-ide dengan kejeniusan yang luar biasa. Sampai di sini, para filsuf Yunani juga memiliki pemikiran yang sama. Anaxagoras menyebutkan bahwa yang menggerakkan unsur-unsur asal terjadinya alam ini disebut nus. Aristoteles menyebutnya dengan noesis atau noeseoos, yang artinya akal yang tertinggi. Sedangkan orang Indonesia cenderung menamai dengan istilah tuhan. Tapi apa pun namanya, yang penting orang sepakat bahwa ada oknum yang bertindak sebagai causa prima.

Maka kini kita dapat memahami bahwa Tuhan itu ada, karena secara logis memang Tuhan itu seharusnya ada. Akibat dari adanya hukum sebab akibat, dan asal muasal itu sendiri, maka diperlukan suatu dzat yang merupakan pangkal dari segala sebab akibat ini.


Apa Yang Ada, Tidak Selalu Harus Bisa Dilihat

Jika sang causa prima ini sangat berbeda dengan diri kita, bahkan dengan segala apa yang ada di jagat raya ini, maka tentunya kita sebagai salah satu ciptaannya, tidak mungkin dapat melihat atau merabanya. Jika demikian, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaannya ?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, marilah kita renungkan beberapa kenyataan berikut. Apa yang sesungguhnya ada, tidak harus bisa dilihat dan diraba. Dengan kata lain, apa yang tidak bisa dilihat dan diraba, bukan berarti dia itu tidak ada. Betapa banyaknya hal di alam ini yang kita yakini keberadaannya tanpa harus kita melihat wujudnya. Bahkan tanpa harus memahami hakekatnya.

Bagi dunia sains, semua ilmuwan telah meyakini adanya atom, yaitu bagian terkecil dari benda. Atom terdiri dari elektron, proton dan neutron sebagai elemen-elemen pembentuknya. Mereka meyakini adanya elektron, proton dan neutron, walaupun belum ada orang yang pernah melihatnya. Dalam pelajaran fisika di sekolah-sekolah, seringkali elektron, proton dan neutorn digambarkan berbentuk bulat, walaupun belum pernah ada yang membuktikan bahwa bentuknya bulat.

Bagi para saintis, mereka meyakini adanya elektron, proton dan neutron, karena mereka telah membuktikan keniscayaan adanya partikel-partikel tersebut melalui perhitungan matematis bukan secara empiris. Dengan kata lain, ia terukur. Begitu pula mereka membayangkan bahwa bentuk partikel-partikel itu bulat melalui pendekatan matematis bukan karena terlihat melalui microscope. Walaupun kemudian Schroedinger secara matematis pula membuktikan bahwa bentuk elektron, proton dan neutron itu belum tentu bulat. Jadi ini semua masih berupa teori, bukan kenyataan yang dapat dilihat. Toh mereka meyakini adanya partikel ini.

Walaupun begitu, orang yakin akan adanya elektron, karena orang dapat merasakan kehadiran elektron tersebut. Bahkan orang bisa memanfaatkan keberadaannya. Salah satunya adalah dalam bentuk listrik. Orang dapat merasakan apabila tersengat listrik. Tegangan listrik juga dapat diukur. Lampu dan mesin juga dapat menyala dengan listrik. Jadi orang tidak dapat melihat elektron, tapi orang dapat melihat akibat-akibat apa saja yang ditimbulkan dari kehadiran elektron.

Jadi, orang dapat meyakini bahwa  sesuatu itu ada, dengan cara mengetahui atau melihat akibat yang ditimbulkan dari sesuatu itu, tidak harus melihat atau memahami hakekat sesuatu itu sendiri. Begitu pula kita dapat mempercayai adanya Tuhan karena kita dapat menyaksikan akibat atau hasil nyata dari kerja Tuhan itu. Inilah salah satu cara yang dianjurkan Al-Qur’an bagi manusia untuk dapat memahami adanya Tuhan.

“Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S. 29 : 20)


Meyakini Adanya Tuhan dengan Melihat Hasil Kerja Tuhan

Sampai saat ini para ilmuwan belum sepakat mengenai hakikat sebenarnya dari gelombang elektromagnetik, cahaya dan lain-lain. Para ilmuwan masih berdebat apakah ia itu partikel atau energi, dan sebagiannya lagi menganggap partikel yang membentuk paket-paket energi yang disebut photon. Sampai sekarang orang belum dapat melihat apa yang disebut gelombang elektromagnetik, medan gravitasi, energi dan lain-lain. Tapi orang mempercayai adanya itu semua karena dapat melihat, merasakan dan mengukur akibat yang ditimbulkannya. Walaupun orang belum memahami benar hakikat sebenarnya dari gelombang elektro magnetik, yang terpenting kita dapat memanfaatkan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita.

Demikian pula untuk memahami adanya Tuhan, kita dapat melakukan pendekatan yang sama. Tidak perlu dapat melihat Tuhan untuk membuktikan adanya Tuhan. Tidak perlu mendengar suara Tuhan untuk meyakini adanya Tuhan. Melainkan kita dapat membuktikan adanya Tuhan dengan melihat, merasakan, hasil dari pekerjaan Tuhan. Kita dapat meyakini adanya Tuhan, dengan menemukan bukti kehadiran Tuhan. Dan bukti-bukti adanya campur tangan ini terlihat nyata.

“Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”
(Q.S. Al-An’aam : 103)

Apakah hasil pekerjaan Tuhan itu ? Apakah bukti kehadiran Tuhan itu ? Yaitu alam semesta ini, termasuk diri kita sendiri. Jika kita lihat gunung, laut, binatang, tanaman, bintang-bintang, dan alam semesta ini, maka kita akan takjub dengan keindahannya, keteraturannya dan kerumitan susunannya. Sekecil apapun makhluk di dunia ini, ia merupakan sebuah susunan yang teratur dan kompleks. Semua itu adalah bukti atau akibat yang dihasilkan dari aktifitas dzat yang disebut Tuhan.

“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah itu sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya”
(Q.S. Al-Hajj : 73)

Jika Anda berpendapat bahwa gunung, laut, binatang, tanaman, bintang-bintang dan seluruh alam semesta ini bukan hasil perbuatan Tuhan, lantas bagaimana itu semua dapat  terjadi ? Atau dari manakah semuanya ini berasal ? Padahal semuanya serba teratur, seimbang dan rumit. Mungkinkah hal yang teratur dan sangat rumit itu adalah hasil dari kebetulan saja?

“Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ? Kemudian pandanglah sekali lagi, pasti penglihatanmu kembali kepadamu dengan tidak menemukan suatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah” (Q.S. Al-Mulk : 3 - 4)

Perlu dipahami bahwa berbeda antara membuat dengan mencipta. Dalam bahasa Inggris juga dibedakan antara to make (membuat) dengan to create (mencipta). Membuat, adalah merangkai dari komponen-komponen yang sudah ada sebelumnya. Dan hal ini dapat dilakukan oleh manusia. Misalnya membuat mobil.
Sedangkan mencipta, adalah mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Dari tiada menjadi ada. Dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh manusia.

Sebagian ilmuwan menjawab bahwa binatang-binatang yang ada di bumi ini adalah hasil dari evolusi (perubahan setahap demi setahap) selama bermilyar-milyar tahun lamanya dari sebuah sel yang sederhana. Katakanlah hal itu benar, maka bagaimanakah proses evolusi tersebut dapat terjadi ? Apakah terjadi begitu saja secara kebetulan ?


Rumus-Rumus Keteraturan Alam Bukti Adanya Tuhan

Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa terlalu banyak bukti di alam ini untuk meyakini adanya Tuhan. Tidak mungkin sesuatu yang begitu teratur, bahkan dengan aturan-aturan hukum  alam yang sangat rumit itu merupkan hasil dari sebuah kebetulan belaka. Tidak mungkin segala sesuatu yang seimbang tanpa cacat itu terjadi dengan sendirinya.

Kita mungkin dapat berpikir, apa yang membedakan Isaac Newton dengan orang lain? Isaac Newton memperhatikan buah apel yang jatuh, begitu pula orang lain. Kejadian buah apel yang jatuh dari pohon bukanlah kejadian luar biasa. Bagi semua orang, kejadian buah apel jatuh dapat dilihat setiap hari. Tapi yang membedakan  Isaac Newton dengan orang lain ialah Isaac Newton meyakini adanya hubungan antara kecepatan buah apel tadi jatuh, ketinggian jatuh dengan gaya tarik bumi. Itulah bedanya. Dengan kata lain, Isaac Newton meyakini ada keteraturan, ada konsistensi, ada kadar tertentu yang menghubungkan antara kecepatan, ketinggian dan gaya tarik bumi.

Semua ilmuwan dan penemu hukum-hukum fisika dasar memiliki kesamaan dalam berpikir. Mereka meyakini adanya keteraturan dalam fenomena-fenomena kejadian di alam ini. Itulah sebabnya mereka melakukan percobaan dan mengamati. Apa yang mereka ingin temukan ? Yang ingin mereka temukan adalah rumus-rumus matematis yang menjelaskan adanya keteraturan fenomena tadi. Sadar atau tidak sadar, ketika kita mencoba mencari rumus-rumus fisika atau kimia, berarti kita telah meyakini bahwa alam ini memiliki keteraturan dan aturan tersebut konsisten.

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaanNya) dan yang menentukan kadarnya masing-masing dan memberi petunjuk” (Q.S. Al A’laa : 1 - 3)

“Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar  (tertentu)...” (Q.S. 43 : 11)

Demikianlah alam ini kalau kita perhatikan semuanya memiliki kadar tertentu.


Bagaimana dan Bagaimana

Salah satu cara lain untuk menemukan Tuhan di dunia ini adalah dengan membiasakan diri berpikir dan bertanya : bagaimana dan bagaimana. Inilah salah satu cara yang diajarkan Al-Qur’an kepada kita untuk memahami adanya Tuhan :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan, dan bagaimana langit ditinggikan ? Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan ? Dan bagaimana bumi dihamparkan ?” (Q.S. 88: 17 - 20)

Jika kita terus menerus bertanya bagaimana dan bagaimana, maka pada titik yang terakhir kita tidak dapat menjawabnya, disitulah kita temukan peranan Tuhan. Sebagai contoh : mungkin seorang ahli geologi dapat menjelaskan bagaimana terjadinya gempa bumi. Mungkin ia akan menjelaskan bahwa gempa bumi terjadi karena pergeseran lempeng di bawah kerak bumi. Tapi bagaimana lempeng tersebut dapat bergeser ? Ahli geologi tersebut menjelaskan bahwa jauh di bawah kerak bumi, terdapat aliran magma cair yang panas. Sehingga sebetulnya daratan di muka bumi ini ibarat sebuah lempengan yang mengapung di atas air, bergerak kesana kemari. Baiklah, tapi bagaimana magma tersebut bisa terus menerus cair ? Apa yang menjadi bahan bakarnya ? Pertanyaan ini mungkin akan terus merembet sampai membahas mengenai asal usul planet bumi, kemudian asal usul alam semesta, sampai akhirnya ahli geologi tersebut tidak dapat menjawab lagi. Nah, pada saat pertanyaan bagaimana tadi tidak terjawab, di situlah kita menemukan peranan Tuhan.


Kehidupan Sebagai Bukti Adanya Tangan Tuhan

Orang yang berlajar fisika dan kimia di sekolah pasti mengetahui istilah entropi. Entropi ialah istilah untuk menyatakan tingkat kekacauan suatu zat. Semakin besar nilai entropinya berarti semakin tidak beraturan zat tersebut. Sudah menjadi kesepakatan semua saintis, bahwa semua zat di dunia ini pasti akan menuju kepada entropi yang lebih besar. Oleh karena itu proses yang alami adalah menuju pada entropi yang lebih besar. Maka dari itu semua benda di alam ini pasti mengalami kerusakan, sehingga tidak ada yang kekal di dunia ini. Untuk menuju entropi yang lebih kecil, diperlukan usaha yang besar, sehingga prosesnya menjadi tidak alami lagi.

Namun anehnya, rumus di atas tidak berlaku untuk makhluq yang hidup. Makhluq hidup memiliki kemampuan yang ajaib untuk mengadakan perbaikan secara otomatis. Sebagai contoh, kita tentu mengenal istilah “adaptasi”. Makhluq hidup memiliki kemampuan beradaptasi yang ajaib, dan hal ini berarti perbaikan secara otomatis terhadap kekurangan dan kesalahan yang ada sebelumnya. Atau dengan kata lain, makhluq hidup dapat mencegah membesarnya nilai entropi.

Bahkan pada makhluq hidup yang berukuran kecil sekalipun. Misalnya anda membasmi hama wereng dengan suatu jenis pestisida, maka pada awalnya wereng itu akan mati. Tapi apakah benar semuanya mati ? Ternyata tidak. Sebagian kecil wereng itu dapat bertahan, walaupun tidak dapat hidup secara normal. Tapi  kemudian ia hidup sampai cukup waktu untuk kawin dan bertelur. Setelah beberapa kali pemakaian pestisida yang sama, maka pada suatu saat akan datang generasi baru wereng yang tahan dengan pestisida tadi. Kemampuan beradaptasi dan memperbaiki diri dari kesalahan dan kekurangan yang lalu juga terdapat pada makhluq hidup yang sangat kecil sekalipun, misalnya bakteri dan virus. Pertanyaannya adalah : apa yang membuat makhluq hidup dapat beradaptasi ? Mengapa kemampuan adaptasi tersebut tidak terdapat pada makhluq yang mati ?

Pertanyaan ini kemudian bergulir menjadi pertanyaan yang mendasar. Apakah yang disebut hidup itu ? Apa yang membedakan makhluq hidup dengan makhluq mati ? Kapankah sesuatu itu disebut hidup ? Para filosof dan ahli biologi telah berdebat mengenai hal ini sejak dahulu kala, dan belum mencapai kesepakatan hingga hari ini.
Mungkin di sekolah kita pernah diajarkan bahwa sel-sel merupakan bagian terkecil dari makhluq hidup. Di dalam sel, terdapat inti sel yang terdiri dari senyawa asam nukleat. Para saintis telah berhasil membuat senyawa asam bukleat dan albumin (zat putih telur) di dalam laboratorium, namun mereka gagal membuat senyawa tersebut menjadi hidup. Andre Lwoff, seorang ahli biologi Perancis yang mendapat hadiah Nobel tahun 1965 karena menjelaskan mekanisme genetis virus dan bakteri menyatakan sebagai berikut ) [2]: “Mudah untuk membuat bagian-bagian albumin atau sintesis asam nukleat, tapi sampai saat ini, usaha tersebut gagal menciptakan organisme (makhluq hidup)...Untuk mereproduksi satu bakteri saja, hal itu masih di luar jangkauan kita”

“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah itu sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya”
(Q.S. Al-Hajj : 73)

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa yang namanya hidup bukan merupakan penjumlahan dari unsur-unsur yang membentuknya. Maksudnya, seandainya sebuah bakteri tersusun dari  senyawa A, B dan C. Mungkin manusia bisa membuat senyawa A, B dan C di laboratorium. Namun ketika senyawa A, B dan C tadi disatukan, tetap tidak menghasilkan bakteri yang hidup. Kesimpulannya, diperlukan sentuhan tangan Tuhan untuk membuat senyawa A,B, dan C tadi hidup. Jadi, hidup adalah sebuah keajaiban. Imam Al-Ghazali mengatakan :

“Semua keajaiban di dunia ini adalah alamiah dan alam ini memang merupakan suatu keajaiban”

Perkataan di atas dapat diucapkan dengan kata lain bahwa yang disebut dengan keajaiban itu adalah perbuatan dari akal yang tertinggi, yaitu Tuhan. Alam ini sedemikian ajaibnya sehingga tidak mungkin Tuhan itu tidak ada. Sehingga Tuhan itu ada karena seharusnyalah oknum yang bernama Tuhan itu memang ada dan tidak mungkin ia tidak ada. Jika Anda telah meyakini Tuhan itu ada, yang jadi masalah sekarang, Tuhan yang mana dan yang bagaimana ?


[1] Dr. Mustafa Mahmud. Dialog Muslim Atheis. Al-Ikhlash. Surabaya. Hal 5
[2] Alija Izetbegovic. Membangun Jalan Tengah. Mizan. Bandung  1992. Hal 54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar