MEMAHAMI KEBERADAAN TUHAN
(BAGIAN 1)
Apakah
Tuhan Ada ?
Sejak
dahulu para filosof berusaha memikirkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar seperti “siapakah manusia itu ? Siapakah diri kita sebenarnya ?
Mengapa kita ada ? Untuk apa kita ada di muka bumi ? Dari mana asalnya kita ?
Siapa yang menciptakan alam dan diri kita ?”, bahkan sampai sekarang.
Kebanyakan para filosof mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
mengandalkan logikanya. Mereka begitu
percaya kepada kekuatan logikanya, sehingga tidak mau menengok kemungkinan
mencari jawaban dari sumber di luar logikanya.
Inilah
yang menjadi salah satu ganjalan terbesar bagi orang untuk mempercayai adanya
Tuhan sejak dahulu kala, yaitu karena orang terbiasa membuktikan segala sesuatu
di alam ini secara empiris. Artinya, orang baru percaya akan adanya sesuatu
jika ia dapat melihatnya, atau merabanya, atau mendengarnya. Walaupun orang
tidak bisa melihat angin, tapi ia percaya akan adanya angin karena kulit kita
dapat merasakan desirannya.
Hal
inilah yang dituntut orang sejak dahulu kala. Ketika Nabi Musa mendakwahkan
kepada kaumnya agar menyembah Tuhan, maka mereka menuntut untuk melihat Tuhan :
“Hai Musa, kami tidak akan percaya kepadamu
sebelum kami melihat Allah dengan mata kepala kami sendiri”. Maka karena itulah
kemudian kamu disambar halilintar, sedangkan kamu menyaksikannya. (Q.S.
Al-Baqarah : 55)
Inilah
kesalahan cara berpikir kebanyakan orang, bahkan sampai hari ini. Karena
kebanyakan orang berpikir dan melihat, hanya dari apa yang nampak di depan
mata.
“Ahli kitab telah meminta kepadamu
(Muhammad) agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka
sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka
berkata : ‘Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’ Maka mereka kemudian
disambar petir karena kezalimannya, dan mereka kemudian menyembah anak sapi” (Q.S. An-Nisaa’ : 153)
Tuhan
itu Ada, Karena Seharusnya Ia Ada
Ada
orang yang berpendapat bahwa membuktikan Tuhan itu ada, sama sulitnya dengan
membuktikan Tuhan itu tidak ada. Pendapat ini jelas tidak benar. Membuktikan
Tuhan itu ada, jauh lebih mudah bahkan sangat mudah daripada membuktikan Tuhan
itu tidak ada.
Secara
filosofis manusia bisa meyakini adanya sesuatu jika dapat dibuktikan
keniscayaan atau keharusan adanya sesuatu tersebut. Sesuatu itu bisa ada, jika
secara logis, seharusnya ia memang ada. Walaupun kita tidak dapat melihatnya,
merabanya bahkan memahaminya.
Marilah
kita berpikir tentang alam semesta ini. Manusia hidup dalam sebuah ruangan yang
disebut alam semesta. Di dalam ruangan tersebut, kita mengetahui satu hukum
yang pasti berlaku, yaitu bahwa segala sesuatu di alam raya ini pasti ada yang
asalnya atau ada yang membuatnya.
Batu
berasal dari lava, dan lava berasal dari magma dalam inti bumi, bumi berasal
dari pecahan matahari yang berputar, menggumpal dan membeku, dan semua bintang
di alam semesta ini termasuk matahari berasal dari ledakan awal unsur-unsur
makro kosmos yang disebut “big bang”.
Tapi pertanyaannya kemudian, dari manakah asalnya big bang ? Sampai di sini para ilmuwan tidak dapat menjawabnya.
Sebagian menjawab bahwa alam ini terjadi begitu saja secara kebetulan.
Mungkinkah secara kebetulan ?
Salah
satu pendapat menjelaskan teori terjadinya alam semesta secara kebetulan ini
dengan perumpamaan sekumpulan balok-balok kayu berbentuk kubus, yang mana di permukaannya tertulis huruf-huruf alfabet,
seperti mainan anak-anak. Pada mulanya balok-balok kayu tersebut berserakan
begitu saja. Suatu ketika, balok-balok kayu tersebut dilemparkan lalu secara
kebetulan tersusunlah rangkaian huruf yang membentuk satu kata atau bahkan satu
kalimat.
Tapi
teori di atas menghadapi sebuah pertanyaan : “Siapakah yang melemparkan balok itu sendiri ?“. Selain
itu, jika kita menggunakan teori
probabilitas, maka suatu ketika balok-balok itu terlempar, bisa jadi membentuk
satu kata atau kalimat. Tapi bagaimana dengan lemparan kedua, ketiga, dan
seterusnya ? Jika kadang-kadang balok tersebut membentuk suatu kata atau
kalimat, maka mungkin teori tersebut benar, bahwa dunia ini terjadi secara
kebetulan. Tetapi jika setiap kali
lemparan tersusun kata-kata yang teratur, maka tidak mungkin hal itu terjadi
secara kebetulan. Pastilah ada oknum yang mengaturnya.
Bahkan
Dr Musthafa Mahmud berpendapat bahwa begitu teraturnya alam raya ini sehingga
terlalu sepele jika diibaratkan sebagai sebuah kalimat, melainkan dunia ini
ibaratnya adalah sebuah karya sastra yang maha agung, paling tidak seperti
syair karangan Shakespeare )[1].
Maka bagaimana mungkin lemparan balok-balok huruf tadi secara kebetulan dapat
menghasilkan tidak hanya sebuah kalimat, melainkan sebuah puisi atau karya
sastra yang begitu indahnya? Tidak mungkin tidak, balok-balok tadi pasti
disusun oleh akal yang maha pandai dan tidak mungkin dilemparkan secara
kebetulan.
Begitulah
kenyataannya dunia ini terlihat begitu
teraturnya, tertata rapi, dan penuh dengan aturan-aturan, penuh dengan
detil-detil yang rumit. Mungkinkah hal
tersebut terjadi karena serangkaian kebetulan belaka ?
Siapakah
Causa Prima ?
Dari penjelasan di atas, mengertilah kita
bahwa harus ada satu oknum yang berperan
sebagai ujung pangkal dari semua hal yang ada di jagat raya ini, yang disebut
dengan “causa prima” atau “sebab dari segala sebab” atau “penyebab
yang paling awal”. Dan sang causa prima
inilah yang melemparkan balok-balok tadi.
Sejak
2500 tahun yang lalu, para filsuf Yunani sudah sampai pada kesimpulan ini.
Namun mereka berbeda pendapat mengenai siapa yang menjadi causa prima ini. Thales, Anaximenes dan Herakleitos berpendapat
bahwa sang causa prima itu pasti
adalah salah satu dari apa yang ada di alam ini. Thales berpendapat asal muasal
itu adalah air. Sedangkan Anaximenes berpendapat dzat yang asal itu adalah
udara. Sedangkan Herakletos berpikir bahwa sang causa prima itu adalah api. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa
dzat yang menjadi penyebab paling awal itu pasti tidak berasal dari alam ini,
yaitu Anaximandros.
Tapi
logikanya, adalah bahwa karena ia merupakan sebab awal dari adanya jagat raya
ini, maka ia sendiri harus berada di luar ruangan yang disebut jagat raya ini.
Sebab kalau ia adalah salah satu yang ada di alam semesta ini sendiri, maka ia
harus tunduk pada hukum alam semesta, yaitu ada asalnya, atau ada yang
membuatnya. Padahal sang causa prima
ini haruslah tidak ada asalnya atau tidak ada yang membuatnya.
Karena
ia berada di luar ruangan jagat raya ini, maka ia tidak tunduk kepada hukum
sebab akibat. Artinya sang oknum causa
prima itu tidak perlu memiliki asal muasal, sebab dia sendiri-lah asal
muasal yang paling awal, atau pangkal dari segala sebab.
Katakanlah
sementara ini kita belum tahu apa dan siapa oknum yang bertindak sebagai causa prima tersebut. Tetapi kita dapat
memperkirakan ciri / karakteristiknya. Misalnya, karena ia tidak terikat oleh hukum sebab
akibat atau asal muasal, maka sang causa prima
ini haruslah memiliki bentuk dan ciri yang tidak menyerupai apapun yang ada
dalam ruangan jagat raya ini. Sebab ia bukanlah berasal dari salah satu yang
ada di alam raya ini. Apabila ia sama dengan yang ada di alam raya ini, pastilah ia juga tunduk pada hukum yang ada di alam
raya ini. Sehingga, Ia pasti memiliki ciri yang berbeda dengan segala apa yang
ada di alam raya ini.
Selain
itu, sang causa prima ini tentunya memiliki kemampuan
untuk mencipta. Artinya ia mampu mengadakan sesuatu dari semula yang tidak ada,
menjadi ada. Kemampuan mencipta ini merupakan kemampuan yang luar biasa. Dan
diperlukan ide-ide dengan kejeniusan yang luar biasa. Sampai di sini, para
filsuf Yunani juga memiliki pemikiran yang sama. Anaxagoras menyebutkan bahwa
yang menggerakkan unsur-unsur asal terjadinya alam ini disebut nus. Aristoteles menyebutnya dengan noesis atau noeseoos, yang artinya akal yang tertinggi. Sedangkan orang
Indonesia cenderung menamai dengan istilah tuhan. Tapi apa pun namanya, yang
penting orang sepakat bahwa ada oknum yang bertindak sebagai causa prima.
Maka
kini kita dapat memahami bahwa Tuhan itu ada, karena secara logis memang Tuhan
itu seharusnya ada. Akibat dari adanya hukum sebab akibat, dan asal muasal itu
sendiri, maka diperlukan suatu dzat yang merupakan pangkal dari segala sebab
akibat ini.
Apa
Yang Ada, Tidak Selalu Harus Bisa Dilihat
Jika
sang causa prima ini sangat berbeda
dengan diri kita, bahkan dengan segala apa yang ada di jagat raya ini, maka
tentunya kita sebagai salah satu ciptaannya, tidak mungkin dapat melihat atau
merabanya. Jika demikian, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaannya ?
Untuk
menjawab pertanyaan diatas, marilah kita renungkan beberapa kenyataan berikut.
Apa yang sesungguhnya ada, tidak harus bisa dilihat dan diraba. Dengan kata
lain, apa yang tidak bisa dilihat dan diraba, bukan berarti dia itu tidak ada.
Betapa banyaknya hal di alam ini yang kita yakini keberadaannya tanpa harus
kita melihat wujudnya. Bahkan tanpa harus memahami hakekatnya.
Bagi
dunia sains, semua ilmuwan telah meyakini adanya atom, yaitu bagian terkecil
dari benda. Atom terdiri dari elektron, proton dan neutron sebagai
elemen-elemen pembentuknya. Mereka meyakini adanya elektron, proton dan
neutron, walaupun belum ada orang yang pernah melihatnya. Dalam pelajaran
fisika di sekolah-sekolah, seringkali elektron, proton dan neutorn digambarkan
berbentuk bulat, walaupun belum pernah ada yang membuktikan bahwa bentuknya
bulat.
Bagi
para saintis, mereka meyakini adanya elektron, proton dan neutron, karena
mereka telah membuktikan keniscayaan adanya partikel-partikel tersebut melalui
perhitungan matematis bukan secara empiris. Dengan kata lain, ia terukur.
Begitu pula mereka membayangkan bahwa bentuk partikel-partikel itu bulat
melalui pendekatan matematis bukan karena terlihat melalui microscope. Walaupun
kemudian Schroedinger secara matematis pula membuktikan bahwa bentuk elektron,
proton dan neutron itu belum tentu bulat. Jadi ini semua masih berupa teori,
bukan kenyataan yang dapat dilihat. Toh mereka meyakini adanya partikel ini.
Walaupun
begitu, orang yakin akan adanya elektron, karena orang dapat merasakan
kehadiran elektron tersebut. Bahkan orang bisa memanfaatkan keberadaannya.
Salah satunya adalah dalam bentuk listrik. Orang dapat merasakan apabila
tersengat listrik. Tegangan listrik juga dapat diukur. Lampu dan mesin juga
dapat menyala dengan listrik. Jadi orang tidak dapat melihat elektron, tapi
orang dapat melihat akibat-akibat apa saja yang ditimbulkan dari kehadiran
elektron.
Jadi,
orang dapat meyakini bahwa sesuatu itu
ada, dengan cara mengetahui atau melihat akibat yang ditimbulkan dari sesuatu
itu, tidak harus melihat atau memahami hakekat sesuatu itu sendiri. Begitu pula
kita dapat mempercayai adanya Tuhan karena kita dapat menyaksikan akibat atau
hasil nyata dari kerja Tuhan itu. Inilah salah satu cara yang dianjurkan
Al-Qur’an bagi manusia untuk dapat memahami adanya Tuhan.
“Berjalanlah di muka bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian Allah menjadikannya
sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S. 29 : 20)
Meyakini
Adanya Tuhan dengan Melihat Hasil Kerja Tuhan
Sampai
saat ini para ilmuwan belum sepakat mengenai hakikat sebenarnya dari gelombang
elektromagnetik, cahaya dan lain-lain. Para ilmuwan masih berdebat apakah ia
itu partikel atau energi, dan sebagiannya lagi menganggap partikel yang
membentuk paket-paket energi yang disebut photon.
Sampai sekarang orang belum dapat melihat apa yang disebut gelombang elektromagnetik,
medan gravitasi, energi dan lain-lain. Tapi orang mempercayai adanya itu semua
karena dapat melihat, merasakan dan mengukur akibat yang ditimbulkannya.
Walaupun orang belum memahami benar hakikat sebenarnya dari gelombang elektro
magnetik, yang terpenting kita dapat memanfaatkan hal tersebut dalam kehidupan
sehari-hari kita.
Demikian
pula untuk memahami adanya Tuhan, kita dapat melakukan pendekatan yang sama.
Tidak perlu dapat melihat Tuhan untuk membuktikan adanya Tuhan. Tidak perlu
mendengar suara Tuhan untuk meyakini adanya Tuhan. Melainkan kita dapat
membuktikan adanya Tuhan dengan melihat, merasakan, hasil dari pekerjaan Tuhan.
Kita dapat meyakini adanya Tuhan, dengan menemukan bukti kehadiran Tuhan. Dan
bukti-bukti adanya campur tangan ini terlihat nyata.
“Dia tidak
dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”
(Q.S. Al-An’aam : 103)
Apakah
hasil pekerjaan Tuhan itu ? Apakah bukti kehadiran Tuhan itu ? Yaitu alam
semesta ini, termasuk diri kita sendiri. Jika kita lihat gunung, laut,
binatang, tanaman, bintang-bintang, dan alam semesta ini, maka kita akan takjub
dengan keindahannya, keteraturannya dan kerumitan susunannya. Sekecil apapun
makhluk di dunia ini, ia merupakan sebuah susunan yang teratur dan kompleks.
Semua itu adalah bukti atau akibat yang dihasilkan dari aktifitas dzat yang
disebut Tuhan.
“Sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu seru selain Allah itu sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya”
(Q.S. Al-Hajj : 73)
Jika
Anda berpendapat bahwa gunung, laut, binatang, tanaman, bintang-bintang dan
seluruh alam semesta ini bukan hasil perbuatan Tuhan, lantas bagaimana itu
semua dapat terjadi ? Atau dari manakah
semuanya ini berasal ? Padahal semuanya serba teratur, seimbang dan rumit.
Mungkinkah hal yang teratur dan sangat rumit itu adalah hasil dari kebetulan
saja?
“Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan
tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ? Kemudian
pandanglah sekali lagi, pasti penglihatanmu kembali kepadamu dengan tidak
menemukan suatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah” (Q.S. Al-Mulk : 3 - 4)
Perlu
dipahami bahwa berbeda antara membuat dengan mencipta. Dalam bahasa Inggris
juga dibedakan antara to make
(membuat) dengan to create
(mencipta). Membuat, adalah merangkai dari komponen-komponen yang sudah ada
sebelumnya. Dan hal ini dapat dilakukan oleh manusia. Misalnya membuat mobil.
Sedangkan
mencipta, adalah mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Dari tiada
menjadi ada. Dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh manusia.
Sebagian
ilmuwan menjawab bahwa binatang-binatang yang ada di bumi ini adalah hasil dari
evolusi (perubahan setahap demi setahap) selama bermilyar-milyar tahun lamanya
dari sebuah sel yang sederhana. Katakanlah hal itu benar, maka bagaimanakah
proses evolusi tersebut dapat terjadi ? Apakah terjadi begitu saja secara
kebetulan ?
Rumus-Rumus
Keteraturan Alam Bukti Adanya Tuhan
Dari
uraian di atas, kita dapat memahami bahwa terlalu banyak bukti di alam ini
untuk meyakini adanya Tuhan. Tidak mungkin sesuatu yang begitu teratur, bahkan
dengan aturan-aturan hukum alam yang
sangat rumit itu merupkan hasil dari sebuah kebetulan belaka. Tidak mungkin
segala sesuatu yang seimbang tanpa cacat itu terjadi dengan sendirinya.
Kita
mungkin dapat berpikir, apa yang membedakan Isaac Newton dengan orang lain?
Isaac Newton memperhatikan buah apel yang jatuh, begitu pula orang lain.
Kejadian buah apel yang jatuh dari pohon bukanlah kejadian luar biasa. Bagi
semua orang, kejadian buah apel jatuh dapat dilihat setiap hari. Tapi yang
membedakan Isaac Newton dengan orang
lain ialah Isaac Newton meyakini adanya hubungan antara kecepatan buah apel
tadi jatuh, ketinggian jatuh dengan gaya tarik bumi. Itulah bedanya. Dengan
kata lain, Isaac Newton meyakini ada keteraturan, ada konsistensi, ada kadar
tertentu yang menghubungkan antara kecepatan, ketinggian dan gaya tarik bumi.
Semua
ilmuwan dan penemu hukum-hukum fisika dasar memiliki kesamaan dalam berpikir.
Mereka meyakini adanya keteraturan dalam fenomena-fenomena kejadian di alam
ini. Itulah sebabnya mereka melakukan percobaan dan mengamati. Apa yang mereka
ingin temukan ? Yang ingin mereka temukan adalah rumus-rumus matematis yang
menjelaskan adanya keteraturan fenomena tadi. Sadar atau tidak sadar, ketika
kita mencoba mencari rumus-rumus fisika atau kimia, berarti kita telah meyakini
bahwa alam ini memiliki keteraturan dan aturan tersebut konsisten.
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,
yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaanNya) dan yang menentukan kadarnya
masing-masing dan memberi petunjuk” (Q.S. Al A’laa : 1 - 3)
“Dan yang
menurunkan air dari langit menurut kadar
(tertentu)...” (Q.S. 43 : 11)
Demikianlah
alam ini kalau kita perhatikan semuanya memiliki kadar tertentu.
Bagaimana
dan Bagaimana
Salah
satu cara lain untuk menemukan Tuhan di dunia ini adalah dengan membiasakan
diri berpikir dan bertanya : bagaimana dan bagaimana. Inilah salah satu cara
yang diajarkan Al-Qur’an kepada kita untuk memahami adanya Tuhan :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan
unta, bagaimana ia diciptakan, dan bagaimana langit ditinggikan ? Dan bagaimana
gunung-gunung ditegakkan ? Dan bagaimana bumi dihamparkan ?” (Q.S. 88: 17 - 20)
Jika
kita terus menerus bertanya bagaimana dan bagaimana, maka pada titik yang
terakhir kita tidak dapat menjawabnya, disitulah kita temukan peranan Tuhan.
Sebagai contoh : mungkin seorang ahli geologi dapat menjelaskan bagaimana
terjadinya gempa bumi. Mungkin ia akan menjelaskan bahwa gempa bumi terjadi
karena pergeseran lempeng di bawah kerak bumi. Tapi bagaimana lempeng tersebut
dapat bergeser ? Ahli geologi tersebut menjelaskan bahwa jauh di bawah kerak
bumi, terdapat aliran magma cair yang panas. Sehingga sebetulnya daratan di
muka bumi ini ibarat sebuah lempengan yang mengapung di atas air, bergerak
kesana kemari. Baiklah, tapi bagaimana magma tersebut bisa terus menerus cair ?
Apa yang menjadi bahan bakarnya ? Pertanyaan ini mungkin akan terus merembet
sampai membahas mengenai asal usul planet bumi, kemudian asal usul alam
semesta, sampai akhirnya ahli geologi tersebut tidak dapat menjawab lagi. Nah,
pada saat pertanyaan bagaimana tadi tidak terjawab, di situlah kita menemukan
peranan Tuhan.
Kehidupan
Sebagai Bukti Adanya Tangan Tuhan
Orang
yang berlajar fisika dan kimia di sekolah pasti mengetahui istilah entropi. Entropi ialah istilah untuk menyatakan tingkat kekacauan suatu zat.
Semakin besar nilai entropinya
berarti semakin tidak beraturan zat tersebut. Sudah menjadi kesepakatan semua
saintis, bahwa semua zat di dunia ini pasti akan menuju kepada entropi yang lebih besar. Oleh karena
itu proses yang alami adalah menuju pada entropi yang lebih besar. Maka dari
itu semua benda di alam ini pasti mengalami kerusakan, sehingga tidak ada yang
kekal di dunia ini. Untuk menuju entropi yang lebih kecil, diperlukan usaha
yang besar, sehingga prosesnya menjadi tidak alami lagi.
Namun
anehnya, rumus di atas tidak berlaku untuk makhluq yang hidup. Makhluq hidup
memiliki kemampuan yang ajaib untuk mengadakan perbaikan secara otomatis.
Sebagai contoh, kita tentu mengenal istilah “adaptasi”. Makhluq hidup memiliki
kemampuan beradaptasi yang ajaib, dan hal ini berarti perbaikan secara otomatis
terhadap kekurangan dan kesalahan yang ada sebelumnya. Atau dengan kata lain,
makhluq hidup dapat mencegah membesarnya nilai entropi.
Bahkan
pada makhluq hidup yang berukuran kecil sekalipun. Misalnya anda membasmi hama
wereng dengan suatu jenis pestisida, maka pada awalnya wereng itu akan mati.
Tapi apakah benar semuanya mati ? Ternyata tidak. Sebagian kecil wereng itu
dapat bertahan, walaupun tidak dapat hidup secara normal. Tapi kemudian ia hidup sampai cukup waktu untuk
kawin dan bertelur. Setelah beberapa kali pemakaian pestisida yang sama, maka
pada suatu saat akan datang generasi baru wereng yang tahan dengan pestisida
tadi. Kemampuan beradaptasi dan memperbaiki diri dari kesalahan dan kekurangan
yang lalu juga terdapat pada makhluq hidup yang sangat kecil sekalipun,
misalnya bakteri dan virus. Pertanyaannya adalah : apa yang membuat makhluq
hidup dapat beradaptasi ? Mengapa kemampuan adaptasi tersebut tidak terdapat
pada makhluq yang mati ?
Pertanyaan
ini kemudian bergulir menjadi pertanyaan yang mendasar. Apakah yang disebut
hidup itu ? Apa yang membedakan makhluq hidup dengan makhluq mati ? Kapankah
sesuatu itu disebut hidup ? Para filosof dan ahli biologi telah berdebat
mengenai hal ini sejak dahulu kala, dan belum mencapai kesepakatan hingga hari
ini.
Mungkin
di sekolah kita pernah diajarkan bahwa sel-sel merupakan bagian terkecil dari
makhluq hidup. Di dalam sel, terdapat inti sel yang terdiri dari senyawa asam
nukleat. Para saintis telah berhasil membuat senyawa asam bukleat dan albumin
(zat putih telur) di dalam laboratorium, namun mereka gagal membuat senyawa
tersebut menjadi hidup. Andre Lwoff, seorang ahli biologi Perancis yang mendapat
hadiah Nobel tahun 1965 karena menjelaskan mekanisme genetis virus dan bakteri
menyatakan sebagai berikut ) [2]:
“Mudah untuk membuat bagian-bagian albumin atau sintesis asam nukleat, tapi
sampai saat ini, usaha tersebut gagal menciptakan organisme (makhluq
hidup)...Untuk mereproduksi satu bakteri saja, hal itu masih di luar jangkauan
kita”
“Sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu seru selain Allah itu sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya”
(Q.S. Al-Hajj : 73)
Dari
sini dapat kita simpulkan bahwa yang namanya hidup bukan merupakan penjumlahan
dari unsur-unsur yang membentuknya. Maksudnya, seandainya sebuah bakteri
tersusun dari senyawa A, B dan C.
Mungkin manusia bisa membuat senyawa A, B dan C di laboratorium. Namun ketika
senyawa A, B dan C tadi disatukan, tetap tidak menghasilkan bakteri yang hidup.
Kesimpulannya, diperlukan sentuhan tangan Tuhan untuk membuat senyawa A,B, dan
C tadi hidup. Jadi, hidup adalah sebuah keajaiban. Imam Al-Ghazali mengatakan :
“Semua
keajaiban di dunia ini adalah alamiah dan alam ini memang merupakan suatu
keajaiban”
Perkataan
di atas dapat diucapkan dengan kata lain bahwa yang disebut dengan keajaiban
itu adalah perbuatan dari akal yang tertinggi, yaitu Tuhan. Alam ini sedemikian
ajaibnya sehingga tidak mungkin Tuhan itu tidak ada. Sehingga Tuhan itu ada
karena seharusnyalah oknum yang bernama Tuhan itu memang ada dan tidak mungkin
ia tidak ada. Jika Anda telah meyakini Tuhan itu ada, yang jadi masalah
sekarang, Tuhan yang mana dan yang bagaimana ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar