Blog ini adalah untuk saling berbagi, memperdalam, dan mempelajari islam yg bersumber dari Alquran dan hadist-hadist shahih. saya hanyalah hamba fakir ilmu yg ingin mempalajari agama ini sesuai dengan watak Islam, yaitu yang Syamil (menyeluruh ), Tawazun (seimbang dalam memandang suatu masalah), Wasathon ( bersikap pertengahan), tidak Ghuluw (berlebihan), dan menimbang Mustholaah hadist. juga memakai ushul fikih, Ijma dan Qiyash, dan menimbang fikhu dakwah dalam aplikasi ke masyarakat.
Pembahasan Masalah Bid'ah (BAGIAN 1)
Oleh : Abu Akmal Mubarok
Dalil tentang bid’ah biasanya mengambil keumuman makna dari hadits ini :
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan kita (agama) yang bukan dari ajaranku maka akan tertolak” (H.R. Muslim)
Masalah bidah harus dibahas dengan hati-hati dan teliti, sebab hal ini sering menimbulkan petaka saling menuduh pihak lain sebagai ahlul bid’ah atau mubtadi’ (orang yang melakukan bid’ah). Orang seringkali menggampangkan (simplifikasi) dan mengeneralisir (menyamaratakan atau peribahasa jawanya gebyah uyah). Pokoknya segala sesuatu yang tidak ada pada kaman Nabi, itu dianggap bid’ah.
Bahkan tidak jarang, saling tuduh bid’ah ini berujung pada menganggap pihak lain sesat dan kafir. Nah, kalau sudah menyentuh masalah kafir mengkafirkan (takfir) maka hal ini sangat berbahaya karena :
“Barang siapa menuduh seorang mukmin sebagai kafir dan ternyata tuduhannya tidak benar, maka kekafiran itu akan berbalik kepadanya” (H.R. Bukhari Muslim)
Orang yang melanjutkan tuduhan bid’ah menjadi kafir juga berangkat dari sikap mengeneralisasi dalil hadits ini :
“Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan tiap bid’ah adalah sesat dan tiap kesesatan menuju pada neraka” (H.R. Muslim)
Pertama-tama, harap dibedakan antara makna harfiah secara lughoh (tata bahasa / kamus) dengan dalil dan makna secara istilah dengan maksud yang spesifik (atau ada yang menyebutnya makna syariat)
Jika dicermati dengan kepala dingin, perdebatan masalah bid’ah ini sebagiannya berakar dari bercampur aduknya penempatan makna harfiah dan makna istilah. Perbedaan pandangan dalam masalah bid’ah juga berawal dari belum disepakatinya apakah kata “bid’ah” dalam hadits “kullu bid’atun dlalalah” itu bermakna umum seluas-luasnya (lafadz ‘aam)? Jika bermakna umum berarti mengambil pada makna harfiahnya. Ataukah kata “bid’ah” di sini bermakna khusus / terbatas? (lafadz khas)? Jika bermakna khusus dengan maksud terbatas berati kita mengambil makna secara istilah. Ataukah ada yang berkata bahwa ia adalah kalimat umum yang maksudnya terbatas (‘aam makhshush). Kesepakatan mengenai hal ini sangat penting terkait pembahasan selanjutnya dalam masalah bid’ah. Jika dari awal saja di sini sudah tidak sepakat, maka selanjutnya pun tidak akan pernah sepakat, dan masing-masing berpijak pada rel-nya sendiri-sendiri.
Makna Bid’ah Secara Harfiah
Secara etimologi, lughowiy, secara leksikon (kamus) atau secara harfiah, kata bid’ah bisa kita lihat sebagai berikut :
a. Mencipta
Menciptakan berbeda dengan membuat. Menciptakan artinya mengadakan dari sesuatu yang semula tidak ada atau dari tiada menjadi ada sedangkan membuat adalah mengadakan sesuatu dari apa-apa yang ada sebelumnya. Makna bid’ah sebagai mencipta digunakan pada kata “badi’u” dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli (Allah pencipta langit dan bumi) (Q.S. Al-Baqarah [2] : 117)
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli (Allah pencipta langit dan bumi) (Q.S. Al-An’aam [6] : 101)
b. Memulai
Dalam ayat lainnya Allah SWT menggunakan kata “bada’na” dengan arti Kami memulai
Kamaa bada’na awwala kholqin nu’iiduh (Sebagaimana Kami memulai penciptaan pada pertama kalinya, maka (begittu pula) Kami mengulanginya lagi) (Q.S. Al-Anbiya 21 :104)
Dalam ayat lainnya Allah SWT menggunakan kata “bada-a” dengan arti “memulai”
Fanzhuruu kaifa bada-a kholqo (perhatikanlah bagaimana kami memulai penciptaan makhluk yang baru) (Q.S. Al-Ankabut [29] : 20)
Wa bada-a kholqo insaani min thiin (dan Dia memulai penciptaan manusia dari tanah) (Q.S. As-Sajdah [32]:7)
Kamaa bada-akum ta’uuduun (sebagaimana Kami memulai penciptaan kalian (begitu pula) kami akan mengembalikan kalian) (Q.S. Al-A’raaf [7] : 29)
Wa hum bada-ukum awwala marratin (Dan mereka memulai memerangi kalian pertama kali) (Q.S. At-Taubah [9] : 13)
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. (Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an, Hal. 36)
c. Pertama Ada
Pengertian yang sama digunakan pada ayat Al-Qur’an dengan kata “bid’an” yang berarti “yang pertama kali ada” : Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli (Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama ada di antara rasul-rasul lainnya)”. (Q.S. Al-Ahqaf [46] : 9)
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, berkata Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” y
d. Urusan Yang Baru
Dalam kamus Al-Muhith Juz III hal 3 disebutkan bid’ah maknanya “Amrulladzi yakuunu awwalan” (suatu urusan baru yang baru pertama kali ada).
Imam Ibnu Mandzur , di dalam Kitab Lisaan al-'Arab menyatakan; bada'a al-syai` : yabdi'uhu bid'an wa ibtada'a– ansya`ahu wa bada`ahu (mengadakan dan mengawalinya). wa al-badii' wa al-bid'u – al-syai` alladziy yakuun awwalan (suatu perkara yang menjadi pertama kali).
Secara bahasa dalam kamus Al-Munawwir hal 65 dikatakan badi’atau bida’ artinya adalah (1) tidak mengherankan sebagaimana orang berkata laa bid’a sama dengan laa ‘ajiib. (2) tubuh berisi padat bad’u artinya badanul ma’talu. (3) Yang pertama kali melakukan sebagaimana orang mengatakan “huwa bid’u fiil amri” (dia yang pertama kali melakukan) (4) bid’atun artinya perkara baru dalam agama. (5) mdzhabu jadiid madzhab baru (6) ciptaan baru sebagaimana maa uhditsu laa ‘alaa mitsalu sabiq
e. Tidak Ada Contoh Sebelumnya
Dalam kamus Al Munjid disebutkan makna “bid’ah” adalah “maa uhditsa ‘alaa ghoiri mitsali sabiq” (apa-apa hal baru yang tidak ada semisalnya sebelumnya). Dalam kamus Mukhtarus Shihah disebutkan bid’ah adalah “ihtaro ‘ahu laa ‘alaa mitsal” (mengadakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh semisalnya). Dalam kamus Mu’tamad dikatakan makna “bid’ah” secara lughoh adalah “ihtaro ‘ahu wa ansya’ahu laa ‘alaa mitsal” (mengadakan dan membuat suatu hal baru tanpa ada contoh semisalnya). Di dalam kamus Mukhtaar al-Shihah disebutkan; ibtada'a al-syai`a : ikhtara'ahu laa 'ala mitsaal (menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada). Sedangkan al-bid'ah adalah: al-huduts fi al-diin ba'da al-ikmaal (mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama setelah kesempurnaanya).
Semua Hal Baru Yang Tidak Ada Pada Jaman Nabi s.a.w. Secara Bahasa Disebut Bid’ah
Dari uraian di atas kita memahami bahwa “secara bahasa” atau “lughoh” atau secara harfiah, segala sesuatu yang baru, yang tadinya tidak ada, yang tidak ada contoh sebelumnya, yang tak ada hal semisal itu sebelumnya, semuanya disebut bid’ah.
Jika kita ambil pengertian bid’ah “secara bahasa” ini, maka semua yang tidak ada pada jaman Rasulullah s.a.w. dan semua yang tidak ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. boleh disebut bid’ah. Maka secara bahasa pula, semua hal yang tidak ada sebelumnya pada masa Nabi s.a.w. baik urusan agama maupun bukan agama, baik urusan ibadah maupun bukan ibadah, baik urusan duniawi maupun akhirat.
Siapa bilang bid’ah meliputi urusan ibadah maupun bukan ibadah? Buktinya adalah Al-Qur’an
sendiri yang menggunakan kata bid’ah untuk masalah non ibadah. Saking “segala sesuatunya” bahkan Allah menciptakan langit dan bumi pun disebut dengan “badi’u” akar kata yang sama dengan bid’ah, demikian pula persangkaan orang kafir bahwa kerasulan Muhammad s.a.w. baru pertama kali diada-adakan pun disebut bid’ah.
Maka dari itulah para ulama pun sepakat bahwa secara akar kata, secara bahasa, secara lughoh atau secara harfiah makna bid’ah adalah “hal yang baru”.
Ibnu Hajar Asqolani berkata : “Dari segi bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa da contoh sebelumnya ” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253) Imam Shan’ani mengatakan : “Menurut bahasa, bid’ah ada;ah sesuatu yang dikerjakan tanpa contoh sebelumnya..” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)
Ahdats dan Muhdats
Salah satu petunjuk / pertanda (qorinah) penguat bahwa makna bid’ah secara “bahasa” atau “lughoh” adalah “segala hal yang baru” yaitu digunakannya istilah “ahdats”
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya ucapan yang paling benara adalah Kitabullah dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammaf , Wa syarra umuri muhdatsatuha (sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah perkara baru), wa kulla muhdatsatin bid’ah (dan semua perkara baru adalah bid’ah) wa kulla bid’atin dlolalah (dan semua bid’ah adalah sesat) wa kulla dlolalatin fii naar (dan semua yang sesat di dalam neraka) “(H.R. Muslim)
Pada hadits di atas terdapat isyarat yang jelas pada perkataan bahwa wa kulla muhdatsatin bid’ah hal ini menunjukkan bahwa “bid’ah” adalah “ahdats” dan “ahdats” adalah sama dengan “bid’ah” maka dalam berbagai hadits banyak digunakan kata “ahdats” ini sebagai kata lain dari bid’ah
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A'masy dari Ibrahim at-Taimiy dari bapaknya dari 'Ali r.a. berkata: "Tidak ada sesuatu yang kami miliki kecuali Kitabullah dan ash-shahifah (lembaran-lembaran hadits) ini, dari Nabi s.a.w. bersabda: "Madinah adalah tanah suci yang wilayahnya antara gurun sahara hingga ini. Maka barangsiapa yang berbuat perkara baru yang baru (man ahdatsa hadatsan) atau membantu orang berbuat muhdats (perkara baru) maka orang itu akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia dan tidak akan diterima darinya amalan 'ibadah wajib dan sunnahnya" (atau taubat dan tebusannya). (H.R. Bukhari No. 1737)
Makna “ahdats” adalah fi’il (kata kerja) yang artinya “membuat hal baru” dan “muhdats” adalah “orang yang membuat perkara baru”. Dalam berbagai hadits digunakan kata ahdats dan muhdats sebagai ganti kata “bid’ah”. Jadi bid’ah dan ahdats maknanya adalah sama. Banyak hadits menggunakan kata muhdats sebagai ganti kata bid'ah misalnya hadits hadits berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr Beliau s.a.w. mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus yang mendapat petunjuk (khulafaur rasyidah), berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat." (H.R. Abu Daud No. 3991)
Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah mengabarkan kepada kami Amru bin Murrah, aku mendengar Murrah Al Hamdani berkata, Abdullah (bin Mas’ud) berkata, "Sebaik-baik pembicaraan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad s.a.w. , dan seburuk-buruk perbuatan adalah perkara baru (muhdtsatuha), " kemudian beliau mengutip ayat: '(Apa yang dijanjikan untuk kalian pasti akan datang) ' (Qs. Al an'aam: 134). (Atsar .R. Bukhari No. 6735)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid bin Maimun Al Madani Abu Ubaid berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Ja'far bin Abu Katsir dari Musa bin 'Uqbah dari Abu Ishaq dari Abul Ahwash dari Abdullah bin Mas'ud berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: "Keduanya merupakan perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan adalah kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jangan kalian membuat perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." (H.R. Ibnu Majah No. 45)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar