Bismillah
Perlu diketahui antara najis dan haram adalah berbeda. Najis itu adalah kotoran. Terkena najis bukanlah sebuah dosa, namun diwajibkan untuk dibersihkan. Najis sendiri dalam ilmu fiqih ada najis ringan, najis sedang (mutawasithoh) dan najis berat (mugholadhoh) .Sedangkan haram, yang dimaksud adalah haram dimakan.
Perlu dipahami bahwa sesuatu yang haram dimakan berlum tentu najis. Seperti contoh hewan buas bertaring dan berkuku haram dimakan tapi tidak najis jika tersentuh.
“Mereka berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya itu adalah bangkai. Rasulullah berkata : “yang haram adalah memakannya” (H.R. Seluruh ahli hadits kecuali Ibnu Majah).
Demikian pula sesuatu yang haram (atau makruh) dikenakan seperti emas dan sutera bagi pria tidaklah najis jika tersentuh. Syaikh Husain bin ‘Audah Al-’Awayisyah berkata, “Demikian pula pengharaman sesuatu tidaklah mengharuskan najisnya (sesuatu yang haram itu), Namun sebaliknya sesuatu yang najis (kotor) sudah pasti haram dimakan”.
Mengenai kenajisan khamer adalah masalah khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat), Ulama-ulama yang menajiskan khamer mendasarkan diri pada perkataan “rijsun” pada ayat Al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamer, berjudi dan (berqurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun min ‘amali syaithon (kekejian dari amal setan) (Q.S. Al-maidah :90).
Sayid Sabiq “Perkataan “rijsun” disini maknanya adalah najis secara maknawi bukan najis ketika menyentuhnya” (Kitab Fiqhu Sunnah). Hal ini juga ditegaskan dengan diikuti pensifatan kata “amali syaithon”. Jadi rijsu min amali syaithon artinya adalah kenajisan dari amal2 setan, oleh karena itu dalam terjemahan Depag hanya diterjemahan perbuatan keji termasuk dari amal setan.
Demikian pula kalau kita cermati yang bahwa khamer di situ disejajarkan dengan maisir (berjudi), berqurban untuk berhala dan mengundai dengan anak panah, nah keempatnya itulah rijsun minamali syaithon. Kalau memang perkataan rijsun itu adalah najis menyentuhnya maka keempatnya pun najis menyentuhnya. Sehingga menyentuh berhala pun menjadi najis. Maka sudah jelaslah bahwa perkataan rijsun perbuatan setan itulah yang najis (yaitu najis maknawi).
Hadits dari Anas bin Malik dalam Shahih- Kitabul Mazhalim Bab Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464 bahwa para sahahabat menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkan khamr (H.R. Bukhari) .
Juga disebutkan hal yang sama hadits dari Abu Sa’id Al- Khudri bahwa para shabat membuang khamr di jalanan (H.R. Muslim dlm Shahihnya Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1578).
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa khamr bukan najis karena jalan-jalan itu dilewati kaum muslimin. Jika khamr najis maka pasti Rasulullah melarang membuangnya di jalan karena khawatir terinjak dan terkena pakaian.
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki2 menghadiahkan sebuah wadah berisi khamr kepada Rasulullah Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam, lalu beliau berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yg membisiki laki2 tersebut utk menjualnya.
Maka Rasulullah bersabda: إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا “Sesungguh Dzat Yang mengharamkan untuk meminum juga mengharamkan utk menjualnya.” Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: فَفَتَحَ الْمَزَادَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيْهَا “Maka lelaki itu membuka wadah khamr tersebut dan menumpahkan isi hingga habis.” Kejadian ini disaksikan oleh Rasulullah dan beliau tdk memerintahkan kepada utk mencuci wadah tersebut, dan membiarkan saja. (H.R. Muslim ).
Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis.
Dalam kitab Subulus Salam dikatakan bahwa pada dasarnya hukum asal semua benda adalah suci kecuali ada dalil yang tegas-tegas menyatakan kenajisannya. Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, “Tak ada dalil yang cocok dipegangi tentang najisnya khamr (As-Sail Al-Jarror I/137), Maka Syeckh Yusuf Qardhawi mengatakan : “maka haramnya arak yang ditunjukkan oleh nas tidaklah menunjukkan bahwa arak itu najis, melainkan harus ada dalil lain yang menunjukkan hal itu. Jika tidak,maka tetap pada hukum asalnya yaitu suci” (Kitab Halal Haram karya Yusuf Qardhawi).
Ulama Hijaz seperti Rabi’ah Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri Al-Muzani dan Dawud Azh-Zhahiri, Al-Imam Asy-Syaukani serta ulama Saudi seperti Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat khamr tidak najis.
Oleh karena itu di kalangan ulama yang menajiskan khamr pun tidak terdapat keterangan yang jelas termasuk najis ringankah, mutawaithoh (pertengahan) atau mugholadhoh (najis berat)? Sehingga tidak terdapat keterangan yang jelas bagaimana cara mencuci najis dari khamr. Karena juga tidak ditemukan hadits dari Rasulullah mengenai cara mencuci bejana atau gelas yang terkena najis khamr. Seandainya khamr adalah najis maka pasti Rasulullah mencontohkan cara mencuci dari najis tersebut.
Wallahua'lam bishowab.
Barakallahu, semoga bermanfaat,
Perlu diketahui antara najis dan haram adalah berbeda. Najis itu adalah kotoran. Terkena najis bukanlah sebuah dosa, namun diwajibkan untuk dibersihkan. Najis sendiri dalam ilmu fiqih ada najis ringan, najis sedang (mutawasithoh) dan najis berat (mugholadhoh) .Sedangkan haram, yang dimaksud adalah haram dimakan.
Perlu dipahami bahwa sesuatu yang haram dimakan berlum tentu najis. Seperti contoh hewan buas bertaring dan berkuku haram dimakan tapi tidak najis jika tersentuh.
“Mereka berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya itu adalah bangkai. Rasulullah berkata : “yang haram adalah memakannya” (H.R. Seluruh ahli hadits kecuali Ibnu Majah).
Demikian pula sesuatu yang haram (atau makruh) dikenakan seperti emas dan sutera bagi pria tidaklah najis jika tersentuh. Syaikh Husain bin ‘Audah Al-’Awayisyah berkata, “Demikian pula pengharaman sesuatu tidaklah mengharuskan najisnya (sesuatu yang haram itu), Namun sebaliknya sesuatu yang najis (kotor) sudah pasti haram dimakan”.
Mengenai kenajisan khamer adalah masalah khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat), Ulama-ulama yang menajiskan khamer mendasarkan diri pada perkataan “rijsun” pada ayat Al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamer, berjudi dan (berqurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun min ‘amali syaithon (kekejian dari amal setan) (Q.S. Al-maidah :90).
Sayid Sabiq “Perkataan “rijsun” disini maknanya adalah najis secara maknawi bukan najis ketika menyentuhnya” (Kitab Fiqhu Sunnah). Hal ini juga ditegaskan dengan diikuti pensifatan kata “amali syaithon”. Jadi rijsu min amali syaithon artinya adalah kenajisan dari amal2 setan, oleh karena itu dalam terjemahan Depag hanya diterjemahan perbuatan keji termasuk dari amal setan.
Demikian pula kalau kita cermati yang bahwa khamer di situ disejajarkan dengan maisir (berjudi), berqurban untuk berhala dan mengundai dengan anak panah, nah keempatnya itulah rijsun minamali syaithon. Kalau memang perkataan rijsun itu adalah najis menyentuhnya maka keempatnya pun najis menyentuhnya. Sehingga menyentuh berhala pun menjadi najis. Maka sudah jelaslah bahwa perkataan rijsun perbuatan setan itulah yang najis (yaitu najis maknawi).
Hadits dari Anas bin Malik dalam Shahih- Kitabul Mazhalim Bab Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464 bahwa para sahahabat menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkan khamr (H.R. Bukhari) .
Juga disebutkan hal yang sama hadits dari Abu Sa’id Al- Khudri bahwa para shabat membuang khamr di jalanan (H.R. Muslim dlm Shahihnya Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1578).
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa khamr bukan najis karena jalan-jalan itu dilewati kaum muslimin. Jika khamr najis maka pasti Rasulullah melarang membuangnya di jalan karena khawatir terinjak dan terkena pakaian.
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki2 menghadiahkan sebuah wadah berisi khamr kepada Rasulullah Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam, lalu beliau berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yg membisiki laki2 tersebut utk menjualnya.
Maka Rasulullah bersabda: إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا “Sesungguh Dzat Yang mengharamkan untuk meminum juga mengharamkan utk menjualnya.” Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: فَفَتَحَ الْمَزَادَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيْهَا “Maka lelaki itu membuka wadah khamr tersebut dan menumpahkan isi hingga habis.” Kejadian ini disaksikan oleh Rasulullah dan beliau tdk memerintahkan kepada utk mencuci wadah tersebut, dan membiarkan saja. (H.R. Muslim ).
Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis.
Dalam kitab Subulus Salam dikatakan bahwa pada dasarnya hukum asal semua benda adalah suci kecuali ada dalil yang tegas-tegas menyatakan kenajisannya. Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, “Tak ada dalil yang cocok dipegangi tentang najisnya khamr (As-Sail Al-Jarror I/137), Maka Syeckh Yusuf Qardhawi mengatakan : “maka haramnya arak yang ditunjukkan oleh nas tidaklah menunjukkan bahwa arak itu najis, melainkan harus ada dalil lain yang menunjukkan hal itu. Jika tidak,maka tetap pada hukum asalnya yaitu suci” (Kitab Halal Haram karya Yusuf Qardhawi).
Ulama Hijaz seperti Rabi’ah Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri Al-Muzani dan Dawud Azh-Zhahiri, Al-Imam Asy-Syaukani serta ulama Saudi seperti Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat khamr tidak najis.
Oleh karena itu di kalangan ulama yang menajiskan khamr pun tidak terdapat keterangan yang jelas termasuk najis ringankah, mutawaithoh (pertengahan) atau mugholadhoh (najis berat)? Sehingga tidak terdapat keterangan yang jelas bagaimana cara mencuci najis dari khamr. Karena juga tidak ditemukan hadits dari Rasulullah mengenai cara mencuci bejana atau gelas yang terkena najis khamr. Seandainya khamr adalah najis maka pasti Rasulullah mencontohkan cara mencuci dari najis tersebut.
Wallahua'lam bishowab.
Barakallahu, semoga bermanfaat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar