Oleh : Abu Akmal Mubarok
Ini termasuk hal-hal yang agak simpang siur. Ada yang berpendapat sama sekali tidak boleh walaupun walaupun cuma petikan ayat saja, tulisan di buku , majalah dll. Bagaimana dengan mata uang Arab, brosur, selebaran khutbah jum’at, atau proposal atau hal-hal apa saja yang ada petikan kata-kata dari Qur'an? Mereka berbeda lagi dalam menjawabnya. Ada yang mengatakan boleh asalkan terjemahannya kalau Qur'an yang tulisan Arab doang tidak boleh. Lalu apa bedanya yang terjemahan dan yang arab doang? Jika memang benar ayat Al-Qur'an tidak boleh dipegang oleh orang haid bagaimana dengan brosur dan leaflet yang diedarkan dibagikan untuk orang kafir di luar negeri?
Rasulullah sendiri pernah menulis surat kepada Raja-Raja kafir seperti Heraklius dengan diawali kalimat Bismillaahirrahmanirrahiim. Jelas ini merupakan bagian ayat Al-Qur'an. Bagaimana Rasulullah menjamin surat tsb tidak dipegang oleh orang yang haid atau berhadats besar?
Sebenarnya perbedaan ini bermula dari ayat “Sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah Al-Quran yang mulia yang tersimpan dalam kitaabum maknun, Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang disucikan (muthoharuun) ;Al-Quran itu diturunkan dari Allah Tuhan sekalian alam (Q.S. Al Waqi’ah: 79
Namun orang berbeda-beda dalam mengartikan makna kata dalam ayat tersebut yaitu mengenai kata yamassuhu, (memegang) dan kata muthaharuun (makhluk yang disucikan).
Orang berbeda pendapat apakah kata yamassuhu, (memegang) di situ memiliki makna harfiah atau majazi (kiasan). Kalau secara harfiah maka berarti menyentuh atau memegang dengan tangan secara fisik, Sedangkan jika maknanya majazi (kiasan), bermakna memahami dengan baik maksud dari Al-Qur’an tsb, atau memperoleh berkahnya, atau merasakan kelezatannya.
Demikian pula pada istilah “Muthoharun” (hamba yang disucikan) ada yang mengartikan hamba yang suci disini adalah manusia. Jika itu adalah manusia maka artinya suci dari najis dan hadats besar.
Namun ada pula yang berpendapat ayat tersebut bukan berbicara mengenai Al-Qur’an ketika sudah diturunkan ke bumi, melainkan situasi Al-Qur’an ketika berada di Lauh Mahfudz (tempat yang terjaga) di langit ke tujuh.
Berkata Ibnu Abbas r.a., ayat “fii Kitabim-maknun” bererti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz sedangkan al-Mutatahharun adalah para malaikat yang suci” Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi‘in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Kitab Jamii al-Bayan riwayat no: 25955 – 25970. Juga penjelasan al-Mawardi dalam Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut), Jilid V/ 463-464
Maka yang dimaksud hamba Allah yang disucikan itu adalah malaikat.
Ada juga yang berpendapat istilah “Muthoharuun” itu bukan membersihkan diri dari najis dan hadats namun membersihkan diri dari dosa dan bertaubat. Sebagai contoh ayat berikut :
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri (Yatathoharuun). Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih (muthohiriin). (Q.S. 9:108)
Maka di dalam masjid ada orang yang membersihkan diri dan perkataan Allah menyukai orang yang bersih bukanlah dimaksudkan bersih sudah mandi dan wudlu melainkan Allah menyukai orang yang selalu membersihkan diri dari dosa dengan cara bertaubat.
Disamping maknanya membersihkan diri adalah membersihkan diri dari dosa dan bertaubat, juga jika yang dimaksudkan disucikan di sini adalah manusia, maka Allah menggunakan istilah “muthohiriin atau mutathohiriin”
Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat, dan mengasihi orang-orang yang sentiasa membersihkan diri (mutahohiriin) (Q.S. 2:222)
Demikian pula jika yang dimaksud membersihkan diri adalah manusia yang mencuci dari hadats dengan cara berwudlu atau tayamum maka Allah menggunakan istilah thohir “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu (liyuthohirakum) dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Q.S. 5:6)
Namun bagi yang berpendapat melarang wanita haid memegang Qur’an diperkuat dengan dalil hadis ini : “Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar) Namun hadits ini adalah hadits dha’if (lemah) , didha‘ifkan oleh al-Bukhari dam Baihaqi. Hadits dha’if hanya bisa digunakan untuk fahilah amal dan tarhib. Tidak bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah halal haram.
Oleh karena itu Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi),Imam Maliki (mazhab Maliki), Dawud bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Ibnu Mundziri membolehkan seorang Muslim yang tidak berwudhu untuk memegang al-Qur'an.
“Suatu ketika Umar bin Khatthab berada di antara orang-orang yang sedang membaca Al Qur’an. Lalu ia pergi untuk buang hajat, setelah selesai ia kembali dan langsung membaca Qur’an. Lantas ada seorang laki-laki yang bertanya padanya; “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau membaca Qur’an tanpa berwudlu terlebih dahulu?” Umar menjawab, “Siapa yang memberi fatwa semacam ini! apakah Musailamah?” (H.R. Malik dalam Kita Al-Muwatho No. 420) Catatan : Musailamah Al-Kadzab adalah tokoh pembohong yang mengaku Nabi dan dibunuh pada jaman Rasulullah.
Namun ada yang mengatakan Sanad hadits ini terputus, karena Muhammad bin Sirin tidak pernah bertemu dengan Umar bin Al-Khaththab.
Yang membolehkan wanita menyentuh Al-Qur’an berdasarkan hadits Aisyah pernah berkata : “Saya sedang haid wahai Rasulullah” maka Rasulullah bersabda : “Sesunggunya haidmu bukan di tanganmu” (H.R. Bukhari).
Namun ada juga hadits-hadits lain yang melarang wanita haid menyentuh Al-Qur’an.
Jabir berkata, “Wanita haid dan nifas serta orang junub tidak boleh membaca Alquran.”(H.R. Tirmidzi)
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (H.R. Daruqutni)
Namun di sisi lain para ulama mengambil keumuman hadits ini :
“Dari Abu Hurairah : “Maha Suci Allah, sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” (H.R. Bukhari Muslim) (Juga diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari jalan hudzaifah)
Yang jelas adalah orang haidh dilarang melaksanakan shalat, berpuasa, dan tawaf di Ka’bah namun dibolehkan tetap melaksanakan ritual haji kecuali Thawaf di Ka'bah, dibolehkan membaca kalimat talbiyah di Muzdalifah, Mina, dan tempat-tempat haji lainnya dalam kondisi haid.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha( yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umroh), “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan jama’ah haji, akan tetapi jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”Kata Aisyah, “Setelah masuk hari raya kurban barulah aku suci.” (H.R. Muslim)
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata : Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rasulullah s.a.w., seandainya membaca al-Qur’an itu diharamkan pada mereka (ketika haid) sebagaimana sholat, pasti Rasulullah akan menjelaskannya kepada umatnya dengan jelas. Beliau akan mengajarnya kepada para Ummul Mukminun (para isteri baginda) dan akan diriwayatkan dari istri Nabi dan orang banyak. Akan tetapi tidak ada satupun (riwayat) yang melarang yang dinukil daripada Nabi. Oleh itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang padahal telah diketahui bahawa beliau tidak melarangnya. (Majmu Fatawa Jilid XXVI)
Sedangkan dikatakan bahwa Imam Syafi’i (mazhab syafi’i) dan Mazhab Hambali melarang wanita menyentuh Al-Qur’an sebagaimana banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Kesimpulannya karena hal ini termasuk khilafiyah (ada perbedaan pendapat) maka silakan memilih yang berkenan di hati masing-masing.
Ada yang berpendapat bahwa bila kita mengambil kemudahan dalam urusan dalam masalah agama maka khawatir akan jatuh pada kesesatan. Hal ini tidak benar karena Allah sendiri sebenarnya tidak berkehendak menjadikan urusan dalam agama ini menyulitkan. “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj : 78)
Dari Anas bin Malik Rasulullah bersabda : “Mudahkanlah dan jangan kamu menyulitkan, berilah khabar gembira dan janganlah kamu membuat orang lari” (H.R. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)
Rasulullah ketika memilih di antara dua pilihan “Dari Aisyah, Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa” (H.R. Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar