Oleh : Abu Akmal Mubarok
Suatu hari Anis, seorang gadis kecil hendak mengambil sekotak susu dari lemari es, namun abangnya berteriak : “Jangan! Kata mama susu itu gak boleh diminum!” Anis membantah : “Masa sih ga boleh?” Si abang dengan melotot meyakinkan “Iya, tadi mama bilang ga boleh buka susu itu!” Dengan wajah cemberut hampir menangis Anis segera mencari ibunya yang sedang sibuk di dapur. “Ma, apa benar tidak boleh minum susu?” Lalu ibunya berkata : “Oh bukan begitu, maksudnya, jika kotak susu yang satu belum habis, jangan buka kotak yang satu lagi”.
Ini adalah salah satu contoh betapa jika kita tidak tahu konteks masalahnya, maka bersandar pada pernyataan sebuah kalimat akan bisa menimbulkan kesalahpahaman. Fenomena ini juga sering terjadi dalam masalah agama. Kita tidak bisa serta merta mengambil kesimpulan dari sebuah statemen dalil entah itu ayat atau hadits jika belum mengetahui konteks peristiwanya.
Dalam contoh di atas, gadis kecil Anis bisa mencari ibunya untuk mengecek kebenaran pernyataan abangnya yang mengutip perkataan ibunya. Jika yang membuat statemen masih hidup, gampang saja kita tanyakan kembali maksudnya. Namun dalam konteks hadits Nabi, bagaimana kita hendak bertanya pada Rasulullah SAW (baca: sholollahu alaihi wasalam).
Setiap pernyataan atau statemen pasti ada latar belakang peristiwanya. Dan yang mengetahui sejarah peristiwa timbulnya pernyataan Rasulullah SAW adalah orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW berkaitan dengan pernyataannya itu atau minimal adalah para sahabat yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW.
Namun sering kali kita juga tidak menjumpai sebuah keterangan pun yang menjelaskan latar belakang peristiwa timbulnya pernyataan sebuah hadits. Maka salah satu yang bisa kita lakukan adalah mencari dan mengumpulkan beberapa pernyataan atau redaksi hadits yang serupa atau menjelaskan tema yang sama. Lalu kumpulkanlah syarah (penjelasan / penafsiran) para sahabat Nabi s.a.w. mengenai hadits tersebut. Karena seringkali Rasulullah SAW bersabda didengar oleh orang banyak. Dan beberapa orang menceritakan kembali atau meriwayatkan hadits tsb dengan berbagai susunan kalimat (redaksi) yang berbeda. Beberapa sahabat Nabi s.a.w. satu sama lain juga kadang memiliki tangkapan dan penafsiran yang berbeda terhadap sabda Nabi yang sama.
Contoh Kasus Larangan Meminta Ruqyah
Terkadang satu redaksi hadits melengkapi redaksi lainnya. Namun terkadang juga satu redaksi sedikit agak bertentangan dengan redaksi lainnya padahal menjelaskan tema yang sama. Sebagai contoh ada hadits yang menyatakan di antara 70.000 orang yang masuk surga tanpa dihisab adalah orang yang tidak minta diruqyah.
Telah menceritakan kepada kami Imran bin Maisarah telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Fudlail telah menceritakan kepada kami Hushain dari 'Amir dari Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma dia berkata; "Tidak ada ruqyah (jampi-jampi dari Qur'an dan Sunnah) kecuali dari penyakit 'Ain atau demam, lalu hal itu kusampaikan kepada Sa'id bin Jubair, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w.bersabda: "Di beritahukan kepadaku (oleh Jibril); "Ini adalah ummatmu, dan di antara mereka terdapat 70.000 yang masuk surga tanpa hisab." Setelah itu beliau masuk ke rumah dan belum sempat memberi penjelasan kepada mereka (para sahabat), maka orang-orang menjadi ribut, mereka berkata; "Kita adalah orang-orang yang telah beriman kepada Allah dan mengikuti jejak Rasul-Nya, mungkinkah kelompok tersebut adalah kita ataukah anak-anak kita yang dilahirkan dalam keadaan Islam sementara kita dilahirkan di zaman Jahiliyah?." Maka hal itu sampai kepada Nabi s.a.w., lantas beliau keluar dan bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah minta untuk di ruqyah, tidak pernah bertathayur (menganggap sial pada binatang) dan tidak pula melakukan terapi dengan kay (terapi dengan menempelkan besi panas pada daerah yang sakit), sedangkan kepada Rabb mereka bertawakkal." Lalu Ukasah bin Mihshan berkata; "Apakah aku termasuk di antara mereka ya Rasulullah?" beliau menjawab; "Ya." Selanjutnya sahabat yang lain berdiri dan berkata; "Apakah aku termasuk dari mereka?" beliau bersabda: "Ukasah telah mendahuluimu." (H.R. Bukhari No. 5270)
Demikian pula pada hadits yang lain dikatakan :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur Dari Mujahid dari 'Aqqar bin Al Mughirah bin Syu'bah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang berobat dengan Kay atau meminta untuk diruqyah, maka sungguhnya ia telah berlepas diri dari sifat tawakkal." (H.R. Tirmidzi No. 1980) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih. Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Imran bin Husain. Abu Isa berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”
Jika melihat satu hadits ini saja maka orang bisa berkesimpulan bahwa tidak boleh minta diruqyah atau ruqyah itu haram. Namun dalam kesempatan lain banyak hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. yang menyuruh seseorang untuk melakukan ruqyah, atau Rasulullah melakukan ruqyah baik atas inisiatif Beliau sendiri maupun atas permintaan seseorang.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Dari mana kalian mengetahui bahwa Al Fatihah adalah ruqyah? Sesungguhnya kalian telah berbuat baik, bagilah dan berilah aku bagian bersama kalian." (H.R. Abu Daud No. 3401)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Muhammad bin 'Umarah dari Abu Bakar bin Muhammad bahwa Khalidah binti Anas Ummu bani Hazm As Sa'idi datang menemui Nabi s.a.w., dia meminta pertimbangan kepada beliau untuk diruqyah, maka beliau memerintahkan agar di ruqyah." (H.R. Ibnu Majah No. 3505) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Humaid bin Qais Al Makki berkata; "Suatu ketika dua anak Ja'far bin Abu Thalib dibawa ke hadapan Rasulullah s.a.w.. Beliau bertanya kepada perawatnya: "Kenapa aku melihat keduanya sangat kurus?" penjaganya menjawab, "Wahai Rasulullah, penyakit 'ain telah menyerang mereka berdua dengan cepat. Tidak ada yang menghalangi kami untuk meminta mereka diruqyah, hanya saja kami tidak mengetahui apakah anda menyetujuinya.' Rasulullah s.a.w.lalu bersabda: 'Ruqyahlah mereka!” (H.R. Imam Malik dalam Al-Muwatha' No. 1473)
Bahkan Malaikat Jibril pun mengajari ruqyah pada Rasulullah s.a.w.ketika Rasulullah sakit
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu 'Umar Al Makki; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz Ad Darawardi dari Yazid yaitu Ibnu 'Abdillah bin Usamah bin Al Hadi dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah bin 'Abdur Rahman dari 'Aisyah istri Nabi s.a.w.dia berkata; "Bila Rasulullah s.a.w.sakit, Jibril datang meruqyahnya (Nabi s.a.w). Jibril mengucapkan; 'Bismillaahi yubriika, wa min kulli daa-in yusyfika, wa min syarri hasidin idza hasad, wa syarri kulli dzi 'ainin.' (Dengan nama Allah yang menciptakanmu. Dia-lah Allah yang menyembuhkanmu dari segala macam penyakit dan dari kejahatan pendengki ketika ia mendengki serta segala macam kejahatan sorotan mata jahat semua makhluk yang memandang dengan kedengkian). (H.R. Muslim No. 4055)
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Hilal Ash Shawaf; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Warits; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Shuhaib dari Abu Nadhrah dari Abu Sa'id : “Bahwa Jibril mendatangi Nabi s.a.w.kemudian berkata; "Hai Muhammad, apakah kamu sakit? Rasulullah s.a.w.menjawab: 'Ya. Aku sakit. Lalu Jibril meruqyah beliau dengan mengucapkan; 'Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan segala makhluk atau kejahatan mata yang dengki. Allah lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (H.R. Muslim No. 4056)
Maka duduk masalah sebenarnya Rasulllah memang pernah melarang meruqyah (menjampi) karena pada awalnya pengaruh budaya jahiliyah masih kuat dan kebanyakan ruqyah yang dibaca oleh masyarakat adalah ruqyah syirkiyah (bacaan ruqyah yang mengandugn kesyirikan seperti menyebut nama dewa, menyebut raja jin dll) maka Rasulullah s.a.w. ketika itu melarang ruqyah. Namun setelah ruqyah syar’I itu diajarkan oleh Jibril dan kemudian banyak doa-doa lainnya diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa sebenarnya yang dilarang itu adalah ruqyah yang syirik sedangkan jika tidak mengandung kesyirikan tidak mengapa.
Kami bertanya kepada Rasulullah s.a.w.; 'Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang mantera? ' Jawab beliau: 'Peragakanlah ruqyahmu itu di hadapanku. Ruqyah itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik.' (H.R. Muslim No. 4079)
'Amr berkata; Wahai Rasulullah, dahulu anda pernah melarang ruqyah Beliau bersabda: "Bacakan hal itu kepadaku", lalu dia membacanya, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak mengapa, sebab ruqyah pada hakikatnya adalah penawar (pelindung)." (H.R. Ahmad No. 14699)
Contoh Kasus Minum Sambil Berdiri
Pada masa kini kita juga menjumpai sebagian kaum muslimin yang mengecam standing party atau pesta dengan makan dan minum prasmanan tanpa menyediakan kursi sehingga hadirin terpaksa makan dan minum sambil berdiri. Sikap ini dilandasi oleh semangat mengamalkan hadits berikut :
Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri." (H.R. Muslim)
Rasulullah Saw melarang orang makan atau minum sambil berdiri. (H.R. Muslim)
Namun di sisi lain ternyata Islam juga “tidak begitu-begitu amat” dalam artian masih memiliki toleransi dan memahami situasi dan kondisi dimana kadang kala Rasulullah saw pun melakukan minum sambil berdiri :
Ashim dari-asy-Sya'bi mengatakan bahwa Ibnu Abbas r.a. bercerita kepadanya. Kata Ibnu Abbas r.a., "Saya memberi minum kepada Rasulullah dari air zam-zam lalu beliau minum sambil berdiri." (H.R. Bukhari)
Maka janganlah kita terburu mengambil kesimpulan hukum fikih hanya dengan meninjau satu dua hadits saja.
Contoh Kasus Buang Air Menghadap Kiblat Atau Membelakangi Kiblat
Contoh lainnya suatu ketika kita jumpai anjuran sunnah Nabi SAW untuk memuliakan arah kiblat baik itu kiblat yang awal ke arah Baitul Maqdis, maupun Kiblat yang saat ini yaitu ke arah Ka’bah dengan cara tidak buang air besar menghadap kiblat atau membelakanginya.
Dari Ayyub Al-Anshori r.a. berkata : “Nabi SAW bersabda : “Jika kalian buang air maka jangan menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, tetapi hendaklah ke arah selatan atau utara” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid 1 No 148) Abu Ayyub r.a. berkata : “Ketika kami mendapati jamban menghadap kiblat, maka kami berpaling darinya sambil minta ampun pada Allah”
Namun di sisi lain ternyata suatu ketika Rasulullah SAW pun buang air membelakangi kiblat (menghadap baitul maqdis).
Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata : “Sungguh saya telah naik di atas sebuah rumah tiba-tiba (tidak sengaja) saya melihat Nabi saw duduk di atas dua bata (jamban) menghadap baitul maqdis” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid 1 No 149)
Abdullah bin Umar r.a. berkata: “Suatu hari saya naik di atas rumah Hafshah untuk suatu keperluan tiba-tiba saya(tidak sengaja) melihat Rasulullah SAW buang air membelakangi kiblat menghadap Syam (arah baitul maqdis)” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid 1 No 150)
Penjelelasannya mungkin bisa kita peroleh dari hadits ini :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Isa Al Hannath dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata; "Aku melihat Rasulullah s.a.w. menghadap kiblat di dalam WC nya." Isa berkata; Aku sampaikan hal itu kepada Asy Sya'bi, maka ia pun berkata; "Benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar dan Abu Hurairah." Adapun Abu Hurairah r.a., ia berkata; "Di padang pasir janganlah engkau menghadap kiblat atau membelakanginya." Sedangkan perkataan Ibnu Umar; "Sesungguhnya WC tidak ada kiblatnya, maka menghadaplah sesukamu." (H.R. Ibnu Majah No. 318)
Maka kesimpulannya adalah bahwa larangan buang air menghadap kiblat itu adalah ketika di dalam WC sedangkan ketika di padang pasir atau tanah luas maka larangan itupun tidak berlaku. Selain itu ulama pun menyimpulkan bahwa larangan ini bersifat makruh dan bukan haram.
Ini adalah sekelumit contoh bahwa janganlah terburu mengambil kesimpulan hanya dari satu dua hadits saja dan jangan mengambil kesimpulan dari arti harfiah teks hadits tanpa mengumpulkan dan meninjau keseluruhan hadits senada yang membahas tema yang sama. Wallahua’lam
Suatu hari Anis, seorang gadis kecil hendak mengambil sekotak susu dari lemari es, namun abangnya berteriak : “Jangan! Kata mama susu itu gak boleh diminum!” Anis membantah : “Masa sih ga boleh?” Si abang dengan melotot meyakinkan “Iya, tadi mama bilang ga boleh buka susu itu!” Dengan wajah cemberut hampir menangis Anis segera mencari ibunya yang sedang sibuk di dapur. “Ma, apa benar tidak boleh minum susu?” Lalu ibunya berkata : “Oh bukan begitu, maksudnya, jika kotak susu yang satu belum habis, jangan buka kotak yang satu lagi”.
Ini adalah salah satu contoh betapa jika kita tidak tahu konteks masalahnya, maka bersandar pada pernyataan sebuah kalimat akan bisa menimbulkan kesalahpahaman. Fenomena ini juga sering terjadi dalam masalah agama. Kita tidak bisa serta merta mengambil kesimpulan dari sebuah statemen dalil entah itu ayat atau hadits jika belum mengetahui konteks peristiwanya.
Dalam contoh di atas, gadis kecil Anis bisa mencari ibunya untuk mengecek kebenaran pernyataan abangnya yang mengutip perkataan ibunya. Jika yang membuat statemen masih hidup, gampang saja kita tanyakan kembali maksudnya. Namun dalam konteks hadits Nabi, bagaimana kita hendak bertanya pada Rasulullah SAW (baca: sholollahu alaihi wasalam).
Setiap pernyataan atau statemen pasti ada latar belakang peristiwanya. Dan yang mengetahui sejarah peristiwa timbulnya pernyataan Rasulullah SAW adalah orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW berkaitan dengan pernyataannya itu atau minimal adalah para sahabat yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW.
Namun sering kali kita juga tidak menjumpai sebuah keterangan pun yang menjelaskan latar belakang peristiwa timbulnya pernyataan sebuah hadits. Maka salah satu yang bisa kita lakukan adalah mencari dan mengumpulkan beberapa pernyataan atau redaksi hadits yang serupa atau menjelaskan tema yang sama. Lalu kumpulkanlah syarah (penjelasan / penafsiran) para sahabat Nabi s.a.w. mengenai hadits tersebut. Karena seringkali Rasulullah SAW bersabda didengar oleh orang banyak. Dan beberapa orang menceritakan kembali atau meriwayatkan hadits tsb dengan berbagai susunan kalimat (redaksi) yang berbeda. Beberapa sahabat Nabi s.a.w. satu sama lain juga kadang memiliki tangkapan dan penafsiran yang berbeda terhadap sabda Nabi yang sama.
Contoh Kasus Larangan Meminta Ruqyah
Terkadang satu redaksi hadits melengkapi redaksi lainnya. Namun terkadang juga satu redaksi sedikit agak bertentangan dengan redaksi lainnya padahal menjelaskan tema yang sama. Sebagai contoh ada hadits yang menyatakan di antara 70.000 orang yang masuk surga tanpa dihisab adalah orang yang tidak minta diruqyah.
Telah menceritakan kepada kami Imran bin Maisarah telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Fudlail telah menceritakan kepada kami Hushain dari 'Amir dari Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma dia berkata; "Tidak ada ruqyah (jampi-jampi dari Qur'an dan Sunnah) kecuali dari penyakit 'Ain atau demam, lalu hal itu kusampaikan kepada Sa'id bin Jubair, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w.bersabda: "Di beritahukan kepadaku (oleh Jibril); "Ini adalah ummatmu, dan di antara mereka terdapat 70.000 yang masuk surga tanpa hisab." Setelah itu beliau masuk ke rumah dan belum sempat memberi penjelasan kepada mereka (para sahabat), maka orang-orang menjadi ribut, mereka berkata; "Kita adalah orang-orang yang telah beriman kepada Allah dan mengikuti jejak Rasul-Nya, mungkinkah kelompok tersebut adalah kita ataukah anak-anak kita yang dilahirkan dalam keadaan Islam sementara kita dilahirkan di zaman Jahiliyah?." Maka hal itu sampai kepada Nabi s.a.w., lantas beliau keluar dan bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah minta untuk di ruqyah, tidak pernah bertathayur (menganggap sial pada binatang) dan tidak pula melakukan terapi dengan kay (terapi dengan menempelkan besi panas pada daerah yang sakit), sedangkan kepada Rabb mereka bertawakkal." Lalu Ukasah bin Mihshan berkata; "Apakah aku termasuk di antara mereka ya Rasulullah?" beliau menjawab; "Ya." Selanjutnya sahabat yang lain berdiri dan berkata; "Apakah aku termasuk dari mereka?" beliau bersabda: "Ukasah telah mendahuluimu." (H.R. Bukhari No. 5270)
Demikian pula pada hadits yang lain dikatakan :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur Dari Mujahid dari 'Aqqar bin Al Mughirah bin Syu'bah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang berobat dengan Kay atau meminta untuk diruqyah, maka sungguhnya ia telah berlepas diri dari sifat tawakkal." (H.R. Tirmidzi No. 1980) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih. Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Imran bin Husain. Abu Isa berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”
Jika melihat satu hadits ini saja maka orang bisa berkesimpulan bahwa tidak boleh minta diruqyah atau ruqyah itu haram. Namun dalam kesempatan lain banyak hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. yang menyuruh seseorang untuk melakukan ruqyah, atau Rasulullah melakukan ruqyah baik atas inisiatif Beliau sendiri maupun atas permintaan seseorang.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Dari mana kalian mengetahui bahwa Al Fatihah adalah ruqyah? Sesungguhnya kalian telah berbuat baik, bagilah dan berilah aku bagian bersama kalian." (H.R. Abu Daud No. 3401)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Muhammad bin 'Umarah dari Abu Bakar bin Muhammad bahwa Khalidah binti Anas Ummu bani Hazm As Sa'idi datang menemui Nabi s.a.w., dia meminta pertimbangan kepada beliau untuk diruqyah, maka beliau memerintahkan agar di ruqyah." (H.R. Ibnu Majah No. 3505) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Humaid bin Qais Al Makki berkata; "Suatu ketika dua anak Ja'far bin Abu Thalib dibawa ke hadapan Rasulullah s.a.w.. Beliau bertanya kepada perawatnya: "Kenapa aku melihat keduanya sangat kurus?" penjaganya menjawab, "Wahai Rasulullah, penyakit 'ain telah menyerang mereka berdua dengan cepat. Tidak ada yang menghalangi kami untuk meminta mereka diruqyah, hanya saja kami tidak mengetahui apakah anda menyetujuinya.' Rasulullah s.a.w.lalu bersabda: 'Ruqyahlah mereka!” (H.R. Imam Malik dalam Al-Muwatha' No. 1473)
Bahkan Malaikat Jibril pun mengajari ruqyah pada Rasulullah s.a.w.ketika Rasulullah sakit
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu 'Umar Al Makki; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz Ad Darawardi dari Yazid yaitu Ibnu 'Abdillah bin Usamah bin Al Hadi dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah bin 'Abdur Rahman dari 'Aisyah istri Nabi s.a.w.dia berkata; "Bila Rasulullah s.a.w.sakit, Jibril datang meruqyahnya (Nabi s.a.w). Jibril mengucapkan; 'Bismillaahi yubriika, wa min kulli daa-in yusyfika, wa min syarri hasidin idza hasad, wa syarri kulli dzi 'ainin.' (Dengan nama Allah yang menciptakanmu. Dia-lah Allah yang menyembuhkanmu dari segala macam penyakit dan dari kejahatan pendengki ketika ia mendengki serta segala macam kejahatan sorotan mata jahat semua makhluk yang memandang dengan kedengkian). (H.R. Muslim No. 4055)
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Hilal Ash Shawaf; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Warits; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Shuhaib dari Abu Nadhrah dari Abu Sa'id : “Bahwa Jibril mendatangi Nabi s.a.w.kemudian berkata; "Hai Muhammad, apakah kamu sakit? Rasulullah s.a.w.menjawab: 'Ya. Aku sakit. Lalu Jibril meruqyah beliau dengan mengucapkan; 'Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan segala makhluk atau kejahatan mata yang dengki. Allah lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (H.R. Muslim No. 4056)
Maka duduk masalah sebenarnya Rasulllah memang pernah melarang meruqyah (menjampi) karena pada awalnya pengaruh budaya jahiliyah masih kuat dan kebanyakan ruqyah yang dibaca oleh masyarakat adalah ruqyah syirkiyah (bacaan ruqyah yang mengandugn kesyirikan seperti menyebut nama dewa, menyebut raja jin dll) maka Rasulullah s.a.w. ketika itu melarang ruqyah. Namun setelah ruqyah syar’I itu diajarkan oleh Jibril dan kemudian banyak doa-doa lainnya diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa sebenarnya yang dilarang itu adalah ruqyah yang syirik sedangkan jika tidak mengandung kesyirikan tidak mengapa.
Kami bertanya kepada Rasulullah s.a.w.; 'Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang mantera? ' Jawab beliau: 'Peragakanlah ruqyahmu itu di hadapanku. Ruqyah itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik.' (H.R. Muslim No. 4079)
'Amr berkata; Wahai Rasulullah, dahulu anda pernah melarang ruqyah Beliau bersabda: "Bacakan hal itu kepadaku", lalu dia membacanya, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak mengapa, sebab ruqyah pada hakikatnya adalah penawar (pelindung)." (H.R. Ahmad No. 14699)
Contoh Kasus Minum Sambil Berdiri
Pada masa kini kita juga menjumpai sebagian kaum muslimin yang mengecam standing party atau pesta dengan makan dan minum prasmanan tanpa menyediakan kursi sehingga hadirin terpaksa makan dan minum sambil berdiri. Sikap ini dilandasi oleh semangat mengamalkan hadits berikut :
Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri." (H.R. Muslim)
Rasulullah Saw melarang orang makan atau minum sambil berdiri. (H.R. Muslim)
Namun di sisi lain ternyata Islam juga “tidak begitu-begitu amat” dalam artian masih memiliki toleransi dan memahami situasi dan kondisi dimana kadang kala Rasulullah saw pun melakukan minum sambil berdiri :
Ashim dari-asy-Sya'bi mengatakan bahwa Ibnu Abbas r.a. bercerita kepadanya. Kata Ibnu Abbas r.a., "Saya memberi minum kepada Rasulullah dari air zam-zam lalu beliau minum sambil berdiri." (H.R. Bukhari)
Maka janganlah kita terburu mengambil kesimpulan hukum fikih hanya dengan meninjau satu dua hadits saja.
Contoh Kasus Buang Air Menghadap Kiblat Atau Membelakangi Kiblat
Contoh lainnya suatu ketika kita jumpai anjuran sunnah Nabi SAW untuk memuliakan arah kiblat baik itu kiblat yang awal ke arah Baitul Maqdis, maupun Kiblat yang saat ini yaitu ke arah Ka’bah dengan cara tidak buang air besar menghadap kiblat atau membelakanginya.
Dari Ayyub Al-Anshori r.a. berkata : “Nabi SAW bersabda : “Jika kalian buang air maka jangan menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, tetapi hendaklah ke arah selatan atau utara” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid 1 No 148) Abu Ayyub r.a. berkata : “Ketika kami mendapati jamban menghadap kiblat, maka kami berpaling darinya sambil minta ampun pada Allah”
Namun di sisi lain ternyata suatu ketika Rasulullah SAW pun buang air membelakangi kiblat (menghadap baitul maqdis).
Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata : “Sungguh saya telah naik di atas sebuah rumah tiba-tiba (tidak sengaja) saya melihat Nabi saw duduk di atas dua bata (jamban) menghadap baitul maqdis” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid 1 No 149)
Abdullah bin Umar r.a. berkata: “Suatu hari saya naik di atas rumah Hafshah untuk suatu keperluan tiba-tiba saya(tidak sengaja) melihat Rasulullah SAW buang air membelakangi kiblat menghadap Syam (arah baitul maqdis)” (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal Marjan Jilid 1 No 150)
Penjelelasannya mungkin bisa kita peroleh dari hadits ini :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Isa Al Hannath dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata; "Aku melihat Rasulullah s.a.w. menghadap kiblat di dalam WC nya." Isa berkata; Aku sampaikan hal itu kepada Asy Sya'bi, maka ia pun berkata; "Benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar dan Abu Hurairah." Adapun Abu Hurairah r.a., ia berkata; "Di padang pasir janganlah engkau menghadap kiblat atau membelakanginya." Sedangkan perkataan Ibnu Umar; "Sesungguhnya WC tidak ada kiblatnya, maka menghadaplah sesukamu." (H.R. Ibnu Majah No. 318)
Maka kesimpulannya adalah bahwa larangan buang air menghadap kiblat itu adalah ketika di dalam WC sedangkan ketika di padang pasir atau tanah luas maka larangan itupun tidak berlaku. Selain itu ulama pun menyimpulkan bahwa larangan ini bersifat makruh dan bukan haram.
Ini adalah sekelumit contoh bahwa janganlah terburu mengambil kesimpulan hanya dari satu dua hadits saja dan jangan mengambil kesimpulan dari arti harfiah teks hadits tanpa mengumpulkan dan meninjau keseluruhan hadits senada yang membahas tema yang sama. Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar