Wahabi atau Wahabiyyah adalah kelompok atau
paham keagamaan yang dinisbatkan kepada salah seorang ulama Hijaz (saudi)
Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/ 1115 H-1206 H). Terkadang mereka
dijuluki juga Muwahhiduun
(orang-orang yang mentauhidkan Allah) dan
Salafiyyun (orang-orang yang mengikuti ulama-ulama terdahulu).
Sejauh
yang kami ketahui, Muhammad bin Abdul
Wahab melancarkan gerakan pemurnian tauhid di tanah Hijaz. Maka tidak ada
masalah dengan hal ini, bahkan kami sepakat untuk saling bahu membahu bersama
mereka dalam upaya memurnikan akidah umat.
Hanya
saja, niat baik ini bisa jadi berbalik menjadi fitnah jika kita tidak mempertimbangkan
fiqih dakwah dan realita dalam masyarakat. Apabila Anda risau dan geram dengan maraknya
kemaksiatan dan kesesatan, maka kami pun sama risaunya dengan Anda. Namun
hendaknya rasa risau ini TIDAK menyeret kita kepada sikap keras atau berlebihan
(ghuluw) dalam dakwah.
Sebagian
pemuda mungkin terlalu bersemangat dalam berdakwah dan ingin melihat perubahan segera,
namun hendaknya kita semua bersabar dalam dakwah. Fenomena ini bisa terjadi
pada kelompok dakwah mana saja. Terkadang kesesatan itu sudah berakar dan
melembaga ratusan tahun sedangkan sikap terburu nafsu itu justru akan
mendatangkan fitnah bagi dakwah Islam itu sendiri. Sabar itulah alat perjuangan kita.
Bukankah
Allah telah berfirman :
“Wahai
orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah : 143).
Bahkan sabar disebutkan lebih dulu dari sholat, karena untuk melaksanakan
sholat pun diperlukan kesabaran dan tumakninah (tidak terburu-buru). Ini semua
mengandung ibroh bahwa segalanya harus dilakukan dengan sabar.
Jika
ada yang cara dakwah terburu nafsu dan meninggalkan
tutur kata yang santun dalam memperingatkan manusia, maka kami berlepas diri
dari cara dakwah seperti itu. Bahkan Al-Qur’an pun melarang mencaci maki
sembahan orang musyrik? Padahal jelas itu adalah kesesatan yang berat, namun
tetap saja kita diminta untuk bertutur kata baik.
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS.
Al- An’am : 108)
Demikian
pula Allah menyuruh Musa bertutur kata baik dalam memperingatkan Fir’aun yang
nyata-nyata mengaku dirinya Tuhan.“Pergilah kamu, hai Musa dan Harun kepada
Firaun, nasihatilah dengan nasihat yang baik dengan bahasa yang halus,
mudah-mudahan ia mau ingat dan menjadi takut kepada Allah”. (Q.S. Thaha : 44)
“Maka
karena rahmat Allah kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut kepada mereka, dan
jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka mereka akan lari darimu”
(Q.S. Ali-Imran:153).
Jika
ada yang sangat getol meneliti dan mentakhrij hadits, dan membatasi diri pada
hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah SAW. Maka kami sepakat dengan mereka
bahwa kami pun peduli pada hadits-hadits yang sahih. Namun perlu diketahui
bahwa sikap ulama berbeda-beda dalam mengambil hadits-hadits dhaif (asalkan
bukan hadits ma’udhu) yaitu untuk masalah fadhilah amal (keutamaan suatu amal),
targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan
larangan), serta manaqib dan sejarah .
Imam As-Suyuthi berkata: “Bila kami
meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila
meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan”.
Imam
-Nawawi berkata: "Boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan
sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak
maudhu' serta mengamalkannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat
Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan
hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Demikian
pula terkadang suatu hadits didhaifkan oleh ulama yang ini tapi dikuatkan oleh
yang lain. Terkadang perawi sebuah hadits dikatakan gugur atau cacat oleh ulama
yang satu tapi dikatakan tidak mengapa oleh ulama yang lain. Atau terkadang
suatu hadits yang dha’if dari satu jalur periwayatan namun bisa berubah menjadi
tidak dha’if karena dikuatkan oleh hadits yang redaksinya sama atau maknanya
sama, dari jalur yang lebih kuat (hasan li ghairihi).
Kami
sangat mengapresiasi semangat yang tinggi dalam menerapkan sunnah. Kami juga
sangat menghargai sifat wara’ (kehati-hatian terjerumus pada yang haram
sampai2 menghindari melakukan sesuatu yang halal jika dikhawatirkan akan
membawa kepada yang haram).
Namun hendaknya sikap ini BUKAN untuk diaplikasikan
kepada orang umum dan awam, karena kemampuan setiap orang dalam melaksanakan perintah
itu berbeda. Sahabat Nabi SAW banyak yang bersikap wara’ namun mereka HANYA
menerapkan kepada dirinya sendiri dan TIDAK mewajibkannya kepada orang lain.
Jika
mereka mengaku adalah orang2 yang mengikuti ulama salaf (ulama terdahulu)
maka kami pun mengikuti ulama-ulama yang terdahulu. Maka tidak ada yang salah
dalam hal ini dan tak ada yang sesat dengan pemikiran seperti ini. Namun jika
mereka membatasi ulama salaf HANYA sampai masa tertentu atau ulama-ulama
tertentu saja utk mendukung pemikiran golongan sendiri, maka sungguh itu sikap meremehkan ilmu para ulama dan
menyia-nyiakan mutiara ilmu yang berserak.
Jika ada
di antara mereka yang memiliki ghiroh yang tinggi untuk memberantas bid’ah dan
khurafat maka kami pun bersama mereka. Jika mereka membenci tasyabuh
(menyerupai) kaum kafir, maka kami pun tidak sudi menyerupai kaum kafir. Namun perlu
didudukkan dahulu definisi dari bid’ah dan tasyabuh itu.
Terlalu
men-generalisir (pukul rata) dalam definisi bid’ah dan tasyabuh akan membawa
kesembronoan dalam menuduh pihak lain. Kita tidak mau terjebak pada
simplifikasi (terlalu menyederhanakan) batasan
bid’ah dan tasyabuh. Kita juga TIDAK MAU ikut-ikutan terlalu mudah
menuduh pihak lain melakukan bid’ah terlebih lagi jika menyimpulkan saudara
kita sebagai murtad dan kafir. TIDAK. KAMI TIDAK MAU BERSIKAP SEMBRONO BEGITU.
Karena
Rasulullah SAW bersabda :
Abdullah bin Umar r.a. berkata Rasulullah SAW bersabda :
Tiap orang yang berkata pada saudaranya : “hai kafir!” maka pasti akan menimpa pada salah satunya
(Bukhari Muslim).
Tidakkah sabda nabi ini membuat kita berpikir seribu kali
sebelum mengatakan bhwa orang lain kafir, terlebih kpd saudara sendiri sesama
muslim..??
Orang
yang berada di atas manhaj salaf yg benar itu adalah bersifat pertengahan
antara melampaui batas (ifrath) dan meremehkan (tafrith). Maka kami TIDAK
sepakat jika semangat salaf itu kemudian menjadikan kita memberat-beratkan
masalah walaupun tidak berarti kita meremehkan masalah. Salah satu sifat
memberat-beratkan masalah adalah ketika terlalu mendetil dalam sesuatu yang
sebenarnya dapat ditolerir dan dimaafkan. Sebagaimana Bani Israil yang terlalu
bawel dan detil menanyakan kriteria sapi untuk qurban sehingga hampir-hampir
saja mereka akhirnya tidak melaksanakan perintah Allah tsb karena kesulitan
sendiri. Kriteria Allah yang semula longgar menjadi terasa ketat dan dipersulit
sendiri. Perlu diingat bahwa agama ini bukanlah ilmu eksakta yang menuntut
ketelitian hingga nol koma nol nol nol sekian persen.
‘Permudahlah
oleh kalian semua dan jangan dipersulit, gembirakanlah mereka dan jangan
disusahkan, bersepakatlah dg mereka dan jangan berselisih’. (HR Bukhari
Muslim).
“Binasalah
orang-orang yang berlebih-lebihan (beliau berkata sampai tiga kali)”. (H.R.
Muslim)
Jika
ada di antara mereka yang menganggap bahwa seorang muslim yang melakukan dosa
besar itu adalah keluar dari Islam dan kafir, maka kami menghindari cara pandangan seperti itu.
Karena Allah
sendiri berfirman:
“Kemudian
kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri (zhalim li
nafsih) dan di antara mereka ada yang pertengahan (Muqtashid) dan di antara
mereka ada yang bersegera melakukan kebajikan (sabiqun bil khairat) dengan izin
Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka (ketiga
golongan itu) surga dan mereka masuk ke dalamnya…” (Q.S. Al-Faathir 32-33)
Lihatlah
pada ayat di atas bahwa orang yang muslim itu tetap disebut sebagai hamba Allah
yang terpilih walaupun ada di antara mereka yang menzhalimi dirinya sendiri
dengan melakukan dosa, namun semuanya akan dimasukkan ke dalam surga.
Maka
bagaimana mungkin kami mengatakan pelaku dosa besar itu telah murtad dan kafir?
Oh tidak kawan. kami tidak akan bertindak sembrono dgn mengatakan mereka telah kafir atau sesat. Tugas kami adalah mengingatkan saudara kita untuk kembali ke jalan yang benar
dan mengajak mereka bertaubat dengan taubatan nasuha.
“Berhati-hatilah kalian dari bersikap
berlebihan, karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah
karena berbuat berlebihan.” (H.R. Bukhari).
Hal ini tidak ditujukan mencirikan suatu golongan karena sikap berlebihan ini adalah sesuatu yang tercela jika berada di golongan mana saja.
“Nabi
besabda: Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai
kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada
kekerasan dan sifat-sifat lainnya” (H.R. Muslim).
Semoga tulisan pendek ini mampu membuka pintu hati yg keras dan terkunci !
Aamiin.
Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar