Kisah berikut ini mudah2an
dapat menjadi diambil hikmah bagi sahabat yang masih mencari
jodoh maupun bagi para suami dan para istri yang telah menikah. Terkadang
sebuah perangai jiwa terkekang selama puluhan tahun dan baru muncul ke permukaan
setelah lepas tali kekangnya.
Beberapa waktu lalu saya
menghadiri pernikahan salah seorang saudara. Kebetulan mempelai wanita masih
saudara saya. Namun tanpa diduga justru dalam acara resepsi timbul insiden.
Salah seorang kakak wanita dari saudara saya tadi kehilangan suaminya. Padahal
ia datang ke resepsi bersama-sama. HP nya non aktif tidak bisa dihubungi. Kakak
tsb matanya nampak berkaca-kaca. Padahal ia harus berdiri di depan mewakili ibu
nya (yang juga ibu sang pengantin wanita) yang tak dapat menghadiri pernikahan.
Sampai acara resepsi
selesai, suami kakak ini tidak muncul-muncul. Bahkan kami tunggu sampai jam 8
malam pun suaminya tidak menjemput. Akhirnya karena tidak tega kami terpaksa
mengantar kakak itu pulang karena rumahnya satu arah dengan kami yaitu di
daerah Bogor.
Sesampainya di rumah kakak itu, ternyata pagar
terkunci tapi mobil suaminya ada di dalam. Berarti dari tadi suaminya pulang ke
rumah. Akhirnya kakak itu meloncat pagar. Kami masih menunggu di mobil
memperhatikan kakak itu. Ternyata pintu rumah juga dikunci dan sekian lama
diketok tidak dibuka oleh suaminya. Akhirnya pintu itu ditendang beberapa kali
dan akhirnya berhasil di dobrak. Kehebohan ini membuat para tetangga
berdatangan. Babak selanjutnya tentu saja terjadi percekcokan yang sengit.
Sudahlah, kami pulang saja, tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga orang.
Namun keesokan harinya
tiba-tiba kakak tsb datang dengan wajah sembab mungkin karena menangis
semalaman dengan membawa koper dan kedua anaknya. Dia menyatakan sudah tidak
tahan lagi dengan situasi rumah tangganya dan meminta pendapat. Waduh! Saya
bertanya sebenarnya apa yang terjadi pada pesta pernikahan kemarin? Ternyata
katanya suaminya itu tersinggung sewaktu datang ke pesta itu dia sudah duduk
naun tidak ada yang mempersilakan ambil minum. Padahal ia datang memang jam 7
pagi karena istrinya harus dirias mewakili ibunya di pelaminan. Sedangkan semua
orang dan panitia sedang sibuk berdandan. Namun ada juga alasan katanya kenapa
dia tidak mendapat undangan? Alasan ini lebih lucu lagi, karena adik iparnya
sendiri yang jadi pengantin, bahkan istrinya jelas2 berdiri di pelaminan
mewakili ibunya, untuk apa lagi mesti pakai undangan? Dia kan bagian dari
shohibul hajat??
Sebetulnya ini adalah
klimaks dari masalah yang berlarut-larut. Entah sudah ke sekian kali kejadian
seperti ini berulang. Dan setiap kali saya menasehati kakak itu untuk bersabar
siapa tahu nanti akan berubah. Karena walau bagaimanapun perceraian adalah
perkara halal yang dibenci Allah, dan
saya tidak rela menyenangkan iblish dan bala tentaranya karena berhasil
menceraikan anak Adam. Namun ternyata 12 tahun sudah ia bersabar dan suaminya
kakak ini ternyata tidak berubah juga.
Sekilas saya teringat 12
tahun lalu ketika kakak ini menikah. Siapa yang tidak bahagia mendapatkan suami
seorang anak kyai terpandang, badannya jangkung dan wajahnya cukup tampan.
Tutur bahasanya halus sekali dan pandai berbicara. Namun tidak lama setelah
menikah, kejanggalan mulai muncul. Suami kakak itu seperti kurang senang jika
kedatangan saudara. Jangankan saudara istrinya, kakak kandungnya saja hendak
datang malah dia berkata : “mau apa dia datang, jangan-jangan mau pinjam uang”.
Demikian pula ketika bertandang ke rumah saya, dan istrinya masuk ke rumah,
sedangkan tak ada orang yang mempersilakan ia masuk (karena saya tidak ada di
rumah sedangkan istri ketika itu terbaring habis melahirkan) maka ia langsung
marah dan bersumpah selamanya tak akan menginjak rumah saya lagi. Bahkan ketika
ada ibu mertua nya sendiri pun ia tak segan-segan membentak dan menyeret
istrinya pulang, tanpa berpamitan pada ibu mertuanya.
Suami kakak ini sangat halus
tutur katanya. Kepandaian berbicaranya ini menghantarkan ia menjadi marketer
(pemasar) yang handal. Sehingga karirnya pun melejit dan kini telah menjadi
manajer salah satu distributor produk tertentu. Gaji lumayan dan fasilitas
mobil dari perusahaan pun diperolehnya. Namun anehnya selama pernikahan konon
suaminya pelit sekali dan jarang memberi uang. Sampai akhirnya sang istri
terpaksa membuka warung kelontong, itupun modal dari adiknya (bukan dari
suaminya). Walhasil, karena ada penghasilan dari warung, suaminya malah makin
keenakan jarang memberi belanja. Sehingga selama 12 tahun pernikahan, untuk
makan dan sekolah anak-anaknya praktis dari hasil warung tsb. Tapi kalau untuk
membeli berbagai barang mewah ia seperti TV layar plasma yang terbaru, laptop
dll ia royal sekali.
Anehnya, menurut orang tua
dan kakak-kakaknya, sebelum menikah ia sama sekali tak menunjukkan watak
seperti ini. Makanya tak ada yang menyangka ia sekarang bertingkah laku seperti
ini. Ia adalah anak laki-laki
satu-satunya bungsu dari 10 bersaudara. Jadi semua kakaknya wanita. Sejak kecil
sebagai bungsu ia sering dimarahi dan diperintah kakak-kakaknya yang wanita.
Sementara kodratnya sebagai laki-laki sebetulnya menginginkan rasa kuasa.
Sehingga jiwanya merasa tertekan dan baru muncul saat ia telah menikah dengan
cara menunjukkan kuasanya kepada istrinya dan anak-anaknya. Berulang kali ia
bertingkah membentak dan menyeret istrinya justru di hadapan orang banyak ketika
di acara keramaian atau sedang kumpul keluarga.
Upaya menasehati dari kedua pihak
keluarga sudah berulang kali diusahakan namun tetap tak ada perubahan.
Sedangkan suami bersumpah tak akan mau menceraikan istrinya. Apakah karena
cinta? Saya ragu cinta kok seperti ini. Rasanya ia mempertahankan karena tak
mau kehilagan obyek untuk memuaskan rasa kuasanya itu.
Karena kakak itu mendesak
bertanya apakah di dalam Islam ada cara untuk terlepas dari suaminya?. Maka dengan
berat hati saya jelaskan bahwa dalam kasus suami yang menzhalimi istrinya, dan
sang istri sudah tidak tahan lagi maka istri boleh menuntut cerai dari suami.
Istilahnya “khulu”. Caranya cukup menggugat cerai ke hakim, lalu sang istri
mengembalikan mahar yang pernah diberikan suaminya.
Khulu yang pertama kali
terjadi di jaman Rasulullah adalah ketika istrinya Tsabit bin Qais menghadap
Nabi dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mencela akhlak suaminya namun ia
tidak mencintai suaminya karena bertubuh pendek dan berkulit hitam. Ia sudah
mencoba sekian tahun untuk mencintai namun ia merasa tidak lagi bisa mentaati
suaminya dan khawatir tak dapat menegakkan hukum Allah dalam keluarganya. Maka
Nabi SAW bertanya : Maukah engkau mengembalikan kebunnya? (Karena Tsabit bin
Qais memberikan mahar berupa kebun) Istrinya menyatakan sanggup bahkan bersedia
memberikan tebusan tambahan. Maka Nabi SAW menyatakan : Cukup engkau kembalikan
kebunnya dan tambahannya tidak perlu. Lalu Nabi pun memanggil Tsabit bin Qais
dan menyatakan mereka bercerai. (Al-Hadits) Dari hadits ini kita tahu, jika
karena tidak mencintai (karena tidak suka fisiknya) saja dibolehkan untuk
mengajukan khulu, maka apalagi jika nyata2 suami memiliki keanehan kejiwaan dan
menzhalimi istrinya tentu lebih boleh lagi.
Berbeda dengan talak,
pernyataan cerai berada di pihak suami. Pihak suami tak bisa mengambil mahar
yang telah diberikan kepada istrinya bahkan harus memberikan bekal kepada istri
yang disebut mut’ah. Talak juga tak bisa dijatuhkan dalam kondisi marah. Talak
tak boleh dijatuhkan saat masih haid, atau telah dicampuri setelah haid, atau
masih mengandung. Talak baru bisa dijatuhkan saat setelah suci dari haid dan
belum dicampuri. Namun dalam khulu, sang istri boleh kapan saja mengajukan
gugatan cerai itu tanpa menunggu selesai dari haid. Inilah pembelaan dan
kemudahan yang diberikan Islam kepada wanita. Karena jika wanita yang
menginginkan lepas dari suami itu umumnya karena sesuatu yang keterlaluan.
Dalam talak dikenal ada
talak raj’i dan talak bain. Talak raj’i ialah talak yang bisa dirujuki tanpa
harus melakukan akad nikah lagi. Sedangkan talak ba’in, jika rujuk maka harus
dengan akad baru dan memberikan mahar lagi. Jika seorang wanita dicerai, ia
harus menunggu masa iddah yaitu 3X quru’ (3X suci dari haid). Jika dalam 3X
quru’ itu suaminya merujukinya kembali, maka tidak perlu akad nikah baru.
Inilah disebut talak raj’i. Jika setelah lewat 3X quru’ tidak merujiki maka
istri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Namun jika lewat masa iddah ini
suaminya ingin merujuki, maka harus dengan akad baru dan memberi mahar lagi.
Inilah disebut talak ba’in sughro. Aturan ini bisa berlaku dua kali, yang
dikenal dengan Talak 1 dan Talak 2. Jika untuk ketiga kalinya suaminya
menceraikan lagi, maka suami tak bisa merujukinya lagi melainkan sang istri
harus terlebih dahulu menikah dengan laki-laki lain. Jika ia telah cerai lagi,
barulah suami yang sebelumnya bisa merujukinya dengan akad yang baru dan mahar
yang baru. Ini disebut talak ba’in kubro atau Talak 3.
Adapun dalam kasus khulu,
istri tak perlu menunggu 3x quru’. Imam Syafii dalam qaul jadid (pendapat yang
terakhir) menyatakan bahwa khulu’ bukan sejajar dengan talak, melainkan khulu’ sejajar
dengan fasakh (diceraikan oleh hakim) dan massa iddahnya cukup 1x quru’ (1 X
suci dari haid). Dan jika suaminya hendak menikahinya lagi harus dengan akad
baru dan mahar baru. Semoga ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua untuk
berhati-hati dalam memilih pasangan, jangan melihat manis tampak luarnya saja
namun telitilah dengan seksama kondisi lahir batin calon pasangan kita.
Wallahu’alam.
Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar