PERINTAH BERJIHAD
Suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah dari
perbuatan mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu (akibat dari
nahi mungkar tsb) (Q.S. Luqman : 17)
Kedua kaki hambaKu yang diliputi debu dalam Sabilillah
tidak akan disentuh api neraka (H.R. Bukhari)
Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan
lidahmu (H.R. Nasa’i)
Tiada tetes yang lebih disukai Allah daripada setets di
jalan Allah (H.R. Ath-Thawi)
Jihad yang paling baik ialah mengucapkan yang benar di
hadapan penguasa yang zhalim (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i)
Syahid yang terbaik ialah syahidnya Hamzah bin Abdul
Muthalib dan orang yang mengucapkan kebenaran di hadapan penguasa jahat sampai
ia dibunuh (oleh penguasa tsb)(H.R. Al-Hakim)
Dan berjihadlah kamu di jalanNya agar kamu beruntung
(Q.S. 5:35)
Dari Abu Hurairah Nabi SAW bersabda : “Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Bila
mereka telah mengucapkan ini berarti mereka telah memelihara darah dan harta mereka
dariku kecuali dengan haknya, dan hisab mereka berada di tangan Allah (jika
mereka tidak benar dengan perkataannya) (H.R. Bukhari Muslim Abu Daud,
Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).
Imam Ahmad berkata (I/216) berkata Ishaq bin Yusuf
Al-Azraq telah menceritakan kepada kamu dari Sufyan dari Al A’masy dari Muslim
al-Bathin dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata : Ketika Nabi SAW diusir
dari Makkah Abu Bakar Berkata : “Mereka (Quraisy) telag mengusir Nabi mereka,
Innalillaahi wa inna ilaihi roji’un pasti mereka akan binasa”. Lalu turunlah
ayat : telah diijinkan berperang bagi orang – orang yang diperangi (Q.S. 22:39)
.
Maka beliau nabi SAW tahu bahwa akan terjadi peperangan.
Lalu Ibnu Abbas berkata : “Ini adalah ayat yang pertama turun berkaitan dengan
ayat-ayat perang” (H.R. Tirmidzi, Thabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Dari hadits ini diketahui bahwa ayat ini turun ketika
masih di Mekkah, sedangkan surat 22:39 termasuk surat Madaniyah (turun di
Madinah)
AYAT
PERANG SURAT AT-TAUBAH
Surat yang di dalamnya banyak mengandung ayat-ayat
tentang perang adalah Surat At-Taubah.
Ali bin Abi Thalib berkata : Bismillaahirahmaanirrahiim
adalah suatu kedamaian sedangkan surat At-Taubah diturunkan tanpa kedamaian.
Telah diwajibkan bagi kamu untuk berperang (qital)
sedangkan kamu tidak menyukainya. Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal
sesuatu itu baik bagimu dan bisa jadi kamu mencintai sesuatu padahal hal itu
buruk bagi kamu. Allah lah yang mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui
(Q.S. 2 : 216)
Menurut para Mufasir ayat ini (Q.S. 2:216) turun pada
tahun ke-2 hijriyah atau tahun ke-2 di Madinah) dan merupakan ayat yang pertama
turun yang mewajibkan berperang (Munawar Cholil 3/193)
Menurut sejarah, Fathu Mekah terjadi pada 18 Ramadhan
tahun ke-8 Hijriyah dimana 10.000 kaum Muslimin berangkat menaklukan kota
Mekah. Perlu diketahui bahwa setelah penaklukan Mekah maka Rasulullah
menghancurkan berhala-berhala di dalam Ka’bah. Namun kabilah-kabilah di sekitar
Mekah dan negeri-negeri Arab yang jauh masih dibiarkan melakukan peribadatan di
Ka’bah dengan ibadat cara mereka sendiri-sendiri sesuai tradisi jahiliyah.
Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW tak mau secara frontal
merusak konsensus (perjanjian tak tertulis) yang umum ada di kalangan seluruh
penduduk jazirah Arabia bahwa mereka berbagai bangsa dan keyakinan dibolehkan
beribadat di Ka’bah. Memang selama ribuan tahun semenjak Nabi Ibrahim, Ka’bah
telah menjadi pusat peribadatan berbagai bangsa-bangsa. Sesungguhnya ini adalah
puing-puing sisa dari syari’at yang disampaikan Nabi Ibrahim kepada berbagai
bangsa di Timur Tengah. Hanya saja risalah Ibrahim ini telah mengalami
penyelewengan dan distorsi dicampur dengan tradisi dan karangan orang-orang.
Tiap bangsa dam kabilah memiiki kreasi peribadatan sendiri dan memiliki
sesembahan sendiri yang disimpan di dalam atau di sekitar Ka’bah. Lalu semua
bangsa bangsa itu juga bersepakat mengenai keharaman 4 bulan haram dimana
mereka pantang berperang dan menumpahkan darah.
Itu semua adalah perjanjian umum (konsensus) di kalangan
bangsa Arab. Adapun selain itu Nabi SAW juga terikat perjanjian Hudaibiyah
dengan kaum musyrikin Quraisy beberapa waktu sebelum penaklukan Mekah. Oleh
karena itu maka Allah menurunkan surat At-Taubah sampai ayat 24 (Q.S. 9:1-24)
yang diawali dengan pemutusan perjanjian.
Setelah beberapa hari kemudian, Alalh melanjutkan
perintah untuk menyempurnakan kesucian kota Makkah bahwa orang-orang musyrik
dilarang memasuki Makkah. Maka turunlah Q.S. 9:27-28. Sehubungan dengan
turunnya ayat-ayat tersebut, Nabi SAW memerintakan Ali bin Abi Thalib menyusul
Abu Bakar ke Makkah dan menyampaikan ayat ini.
Nabi bersabda pada Ali : “Keluarlah engkau (Ali) dengan
membawa kisah ini dari permulaan surat Bara’ah (pemutusan hubungan) dan
beritahukanlah kepada orang banyak bahwa pada hari Nahar (Qurban) ketika orang
berkumpul di Mina bahwa orang Kafir tidak boleh masuk surga dan orang musyrik
tidak boleh mengerjakan haji mereka (versi jahiliyah) dan orang telanjang tidak
boleh thawaf di Bait dan barang siapa memiliki perjanjian dengan Aku maka
perjanjian tsb akan sampai pada masanya. Ketika Abu Bakar bertemu melihat Ali
datang tergesa gesa Abu Bakar bertanya: Mengapa engkau tergesa gesa apakah Nabi
SAW memerintahkan engkau memimpin jama’ah haji?
Setelah mereka selesai mengerjakan ibadah haji bersama
kaum musyrikin (sebagian masih musyrik) di padang Arafah, berangkatlah
rombongan ke Mina. Di situ Ali berdiri mengucapkan pidato : “Wahai manusia
sesungguhnya orang kafir tidak akan masuk surga dan orang musyrik sesudah tahun
ini tidak boleh mengerjakan haji dan orang telanjang tidak boleh thawaf di
Baitullah. Dan barang siapa masih dalam perjanjian dengan Rasulullah maka
perjanjian itu akan disempurnakan (sampai masa yang diperjanjikan). Beliau SAW
memberi waktu selama 4 bulan mulai dari hari beliau memberitahukan hal ini pada
mereka agar tiap tiap kaum kembali ke negeri mereka. Kemudian setelah itu tidak
ada perjanjian lagi bagi orang musyrik dan tidak pula ada jaminan melainkan
bagi orang yang masih ada perjanjian sampai masa berlakunya.
Setelah penaklukan Mekah barulah terjadi perang Hunain,
perang Mu’tah dan Perang Tabuk melawan pihak Romawi. Pada bulan Dzulqaidah tahun ke-9 Hijriyyah
Nabi memerintahkan kepada Abu Bakar Ash Shiddiq untuk memimpin jama’ah haji
kaum muslimin dari Madinah sebanyak 300 orang menuju Mekah. Hal ini dikarenakan
Nabi sibuk mengirim utusan dan dakwah ke berbagai bangsa dan sebagai akibatnya
setiap hari datang utusan dari berbagai negeri untuk menyatakan ketundukan dan
keislaman mereka. Hal ini juga buah dari kemenangan kaum Muslim dalam perang
Tabuk melawan pasukan Romawi dari Syiria. Maka pamor dan imej kaum muslimin naik
dan disegani di kalangan berbagai bangsa.
Maka pada waktu itu Abu Bakar dalam perjalanan ke Mekah
turun wahyu kepada Nabi di Madinah yang kemudian diurutkan oleh Nabi sebagai
Q.S. 9: 1-24 dan ayat 5 yang berbunyi : “Bunuhlah orang musyrik dimana saja kamu
jumpai, tangkap lah dan kepunglah mereka….
Ibnu Abbas mengatakan : Allah SWT menyuruh Nabi SAW untuk
memerangi orang yang terikat perjanjian dengan beliau jika mereka tidak mau
masuk Islam. Dan segala bentuk ikatan perjanjian dinyatakan gugur (setelah masa
tenggang 4 bulan) Ad-Dhahak mengatakan : ayat At-Taubah menghapuskan segala
transaksi yang terjadi antara Rosulullah dengan orang-orang musyrik.
Menurut Imam Ahmad : Surat Al Bara’ah (At Taubah)
termasuk surat yang akhir diturunkan (menjelang Rasulullah wafat) dan ayat 5
nya disebut ayat pedang.
Ayat ini yang berbunyi : Apabila sudah habis bulan-bulan
haram (4 bulan) maka bunuhlah orang musyrik dimanapun kalian jumpai mereka,
tangkaplah mereka, kepunglah dan intailah mereka di tempat pengintaian
(Q.S 9:5) menghapuskan dan membatalkan
(nasakh) ayat-ayat sebagai berikut :
1. Kewajiban
Rosul hanyalah menyampaikan (Q.S. 5 : 99)
2. Dan
Kami tidak menjadikan kamu sebagai pemelihara mereka (Q.S. 104 & 107)
3. Dan
tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamamu sebagai main-main dan senda
gurau (6:70)
4. Barang
siapa melihat kebenaran maka manfaatnya bagi mereka sendiri barang siapa
melakukan dosa maka kerugian bagi dirinya sendiri (Q,S. Al an’am:104)
5. Maka
tinggalkanlah apa apa yang mereka ada-adakan (Q.S. 6:137)
6. Tunggulah
oleh kalian sesungguhnya kami menunggu pula (Q.S. 6:158)
7. Dan
berpalinglah kamu dari orang-orang bodoh (Q.S. AL araaf:199)
8. Maka
maafkanlah mereka dengan cara yang baik (Q.S. Al-Hijr 85)
Dan
ayat ayat lain yang seluruh nya berjumlah 124 ayat
Namun Yusuf Qardhawiy menyatakan bahwa argumen serta
dalil yang menyatakan bahwa ayat pedang (Q.S. 9:5) membatalkan ratusan ayat
lain adalah lemah dan tidak masuk akal. Tidak ada hadits yang nyata menerangkan
pembatalan tersebut. Yang benar adalah bahwa masing-masing ayat memiliki
kondisi dan situasi tersendiri dalam penerapannya. Ketika umat Islam sedang
lemah maka strategi dakwah diterapkan sebaik baiknya. Adapun jika telah berdiri
pemerintahan dan kekuasaan umat Islam yang kokoh maka law enforcement
(penegakan hukum) diterapkan.
Lebih lanjut Yusuf Qardhawiy mengatakan bahwa nasikh dan
mansukh mensyaratkan adanya 2 ayat atau lebih
atau hadits yang saling bertentangan. Nasikh dan mansukh tak bisa
dijadikan pergangan kecuali ada pertentangan yang nyata antara dua nash atau
lebih sehingga tak bisa dipadukan dan mustahil memberlakukan keduanya (Kitab
Kaifa Nata’mal ma’al Qur’an Al Azhim)
PERINTAH
BERPERANG
Salah satu pembahasan yang hangat di masyarakat adalah
benarkah Islam memerintahkan untuk berjihad dalam artian membunuh (qital) atau
berperang? Dan jika benar demikian, apakah perang itu dengan tujuan membela
diri (defensif) atau menyerang (ofensif)?
Jika benar ada perang yang bersifat ofensif (inisiatif
menyerang duluan bukan karena diserang), bukankah itu membenarkan tuduhan bahwa
Islam disebarkan dengan pedang sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang-orang
Barat? Jika memang ada perintah untuk menyerang, maka kapankah hal itu
dilakukan? Apakah hal itu boleh dilakukan atas inisiatif individu
(perseorangan)? Apakah penyerangan itu boleh dilakukan oleh sekelompok atau
segelintir orang muslim? Ataukah penyerangan itu baru boleh dilakukan oleh
institusi negara Islam?
Kenyataannya, memang Islam bukanlah agama yang mengajarkan
menjadi pengecut dan pasrah berdiam diri ketika umatnya diserang. Dalam
Al-Qur’an memang bertebaran ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk bangkit
melawan dan membela diri dari kezhaliman dan penganiayaan.
Bahkan sejarah menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat
yang heroik (berjiwa pahlawan). Hampir kebanyakan pahlawan-pahlawan melawan
penjajahan Barat (dalam sejarah Indonesia) baik dari mulai jaman
kerajaan-kerajaan jaman dahulu kala hingga jaman modern menjelang kemerdekaan
Indonesia, dipelopori atau dipimpin oleh kyai atau ulama.
BERPERANG
UNTUK MEMBELA DIRI
Telah
diijinkan berperang bagi orang –orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka itu telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, semata-mata hanya karena mereka berkata “Tuhan
kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian lainnya, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani
dan rumah ibadat Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah. (Q.S.
22:39)
Dari ayat di atas kita dapat menangkap beberapa hal
sebagai berikut :
1. Telah diijinkan berperang, artinya
sebelumnya ada masa-masa umat muslim diperintahkan menahan diri untuk tidak
berperang
2. Alasan diijinkan berperang itu karena umat
muslim telah lebih dahulu dianiaya dan diserang. Artinya berperang di sini
bersifat defensif (membela diri) bukan ofensif (menyerang)
“Dan
perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya” (Q.S. 9:36)
“Jika
mereka memerangi kamu (terlebih dahulu) maka perangilah mereka. Demikianlah
balasan bagi orang-orang kafir” (Q.S. 2:191)
“Oleh karena itu barang
siapa menyerang kamu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya kepadamu”
(Q.S. 2:194)
Mengapa kami tidak mau
berperang di jalan Allah padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak
kami? (Q.S. 2:246)
Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tapi jangan
melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Dan bunuhlah mereka dimana kamu temui mereka, dan usirlah mereka darimana
(dahulu) mereka telah mengusir kamu (Q.S. 2:190-191)
3. Orang yang telah memerangi itu pantas untuk
diberi balasan yang sepadan dan Allah berkehendak menyiksa
“Perangilah mereka, niscaya
Allah akan menyiksa mereka dengan perantara tangan-tangan mu” (Q.S. 9:14)
BERPERANG
SEBAGAI HUKUMAN ATAS PENGKHIANATAN ATAU PELECEHAN
Terkadang perintah berperang itu adalah untuk membalas
tindakan pelecehan dan penghinaan orang kafir terhadap Allah dan Rasulnya
sebagaimana ayat berikut ini :
Jika mereka merusak sumpahnya (perjanjian Hudaibiyah)
sesudah mereka berjanji, dan mencaci maki agamamu maka perangilah pemimpin
orang kafir itu (Q.S. 9:12)
Maka berperanglah kamu di jalan Allah (fii sabilillah) tidaklah kamu dibebani
melainkans sesuai kesanggupan sendiri (Q.S. 4:84)
Dan berperanglah kamu sekalian (secara berjamaah) di
jalan Allah (fii sabilillah) ketahuilah
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. 4:84)
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang
kafir di sekitar mu itu (yang telah menyerangmu) dan hendaklah mereka merasakan
sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama-sama orang yang takwa
(Q.S. 9:123)
BERPERANG
UNTUK MENEGAKKAN SYARI’AT ALLAH
Namun dalam ayat-ayat dan hadits lainnya kita mendapati
bahwa perintah berperang itu bersifat ofensif (menyerang), bukan dengan tujuan
membela diri (defensif) melainkan untuk menundukkan manusia agar mau menerima
kalimat “Laa ilaaha illa Allah”.
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata bagi Allah” (Q.S. 2:193)
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata bagi Allah” (Q.S. 8:39)
“Sebab itu, perangilah kawan-kawan setan itu” (Q.S. 4:76)
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak pula pada hari kemudian, mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan Allah dan RosulNya dan mereka tidak beragama dengan benar, yaitu
orang-orang yang telah (pernah) diberi kitab, hingga mereka (mau) membayar
jizyah, sedang mereka dalam keadaan tunduk (pada pemerintahan muslim) (Q.S.
9:29)
Dari Abu Musa r.a. Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa
berperang (qotalu) untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi maka itulah (yang
disebut) fii sabilillah (di jalan Allah)(H.R. Bukhari)
Dari Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW bersabda : aku
diperintah memerangi orang-orang hingga mereka mengakui Laa ilaaha illa Allah.
Maka siapa yang telah mengucap Laa ilaaha illa Allah telah terpelihara
daripadaku jiwa dan hartanya kecuali menurut kewajiban dalam Islam (yaitu
membayar zakat hartanya harus dipungut) (H.R. Bukhari Muslim)
Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabd
a : Aku diperintah
untuk memerangi oang-orang hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasulullah serta sampai mereka menunaikan shalat dan
membayar zakat (H.R. Bukhari Muslim)
BERBAGAI
ALASAN BERPERANG
Pada uraian
sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa di dalam Al-Qur’an memang bertebaran
berbagai ayat yang memerintahkan berperang. Demikian pula kita jumpai nuansa
yang sama dalam hadits Rasulullah SAW. Namun
di sisi lain kita juga menjumpai ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan
kita untuk bersabar, menahan diri, berdialog dan berdakwah dengan baik, tidak
ada paksaan dalam agama, serta menahan diri walaupun umat muslim dilecehkan dan
diserang. Sepintas lalu di sini kita
mendapati inkonsistensi (ketidak samaan
di satu saat ke saat yang lain), dan kontradiksi (saling berlawanan).
Jika kita tidak terlebih dahulu mengumpulkan dan merenungkan
berbagai ayat dan hadits yang bertebaran itu, niscaya kita akan terjebak pada
salah satu dari 2 golongan yang sama-sama salah, yaitu :
1. Golongan orang-orang yang berkesimpulan bahwa
dalam Islam tidak ada perintah berjihad dan kita harus senantiasa berdamai dan
mengalah saja serta semata-mata berdialog dengan orang-orang kafir.
2. Golongan orang-orang yang sembrono dan
terburu nafsu yang menggampangkan perang
bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, serta seolah tidak ada jalan lain
dalam memperjuangkan syari’at Islam kecuali dengan mengangkat senjata.
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertebaran itu, dapat
kita petakan berbagai hal sebagai
berikut :
1. Perang dilakukan untuk membela diri karena
umat muslim telah dianiaya dan diusir dari kampung halamannya (Q.S. 22:39)
Ustadz
Muhammad AhmadAl’Adawy dalam Kitab Da’watur Rasul menulis : “sesungguhnya jika
kita perhatikan benar-benar apa yang dikisahkan Allah tentang sebab-sebab
perang dalam Islam, niscaya akan Engkau jumpai bahwa perang itu tidak
disyari’atkan oleh Islam untuk menyuruh kalian menyukai pertumpahan darah,
meruntuhkan rumah tangga atau meyatimkan anak-anak, melainkan hal itu
disyari’atkand dengan pengetahuan Allah. Meskipun dalam peperangan itu
mendatangkan bahaya namun hal itu disyari’atkan juga untuk menolak bahaya yang
lebih besar lagi yaitu kekafiran. Sekiranya Allah tidak membolehkan manusia menolak
kekerasan dengan kekerasan dan menolak permusuhan dengan permusuhan lagi, maka
niscaya tak akan langgeng tegak kebenaran di muka bumi ini dan tak akan
disembah Allah dengan segala aturan ibadatnya”.
2. Perang dilakukan karena hukuman atas
dikhianatinya perjanjian perdamaian (Q.S. 9:12)
3. Perang dilakukan oleh pemerintah (khalifah)
kaum muslimin karena penolakan syariat Islam yaitu tidak mau mengharamkan yang
diharamkan Allah, tidak mau sholat dan tidak mau membayar zakat (Q.S. 9:29).
Ayat
inilah yang menjadi landasan khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ketika memerangi
suatu kabilah yang menolak membayar zakat.
4. Perang dilakukan karena membalas pelecehan
terhadap kaum muslimin (Q.S. 9:123). Hal inilah yang melatar belakangi perang
Badr dimana dipicu oleh pelecehan kaum musyrikin terus menerus dan puncaknya
ketika salah seorang kafir melecehkan seorang muslimah di pasar Madinah.
5. Perang dilakukan dilakukan untuk menundukkan
manusia agar agama itu hanya untuk Allah (Q.S. 8:39) (2:193)
KAPANKAH
BERPERANG ITU DILAKUKAN?
Kemudian kita dapat mengupas lebih lanjut, apakah
alasan-alasan perang di atas itu ada masa-masanya? Apakah alasan-alasan perang dilakukan
itu berdasarkan tahapan-tahapan yang berurutan? Misalnya ketika terjadi
pelecehan atau penghinaan terhadap agama, apakah harus terlebih dahulu
berdialog, kemudian jika mereka tidak juga berhenti dari melecehkan Islam
barulah kita mengangkat senjata? Ataukah tidak ada tahapannya melainkan
berdasarkan kondisi dan situasi kaum muslimin saja? Misalnya jika kita lemah
maka berdialog dan jika kita kuat maka langsung kita perangi saja? Memahami
persoalan ini sangat diperlukan agar kita tidak terjebak pada sikap dan
tindakan yang gegabah karena persoalan peperangan berarti pesoalan dengan nyawa
manusia, dan Islam tidak menggampang-gampangkan dalam persoalan nyawa manusia
(terlepas ia muslim atau kafir).
“ Barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain
atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi maka seakan akan ia telah
membunuh semua manusia”. (Q.S. 5:32)
PADA
SAAT UMAT ISLAM LEMAH MAKA DIANJURKAN TIDAK MELAWAN
Dari Ibnu Abbas berkata Abdurrahman bin Auf dan para
sahabat mendatangi Nabi SAW ketika di Mekkah, lalu mereka mengatakan : “wahai
Rasulullah, kami dahulu dalam kemuliaan sedangkan kami masih dalam keadaan
musyrik, lalu (kini) ketika kami telah beriman kami (merasa) menjadi orang yang
lemah (karena dianiaya namun tidak melawan). Maka Nabi SAW bersabda : “Aku
diperintahkan untuk memaafkan dan jangan berperang” Kemudian turunlah Q.S.
4:77. (H.R. An Nasa’i dan Al-Hakim)
“Tidakkah
engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka “Tahanlah
tanganmu (dari berperang)”, laksanakanlah (dalam kondisi ini) salat dan
tunaikan zakat” Ketika mereka diwajibkan berperang tiba-tiba sebagian mereka
takut kepada manusia (pihak musuh) seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih
takut lagi. Mereka berkata : “ya Tuhan kami mengapa Engkau wajibkan (berperang)
kepada kami ? Mengapa tidak Engkau tunda beberapa waktu lagi?” Katakanlah :
“Kesenangan di dunia itu hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dizhalimi sedikitpun”.
(Q.S. 4:77)
Alm. Sayyid Qutbh dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an
mengatakan ketika menafsirkan ayat ini bahwa : “Mereka kini telah diizinkan
berperang karena dizhalimi setelah mereka ditahan untuk tidakberperang ketika
di Mekkah dulu. Tokoh-tokoh seperti Umar binKhattab dan Hamzah bin Abdul
Muthalib harus menahan diri untuk tidak mengangkat senjata walaupun terus
dilecehkan dan dianiaya.
Pada saat situasi inilah umat Islam harus mampu bersabar
dan memaafkan orang yang menganiaya mereka dengan kesabaran yang tinggi.
“Maka
maafkanlah mereka dengan cara yang baik” (Q.S. Al-Hijr 85)
Surat Al-Hijr adalah surat Makkiyyah, artinya diturunkan
saat Rasulullah SAW masih di Mekkah. Dengan kata lain saat itu umat Islam belum
memiliki institusi pemerintahan yang otonom
dan belum memiliki kekuatan yang memadai untuk melawan.
PADA
SAAT UMAT ISLAM AGAK KUAT MAKA DIANJURKAN MEMBERI PELAJARAN
Pada saat umat muslim telah memiliki institusi pemerintahan
yang otonom di Madinah dengan pengikut yang berimbang (dibanding musuh mereka
di Mekkah), demikian pula syri’at Islam telah tegak dalam masyarakat tersebut
dan mereka bisa diajak komitmen untuk berjihad bagi Islam , maka boleh
dikatakan kondisi umat Islam sudah agak kuat.
Situasi awal di Madinah (sekitar 1 tahun setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah) adalah situasi dimana umat Islam sudah agak-agak
kuat. Dalam situasi ini kaum muslimin diijinkan untuk berperang dan membalas
pengusiran mereka dari Mekkah.
Telah
diijinkan berperang bagi orang –orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka itu telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, semata-mata hanya karena mereka berkata “Tuhan
kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian lainnya, tentulah telah dirobohkan biara-boara Nasrani
dan rumah ibadat Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah.
(Q.S. 22:39)
Alm. Sayyid Qutbh dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an
mengatakan ketika menafsirkan ayat ini bahwa : Ijin berperang baru diberikan
pada surat-surat Madaniyyah yaitu ketika telah berdiri institusi negara /
daulah yang kokoh dengan pengikut yang berimbang.
Untuk itu sebelumnya dituntut dari kaum muslimin untuk
membangun kekuatan yang sanggup menggentarkan musuh-musuh Allah.
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari
kuda-kuda yang ditambat (yang dengan itu) kamu menggentarkan musuh-musuh Allah”
(Q.S.Al-Anfaal :60)
Ali bin Abi Thalib berkata : “Kembalikanlah batu itu dari
mana ia datang (dilempar) karena sesungguhnya kejahatan itu tak dapat ditolak
kecuali dengan kekerasan pula”
JIKA
MEREKA BERHENTI MEMERANGI MAKA KITA JUGA HARUS BERHENTI BERPERANG
Tetapi jika mereka berhenti (dari memerangi mu) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. 2:192)
Dan jika mereka condong pada perdamaian maka condonglah
(kamu) kepada nya (perdamaian itu) dan bertwakallah pada Allah (Q.S. 8:61)
Namun jika mereka membiarkan mu dan tidak memerangi kamu
serta mengajukan perdamaian padamu, Allah tidak memberi jalan bagimu untuk
(memerangi) mereka. (Q.S. 4:90)
ADAB-BERPERANG
Beberapa waktu lalu kita mendengar kelompok yang ektrim
ini mengubah modusnya yaitu dengan memasukkan racun ke dalam botol aqua yang
kemudian diletakkan di kantin-kantin kantor Polisi. Jelas orang-orang yang
mengaku sedang berjihad melawan thogut ini tidak mengerti adab-adab berperang
di dalam Islam. Itupun jika memang bisa dikatakan mereka sedang dalam situasi
berperang.
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, tapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana kamu temui mereka, dan usirlah
mereka darimana (dahulu) mereka telah mengusir kamu (Q.S. 2:190-191)
Dari ayat di atas jelas dikatakan bahwa jangan “melampaui
batas” dalam berperang dan Allah sangat tidak menyukai orang –orang yang
melampaui batas.
Alm. Sayyid Qutbh dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an
mengatakan ketika menafsirkan ayat ini bahwa : “tindakan melampaui batas
terjadi ketika memerangi orang-orang yang tidak ikut terlibat dalam peperangan
dan tindakan melampaui batas juga terjadi jika memerangi penduduk sipil yang hidup damai dan menginginkan keselamatan
yang tidak merupakan ancaman terhadap Islam dan jama’ah kaum muslimin seperti
wanita, anak-anak, orang tua dan para rahib (ahli ibadah) yang berkonsentrasi
hanya beribadah”.
Rasulullah melarang menebarkan racun di negeri-negeri
musuh (H.R. Ath Thawi)
“Janganlah kamu berkhianat, janganlah kamu melakukan
sadisme pada musuh, jangan membunuh anak-anak, wanita dan orang tua” (H.R.
Ath-Thabrani & Abu Daud)
Pada tahun 90-an kita mendengar bagaimana sadisnya bangsa
Serbia yang notabene Kristen Orthodoks di Eropa Tengah, membantai ribuan muslim
Bosnia dan Kroasia. Baik anak-anak maupun wanita mengalami kekejaman yang
paling sadis dalam sejarah kemanusiaan semenjak kekejaman Hitler, Komunis Rusia
ataupun Rezim Komunis di Vietnam dan Kamboja. Namun kita sebagai Muslim dengan
alasan apapun tidak boleh melakukan balas dendam dengan kesadisan yang serupa.
Itulah yang dilakukan ketika para mujahidin Arab datang ke Bosnia membantu
membebaskan Bosnia dari kekejaman Serbia. Kedatangan para Mujahidin tsb untuk
menolong saudaranya yang muslim dan menghentikan kebiadaban bangsa Serbia,
bukan untuk membalas dendam. Sehingga mereka tidak membalas melakukan kesadisan
serupa kepada tentara Serbia. Itulah jihad yang benar yang sesuai dengan
tuntunan Islam.
Dari Ibnu Umar r.a. berkata suatu ketika ditemukan
seorang wanita terbunuh pada peperangan Rasulullah, lalu Rasulullah melarang
membunuh wanita dan anak-anak (H.R. Bukhari Muslim, Malik Abu Daud dan
Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah mengatakan Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya api tidak boleh dipakai untuk menyiksa kecuali oleh Allah” (H.R.
Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi)
Hal ini tentu berbeda dengan jika kita menggunakan
senjata api atau bom dalam peperangan, dimana bom bisa saja menghasilkan api
yang membakar musuh. Namun pada dasarnya kaum Muslimin tidak dibolehkan sengaja
membakar manusia atau bahkan hewan sekalipun baik untuk menyiksa atau membunuh.
Dari Abu Ya’la berkata : Kami pernah berperang bersama Abdurrahman
bin Khalid bin Walid kemudian ia datang dengan membawa (tawanan) 4 orang musuh
yang kekar, lalu ia memerintahkan agar mereka dibunuh dengan punggung pedang
(Bagian yang tumpul dengan tujuan menyiksa mati perlahan-lahan). Lalu berita
ini sampai pada Abu Ayyub Al-Anshori, maka ia (Abu Ayyub) berkata : Aku pernah
mendengar Rasulullah SAW melarang membunuh dengan punggung pedang, Demi jiwaku
yang ada di tanganNya, sekalipun ayam yang kubunuh tak akan kulakukan dengan
cara demikian. Ketika perkataan ini sampai pada Abdurrahman maka ia pun
memerdekakan 4 budak (sebagai tebusan kesalahannya) (H.R. Abu Daud dan Ahmad)
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah berwasiat kepada
prajuritnya : “Kalian akan mendapati orang yang mengaku bahwa mereka hanyalah
ahli ibadah (Yang tak ikut berperang) maka biarkanlah mereka dan janganlah ada wanita, anak-anak
dan orang lanjut usia yang dibunuh” (H.R. Malik)
Dari Buraidah berkata : Adapun Rasulullah SAW bila
mengangkat seorang amir pasukan atau sariyah (ekspedisi) beliau menyampaikan
wasiat agar bertaqwa pada Allah dan berwasiat kepada kaum muslimin yang
menyertainya (Sebagai pasukan) agar berbuat baik, lalu Nabi SAW bersabda :
“Bunuhlah orang yang kafir kepada Allah, perangilah mereka tapi jangan kalian
berkhianat, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak” (H.R. Muslim, Abu
Daud dan Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Yazid Al-Anshori r.a. berkata :
Rasulullah melawang perbuatan merampas dan membunuh dengan cara mencincang
(H.R. Bukhari, Abu Daud, Ahmad, Thabrani, Ibnu Abi Sya’ibah)
Dari Abu Hurairoh r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda
: “Apabila salah seorang di antara kamu membunuh dalam peperangan hendaklah ia
menghindari bagian wajah” (H.R. Bukhari Muslim)
ANTARA
LABEL FORMAL DAN HAKIKAT
Dalam atsar riwayat Abu Ubaid diceritakan : Ketika Umar
bin Khattab berkuasa menjadi khalifah maka orang-orang Bani Taghlib yang
beragama Nasrani menolak penggunaan istilah jizyah, yaitu pungutan semcam pajak
yang dikenakan kepada penduduk non-muslim di bawah perlindungan pemerintahan Muslim.
Mereka mau membayar asalkan diubah menjadi istilah shodaqoh. Maka Umar setuju
saja karena soal istilah tidaklah prinsip, padalah istilah jizyah itu berasal
dari firman Allah dalam Qur’an.
Umar berkata : “Mereka adalah kaum yang bodoh, mereka
senang dengan makna hakikatnya namun menolak menggunakan istilahnya”. Sebagian
riwayat mengatakan Umar berkata : “Namakanlah oleh kalian apa saja namanya”.
Demikian pula ketika Umar menemukan ada seorang Yahudi
tua renta yang mengemis dari rumah ke rumah maka Umar menyetujui untuk
mengambil dana dari Baitul Maal umat Muslim bahkan memberi jaminan bantuan bagi
orang tsb sepanjang sisa hidupnya. Umar lalu mengutip Q.S. At-Taubah :60
“sesungguhnya sedekah itu adalah untuk orang-orang fakir dan orang miskin
(tanpa menyebutkan apakah ia muslim atau kafir)” (Al-Kharaj Abu Yusuf Juz 2 Hal
715)
Umar melakukan itu karena memandang masalah istilah atau
penamaan label tidak membahayakan Islam sepanjang hakikatnya terlaksana. Maka
tidak masalah jika sekarang diistilahkan dengan pajak, jaminan sosial atau
apapun namanya.
Bahkan Nabi SAW pernah mengirimkan harta kepada penduduk
Mekah ketika terkena bencana alam padahal ketika itu belum Futuh Mekah dengan
kata lain Mekah masih merupakan Darul Harb yaitu daerah kafir yang memerangi
Islam.
Abu Ubaid meriwayatkan dalam Kitab Al-Amwal, sebuah
hadits dari Sayyid Al-Musayyab bahwa Rasulullah pernah bersedekah pada sebuah
keluarga Yahudi.
Dari Annas r.a. mengatakan bahwa Nabi SAW pernah
menjenguk sebuah keluarga Yahudi yang sedang sakit dan menawarkan Islam kepada
mereka (H.R. Bukhari)
Bahkan mungkin kita tidak menyangka jika suatu ketika
Nabi mengijinkan Non-Muslim memasuki masjid dan beribadah di dalamnya.
Dari Ibnu Ishaq dalam Kitab Sirohnya meriwayatkan utusan
negeri Najran yang Nasrani pernah menghadap Rasulullah SAW dan diterima di
dalam masjid. Lalu ketika tiba waktu sembahyang sore hari (Nasrani pada zaman
itu masih sholat 3 waktu sehari namun kiblat menghadap Baitul Maqdis) mereka
hendak sholat di masjid. Orang-orang mencegahnya tapi Nabi SAW bersabda :
“Biarkanlah mereka” Lalu mereka menghadap ke Timur (Baitul Maqdis) dan sholat
(dengan cara mereka sendiri).
Berdasarkan hadits ini Ibnul Qoyyim Al-Jauzi dalam Kitab
Hadyun Nabawi berkata membolehkan Non-Muslim memasuki masjid dan bersembahyang
sepanjang itu dalam keadaan musafir dan tidak menjadi kebiasaan. Hal ini
berbeda dengan anggapan kebanyakan orang selama ini yang melarang non-muslim
masuk ke masjid karena dianggap najis.
Kita harus mencontoh Nabi yang cerdik dan luwes dalam berdakwah,
tidak mengutamakan label formal melainkan mementingkan hakikat dan keuntungan
dakwah jangka panjang. Strategi ini terutama dilakukan ketika kondisi Umat
Islam sedang lemah berhadapan dengan kekuatan kafir. Jika kita bersikeras
mengutamakan label formal sedangkan dampaknya pada dakwah sering tidak
dipikirkan. Kondisi saat ini lebih parah lagi, jangankan orang non-muslim,
orang muslim sendiri sering alergi dan antipati terhadap legalisasi syari’at
Islam. Sehingga sebelum berhadapan dengan non muslim pun malah dari kalangan
internal muslim sendiri yang lebih sengit menentang syari’at Islam.
Kita harus meneladani Nabi SAW ketika melakukan negosiasi
dengan Kafir Mekah dan menandatangani perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu utusan
juru runding dari Quraisy yaitu Suhail bin Amr menolak ditulisnya kalimat
Bismillaahirrahmaanirrahiim pada kertas perjanjian. Maka disepakati untuk
diganti dengan Bismikallahuma saja.
Demikian pula Suhail keberatan dituliskan kata “Muhammad Rosulullah”.
Suhail berkata : “kau tuliskan saja
namamu dan bapakmu!” karena Suhail tidak
mau mengakui Muhammad sebagai Rosulullah. Sehingga Rosulullah mengganti menjadi
“Muhammad bin Abdillah”. Umar dan para sahabat lain yang menyaksikan proses
negosiasi ini terbelalak dan hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Apalagi ketiika isi perjanjian itu sangat berat sebelah diantaranya : Jika ada
orang Quraisy yang masuk Islam dan lari ke Madinah maka harus diserahkan
kembali ke Mekah. Sedangkan jika ada orang Islam yang murtad lari ke Mekah, Quraisy
tidak berkewajiban mengembalikan ke Madinah.
Namun karena ketajaman
strateginya Rasulullah mengalah dan menyetujui isi perjanjian itu. Jika saat
itu yang dikedepankan adalah sikap gengsi atau mementingkan label formal maka
tentu Rasulullah merasa terhina dan tidak bisa menerima isi perjanjian itu.
Jika demikian, maka posisi Islam yang sedang lemah ketika itu akan berhadapan
dengan musuh yang masih kuat. Padahal Islam membutuhkan jeda waktu yang cukup
untuk berkembang dan menyusun kekuatan.
Hal strategi jangka
panjang di balik ini tidak bisa ditangkap oleh Umar dan para sahabat lainnya.
Hanya Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib yang tetap tsiqoh (percaya) dengan apa
yang dilakukan Rasulullah. Sampai sampai saat itu para sahabat diliputi
keraguan : “Benarkah yang berada di hadapan mereka kini adalah Rosulullah?”
Umar sampai menghampiri Abu Bakar lalu berkata : “Bukankah dia ini Rasulullah?”
Abu Bakar menjawab : “Benar”. Lalu Umar bertanya lagi : “Bukankah kita ini
muslimin?” Abu Bakar menjawab : “Iya memang”. Umar berkata : “Lalu kenapa kita
mau saja direndahkan dalam soal agama?” Abu Bakar menjawab : “Duduklah di
tempat mu! Aku bersaksi bahwa ia benar-benar Rasulullah”. Dengan keimanan yang
mantap Abu Bakar tetap percaya dengan apa yang dilakukan Rasulullah.
Para sahabat semakin
geregetan dan hampir guncang iman mereka ketika belum selesai perjanjian itu
ditandatangani, tiba-tiba datang Abu
Jundal bin Suhail bin Amr (anak kandung Suhail) melompat lompat dalam keadaan
terikat. Ternyata Abu Jundal masuk Islam lalu disiksa oleh Quraisy. Lalu ia
berhasil melarikan diri dalam keadaan terikat dan bersusah payah lari ke
Madinah dengan dikejar oleh pasukan Quraisy. Melihat hal itu Suhail (juru
runding yang notabene ayah dari Abu Jundal) berkata : “Wahai Muhammad, ini
adalah yang pertama kutuntut darimu agar menepati perjanjian supaya Engkau kembalikan dia kepadaku”.
Nabi
SAW menjawab : “Tapi kita belum menyelesaikan perjanjian?” Suhail dengan arogan
menjawab : “Demi Allah kalau begitu aku tidak akan mau membuat perjanjian
selamanya”. Akhirnya Nabi SAW pun mengalah dan menyerahkan Abu Jundal. Seketika
itu juga Abu Jundal berteriak : “Wahai Muslimin.. wahai muslimin apakah kalian
kembalikan aku pada kaum musyrikin padahal aku datang dalam keadaan muslim?” Tidakkah kalian lihat aku tersiksa?”
Semua sahabat Nabi yang
hadir di situ geram dan hendak mencabut pedangnya. Umar tidak sabar lagi dan segera menghambur
mendekati Rasulullah dan berkata : “Bukankah engkau ini Nabiyullah yang
sebenarnya?” Nabi menjawab : “Tentu” Dengan gemetar menahan emosi Umar berkata
lagi : “Bukankah kita dalam kebenaran dan musuh dalam kebatilan?” Nabi menjawab
lagi : “Ya benar”. Umar berkata : “Lalu
mengapa kita memberikan kehinaan pada agama kita?” Beliau SAW menjawab :
“Sungguh aku ini Rasulullah dan aku tidak mendurhakai Nya dan Dia (Allah)
adalah penolongku”.
Semua orang yang hadir dengan mata berkaca-kaca menahan
perasaan menyaksikan Abu Jundal kembali diseret oleh pasukan kafir Quraisy .
Ternyata dalam perjalanan menuju Mekah, Abu Jundal kembali berhasil meloloskan
diri dan lari bersembunyi ke sebuah dusun orang Baduy. Untuk menenangkan
kegusaran Umar, Allah menurunkan Q.S. Al-Fath : 1-2 “Inna fatahna laka fathamubiina..” Umar
bertanya : “Wahai Rasulullah apakah ini berarti kemenangan?” Nabi menjawab :
“Ya, demi dzat yang diriku ada di tanganNya sesungguh nya ini adalah
kemenangan”. (H.R. Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Al-Hakim)
Maka strategi mengalah
Rasulullah ini memang ternyata membawa kemenangan. Gencatan senjata ini
dimanfaatkan Rasulullah untuk meluaskan dakwah ke segenap Jazirah Arabia,
hingga Yaman dan Bahrain. Beberapa bulan setelah perjanjian Hudaibiyah ini
Rasulullah berhasil menaklukkan Mekah dengan membawa 10.000 pasukan hasil dari dakwah beliau ke
seluruh Arabia.
Tolong menolonglah kamu
dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan (Q.S. 5:2)
BERHUKUM PADA
HUKUM ALLAH
Salah satu persoalan yang sering berpusar pada
pemuda-pemuda yang bersemangat adalah adanya ayat-ayat yang menyuruh orang
beriman untuk berhukum pada hukum Allah. Sebenarnya hal ini tidak masalah. Yang
menjadi masalah adalah ketika pemuda-pemuda yang bersemangat ini memahami teks
ayat sebagaimana teks apa adanya dan kemudian menganggap orang yang tidak
berhukum pada hukum Allah itu adalah kafir. Padahal jika dikupas-kupas, masalah
“berhukum pada hukum Allah” ini tidak sesederhana dalam ucapannya.
Ungkapan “berhukum pada hukum Allah” itu sendiri perlu
diperjelas seperti apa wujudnya. Apakah harus mencantumkan secara teks dalam
dokumen kenegaraan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Qur’an? Dalam konteks
ke-Indonesia-an, hal ini diwujudkan dalam teks piagam Jakarta sebagaimana
dituntut oleh sebagian pejuang muslim pada saat awal berdirinya Indonesia dulu.
Sehingga dicoretnya kata-kata ini menjadi argumen bagi sebagian orang bahwa
saat ini kita (muslimin Indonesia) tidak berhukum pada hukum Allah walaupun
mereka menegakkan sholat, menunaikan zakat dan melaksanakan perintah Allah
lainnya serta meninggalkan larangan Allah lainnya.
Demikian pula apakah “berhukum pada hukum Allah” bisa
diterapkan pada perseorangan saja? Atau harus secara kolektif (sekelompok
orang)? Ataukah harus level daulah (negara)? Jika negaranya tidak berhukum pada
hukum Islam, apakah orang atau kelompok orang yang ada di negara itu ikut
disalahkan atas tidak berlakunya hukum Islam itu? Sehingga orang atau kelompok
orang itu layak disebut kafir? Atau bisakah diri kita sendiri atau sekelompok
orang itu menyatakan diri “berhukum pada hukum Allah” sementara negara tempat
ia hidup tidak menerapkan hukum Allah? Jika bisa demikian, bagaimana
prakteknya? Tentu ada saat-saat tertentu orang tsb mau tidak mau harus
melaksanakan hukum negara yang tidak berlandaskan hukum Allah.
Belum lagi masalah ijtihadiyyah dimana dalam khazanah
fikih bisa jadi penerapan praktek syariat tidak mesti sama persis dengan teks
ayat atau hadits. Misalnya saja Umar bin Khattab pernah membatalkan pemberian
zakat pada mu’allaf (orangyang baru memeluk Islam) karena pemberian itu pada
mulanya untuk mengambil hati orang yang baru memeluk Islam namun ketika Islam
sudah kokoh, Umar merasa tidak perlu lagi melaksanakan hal itu, padahal itu
nyata-nyata diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Maka dalam hal “berhukum
pada hukum Allah ini” apakah orang yang mengganti hukum potong tangan bagi
orang yang mencuri diganti dengan hukum penjara itu termasuk “tidak berhukum
pada hukum Allah?”
Dalam Al-Qur’an banyak sekali bertebaran ayat-ayat yang
memerintahkan untuk berhukum pada hukum yang telah ditetapkan Allah di dalam
Kitabnya.
Apakah hukum jahiliyah
yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi
orang-orang yang yakin? (Q.S. 5:50)
Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah (Q.S. 6:57)
Mereka diseru kepada
kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka (Q.S. ...)
Sungguh Kami yang
menurunkan Taurat di dalamnya ada
petunjuk dan cahaya yang dengan kitab itu para Nabi berserah diri pada Allah
dan memberi putusan perkara pada bangsa yahudi...... maka barang siapa tidak memutuskan
dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir
(Q.S. 5:44)
Kami telah menetapkan
bagi mereka di dalam Taurat bahwa nyawa dibalas nyawa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah mereka itulah orang yang zhalim (Q.S. 5:45)
Dan Kami menurunkan
Injul kepadanya (Isa) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang
membernarkan kitab sebelumnya (Taurat) .... Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka itulah orang yang fasik (Q.S. 5:46-47)
Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an)… maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah
engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran (Q.S. 5:48)
Dan hendaklah engkau (Muhammad) memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau (Muhammad)
menuruti keinginan mereka (Q.S. 5:49)
Wahai orang beriman, janganlah kamu jadikan pemimpin
orang-orang yang membuat agamamu menjadi bahan ejekan dan permainan, yaitu
orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir
(musyrik) (Q.S. 5:57)
Sejarah turun nya ayat (Asbabun Nuzul) Q.S. 4:65
Dari Zuhri dari Urwah : Zubair bersengketa dengan orang
Anshar tentang pengairan ladang, lalu Nabi berkata : Wahai Zubair siramlah
kemudian biarkan air itu sampai ke tetanggamu. Lalu orang-orang Anshar itu
berkata : “Wahai Rasulullah mentang-mentang
ia (Zubair) itu anak bibimu?” (Zubair memang masih sepupu Nabi). Maka wajah Rasulullah berubah warna (karena
marah) lalu berkata lagi :”Siramlah Zubair tahanlah air itu hingga kembali ke
dasar kebun lalu alirkan air (irigasi) itu ke kebun tetanggamu”. Lalu Zubair
berkata : “Aku tak mengira” Kemudian turun ayat berkaitan dengan hal itu. “Maka
demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu
(Nabi) menjadi hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan” (Q.S. 4:65)
(H.R. Bukhari Muslim, Tirmidzi, Abu
Daud, Ahmad, Ibnu Majah, Ath Thabari, Ibnu Jarir).
Dari Sahl bin Sa’ad r.a. pAda waktu perang Khaibar, Ali
bertanya kepada Nabi SAW apakah kami perangi sampai mereka beriman seperti
kami? Jawab Nabi SAW : “Perlahan-lahan lah kamu berjalan sampai ke daerah
mereka, lalu ajaklah mereka masuk Islam, dan beritahukan kepada mereka apa-apa
yang wajib bagi mereka. Demi Allah jika Allah memberi hidayah pada seseorang
karena ajakanmu niscaya itu lebih baik daripada mendapat kekayaan dan ternak
(rampasan perang)” (H.R. Bukhari Muslim)
Wahai orang yang beriman, janganlah kamu jadikan pemimpin
orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan yaitu
orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir
(musyrik) (Q.S. 5:57)
TIDAK
BERHUKUM PADA HUKUM ALLAH ADALAH KAFIR YANG DERAJATNYA DI BAWAH KAFIR MURTAD
Abdullah bin Abbas mengatakan : “Kufur disini (Q.S. 5:44) bukanlah kufur yang
mengeluarkan dari Islam akan tetapi jika diperbuatnya (tidak memutuskan hukum
dengan hukum Allah) maka ia terkena sebagian kekufuran namun bukan seperti
orang yang kufur tidak beriman pada Allah dan hari akhir”
Berkata Atha’ bin Thawwus : “Itulah (Q.S. 5:44) kufur yang berada di bawah
tingkatan kufur, dan itulah (Q.S.
5:45).
kezhaliman yang berada di bawah kezhaliman
serta kefasikan (Q.S. 5:47) yang di bawah kefasikan
Sedangkan Ibnul Qoyyim Al-Jauzy membedakan antara
pelaksanaan perseorangan dan negara. Pada level negara wajib menerapkan hukum
Allah, adapun perorangan cukup mengimani dan meyakini wajibnya pelaksanaan
syari’at hukum Allah. Kalaupun negara nya tidak menerapkan hukum Allah, maka
pribadi / individu itu terbebas dari dosa asalkan mengimani dan meyakini
wajibnya pelaksanaan syari’at hukum Allah. Ibnul Qoyyim Al-Jauzy berkata : Yang
benar adalah melaksanakan hukum deangan selain hukum Allah itu mencakup 2
kekufuran yaitu kufur kecil dan kufur besar tergantung keadaan si penguasa.
Jika ia percaya akan wajibnya melaksanakan hukum Allah lalu ia beralih kepada
selain hukum Allah karena pembangkangan dan ia menyadari bahwa dirinya
sebenarnya telah melakukan dosa maka ini adalah kufur kecil. Namun jika ia
tidak melaksanakan hukum Allah dengan sebuah keyakinan bahwa memang hukum Allah
itu tidak wajib dilaksanakan di muka bumi ini maka itu adalah kufur besar.
BERHUKUM
PADA HUKUM ALLAH ADALAH KEWAJIBAN
KHALIFAH
Menerapkan hukum Allah adalah kewajiban khalifah atau
kepala negara. Dalam hal ini pemerintahan orang muslim wajib menerapkan hukum
Allah dalam setiap aspek kehidupannya.
Abdullah bin Abbas r.a. mengatakan bahwa dalam kehidupan
sehari-hari manusia memerlukan pemimpin dan bertahkim (mengikuti keputusan
hukum) pada seorang pemimpin. Masalah
menegakkan hukum bukanlah persoalan orang perorangan. Dan hal ini pun
diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an ketika memerintahkan mengambil penengah
(hakim) untuk menyelesaikan perselisihan suami istri (Q.S. ….) sebagaimana
tahkim untuk menentukan besarnya denda jika orang yang ihram (haji) telah
membunuh binatang dengan sengaja (Q.S. 5:95)
Ketika kaum Khawarij menganggap Khalifah Ali bin Abi
Thalib dan sahabat lainnya telah kafir, mereka meneriakkan semboyan “Laa hukma
illa Allah” (tiada hukum kecuali bagi Allah) ini bentuk lain dari “Inil hukmu
illa Allah” yang disebutkan dalam Q.S. 6:57 Q.S. 6:62, Q.S. 12:40, Q.S. 12:67
maka Ali bin Abi Thalib berkata :”Sungguh itu adalah kalimat yang haq namun
digunakan untuk sesuatu yang bathil. Memang benar tiada hukum kecuali bagi
Allah namun mereka bermaksud mengatakan tiada kepemimpinan (kekhalifahan)
kecuali bagi Allah (padahal di bumi mesti ada seorang manusia yang dijadikan
pemimpin). Padahal masyarakat haruslah memiliki pemimpin, apakah ia orang yang
baik maupun orang yang jahat. Artinya hukum Allah bisa wujud dimuka bumi dan
diterapkan dengan adanya pemimpin seorang manusia. Do bawah kepemimpinan
manusia maka masyarakat bisa melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan orang yang
kafir biarlah menikmati hidupnya namun Allah menetapkan segala sesuatunya”.
Abu Ishaq Asy-Syatibi (Imam Asy Syatibi) dalam Kitab
Muwafaqat wal I’tishom meriwayatkan Said bin Jubair berkata tentang
orangKhawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, bahwa “Sebagian ayat-ayat
Allah mutasyabih yang diikuti oleh golongan Huriyyah (Khawarij) ialah firman
Allah “Barang siapa yang tidak
menghukumi menurut yang diturunkan Allah maka mereka itu kafir” (Q.S. 5:44)
lalu mereka merangkainya dengan ayat “Kemudian orang-orang kafir itu berpaling
dari Allah (Q.S. 6:1)”
Abdullah bin Abbas berkata pada Umar : Hai Amirul
Mukminin, Al-Qur’an telah diturunkan pada kita, lalu kita membacanya dan kita
tahu dalam hal apa ayat tsb diturunkan. Tapi nanti akan datang kaum yang
membaca Al-Qur’an tapi mereka tak paham dalam hal apa ayat tsb diturunkan. Maka
tiap golongan punya pendapat lalu mereka pun saling berbeda pendapat dan bila
mereka saling berselisih, mereka akan saling berperang. Mendengar ramalan Ibnu
Abbas yang mengerikan ini Umar dan Ali yang mendengarnya menegur Abdullah
hingga Abdullah bin Abbas pun menyingkir pergi. Namun Umar terus terpikir
perkataan Abdullah bin Abbas tadi danlalu menemui Abdullah bin Abbas lagi di
rumahnya dan berkata : “Tolong ulangi apa yang kau katakan tadi..”
MASALAH
BERHAKIM PADA THOGUT
Salah satu ayat yang senada dengan masalah “berhukum pada
hukum Allah” yang sering dijadikan argumen dalam mengkafirkan orang adalah ayat
bertahkim pada thogut yang terdapat
dalam Surat Annisaa.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim pada thogut padahal mereka
diperintahkan untuk mengingkari thogut. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka
dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Q.S. 4:60)
Dari Ikrimah dari Bnu Abbas r.a ia berkata : Abu Barzah
Aslami dikenal sebagai dukun yang sering diminta memutuskan perkara di antara
orang-orang Yahudi (di Madinah). Lalu sekelompok kaum musyrikin pergi kepadanya
untuk meminta keputusan suatu perkara, maka turunlah ayat Q.S. 4:60-62 (H.R.
Thabrani)
Berdasarkan asbabun nuzul ayat tersebut maka kitaketahui
bahwa ayat ini mengecam orang yahudi dan musyrikin yang meminta keputusan
perkara kepada dukun yang dicap sebagai thogut (orang yang melampaui batas).
Maka thogut yang dimaksud dalam ayat ini adalah dukun. Namun pada akhirnya
orang yahudi tidak puas dan tidak merasa tenteram dengan keputusan yang diambil
sang dukun, hingga akhirnya turun musibah dari Allah. Barulah akhirnya mereka
datang ke Rasulullah SAW dan berkata minta penyelesaian perdamaian yang
sempurna.
MASALAH MENGKAFIRKAN ORANG (TAKFIR)
Abdullah bin Umar r.a. berkata Rasulullah SAW bersabda :
Tiap orang yang berkata pada saudaranya : “hai kafir!” maka pasti akan menimpa pada salah satunya
(Bukhari Muslim)
Misalnya jika yang dituduhnya tidak kafir maka yang
menuduhlah yang menjadi kafir.
Tiga perkara berasal dari iman (1) tidak mengafirkan orang
yang mengucapkan : “Laa ilaaha ilallah” karena suatu dosa yang dilakukannya
atau mengeluarkan nya dari Islam karena suatu perbuatanmu (H.R. Abu Daud)
ORANG
YANG MEMERANGI MUSLIM
Bahkan golongan khawarij yang menganggap banyak sahabat
sebagai kafir, (bahkan jaman sekarang neo khawarij menganggap semua muslim di
luar golongannya adalah kafir) dan mereka mengangkat senjata melawan hingga
membunuhnya Ali bin Abi Thalib masih dianggap sebagai bagian dari kaum
Muslimin. (walau banyak yang menganggap telah keluar dari Islam berdasarkan
hadits Rasulullah)
Ali bin Abi Thalib ketikan ditanya tentang golongan
Khawarij : “Apakah mereka kafir ya Amirul Mukmiknin?” Ali menjawab : “Mereka
lari dari kekafiran”. Ali ditanya lagi oleh orang-orang : “Bagaimana mereka itu
sebenarnya?” Ali menjawab secara diplomatis : “Mereka dulu adalah saudara kita,
kini mereka durhaka kepada kita”. Ada 3 hak kalian (wahai Khawarij) yang tetap
akan kami berikan : kami tak akan melarang kalian memasuki masjid kami, tak
pula menahan bagian kalian dari tunjangan negara dan tidak mendahului memerangi
kalian selama kalian tidak berbuat kerusakan di bumi. (Nahjul Balaghah)
Jadi Ali bin Abi Thalib pun sangat berhati-hati dalam
mengkafirkan kaum Khawarij walaupun jelas-jelas kaum Khawarij malah mengkafirkan
Ali dan sahabat – sahabat lainnya. Padahal berdasarkan hadits Rasulullah barang
siapa yang menuduh seorang muslim kafir maka kekafiran itu akan berbalik
kepadanya. Namun kekafiran itu akan berbalik karena dibalikkan oleh Allah,
sehingga bukan dalam kapasitas Ali untuk memutuskan apakah mereka berstatus
kafir atau tidak.
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata : Sesungguhnya
mereka tidak menjadi kafir dengan nyata, namun mereka hanyalah mengucapkan
perkataan yang dapat membawa kepada kekufuran. Imam Syaukani dalam Kitab Nailul
Authar Jilid VII mengatakan bahwa kebanyakan ahli ushul dari Ahlus Sunnah
berpendapat bahwa kaum Khawarij masih bagian dari kaum Muslimin.
Maka sebagian orang pada masa kini dengan penuh semangat
mengecam balik orang yang tidak mau mengecap kafir golongan khawarij. Apakah
mereka merasa lebih paham agama dibandingkan Ali bin Abi Thalib?
ORANG
YANG MELAKUKAN DOSA BESAR
Dari Ubadah bin As Shamit : Nabi SAW bersabda : Barang
siapa bersaksi tiada Ilah selain Allah yang Maha Esa yang tiada sekutu baginya
serta Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul Nya bersaksi bahwa firmanNya yang
disampaikan kepada Maryam yang diberi Ruh dari Nya bahwa Surga itu benar adanya
dan neraka benar adanya maka dia akan masuk surga meski bagaimanapun amal perbuatannya
(H.R. Bukhari)
Dari Abu Dzar berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda : “Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan Laa ilaaha illa
Allah kemudian ia mati dengan tetap membawa kalimat itu melainkan ia akan masuk
surga (H.R. Muslim)
Dari Abu Dzar Al-Ghifari bahwa Nabi SAW bersabda : Jibril datang kepadaku
menyampaikan kabar gembira bahwa orang yang meninggal dunia dari umatmu dengan
tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Allah niscaya akan masuk surga. Lalu
Nabi bertanya : walaupun ia berzina? Walaupun ia mencuri? Jibril menjawab :
walaupun ia berzina, walaupun ia mencuri. (H.R. Bukhari Muslim)
Orang Islam walaupun fasih menzhalimi dirinya tetap masuk
surga. “Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri (zhalim li
nafsih) dan di antara mereka ada yang pertengahan (Muqtashid) dan di antara
mereka ada yang bersegera melakukan kebajikan (sabiqun bil khairat) dengan izin
Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka (ketiga
golongan itu) surga dan mereka masuk ke dalamnya… (Q.S. Al-Faathir 32-33)
MEMBUNUH
TANPA HAK
Dan karena itu kami
telah tetapkan bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seseorang bukan
karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di
muka bumi maka seakan akan ia telah membunuh semua manusia. (Q.S. 5:32)
Hukuman bagi orang
–orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka
bumi ialah dibunuh atau disalib atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang atau diasingkan dari kediaman
mereka. Yang demikian itu kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab
yang besar (Q.S. 5:33)
Dari Jarir r.a. berkata : ketika Haji Wada Nabi SAW
menyuruh supaya memanggil orang-orang untuk mendengarkan khutbah Nabi SAW lalu
Nabi bersabda : Janganlah kalian sepeninggalku kembali menjadi kafir karena
sebagian kamu memenggal sebagian yang lain (H.R. Bukhari Muslim)
Abdullah bin Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda
: “Siapa yang menyerang kami (muslim) dengan senjata, ma aia bukanlah bagian
dari umatku” (H.R. Bukhari Muslim)
Dari Miqdad bin Al-Aswad r.a. bertanya kepada Nabi SAW :
“Bagaimana pendapatmu jika aku berhadapan dengan orang kafir lalu ia memukul
tanganku dengan pedangnya hingga tanganku patah, lalu ia lari berlindung di
belakang pohon dan berkata ‘Aku Islam pada Allah (aslamtu lillah) ’ Apakah
boleh aku membunuhnya?” Nabi SAW menjawab : “Jangan Anda bunuh”. Al-Miqdad
berkata : “Tapi ia telah memutuskan tanganku”. Jawab Nabi : “Jangan membunuhnya, jika Anda membunuhnya maka Anda
akan menduduki kedudukannya sebagaimana ia sebelum menyatakan kalimat itu”
(H.R. Bukhari Muslim)
Usamah bin Zaid berkata : Rasulullah SAW mengutus kami ke
daerah Al-huraqoh maka kami menyerbu suku di daerah itu di pagi hari hingga
mengalahkan mereka lalu aku dengan sahabat Anshar mengejar salah seorang dari
mereka dan ketika telah terkepung tiba-tiba ia berkata : “Laa illaha ilallah” lalu kawanku Al-Anshari
itu menghentikan pedangnya. Sedangkan aku langsung menikamkan tombakku hingga
ia mati. Dan ketika kita kembali ke Madinah, berita itu telah sampai pada Nabi
hingga Nabi langsung bertanya kepadaku : “Ya Usamah apakah Anda membunuh orang
yang mengucap Laa ilaaha ilallah?” Jawabku : “Ia hanya menyelamatkan diri”.
Maka Nabi mengulang ulang teguran itu terus menerus hingga aku sangat menyesal
dan ingin sekiranya aku belum menjadi Islam pada hari itu (H.R. Bukhari Muslim)
Ibnu Abbas r.a. menjelaskan bahwa ayat : “Wa laa taqulu
liman alqo ilaikumus salama lasta mukmina” (Jangan kamu berkata pada orang yang
mengaku islam padamu itu kafir karena mengharapkan harta Q.S. 4:94) itu turn
ketika ada peristiwa seorang sedang menggembala kambing ketika melihat datang
sebarisan pasukan kaum muslimin lalu ia memberi salam “Assalamu’alaikum” (untuk
menunjukkan bahwa dirinya seorang muslim). Tapi oleh pasukan muslimin (dianggap
orang itu cuma berlagak sebagai muslim saja) langsung ditangkap dan dibunuh
lalu diambil kambingnya sebagai ghonimah (rampasan perang) maka Allah
menurunkan ayat tersebut. (H.R. Bukhari Muslim Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud)
Imam Al-Ghazali berkata : “Kesalahan dalam membiarkan
1.000 orang kafir hidup adalah lebih ringan daripada dosa menumpahkan darah
satu orang muslim. Sudah selayaknya seseorang menjaga diri dari mengkafirkan
orang lain selama ia mendapatkan jalan (alasan) untuk itu (yaitu tidak mengkafirkan).
AYAT-AYAT
YANG DIJADIKAN DALIL BOM BUNUH DIRI
Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur
di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rizki (Q.S. 3:169)
Di antara manusia ada orang-orang yang menjual diri nya
untuk mencari keridhoan Allah (Q.S. 2:207)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di
jalan Allah (fii sabilillah) mereka membunuh atau terbunuh (Q.S. 9:11)
Ada yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan
dibolehkannya bom bunuh diri :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan diri
demi mencari keridhoan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya”
(Q.S. 2:207)
Padahal asbabun nuzul ayat ini adalah ketika Shuhaib bin
Sinan Ar Rumi yang baru memeluk Islam ingin hijarh ke Madinah sementara
hartanya disita kafir Quraisy.
Dari Auf dari Abu Utsman An Nahdi dari Shuaib ia berkata
: Ketika aku hendak hijrah dari Mekah kepada Rasulullah SAW (di Madinah)
orang-orang Quraisy berkata kepadaku : Wahai Shuhaib kamu datang kepada kamu
tanpa membawa harta dan sekarang kamu hendak keluar dengan membawa harta? Demi
Allah hal itu tidak boleh terjadi selamanya. Aku bertanya pada mereka : Apakah
jika hartaku aku serahkan pada kalian maka kalian akan membiarkan aku pergi?
Mereka menjawab : Ya. Maka aku serahkan seluruh hartaku lalu mereka pun
membiarkan aku pergi. Kemudian aku keluar hingga sampai di Madinah. Ketika hal
itu sampai ke telinga Rasulullah SAW, beliau bersabda “Beruntunglah shuaib..
beruntunglah Shuhaib, (lalu turun ayat Q.S. 2:207)” (H.R. Thabrani Al-Hakim dan
Baihaqi)
MASALAH
PERINTAH DAN LARANGAN
Orang yang terlalu bersemangat dan tergesa-gesa dalam
mengambil kesimpulan yang akhirnya membawa pada sikap sembrono dalam bertindak
sering beranggapan bahwa semua perintah dalam ayat Qur’an maupun hadits Nabi
adalah bersifat wajib. Demikian pula sebagian mereka menganggap sedangkan semua
semua larangan dalam ayat Qur’an maupun hadits Nabi adalah berarti haram.
Padahal Imam Az-Zarkasyi mengatakan bahwa : perintah
Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an hukumnya wajib kecuali ada qorinah (dalil
lain) yang menunjukkan ketidak wajibannya. Dan semua perintah dalam hadits
hukumnya adalah istihbab (yaitu lebih disukai) kecuali ada qorinah lain yang
menunjukkan hukum lainnya. Seorang ulama mazhab Maliki yaitu Al-Abhari
membedakan antara sunnah dan fardhu. Sunnah adalah perintah dari Rasulullah
sedangkan fardhu (wajib) adalah perintaj dari Allah.
Sedangkan semua larangan dalam Al-Qur’an hukumnya adalah
haram kecuali ada dalil lain yang menunjukkan selain itu. Sedangkan semua
larangan yang berasal dari hadits hukumnya maksimal adalah makruh (lebih baik
dihindari / tidak dilakukan) kecuali ada dalil lain yang menjelaskan selain
itu.
Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin jelas
mendudukkan perintah Rasulullah SAW dalam posisi istihbab (lebih disukai) dan
nadab (anjuran) dan mendudukan setiap larangan dari Nabi sebatas makruh
PERSOALAN
GAYA BAHASA ARAB
Salah satu penyebab kesalah pahaman bagi sebagian pemuda
yang terlalu bersemangat dan kemudian membawa pada sikap berlebih-lebihan
(ghuluw) dalam bertindak adalah berawal dari ketidak mengertian akan gaya dan
sifat bangsa Arab.
Setiap bangsa dan ras tentu memiliki gaya kebiasaan
tersendiri. Misalnya kita sama-sama mengetahui bahwa dalam pandangan atau cita
rasa suku Sunda, maka suku Madura dari Jawa Timur tentu dianggap cara bicaranya
lebih keras atau kasar. Namun jika dibandingkan dengan orang Batak, tentu gaya
bahasanya lebih kasar lagi. Bagi orang Sunda yang tidak paham budaya Madura dan
Batak, bisa-bisa tersinggung ketika mendengar berbicara dengan mereka.
Sementara orang Madura pun yang bagi orang Sunda sudah dianggap kasar,
bisa-bisa juga masih tersinggung dengan sikap orang Batak yang lebih keras lagi
cara bicaranya.
Demikian pula bangsa Arab memiliki gaya dan tradisi
sendiri dalam bersikap dan berbicara termasuk dalam susunan kata dan gaya
bahasa yang sering dipakai. Bagi bangsa Arab hal ini tidak masalah karena
mereka tahu maksudnya. Namun bagi bangsa non-Arab bisa jadi hal ini membawa
kesalah pahaman. Salah satu gaya bahasa Arab yang bisa jadi menimbulkan kesan
yang salah pada orang Non-Arab adalah gayanya yang hiperbola (berlebihan).
Orang-orang Arab sering kali menggunakan kata-kata dan istilah yang “tinggi”
atau “dilebihkan” dalam menceritakan atau menyatakan sesuatu.
Kita jangan heran jika sering mendengar digunakan
kata-kata “Yang paling ini adalah ini” padahal maksudnya tidak seperti itu.
Istilah “yang paling” atau “yang ter..”
dalam bahasa Inggris disebut “superlatif” tentunya hanya ada satu saja
yang menempati kedudukan tertinggi.
Sebagai contoh : “Gunung tertinggi di dunia adalah Gunung Himalaya”. Kita bisa memahami bahwa gunung yang tertinggi tentulah hanya satu yaitu Himalaya. Kita akan bingung jika mendengar pernyataan : “Gunung yang tertinggi di dunia adalah Gunung Himalaya, Gunung Alpen dan Gunung Jayawijaya”. Tentu kita akan berkomentar “ yang tertinggi kok lebih dari satu, apakah mereka sama tingginya? Tapi tentunya pasti ada yang paling tinggi di antara ketiganya”
Sebagai contoh : “Gunung tertinggi di dunia adalah Gunung Himalaya”. Kita bisa memahami bahwa gunung yang tertinggi tentulah hanya satu yaitu Himalaya. Kita akan bingung jika mendengar pernyataan : “Gunung yang tertinggi di dunia adalah Gunung Himalaya, Gunung Alpen dan Gunung Jayawijaya”. Tentu kita akan berkomentar “ yang tertinggi kok lebih dari satu, apakah mereka sama tingginya? Tapi tentunya pasti ada yang paling tinggi di antara ketiganya”
Namun kenyataannya dalam gaya bahasa Arab bisa jadi “yang
paling” dan “yang ter” itu tidak satu melainkan banyak. Semua hal menduduki
posisi “yang paling” atau “yang ter” karena maksudnya adalah sama-sama utamanya
atau sama-sama baiknya.
Salah satu contohnya adalah :
Dari Abu Dzar : perkataan yang paling disukai Allah
adalah seorang hamba yag mengatakan “Subhanallah wa bihamdihi” (H.R. Muslim,
Ahmad dan Tirmidzi)
Dari Samurah bin Jundub perkataan yang paling disukai
Allah ada 4 yaitu : “Subhanallah, wal hamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, dan
wallahu akbar” (H.R. Muslim dan Ahmad)
Contoh lainnya:
Dari Abu Said : Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah yang
paling afdhol adalah sedekah kepada famili yang memusuhinya” (H.R. Abu Daud,
Tirmidzi, Thabrani, dihasankan oleh Imam Suyuthi, disahihkan oleh Albani)
Dari Sa’ad bin Ubadah,Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah yang paling afdhol adalah memberi
minum air” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Majah, shaih oleh Imam Suyuthi
Hasan oleh Albani)
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah
yang paling afdhol adalah kesungguhan orang yang punya sedikit (harta) dan
mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu” (H.R. Abu Daud dan Al Hakim
disahihkan oleh Imam Suyuthi)
Dari Abu Hurairah seorang sahabat bertanya : Shodaqoh apa
yang paling besar balasannya? Nabi SAW menjawab : “Kamu bershodaqoh saat
keadaan sehat, merasa kikir dan takut melarat, mengharap kaya dan takut miskin”
(H.R. Bukhari)
Pada kedua hadits di atas kita jumpai bahwa 4 hal yang
berbeda semuanya diberi status “sedekah yang paling afdhol (paling utama)”.
Contoh lainnya lagi :
Dari shuhaib Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik kamu
adalah orang yang memberi makanan dan membalas salam” (H.R. Abu Ya’la dan
Al-Hakim disahihkan oleh Imam Suyuthi dan hasan oleh Albani)
Dari Irbad, Rasulullah SAW bersabda : “sebaik-baik kamu
adalah yang paling baik membayar (hutang)” (H.R. Nasa’i)
Dari Ali bin Abi Thalib Rasulullah SAW bersabda :
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Qur’an dan mengajarkannya”
(H.R. Bukhari dan Tirmidzi)
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling bermanfaat
bagi orang lain”
Jadi semua hal yang baik-baik dikatakan dengan istilah
“sebaik-baik kamu” atau “yang terbaik” padahal maksudnya adalah semuanya itu
sama baiknya dan sama utamanya.
Dapat kita lihat kecenderungan gaya bahasa dalam
perkataan bangsa Arab bahwa mereka sering berkata dengan istilah yang “lebih”
atau dalam dunia tata bahsa disebut gaya bahasa hiperbola. Jika kita hanya
membaca satu hadits saja dan meyakininya sedemikian rupa maka kita akan
terdorong bertindak berlebihan karena kita meyakini yang kita dengar itu adalah
“hal yang paling” dan tak mungkin ada “paling” yang lain.
Demikian pula jika ada kalimat Arab yang menyatakan bahwa
“jika tidak begini maka ia kafir” atau “jika tidak mau begitu ia zhalim” maka
pada kenyataannya atau dalam aplikasinya “tidak begitu-begitu amat”.
Contoh : Abu Dzar r.a. telah mendengar bahwa Rasulullah
SAW bersabda : Tiada seorang yang bernasab kepada orang yang bukan ayahnya
padahal ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kafir (H.R.
Bukhari Muslim)
Demikianlah hadits di atas jika kita pahami secara
sepintas bahwa orang yang melakukan hal di atas pastilah dihukumi kafir. Namun
pada kenyataannya penerapan orang yang mengaku-ngaku bernasab pada seseorang
yang bukan ayahnya tidak lah dicap kafir oleh Rasulullah dan para sahabat.
Karena memang mereka (orang Arab) paham bahwa maksud dari ucapan Rasulullah
tidaklah “begitu-begitu amat”. Melainkan cara pengucapan seperti itu
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa perbuatan seperti itu adalah benar-benar
buruk, menyerupai kekufuran namun tidak sampai membuat orang murtad atau keluar
dari Islam.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi SAW bersabda :
Barang siapa yang tidak sudi bernasab pada ayah kandungnya itu adalah suatu
kekufuran (H.R. Bukhari Muslim)
Persoalan inilah yang sering muncul ketika memahami
sebuah teks ayat atau hadits dengan apa adanya tanpa meninjau siroh (sejarah)
bagaimana aplikasi atau penerapan dari ayat atau hadits tersebut pada oleh
Rasulullah sendiri atau oleh para sahabat, demikian juga praktek yang dilakukan
oleh Tabi’in dan generasi setelahnya. Terkadang kita perlu juga meninjau penjelasan atau tafsir atas
ayat atau hadits tersebut oleh para sahabat maupun tabi’in. Hal ini diperlukan
karena generasi terdahululah yang lebih mengerti dalam hal apa ayat atau hadits
tersebut muncul dan merekalah yang berguru langsung dari Rasulullah SAW.
MELEBIHKAN
KEUMUMAN MAKSUD YANG TERBATAS
Salah satu kiat dalam memahami nash dalil baik Al-Qur’an
maupun hadits adalah mencoba terlebih dahulu menengok asal usul peristiwa yang
melatar belakanginya sehingga kita memahami dalam konteks apa pembicaraan ayat
atau hadits tersebut. Dari situ kita dapat mengambil kesimpulan dan menarik
premis (pernyataan) baik itu maksud khusus maupun maksud umum sepanjang
konteksnya masih benar sesuai dengan maksud nash tersebut.
Misalnya ada pernyataan “Orang yang sembrono sering meletakkan
barang sembarangan sehingga mengundang pencuri. Maka dari itu, simpanlah
milikmu rapat2 agar tidak mengalami kerugian”.
Kalimat pertama itu adalah makna khusus yang menjelaskan
konteks pembicaraan sehingga muncul pernyataan kalimat kedua. Tidak ada
perbedaan pendapat dalam hal ini. Kalimat kedua, adalah premis umum (kesimpulan
umum) yang diperluas berdasarkan kejadian khusus pada kalimat pertama.
Walaupun kalimat pertama adalah pernyataan khusus, namun
tetap saja kita tidak paham apa yang dibicarakan sebelum kita bertanya
“peristiwa” apa yang melatar belakangi timbulnya pernyataan itu. Ternyata dari
informasi yang kita dapat, pernyataan itu timbul dari peristiwa si Hasan yang
sembrono dan menaruh handphone nya secara sembarangan sehingga dicuri orang.
Kalimat kedua adalah filosofi yang sudah diperluas.
Penyataan “simpanlah milikmu rapat2” tentu tidak hanya dimaksudkan dalam hal
menyimpan handphone saja (sebagaimana latar belakang peristiwa khusus pada
kalimat pertama) namun juga bisa diterapkan pada hal lain misalnya simpanlah
dompetmu , simpanlah perhiasan gelang emas mu, simpanlah dokumen kantor yang
penting, simpanlah uangmu dan lain-lain. Yang mana “simpanlah milikmu rapat2”
ini diterapkan pada berbagai hal masih bisa diterima kebenarannya oleh semua
orang.
Demikian pula pernyataan “agar tidak mengalami kerugian” walaupun
konteks peristiwa yang melatar belakangi maksudnya adalah “kecurian” namun maksudnya
bukan hanya supaya tidak kecurian, melainkan bisa lebih luas lagi misalnya agar
tidak kepanasan (misalnya handphone kalau terkena panas sinar matahari bisa
rusak layar LCD nya) atau agar tidak kehujanan (misalnya uang dan dokumen
penting bisa rusak jika basah kehujanan).
Demikianlah premis kedua ini telah mengalami perluasan
(generalisasi) makna namun masih bisa diterima sepanjang batas-batas yang masih
proposional. Namun kalimat kedua ini bisa diperluas bukannya tanpa batas. Tetap
saja ada batasan dalam memperluas maksud yang umum itu (limited generalization). Ada batasan, yang mana jika kita kaitkan
dengan hal yang sudah di luar konteks maka itu menjadi “lebay” dan tidak
proporsional lagi.
Misalnya adal orang yang memperluas makna “milikmu”
diartikan sebagai “istri dan anak-anak” sebagai salah satu harta miliknya,
sehingga pernyataan “simpanlah milikmu rapat2”diterapkan berupa tindakan
“mengurung rapat2 di dalam rumah” sehingga anak dan istrinya dilarang keluar
rumah karena khawatir celaka atau diculik orang. Tindakan ini jelas “lebay” dan
tidak proporsional.
Begitu pula jika ada orang yang meluaskan makna kata
“simpanlah” itu seluas luasnya sehingga menjadi “tidak boleh digunakan sama
sekali melainkan disimpan saja” sehingga ia tidak mau memakai jam tangannya, ia
tidak mau memakai laptopnya, dengan alasan takut rusak (mengalami kerugian),
maka sepintas lalu tindakan ini sesuai dengan dalil kalimat “simpanlah milikmu
rapat2 agar tidak mengalami kerugian”. Lalu untuk apa dia punya laptop jika
tidak dipakai? Tentu saja mentawilkan seperti ini menjadi berlebih-lebihan dan
sudah keluar dari konteks yang dimaksud. Dengan kata lain secara berkelakar
kita dapat berkata “gitu ya gitu tapi gak gitu banget maksudnya…”
Inilah salah satu perumpamaan dan contoh dimana sikap
berlebih-lebihan dan radikal bisa timbul dari perluasan makna yang tidak
proporsional atau pentakwilan kalimat yang keluar dari konteks, dimana hal itu
bisa timbul karena ketidak pahaman konteks peristiwa yang melatar belakanginya
atau tidak bisa membatasi diri pada “keumuman maksud” sehingga terdorong pada
sikap “kebablasan”.
Pada contoh kalimat di atas, ketika memperluas makna kata
“milikmu” boleh-boleh saja diperluas, namun tetap harus mengacu bahwa yang
dimaksud adalah benda benda berharga seperti handphone, laprop, dompet, uang,
perhiasan dll. Membatasi diri pada makna “milikmu” itu hanyalah handphone
(sebagaimana peristiwa khusus yang melatarbelakanginya) tentu saja adalah sikap
sempit dan salah. Namun meluaskan makna “milikmu” meliputi istri, anak bahkan
rambutku, hidungku, mataku, bahkan lebih jauh lagi pada hal-hal yang majazi
misalnya perasaanku, pikiranku, ideku.. wah wah jelas ini sudah sangat
berlebihan dan melenceng dari maksud kalimat semula. Lho, bukankah perasaanku,
pikiranku, ide-deku itu juga adalah milikku? Jawabnya: iya bener sih bener, perasaanku, pikiranku,
ide-deku itu juga termasuk milikmu, namun ya gak pas kalau diterapkan pada
kalimat itu, maksud kalimat itu bukan meliputi hal-hal yang sedemikian.
Kesalahan dalam mentakwilkan dan memperluas makna secara
berlebih-lebihan seperti ini sering terjadi dalam memahami teks ayat maupun
hadits. Kita ambil contoh pada hadits sebagai berikut :
Dari Hudzaifah Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa
meniru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (H.R. Abu Daud, Ibnu Umar
& Thabrani)
Ada orang yang meluaskan maksud kata “meniru suatu kaum”
itu pada tindakan “meniru segala apa saja” sehingga melarang meniru segala apa
yang berasal dari Barat yang kafir karena khawatir di mata Allah akan dicap
termasuk golongan orang kafir Barat.
Padahal kita tahu Rasulullah SAW meniru dan mengambil ide
mengawinkan putik kurma serta meniru ide pertahanan peperangan menggunakan
parit pada perang Khandaq yang mana ide-ide itu berasal dari bangsa Persia
(Farsi), yang mana kita tahu bangsa Farsi adalah kaum musyrik yang saat itu
menyembah api. Namun Rasulullah SAW
tetap menirunya sepanjang hal itu dianggap masuk akal dan baik dan tidak
khawatir dianggap termasuk orang kafir.
Terkadang kita harus menilik dulu konteks hadits tsb
diucapkan Rasulullah SAW karena peristiwa apa atau menanggapi apa? Terkadang
kita juga harus mencari-cari versi lengkap dari hadits tersebut karena kadang
kala hadits itu hanya sampai pada kita sepotong saja tidak dikutip secara utuh.
Terkadang juga hadits itu diriwayatkan atau diceritakan dari berbagai jalur
yang mana satu jalur berbeda dengan jalur lainnya, terkadang jalur yang satu
berbeda kalimatnya dengan jalur lainnya, dan kadang pula jalur yang satu lebih
lengkap dari jalur lainnya.
PENERAPAN
BERTAHAP TIDAK MENYALAHI KOMITMEN HATI
Dari uraian sebelumnya kita memahami adanya perbedaan
antara komitmen hati dan penerapan dalam
amal atau tindakan, yang mana hal itu memang ada dan dibolehkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an dan juga dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat maupun
tabi’in. Perbedaan dalam tindakan itu tidak serta merta menggambarkan
berkhianatnya hati dari keyakinan yang hakiki akan syari’at Allah.
Maka lebih lanjut kita akan bahas bahwa salah satu kaidah
dalam penerapan suatu hal yang bersifat mengubah sesuatu yang telah mapan dalam
masyarakat diperlukan adanya pentahapan (tajarud). Hal ini diisyaratkan oleh
Al-Qur’an misalnya ketika kita diajak mengamati dan memikirkan tentang
bagaimana alam ini dibangun dalam enam tahapan :
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan
langit dan bumi dalam 6 masa (Q.S. 10:3)
Tentu saja Allah Azza wa Jalla amat sangat mampu untuk
menciptakan apa saja dalam sepersekian detik sekaligus tanpa ada tahapan. Namun
mengapa Allah menciptakan hal itu dengan adanya tahapan? Mengapa Allah mesti
mengadakan hukum fisika dan hukum alam? Bukankah Allah sanggup membuat segala
sesuatunya serba ajaib dan sekali jadi? Maka semua ini dijadikanNya sebagai
pelajaran bagi kita manusia bahwa segala sesuatunya terjadi secara bertahap tak
ada yang sekaligus jadi, tak ada yang semudah membalikkan telapak tangan.
Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz memprotes ayahnya
(yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz) yang tak segera memberantas kemaksiatan
setelah dilantik menjadi khalifah. Ia berkata : “apa yang menyebabkan ayah
tidak segera bertindak? Demi Allah tidaklah aku akan peduli betapa dalamnya
kekuasaan takdir akan menenggelamkan aku dan engkau dalam kebenaran” . Khalifah
Umar bin Abdul Aziz berkata : “Anakku, janganlah tergesa-gesa, karena Allah SWT
telah mencela khamr sampai 2 X dan baru kali yang ketiga Dia mengharamkannya.
Aku khawatir bila memaksakan kebenaran atas manusia secara sekaligus, maka
mereka akan mengingkari kebenaran secara sekaligus pula sehingga timbullah
fitnah yang besar” (Kitab Al Muawafaqat wal Ihtiyat Jilid II)
Demikianlah pemahaman Khalifa Umar bin Abdul Aziz karena
kedalaman ilmunya dan pengertiannya akan syari’at, tidak seperti yang disangkakan sebagian
pemuda yang terburu nafsu, yang menganggap penerapan bertahap dan
perlahan-lahan adalah sebuah sikap pengecut dan takut pada manusia.
Perlu diketahui bahwa ayat pertama yang mengecam khamr
baru turun di Madinah pada tahun ke-3 Hijriyyah setelah perang Badr artinya 3
tahun setelah Rasulullah pindah ke Madinah. Sehingga sebagian sahabat termasuk
Umar bin Khattab saja masih sering shalat dalam keadaan mabuk. Mengapa Allah
membiarkan hal itu demikian lama? Padahal di mata kita saat ini mabuk adalah
sesuatu yang sangat tercela. Mengapa Allah tidak menurunkan ayat itu di
awal-awal kepindahan Rasulullah SAW ke Madinah? Bukankah saat itu telah tegak
masyarakat Islam?
Sedangkan pengharaman total lewat ayat yang ketifa baru
terjadi pada tahun ke-6 Hijriyyah setelah perjanjian Hudaibiyyah, yaitu
menjelang Fathu Mekkah. Alalh lebih mementingkan perintah sholat 5 waktu (melalui peristiwa Isro Mi’roj) ketimbang
persoalan khamr, yaitu turun 3 tahun sebelum Hijrah ke Madinah (atau pada tahun
ke-11 masa kenabian). Itupun setelah Rasulullah 11 tahun diangkat menjadi Nabi.
Selama sebelum itu, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan sholat hanya 3
waktu sehari dan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis mengikuti sisa-sisa
risalah Nabi Ibrahim.
Kita juga bisa melihat bahwa ayat mengenai zina baru
turun pada tahun ke-5 Hijriyah (5 tahun setelah menetap di Madinah) sedangkan
pengharaman riba lebih lama lagi yaitu tahun ke-8 Hijriyyah yaitu setelah
melampaui peristiwa Fathu Mekkah. Di sini kita bisa melihat bahwa koreksi dalam
hal praktek-praktek ekonomi termasuk paling akhir diterapkan, sementara
perbaikan masalah aqidah dan pokok keyakinan adalah yang paling pertama
diprioritaskan.
MENGUBAH
DENGAN TANGAN TIDAK BERARTI DENGAN CARA KEKERASAN
Islam memang bukan agama yang berdiam diri dengan
kemaksiatan apalagi ketidak adilan atau kerusakan di muka bumi ini. Siapapun
yang bermaksud melakukan kemaksiatan, kecurangan, kezhaliman dan penindasan
pasti merasakan umat Islam sebagai batu sandungan yang utama.
KESELARASAN
TUJUAN DAN CARA MENCAPAINYA
Jika kita merasa haus tentulah kita melangkah untuk
mencari air dan setelah mendapatkan air, tindakan selanjutnya adalah memasukkan
air itu ke mulut kita dan menelannya. Dengan cara demikian maka rasa haus kita
akan hilang. Tindakan kita untuk melangkah mencari air lalu meminumnya adalah
tahapan-tahapan yang benar dan selaras dengan tujuan yaitu menghilangkan rasa
dahaga.
Pertama, tindakan itu harus selaras secara logika
rentetan sebab akibat dengan tujuannya. Jika kita merasa haus tapi tindakan nya
adalah makan nasi tentu tidak sesuai dengan tujuan semula.
Kedua, tindakan itu memiliki tahapan langkah yang harus
dilakukan. Walaupun kita tahu minum itu menyelesaikan masalah haus, namun jika
belum ada air maka apa yang mau diminum? Kita harus melangkah dulu berupaya
mencari air. Jika airnya itu jauh di dalam tanah maka harus diupayakan menggali
sumur atau mengebor pipa dan memasang pompa air untuk menyedot air ke
permukaan. Demikianlah hukum alam ini bahwa segala sesuatu nya ada tahapannya
dan setiap tahapan harus selaras dengan tujuan awal.
Demikian pula dalam masalah perjuangan menegakkan
syari’at Allah di muka bumi ini. Beberapa pemuda yang penuh semangat nampaknya
terjebak pada kepuasaan penyaluran emosi sesaat tanpa mempedulikan keselarasan
antara tindakan dan tujuan yang hendak dicapai.
Misalnya pemuda yang sangat gerah dan risau dengan
maraknya miras yang dijual bebas di swalayan. Sedangkan pemerintah hanya
mengatur masalah cukai (pajak) untuk miras tanpa bermaksud melarangnya.
Sehingga miras yang sudah membayar cukai adalah legal atau sah untuk
diperjualbelikan. Polisi hanya bisa menangkap penjual miras yang ilegal alias tidak
membayar pajak.
Maka akhirnya pemuda yang marah ini kemudian
menghancurkan swalayan yang menjual miras. Tujuan jangka panjangnya adalah
ingin menegakkan syari’at di muka bumi ini, namun tindakan yang dilakukan sama
sekali tidak menggambarkan arah tercapainya tujuan.
Mungkin mereka berdalih bahwa tujuan jangka pendeknya
adalah yang penting umat tidak minum miras lagi. Benarkah jika toko tersebut
dihancurkan lalu mereka kapok menjual miras lagi? Mungkin saja untuk sekian
waktu toko itu tutup tidak berjualan. Namun mereka bisa bangkit lagi misalnya
saja karena tokonya diasuransikan. Namun yang lebih dipertanyakan lagi benarkah
orang yang suka mabuk kemudian bertobat dan insyaf setelah toko yang menjual
miras itu dihancurkan? Mungkin saja sementara waktu mereka kesulitan
mendapatkan toko yang menjual miras, namun yang namanya pemabuk dan masih jadi
pemabuk, mereka akan berusaha mendapatkan miras dari tempat lain. Berarti
tindakan menghancurkan toko yang menjual miras sama sekali tidak selaras dengan
tujuan semula yaitu memberantas miras di muka bumi ini. Terlebih jika tujuannya
adalah tegaknya syari’at Islam jelas jauh panggang dari api. Karena masyarakat
malah tidak simpati dengan aksi kekerasan dan phobia dengan syari’at Islam.
Ada sebagian yang berdalih bahwa yang penting adalah
niatnya. Tentu saja tidak demikian. Niat yang baik harus disetai dengan cara
yang benar. Misalnya niatnya mulia yaitu ingin bersedekah mamun caranya kasar
dengan melemparkan makanan atau uang kepada fakir miskin, mungkin saja fakir miskin
itu merasa terhina dan tidak malah berbalik marah. Yang lebih celaka lagi
mereka mengeneralisir bahwa umat Islam itu adalah umat yang kasar dan justru
mereka tertipu dengan kelemahlembutan kaum kafir yang memanfaatkan situasi ini.
SEMUA
SALING TERKAIT
Hampir dalam banyak hal menyangkut kemungkaran dan
kezhaliman yang terjadi di muka bumi ini semuanya tidaklah berdiri sendiri
sendiri melainkan saling terkait. Sehingga upaya untuk mengubah kemungkaran
atau bahkan lebih jauh lagi jika ingin menghentikan atau menghapus kemungkaran
itu tidak dapat dilakukan secara parsial (sektoral).
Kita hendaknya belajar dari pengalaman sejak jaman dahulu
kala bahwa mengubah kemungkaran secara sebagian sebagian adalah usaha yang
sia-sia. Yang dimaksud dengan sia-sia di sini bukanlah dari segi pahala amal
perjuangannya melainkan dari sisi keefektifan tercapainya tujuan.
Kita semua terlebih bangsa Indonesia khususnya dan dunia
Islam pada umumnya sebenarnya telah memiliki pelajaran berharga dari usaha
perlawanan para pendahulu kita dalam menyingkirkan penjajah Barat. Ribuan
peperangan telah berlaku dan jutaan nyawa telah melayang namun kalian seakan
tak pernah mengambil pelajaran.
Salah satu pelajaran yang telah kita sadari sejak dahulu
kala adalah bahwa perlawanan secara parsial itu tidak efektif membawa hasil.
Penjajah Belanda yang hanya berpenduduk 3 Juta orang saat itu bisa menjajah
ratusan tahun bangsa Indonesia yang wilayahnya luas dan penduduknya puluhan
juta jiwa. Belanda dengan pasukan yang sedikit bisa memobilisai pasukan dan
memindahkannya ke sana kemari untuk memadamkan perlawanan karena perlawanan itu
dilakukan silih berganti dengan jumlah kecil di sana sini. Antara satu
perlawanan dengan perlawanan yang berikutnya memiliki jeda waktu yang panjang
yang membuat Belanda cukup waktu untuk mengalihkan pasukannya dan menyusun
kembali kekuatannya.
Demikian pula harus kita sadari bahwa kunci dari sukses
Belanda menjajah Indonesia tidak hanya masalah persenjataan yang lebih modern,
namun juga masalah manajemen logistik (perbekalan), kejelian strategi,
informasi dari mata-mata yang tersebar, pemahamannya atas karakter bangsa
Indonesia yang mudah diadu domba dan tentu saja dukungan keuangan yang kuat.
Belum lagi jika kita lihat bahwa Bangsa Belanda merupakan bagian dari Bangsa
Barat yang saat itu saling bahu membahu memerangi umat Islam dan membagi-bagi
daerah jajahannya satu sama lain. Dukungan finansial dan perdagangan antar
negara, pertukaran informasi dan strategi di antara mereka demikian erat. Maka
masalahnya adalah tidak sesederhana itu, ini adalah suatu sistem yang terjalin
saling berkait berkelindan satu sama lain saling memperkuat.
Dalam contoh kecil pemberantasan miras, permasalahannya
bukan semata-mata si penjual miras. Melainkan adanya pabrik miras yang
memproduksi miras dengan bahan baku dari berbagai bahan yang merupakan produksi
pertanian dan buah-buahan dari berbagai desa, berikut ribuan buruh pabrik serta
penghasilan pajak bagi pemerintah bagik dari pabrik maupun produk jadi
minumannya. Yang terakhir adalah para penikmat miras yang tersebar di seantero
negeri semua ini berjalin berkelindan membentuk persoalan miras.
Apakah toko miras yang menjual sehingga mempengaruhi
orang membeli miras? Ataukah karena orang sudah lebih dulu banyak yang
mengkonsumsi mirah sehingga toko itu menjualnya? Ataukah pabrik duluan yang
membuat baru ada orang yang meminum? Ataukah karena banyak orang minum miras
maka didirikanlah pabrik miras? Sebagian orang berkata : “Ah terserah lah mana
yang duluan yang penting kita bertindak saja, mana yang bisa lebih mudah
dihantam duluan itulah yang kita lakukan” Begitulah langkah perjuangan tanpa
strategi yang matang. Sebenarnya mereka malas terlalu rumit berfikir dan tidak
peduli dengan keselarasan tujuan. Yang penting amarah dan kesabaran menuntut
penyaluran segera. Maka tindakan seperti ini hanyalah memuaskan ego pribadi
saja yang menuntut pelampiasan atas emosi sesaat.
Wallahualam bishowab.
Wassalamualaikum.