Oleh : Abu Akmal Mubarok
Agama menganjurkan memilih jodoh
berdasarkan agamanya dan bukan melihat hartanya, fisiknya atau keturunannya.
“Wanita itu dinikahi karena empat
hal, yaitu: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Nikahilah
wanita yang taat beragama, maka engkau akan berbahagia." (H.R.
Muttafaq Alaihi)
Ada yang menulis di dunia maya ini
bahwa cinta hakiki adalah cinta tanpa perlu melihat fisiknya. Dan kalaupun
dilihat fisiknya, adalah fisiknya yang selalu terpelihara menundukkan
pandangan. Lalu kalaupun dilihat kekayaannya maka kekayaan ilmunya, dan
kalaupun dilihat keturunannya maka pilihlah keturuanan orang sholeh. Artinya
semua ditafsiri sebagai kiasan dan diarahkan kepada pertimbangan agama semata.
Penafsiran seperti ini sungguh mulia
dan dan sangat bagus jika memang dia sanggup menjalaninya begitu karena agama
pun menyukai jika bisa mencintai tanpa memandang fisiknya.
Janganlah kamu menikahi wanita
karena kecantikannya karena boleh jadi kecantikannya itu akan membinasakannya
dan janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya karena boleh jadi hartanya
akan menjadikannya sombong. Tapi nikahilah mereka karena agamanya, dan budak
yang hitam kulitnya tapi taat beragama itu lebih baik (H.R. Ibnu Majah)
Bila ada yg berbulat hati menikahi
seseorang tanpa tahu sama sekali seperti apa fisiknya, itu bagus saja. Bila ada
yang menikah hanya bertukar biodata tanpa tahu seperti apa calon pasangannya
juga boleh-boleh saja. Namun janganlah timbul sikap berlebihan dengan merasa
bahwa melihat fisik adalah terlarang dalam Islam dan jika bisa menikah tanpa
sama sekali melihat fisik itu lebih islami daripada yang terlebih dahulu
melihat fisik. Ada pula mak comblang atau ustad/ustadzah atau murobbi/ murobiyah
yang mengecam muridnya /mad’u nya ketika menuntut untuk terlebih dahulu melihat
calon pasangannya. Sesungguhnya Islam adalah agama yang realistis dan
Rasulullah S.A.W. pun tidak melarang melihat calon pasangan yang hendak
dinikahi, bahkan lebih dari itu Rasulullah S.A.W. justru memerintahkan untuk
melihat calon pasangan yang hendak dinikahinya.
Karena kesukaan pada yang indah
adalah salah satu kecenderungan manusia dan tidak perlu dipungkiri atau
dinafikkan.
Sesungguhnya Allah indah dan senang
kepada keindahan. Bila seorang ke luar untuk menemui kawan-kawannya hendaklah merapikan dirinya. (H.R. Al-Baihaqi)
Ibnu mas’ud ia memarfukannya :
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji dari
kesombongan” Ada seseorang yang bertanya : Sesungguhnya seseorang suka kalau
pakaiannya bagus dan terompahnya bagus” Ia (Rasulullah SAW) bersabda : “Sesungguhnya
Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. (H.R. Muslim, Tirmidzi dan Abu
Daud).
Islam bukanlah agama yang bersifat
esoteris yaitu yang memandang sebagala macam kesenangan dunia dan keinginan di
hati manusia itu sebagai kotor dan harus dijauhi. Berbeda dengan agama-agama
lain yang berpendapat jika hendak mencapai kesucian maka harus meninggalkan
segala hal duniawi. Bahkan sebaliknya Islam menyatakan bahwa ketertarikan
kepada lawan jenis, anak-anak harta, kendaraan dan tanah adalah manusiawi.
Begitu juga Allah telah menjadikan
ketertarikan pada lawan jenis itu Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali
Imran [3]:14).
Di sisi lain Islam juga
mengisyaratkan bahwa ketertarikan seseorang pada daya tarik fisik adalah
sesuatu yang manusiawi bahkan hal itu dianggap sebuah kebaikan jika wanita
berusaha tampil menarik secara fisik di hadapan suami sehingga menyenangkan
pandangan suaminya.
Sebaik-baik istri ialah yang
menyenangkan mu bila engkau memandangnya (H.R.
Thabrani)
Kata-kata “Menyenangkan bila engkau
memandangnya” itu mengisyaratkan kebaikan penampilan dan perilaku. Walaupun
seorang wanita mungkin saja tidak menarik raut wajahnya, namun semaksimal
mungkin ia tampil menarik, dengan berdandan, menyisir rambut, merawat muka,
merapikan pakaian, dan tampil bersih di hadapan suami, sehingga menyenangkan
pandangan suaminya. Ini termasuk katagori indah secafa fisik.
Kawinilah (oleh mu) wanita lain yang
“kamu sukai”, … (Q.S. AN Nisa:3)
Istilah wanita yang “kamu sukai”,
mengisyaratkan juga bahwa menikahi seseorang memang berdasarkan rasa suka. Jadi
Allah pun membolehkani faktor rasa “suka” atau “tertarik”. Jika tidak ada rasa
suka sama sekali hanya semata taat dijodohkan oleh orang tua atau ustadz nya
maka dikhawatirkan tidak melanggengkan perkawinan itu sendiri. Namun jika Anda
percaya penuh dan menerima apapun jodoh yang disodorkan oleh orang tua atau
ustadz maka hal itu telah memenuhi perintah Allah agar menikahi seseorang yang
“disukai” dengan catatan berarti ia siap menyukai apapun yang akan disodorkan
pada dirinya.
Oleh karena itu lah Rasulullah SAW
membolehkan seorang pria jika hendak menikah agar memantapkan pilihannya dan
melanggengkan perkawinan untuk melihat wanita yang akan dinikahinya.
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu
melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk
dinikahi, hendaknya ia lakukan." (H.R Ahmad dan Abu Dawud dengan
perawi-perawi tsiqah (dipercaya). Hadits shahih menurut Hakim) (Bulughul Maram
min ‘Adilatil Ahkam)
Dalam sebuah keterangan dijelaskan
bahwa orang-orang Anshar (Madinah) matanya agak lebih sipit dibanding orang
Mekah.
Dari Abu Hurairah RA berkata, “Saya
pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka
Nabi bertanya, ‘Sudahkah kau lihat dia?’ Ia mengatakan, ‘Belum!’ Kemudian Nabi
mengatakan, ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar
itu ada sesuatu.’” (H.R. Muslim)
Ketika Rasulullah S.A.W. menyatakan
“di mata orang Anshar ada sesuatu” maka sebagian ulama menjeklaskan bahwa yang
dimaksud adalah mata orang Anshor lebih sipit dibanding orang Mekah. Maka jelas
ini menunjukkan aspek fisik menjadi salah satu pertimbangan dalam menyukai
pasangan yang hendak dinikahinya dan ini bukanlah sesuatu yang nista.
Hal ini tidak bertentangan dengan
kaidah pergaulan secara umum bahwa antara pria dan wanita harus menundukkan
pandangan (tapi bukan berarti memejamkan mata atau tidak melihat sama sekali).
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia
pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan kepadanya,
“Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu
berdua.” Kemudian Mughirah pergi kepada dua orangtua perempuan tersebut, dan
memberitahu-kan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orangtuanya
itu tidak suka (kalau anak gadisnya dilihat orang). Si perempuan tersebut
mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan, ‘Kalau Rasulullah
menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah.’ Kata Mughirah, ‘Saya lantas
melihatnya dan kemudian mengawininya.’” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan
Ad-Darimi).
Dari Jabir berkata Rasulullah SAW
pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang
seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang sekiranya dapat
menarik untuk mengawininya, maka lakukanlah.” (H.R. Abu Daud, Al Hakim, dan
Ahmad).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi S.A.W
pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah
engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi
dan lihatlah. Maka
Ketika Rasulullah SAW masih hidup
pun, ada seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya bukan karena keburukan
agama suaminya bukan pula karena kemiskinan atau buruk akhlak suaminya, namun
semata karena tidak cinta dan tidak suka.
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa istri
Tsabit Ibnu Qais r.a. menghadap Nabi S.A.W. dan berkata: Wahai Rasulullah, aku
tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka menjadi durhaka setelah
masuk Islam (karena enggan pada suami). Lalu Rasulullah S.A.W. bersabda:
"Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?". Ia menjawab: Ya.
Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu
Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan sekali talak (talak
satu) ." (H.R Bukhari).
Ketidak sukaan istri Tsabit bin Qais
adalah karena tidak suka dengan wajahnya yang jelek, dan hal ini adalah
manusiawi. Dan ketidak sukaan ini sudah cukup mendalam sehingga ia enggan atau
jijik jika melayani suaminya.
Dari Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, r.a: Bahwa Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata:
“Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku
ludahi wajahnya”. (H.R. Ibnu Majah)
Sahal Ibnu Abu Hatsmah berkata : “Itu
adalah permintaan cerai dari wanita (khulu) yang pertama dalam Islam” (H.R.
Ahmad).
Hadits di atas menunjukkan bahwa
walaupun faktor agama menjadi pertimbangan utama namun ketertarikan fisik
bukanlah sesuatu yang terlarang. Dan orang yang tidak menyukai atau tidak
tertarik fisik dari pasangannya bukanlah sesuatu yang tercela.
Melihat calon pasangan yang disukai
bisa dengan cara sepengetahuan yang bersangkutan atau tidak sama sekali
demikian pula boleh dengan sepengetahuan keluarganya atau tidak, selama
melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah
tentang calon isterinya, “Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.”
Hal ini tidak bertentang an dengan
ketentuan syariat bahwa secara umum “jika tidak ada keperluan yang dibenarkan
oleh syari’at” maka laki-laki yang bukan mahram tak boleh memandang wanita.
“Katakanlah kepada orang-orang
mu'min laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan
menjaga kemaluannya; kerana yang demikian itu lebih bersih bagi mereka.
Sesungguhnya Allah maha meneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. Dan
katakanlah kepada orang-orang mu'min perempuan: hendaknya mereka itu
menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan jangan
menampak-nampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya, dan
hendaknya mereka itu melabuhkan tudung sampai ke dadanya, dan jangan
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau kepada ayahnya atau
kepada mertuanya atau kepada anak-anak laki-lakinya atau kepada anak-anak
suaminya, atau kepada saudaranya atau anak-anak saudara laki-lakinya
(keponakan) atau anak-anak saudara perempuannya atau kepada sesama perempuan
atau kepada hamba sahayanya atau orang-orang yang mengikut (bujang) yang tidak
mempunyai keinginan, iaitu orang laki-laki atau anak yang tidak suka
memperhatikan aurat perempuan dan jangan memukul-mukulkan kakinya supaya
diketahui apa-apa yang mereka rahasiakan dari perhiasannya.” (an-Nur: 30-31).
Istilah “gadhul bashar” atau
menundukkan pandangan tidak berarti “memejamkan mata” atau “matanya ditutup
sesuatu sehingga tidak bisa melihat”. Melainkan cukup memalingkan pandangan
saja sebagaimana hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Abbas ia berkata :
“seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah SAW
untuk minta fatwa lalu Fadal memandang wanita itu (terus menerus) karena kagum
dengan kecantikannya. Lalu Nabi SAW menoleh (pada Fadhal) dan saat itu Fadhal
masih saja memandangi wanita itu, Nabi SAW segera memegang leher Fadhal dari
belakang dan memutar mukanya sehingga tidak lagi memandang ke arah wanita itu”
(H.R. Bukhari Muslim).
Oleh karena itu Rasulullah berpesan
pada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu
mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun
yang berikutnya tidak boleh." (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
Melihat dan mempertimbangkan faktor
fisik juga merupakan keniscayaan dalam pernikahan karena jangan sampai nanti
orang menceraikan dan menyesali pilihannya karena merasa belum seksama
mengetahui kondisi fisik pasangannya. Salah satu kondisi fisik yang dimaksud di
sini adalah termasuk penyakit yang dideritanya, seperti cacat pada tubuhnya,
atau tidak bisa menghasilkan keturunan, harus secara jujur dijelaskan oleh mak
comblang atau perantaranya atau oleh yang bersangkutan.
Dari Said Ibnu al-Musayyab bahwa
Umar Ibnu al-Khaththab r.a. berkata: Laki-laki manapun yang menikah
dengan perempuan dan setelah menggaulinya ia mendapatkan perempuan itu
berkudis, gila, atau berpenyakit kusta, maka ia harus membayar maskawin karena
telah menyentuhnya dan ia berhak mendapat gantinya dari orang yang menipunya
(Atsar Umar dikutip dalam Bulughul Maram min ‘Adilatil Ahkam).
Demikian pula bila dikhawatirkan
cacat tubuh atau kondisi fisik seseorang itu dapat menghilangkan selera,
sehingga dikhawatirkan bisa mempengaruhi kelanggengan pernikahannya maka hal
ini harus dijelaskan sebelum perkawinan. Misalnya rambutnya botak total atau
botak sebagian (pitak) ada bagian tubuh yang bekas luka bakar yang menjijikkan
dll. Maka ini termasuk perkara yang dibolehkan agama untuk dilihat dan
dipertimbangkan apakah seseorang bisa menerima kondisi calon pasangannya. Hal
ini lebih baik daripada dipaksakan dan menyebabkan ketidakharmonisan rumah
tangga. Namun jika Anda menyatakan diri siap menerima apapun resikonya tanpa
harus melihat terlebih dahulu calon pasangan Anda maka hal itu bagus bagus saja
dan andaikan Anda bersabar dengan kekurangan fisik pasangan Anda maka hal itu
akan mendapat pahala tersendiri dari sisi Allah. insyaAllah. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar