Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

BERDOSAKAH JIKA MENIKAH KARENA TERTARIK FISIK? (bag 1)


Oleh : Abu Akmal Mubarok

Agama menganjurkan memilih jodoh berdasarkan agamanya dan bukan melihat hartanya, fisiknya atau keturunannya.
Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Nikahilah wanita yang taat beragama, maka engkau akan berbahagia." (H.R. Muttafaq Alaihi)

Ada yang menulis di dunia maya ini bahwa cinta hakiki adalah cinta tanpa perlu melihat fisiknya. Dan kalaupun dilihat fisiknya, adalah fisiknya yang selalu terpelihara menundukkan pandangan. Lalu kalaupun dilihat kekayaannya maka kekayaan ilmunya, dan kalaupun dilihat keturunannya maka pilihlah keturuanan orang sholeh. Artinya semua ditafsiri sebagai kiasan dan diarahkan kepada pertimbangan agama semata.
Penafsiran seperti ini sungguh mulia dan dan sangat bagus jika memang dia sanggup menjalaninya begitu karena agama pun menyukai jika bisa mencintai tanpa memandang fisiknya.

Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya karena boleh jadi kecantikannya itu akan membinasakannya dan janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya karena boleh jadi hartanya akan menjadikannya sombong. Tapi nikahilah mereka karena agamanya, dan budak yang hitam kulitnya tapi taat beragama itu lebih baik (H.R. Ibnu Majah)

Bila ada yg berbulat hati menikahi seseorang tanpa tahu sama sekali seperti apa fisiknya, itu bagus saja. Bila ada yang menikah hanya bertukar biodata tanpa tahu seperti apa calon pasangannya juga boleh-boleh saja. Namun janganlah timbul sikap berlebihan dengan merasa bahwa melihat fisik adalah terlarang dalam Islam dan jika bisa menikah tanpa sama sekali melihat fisik itu lebih islami daripada yang terlebih dahulu melihat fisik. Ada pula mak comblang atau ustad/ustadzah atau murobbi/ murobiyah yang mengecam muridnya /mad’u nya ketika menuntut untuk terlebih dahulu melihat calon pasangannya. Sesungguhnya Islam adalah agama yang realistis dan Rasulullah S.A.W. pun tidak melarang melihat calon pasangan yang hendak dinikahi, bahkan lebih dari itu Rasulullah S.A.W. justru memerintahkan untuk melihat calon pasangan yang hendak dinikahinya.
Karena kesukaan pada yang indah adalah salah satu kecenderungan manusia dan tidak perlu dipungkiri atau dinafikkan.

Sesungguhnya Allah indah dan senang kepada keindahan. Bila seorang ke luar untuk menemui kawan-kawannya hendaklah merapikan dirinya. (H.R. Al-Baihaqi)

Ibnu mas’ud ia memarfukannya : “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji dari kesombongan” Ada seseorang yang bertanya : Sesungguhnya seseorang suka kalau pakaiannya bagus dan terompahnya bagus” Ia (Rasulullah SAW) bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. (H.R. Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud).

Islam bukanlah agama yang bersifat esoteris yaitu yang memandang sebagala macam kesenangan dunia dan keinginan di hati manusia itu sebagai kotor dan harus dijauhi. Berbeda dengan agama-agama lain yang berpendapat jika hendak mencapai kesucian maka harus meninggalkan segala hal duniawi. Bahkan sebaliknya Islam menyatakan bahwa ketertarikan kepada lawan jenis, anak-anak harta, kendaraan dan tanah adalah manusiawi.

Begitu juga Allah telah menjadikan ketertarikan pada lawan jenis itu Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran [3]:14).

Di sisi lain Islam juga mengisyaratkan bahwa ketertarikan seseorang pada daya tarik fisik adalah sesuatu yang manusiawi bahkan hal itu dianggap sebuah kebaikan jika wanita berusaha tampil menarik secara fisik di hadapan suami sehingga menyenangkan pandangan suaminya.
Sebaik-baik istri ialah yang menyenangkan mu bila engkau memandangnya (H.R. Thabrani)

Kata-kata “Menyenangkan bila engkau memandangnya” itu mengisyaratkan kebaikan penampilan dan perilaku. Walaupun seorang wanita mungkin saja tidak menarik raut wajahnya, namun semaksimal mungkin ia tampil menarik, dengan berdandan, menyisir rambut, merawat muka, merapikan pakaian, dan tampil bersih di hadapan suami, sehingga menyenangkan pandangan suaminya. Ini termasuk katagori indah secafa fisik.
Kawinilah (oleh mu) wanita lain yang “kamu sukai”, … (Q.S. AN Nisa:3)

Istilah wanita yang “kamu sukai”, mengisyaratkan juga bahwa menikahi seseorang memang berdasarkan rasa suka. Jadi Allah pun membolehkani faktor rasa “suka” atau “tertarik”. Jika tidak ada rasa suka sama sekali hanya semata taat dijodohkan oleh orang tua atau ustadz nya maka dikhawatirkan tidak melanggengkan perkawinan itu sendiri. Namun jika Anda percaya penuh dan menerima apapun jodoh yang disodorkan oleh orang tua atau ustadz maka hal itu telah memenuhi perintah Allah agar menikahi seseorang yang “disukai” dengan catatan berarti ia siap menyukai apapun yang akan disodorkan pada dirinya.

Oleh karena itu lah Rasulullah SAW membolehkan seorang pria jika hendak menikah agar memantapkan pilihannya dan melanggengkan perkawinan untuk melihat wanita yang akan dinikahinya.
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." (H.R Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi tsiqah (dipercaya). Hadits shahih menurut Hakim) (Bulughul Maram min ‘Adilatil Ahkam)

Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa orang-orang Anshar (Madinah) matanya agak lebih sipit dibanding orang Mekah.
Dari Abu Hurairah RA berkata, “Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya, ‘Sudahkah kau lihat dia?’ Ia mengatakan, ‘Belum!’ Kemudian Nabi mengatakan, ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.’” (H.R. Muslim)

Ketika Rasulullah S.A.W. menyatakan “di mata orang Anshar ada sesuatu” maka sebagian ulama menjeklaskan bahwa yang dimaksud adalah mata orang Anshor lebih sipit dibanding orang Mekah. Maka jelas ini menunjukkan aspek fisik menjadi salah satu pertimbangan dalam menyukai pasangan yang hendak dinikahinya dan ini bukanlah sesuatu yang nista.

Hal ini tidak bertentangan dengan kaidah pergaulan secara umum bahwa antara pria dan wanita harus menundukkan pandangan (tapi bukan berarti memejamkan mata atau tidak melihat sama sekali).
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan kepadanya, “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” Kemudian Mughirah pergi kepada dua orangtua perempuan tersebut, dan memberitahu-kan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orangtuanya itu tidak suka (kalau anak gadisnya dilihat orang). Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan, ‘Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah.’ Kata Mughirah, ‘Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya.’” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan Ad-Darimi).

Dari Jabir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang sekiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka lakukanlah.” (H.R. Abu Daud, Al Hakim, dan Ahmad).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi S.A.W pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi dan lihatlah. Maka
Ketika Rasulullah SAW masih hidup pun, ada seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya bukan karena keburukan agama suaminya bukan pula karena kemiskinan atau buruk akhlak suaminya, namun semata karena tidak cinta dan tidak suka.

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa istri Tsabit Ibnu Qais r.a. menghadap Nabi S.A.W. dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka menjadi durhaka setelah masuk Islam (karena enggan pada suami). Lalu Rasulullah S.A.W. bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?". Ia menjawab: Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan sekali talak (talak satu) ." (H.R Bukhari).

Ketidak sukaan istri Tsabit bin Qais adalah karena tidak suka dengan wajahnya yang jelek, dan hal ini adalah manusiawi. Dan ketidak sukaan ini sudah cukup mendalam sehingga ia enggan atau jijik jika melayani suaminya.

Dari Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, r.a: Bahwa Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata: “Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya”. (H.R. Ibnu Majah)
Sahal Ibnu Abu Hatsmah berkata : “Itu adalah permintaan cerai dari wanita (khulu) yang pertama dalam Islam” (H.R. Ahmad).

Hadits di atas menunjukkan bahwa walaupun faktor agama menjadi pertimbangan utama namun ketertarikan fisik bukanlah sesuatu yang terlarang. Dan orang yang tidak menyukai atau tidak tertarik fisik dari pasangannya bukanlah sesuatu yang tercela.
Melihat calon pasangan yang disukai bisa dengan cara sepengetahuan yang bersangkutan atau tidak sama sekali demikian pula boleh dengan sepengetahuan keluarganya atau tidak, selama melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang calon isterinya, “Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.”

Hal ini tidak bertentang an dengan ketentuan syariat bahwa secara umum “jika tidak ada keperluan yang dibenarkan oleh syari’at” maka laki-laki yang bukan mahram tak boleh memandang wanita.
“Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya; kerana yang demikian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha meneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. Dan katakanlah kepada orang-orang mu'min perempuan: hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan jangan menampak-nampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya, dan hendaknya mereka itu melabuhkan tudung sampai ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau kepada ayahnya atau kepada mertuanya atau kepada anak-anak laki-lakinya atau kepada anak-anak suaminya, atau kepada saudaranya atau anak-anak saudara laki-lakinya (keponakan) atau anak-anak saudara perempuannya atau kepada sesama perempuan atau kepada hamba sahayanya atau orang-orang yang mengikut (bujang) yang tidak mempunyai keinginan, iaitu orang laki-laki atau anak yang tidak suka memperhatikan aurat perempuan dan jangan memukul-mukulkan kakinya supaya diketahui apa-apa yang mereka rahasiakan dari perhiasannya.” (an-Nur: 30-31).

Istilah “gadhul bashar” atau menundukkan pandangan tidak berarti “memejamkan mata” atau “matanya ditutup sesuatu sehingga tidak bisa melihat”. Melainkan cukup memalingkan pandangan saja sebagaimana hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Abbas ia berkata : “seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah SAW untuk minta fatwa lalu Fadal memandang wanita itu (terus menerus) karena kagum dengan kecantikannya. Lalu Nabi SAW menoleh (pada Fadhal) dan saat itu Fadhal masih saja memandangi wanita itu, Nabi SAW segera memegang leher Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak lagi memandang ke arah wanita itu” (H.R. Bukhari Muslim).

Oleh karena itu Rasulullah berpesan pada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh." (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

Melihat dan mempertimbangkan faktor fisik juga merupakan keniscayaan dalam pernikahan karena jangan sampai nanti orang menceraikan dan menyesali pilihannya karena merasa belum seksama mengetahui kondisi fisik pasangannya. Salah satu kondisi fisik yang dimaksud di sini adalah termasuk penyakit yang dideritanya, seperti cacat pada tubuhnya, atau tidak bisa menghasilkan keturunan, harus secara jujur dijelaskan oleh mak comblang atau perantaranya atau oleh yang bersangkutan. 

Dari Said Ibnu al-Musayyab bahwa Umar Ibnu al-Khaththab r.a. berkata: Laki-laki manapun yang menikah dengan perempuan dan setelah menggaulinya ia mendapatkan perempuan itu berkudis, gila, atau berpenyakit kusta, maka ia harus membayar maskawin karena telah menyentuhnya dan ia berhak mendapat gantinya dari orang yang menipunya (Atsar Umar dikutip dalam Bulughul Maram min ‘Adilatil Ahkam).

Demikian pula bila dikhawatirkan cacat tubuh atau kondisi fisik seseorang itu dapat menghilangkan selera, sehingga dikhawatirkan bisa mempengaruhi kelanggengan pernikahannya maka hal ini harus dijelaskan sebelum perkawinan. Misalnya rambutnya botak total atau botak sebagian (pitak) ada bagian tubuh yang bekas luka bakar yang menjijikkan dll. Maka ini termasuk perkara yang dibolehkan agama untuk dilihat dan dipertimbangkan apakah seseorang bisa menerima kondisi calon pasangannya. Hal ini lebih baik daripada dipaksakan dan menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga. Namun jika Anda menyatakan diri siap menerima apapun resikonya tanpa harus melihat terlebih dahulu calon pasangan Anda maka hal itu bagus bagus saja dan andaikan Anda bersabar dengan kekurangan fisik pasangan Anda maka hal itu akan mendapat pahala tersendiri dari sisi Allah. insyaAllah. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar