Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

"Antara Wanita dan Pria, antara Suami dan Istri)"






Bulan ditakdirkan oleh Allah untuk menerangi  bumi di malam hari sedangkan Matahari ditugasi oleh Allah bersinar di siang hari. Namun bulan tidak pernah merasa bahwa tugas dia pada malam hari itu lebih rendah daripada Matahari. Demikian pula bulan tidak pernah merasa kecil hati bahwa Matahari ukurannya lebih besar dan bersinar lebih terang dan lebih panas. Karena masing-masing ada manfaatya dan ada peranannya. Tidak ada yang mengatakan bahwa di malam hari lebih inferior dan peran di siang hari lebih superior.

Bahkan dalam ilmu astronomi dijelaskan bahwa bulan sebenarnya tidak memiliki sinar sendiri melainkan sekadar memantulkan sebagian sinar matahari sehingga sinarnya lebih redup dan tidak seterang matahari. Namun bulan tidak pernah protes pada Allah ingin disama-samakan memiliki sinar sendiri seperti matahari. Bulan juga tidak merasa lebih rendah karena tidak memancarkan sinar sendiri.

Ibarat bulan dan matahari demikianlah pula Allah menjadikan wanita dan pria. Wanita ditugaskan untuk melahirkan, merawat dan mendidik anak-anak, sehingga ia dianugerahi sifat lembut, dan penyayang. Sedangkan laki-laki ditugaskan mencari nafkah, dan melindungi keluarga dari marabahaya , sehingga ia dianugerahi sifat lebih aktif, agresif, perkasa, lebih dominan logika nya daripada perasaannya. Allah membagi tugas sedemikian itu sebagai bentuk keseimbangan untuk saling melengkapi satu sama lain.

Sebagaimana bulan dan matahari, semestinyalah wanita dan pria pun tidak merasa unggul dan diungguli, tak perlu ada pihak yang merasa kecil dan dikecilkan,masing-masing memiliki peran, dan masing-masing adalah penting, sehingga tak usahlah ada perasaan rendah dan direndahkan. Pria tak perlu merasa unggul dari wanita dan wanita pun tak perlu merasa lebih rendah dari pria.

Ini untuk wanita pada umumnya (dan khususnya yg bergelar istri):

“Jika aku boleh menyuruh manusia bersujud kepada manusia, tentu aku akan menyuruh perempuan bersujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad).

“Tidak patut manusia bersujud kepada manusia, andai manusia boleh bersujud kepada manusia, maka aku perintahkan kepada wanita bersujud di depan suaminya, mengingat besarnya hak suami atas istri. Demi dzat yang jiwa ragaku berada dalam genggaman tangan-Nya, andaikata sekujur tubuh suami, dari kepala sampai kaki penuh dengan luka yang berdarah dan bernanah, lalu sang istri menjilatinya, dia belum dapat melunasi haknya.” (HR. Ahmad).

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa sementara suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya, dan istri tidak boleh mempersilahkan seseorang masuk rumah kecuali dengan persetujuan suami.” (HR. Muttafaq’Alaih).

“Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil daripadanya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda: “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari, Muslim).

Demikian pula jika wanita itu dilindungi pria dan tugas pria lah mencari nafkah bagi wanita dan anak-anaknya, berarti pria lah yang justru melayani wanita. Dalam hal ini kedudukan wanita justru lebih terhormat dan dihormati. Laki-laki yang harus membanting tulang mencari nafkah sedangkan istri tidak ada kewajiban mencari nafkah walaupun boleh saja ia ikut bekerja mencari nafkah. Maka sungguh aneh  jika ikut sertanya wanita bekerja di luar rumah itu didasari oleh perasaan ingin menyama-i laki-laki.

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah: 233).

“Berbuat baiklah terhadap istri kalian, karena wanita tercipta dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian terbengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, maka akan mematahkannya, dan jika engkau biarkan, maka ia tetap bengkok. Untuk itulah, berbuat-baiklah kalian kepada istri-istri.” (HR. Muttafaq’Alaih)

Istilah “ingin menyama-i” itu bisa berarti yang “tinggi” ingin “turun” menjadi sama-sama rendah. Seperti misalnya yang lebih tinggi yaitu yang berdiri di bis ingin sama-sama ke posisi lebih rendah yaitu kebagian tempat duduk. Tapi dalam konteks perana wanita dan pria, istilah “ingin menyama-i” itu pastilah maksudnya yang lebih rendah ingin menyamakan posisi dengan yang “dianggap” lebih tinggi. Maka, jika ada perkataan “ingin menyama-i pria” maka sama saja saat itu ia merasa “direndahkan” atau menganggap dirinya rendah.

Ini untuk para pria pada umumnya (dan khususnya bagi yg bergelar suami):

“Saya bertanya kepada Rasulullah saw., siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan?.” Jawabnya: “Suaminya.” Lalu saya bertanya: “Siapakah haknya yang paling besar terhadap laki-laki?.” Jawabnya: “ibunya” (HR. Hakim).

Dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata: “Saya bertanya, wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami kepada suaminya? Sabdanya: Engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul mukanya. Janganlah engkau menjelekkannya, kecuali masih dalam satu rumah"(HR. Abu Dawud).

Di sisi lain, ingin “disamakan” itu bukan dalam segala hal melainkan untuk bagian-bagian tertentu saja Misalnya ada pihak yang menggugat ketentuan syariah dalam hal pembagian harta waris, atau mempersoalkan kesaksian wanita cukup dua orang saja, lalu hak talak itu juga bisa di tangan istri dan lain-lainnya. Tapi kalau pas urusan membawa barang bawaan atau berebutan duduk di kereta api atau bis kota, wanita minta diprioritaskan. Demikian pula dalam hal perburuhan, wanita minta dispensasi cuti hamil (karena tetap bekerja dalam keadaan hamil sungguh melelahkan) bahkan ada yang memperjuangkan diadakannya cuti bulanan (yaitu ketika di awal menstruasi ada sebagian wanita yang mengalami kesakitan). Artinya kita semua tetap menyadari bahwa wanita dan pria tidak bisa disamakan.

Tapi kita sepakat bahwa ada memang hal-hal yang semestinya sama, dan ternyata “belum sama” itu harus disamakan. Misalnya ada suami yang melarang istri berteman atau mengunjungi keluarganya, atau ada yang menganggap wanita itu cukup sampai SMA saja bahkan kalau perlu SD saja, toh peranannya hanya sebatas pekerjaan rumah saja. Demikian pula ada negara yang berpendapat bahwa wanita tidak boleh ikut pemilu, dan di hadapan hukum ia tidak mendapat perlakuan yang sama. Untuk hal-hal ini kita sepakat bahwa itu harus dibenahi.

Wallahualam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar