Kita tentu sering mendengar kata ini, tawasul. Ada
orang yg mengatakan berdoa dengan tawasul kepada para wali Allah yg mempunyai
karomah itu itu harus, karena doa kita sebagai orang awam yang lebih banyak
dosa harus dilalui (diantarkan) dahulu kepada orang-orang shaleh sehingga baru
akan sampai kepada yang dituju, yaitu Allah SWT.
Sebagian orang lagi mengatakan bahwa berdoa dengan perantara orang shaleh itu memang dibolehkan, akan tetapi perantara itu syaratnya ia adalah orang yang masih hidup dan bukan orang yang sudah meninggal.
Sebagian orang lagi mengatakan bahwa berdoa dengan perantara orang shaleh itu memang dibolehkan, akan tetapi perantara itu syaratnya ia adalah orang yang masih hidup dan bukan orang yang sudah meninggal.
Lalu bagaimana islam memandang masalah ini?
Tawasul masih berhubungan dengan wilayah khilafiyah, jadi perbedaan pendapat itu adalah hal wajar selama pendapat itu didasari dengan ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tawasul masih berhubungan dengan wilayah khilafiyah, jadi perbedaan pendapat itu adalah hal wajar selama pendapat itu didasari dengan ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Maka ijinkan saya sedikit memberi pandangan tentang
hal ini.
Bertawasul, sebuah ungkapan yang sering kita dengar. Bertawasul secara bahasa diambil dari kata ‘wasilah’ yang artinya sesuatu yang dijadikan sarana agar sampai kepada sesuatu yang lain, sehingga tawasul berarti menjadikan sesuatu sarana agar sampai kepada tujuan.
Bertawasul, sebuah ungkapan yang sering kita dengar. Bertawasul secara bahasa diambil dari kata ‘wasilah’ yang artinya sesuatu yang dijadikan sarana agar sampai kepada sesuatu yang lain, sehingga tawasul berarti menjadikan sesuatu sarana agar sampai kepada tujuan.
Sedangkan secara istilah syari bisa dikatakan bahwa
tawasul adalah usaha untuk sampai kepada keridhoan Allah serta surgaNya dengan
melakukan apa yg disyariatkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang.
Didalam alquran disebutkan kata wasilah di surat
Al-Maidah, 35 dan Al-isra’, 57 :
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”
(Qs.Al maidah, 35).
“ orang-orang yang
mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti” (Qs.Al Isra, 57).
Maksud dari lafaz ayat
‘mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka’ adalah Nabi Isa a.s., Para
Malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan
mendekatkan diri kepada Allah.
Dan secara
umumnya,bertawasul berarti berdoa agar doa kita bisa sampai kepada yang
diinginkan (Allah SWT).
Tawasul itu sendiri
dibagi menjadi 2, yaitu tawasul yang dibolehkan dan tawasul yang dilarang.
A.
TAWASUL
YANG DIPERBOLEHKAN.
1.
Tawasul kepada Allah
dengan menyebutkan asma dan sifat2Nya.
Hal ini sebagaimana petunjukNya dalam firman:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Qs. Al Arof, 180).
Hal ini sebagaimana petunjukNya dalam firman:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Qs. Al Arof, 180).
2.
Bertawasul kepada Allah dengan menyebutkan keimanan dan amal sholeh
yg pernah dilakukan.
Hal ini sebagaimana yg
dikisahkan mengenai ucapan orang2 yg beriman dalam firmanNya:
“..dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka ataupun kamu herdiam diri” (Qs.Al Arof, 193).
“..dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka ataupun kamu herdiam diri” (Qs.Al Arof, 193).
“Sesungguhnya
berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah)
yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah
mereka mmperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”
(Qs.Al arof, 194).
Mengenai hal ini juga dijelaskan dalam hadist shahih
bukhari yang panjang, yaitu kisah tentang tiga orang yang terjebak didalam goa
dan tertutup batu yg besar.
Salah
seorang diantara mereka berkata: “Sesungguhnya tidak ada yg menyelamatkan
kalian kecuali kalian berdoa kepada Allah dengan menyebut amal sholeh kalian”.
Maka
diantara mereka ada yg mengatakan,”Yaa Allah, dulu aku mengupah pegawai dan
telah kuberikan gaji mereka kecuali satu orang, ia telah meninggalkan haknya
dan pergi. Lalu akupun mengembangkan upahnya itu hingga menjadi harta yg
banyak, kemudian setelah beberapa waktu lamanya ia datang lagi kepadaku dan
berkata ‘wahai Abdullah (hamba Allah) berikanlah hakku yg dulu!’. Lalu aku
berkata,”Semua yg kau lihat ini adalah dari upahmu, berupa unta, sapi, kambing
dan sahaya.
Orang tersebut berkata,’wahai Abdullah, janganlah engkau menghinaku!’. Maka akupun mengatakan,’sungguh aku tidak menghinamu. Lalu orang tersebut mengambil semua haknya tanpa meninggalkan sedikitpun darinya.
Yaa Allah, sekiranya aku melakukan hal itu adalah untuk mengharap ridhoMu, maka lapangkanlah musibah yg menimpa kami”.
Maka bergeserlah batu besar tersebut sehingga mereka
bisa berjalan keluar goa.
Hadist diatas diriwayatkan oleh imam bukhari dalam
shahihnya 3/104 (2215) dan shahih muslim 8/89 (2743).
3.
Bertawasul kepada Allah dengan menyebut lafaz tauhid.
hal ini sebagaimana dijelaskan dlam tawasul nabi yunus dalam firmanNya:
“…dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (didalam perut ikan): "tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim” (Qs. Al Anbiyaa, 87-88).
4.
Bertawasul kepada Allah dengan menampakkan kelemahan dan
kebutuhannya kepada Allah.
hal ini sebagaimana dialami nabi ayyub dalam
firmanNya:
“..dan
(ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha
Penyayang di antara semua Penyayang"(Qs.AL Anbiyaa, 83).
“Maka
Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi
peringatan bagi semua yang menyembah Allah”(Qs.Al anbiyaa, 84).
5.
Bertawasul kepada Allah dengan doa orang sholeh yang masih hidup.
hal ini dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ketika mengalami kekeringan yg panjang dan mereka meminta kepada RAsulullah untuk berdoa kepada Allah agar menurunkan hujan. Dan ketika rasulullah sudah wafat, mereka meminta Abbas paman nabi untuk mendoakan bagi mereka.
6.
Bertawasul kepada Allah dengan mengakui dosa-dosa yang pernah
dilakukan.
hal ini seperti yang dilakukan nabi musa dalam firmanNya:
“Musa berdoa,’Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku’. Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al qoshosh, 16).
B. TAWASUL YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN
Allah berfirman, "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina" (Qs.Ghafir,60).
Ayat itu mengindikasikan bahwa berdoa itu adalah langsung kepada yg dituju, kepada yang maha mengabulkan doa, kepada Dzat yang hidup kekal abadi, BUKAN kepada orang yg sudah mati.
Allah berfirman, "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina" (Qs.Ghafir,60).
Ayat itu mengindikasikan bahwa berdoa itu adalah langsung kepada yg dituju, kepada yang maha mengabulkan doa, kepada Dzat yang hidup kekal abadi, BUKAN kepada orang yg sudah mati.
Tawasul yang tidak diperbolehkan adalah dengan
meminta doa atau syafaat dari orang-orang yang sudah meninggal, bertawasul
dengan kedudukan nabi, dan bertawasul dengan dzat para makhluk.
1.
Bertawasul dengan meminta doa orang2 yg sudah meninggal.
Hal ini dikarenakan orang yg sudah meninggal tidak
mampu lagi berdoa sebagaimana dulu ia berdoa ketika masih hidup. Maka meminta
syafaat atau wasilah doa kepada orang yg sudah meninggal adalah tidak
dibenarkan oleh syariat.
Para sahabat dulu bertawasul dengan doa orang yg
masih hidup seperti yg dilakukan oleh Abbas paman rasulullah, Zaid bin aswad
dan yang lainnya. Ketika rasulullah sudah meninggal, mereka tidak lagi
bertawasul kepada nabi, baik di dekat kubur beliau maupun tidak.
Sangatlah bisa dan mungkin saja dilakukan oleh para
sahabat untuk mendatangi kubur nabi dan bertawasul kepada beliau, tapi para
sahabat tidak melakukannya kerena mereka memahami arti dari tawasul.
2.
Bertawasul dengan menyebutkan kedudukan nabi ataupun kedudukan
oranglain yg sholeh menurut pandangan kita.
Sebuah ibadah HARUS didasari dengan ilmu dan mesti
ada dalil yg qothi (pasti) dan shahih yg menjelaskan hal itu. Karena ibadah itu
berkaitan langsung dengan Allah, hablumminallah, yg ibadah tersebut bersifat
vertikal, maka selama tidak didapatkan dalil yg shahih dalam suatu ibadah yg
membolehkannya (termasuk tawasul dengan kedudukan nabi dan orang sholeh) maka
hal itu adalah dilarang dalam hukum syara.
3.
Bertawasul dengan hak para makhluk.
Allah tidak memberikan hak yg menjadi kewajiban bagi
Allah, melainkan Allah memberikan kepada makhluk sebagai bentuk karuniaNya.
“Dan
Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yg beriman” (Qs. Ar Ruum, 47).
Ibnu katsir dalam tafsirnya Quranil adzim
mengatakan: ‘pertolongan tersebut merupakan hak Allah yg diwajibkan atas
diriNya Yang maha Mulia sebagai bentuk kemurahan dan karunia”.
Jadi jika seorang hamba berhak mendapatkan balasan,
mendapatkan karunia dan kenikmatan, maka sesungguhnya hakikatnya adalah hal itu
bukanlah hak mendapatkan balasan seperti seorang pekerja yg mendapat gaji dari
atasan, tapi hal itu merupakan mutlak rejeki dan karunia dari Allah atas
kemurahanNya kepada hambaNya.
Demikian sedikit yang bisa saya sampaikan.
Kuranglebihnya mohon maaf, masih bisa dikoreksi dan diluruskan. Allahu
musta’an.