Klik ini untuk Kembali ke BERANDA UTAMA

FITNAH LEBIH KEJAM DARI PEMBUNUHAN




Ayat ini pasti Anda sudah sering dengar… Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan(Q.S. Al-Baqarah:191) Dan berbuat fitnah itu lebih besar daripada membunuh… (Q.S. Al-Baqarah :217). 

Walaupun menyatakan bahwa fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan (sering dikutip juga oleh orang  bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan) justru kedua ayat ini berbicara dalam konteks perang. Jadi ayat ini adalah ayat perang. Lho apa maksudnya??

Di sinilah indahnya Al-Qur’an. Ayat-ayat Qur’an sangat dalam makna nya dan mengajarkan kita tentang siasat dan strategi namun sering umat Islam tidak menyadari itu. Lha bagaimana tidak, Qur’an itu sering berbicara dengan bungkusan-bungkusan atau “samaran” yang halus. 

Dari judul2 suratnya saja misal Al-Baqarah yang artinya “sapi betina”. Apakah isinya hanya tentang sapi? Tentu saja tidak. Bahkan isinya sarat dengan hal-hal perjuangan, peperangan, kenegaraan disamping sebagian besar mengupas masalah aqidah tentunya. Demikian juga judul suratnya “Al-Maidah” yang artinya “hidangan”. Apakah isinya tentang menu makanan? Malah sama sekali tidak. Lago-lagi isinya sarat dengan hal-hal perjuangan, dakwah, loyalitas sesama muslim dan lain-lain.

Jadi Al-Qur’an itu penuh dengan majaz (makna bersayap) dan tamsil (perumpamaan). Maka sungguh bodoh sekali jika ada umat Islam yang membatasi diri pada makna-makna harfiyah dan menolak adanya majaz dan tamsil dalam Al-Qur’an.  Orang yang menolak adanya majaz dan tamsil dalam Al-Qur’an akan berpikiran pendek dan cekak, dan yang lebih parah adalah ia tidak dapat menangkap isyarat-isyarat Al-Qur’an di balik ayat-ayat itu.
Kembali pada ayat “fitnah lebih besar bahayanya daripada pembunuhan”.   

Sadarkah kita bahwa musuh-musuh Islam lebih menyadari dan meresapi makna ayat ini dari pada umat Islam sendiri? Sejak dulu orang kafir dan musyrikin tidak menyukai perkembangan Islam dan mereka berusaha memerangi Islam. Usaha mereka untuk memerangi umat Islam secara fisik dan militer sungguh sangat dahsyat. Namun ini tidak masih tidak seberapa. Karena jika diperangi secara fisik dan militer (yang diisyaratkan dengan istilah pembunuhan) musuhnya jelas sehingga umat Islam akan bersatu melawannya. Makin ditindas akan makin melawan. Hal ini disadari oleh para penjajah Belanda (maupun penjajah Barat lainnya).

Maka mereka melancarkan perang yang lebih dahsyat lagi yaitu perang pemikiran dan upaya menggerogoti dari dalam. Inilah yang selama bertahun-tahun terbukti lebih ampuh dan masih berlaku hingga detik ini. Dan inilah yang diingatkan oleh Allah bahwa “fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan”.  Oleh karena lebih besar “bahayanya” maka musuh-musuh Islam menempuh strategi “menebar fitnah” dalam tubuh umat Islam. Namun banyak dari kita tidak menyadari hal ini.

“Devide et Impera” atau strategi adu domba. Rasanya semua orang sudah tahu. Tapi kok ya masih bisa dibodohi sampai sekarang. Dan anehnya strategi ini masih laris manis sampai sekarang. Strategi “Devide et Impera” inilah yang menimpa umat Islam di Palestina, Irak, Afghanistan dan tak terkecuali Indonesia. 

Kita tentu tahu bagaimana Belanda kesulitan menaklukan Aceh? Namun dengan kelicikan Snouck Hugronye seorang Yahudi Belanda berhasil menipu umat Islam Aceh dengan berpura-pura masuk Islam bahkan belajar ke tanah Arab dan mengawini anak seorang Kyai. Untuk mengetahui strategi kelicikannya, Anda dapat membaca buku kumpulan surat dan laporan resmi Snouck Hugronye kepada pemerintah kolonial Belanda. Isinya adalah analisa tentang watak, keyakinan, dan pemikiran (ideologi) yang melandasi perjuangan umat Islam. 

Dari situ Snouck Hugronye memberikan saran strategi apa yang harus ditempuh Belanda. Salah satunya adalah dengan menjauhkan Al-Qur’an dari umat Islam. Caranya waktu itu, Al-Qur’an itu disakralkan dan saking sakralnya tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa lainnya. Maka terjadilah pembodohan. Hanya segelintir kyai yang mengerti bahasa Arab saja yang memahami Al-Qur’an. Inilah salah satu hal yang dikritik oleh Kartini sehingga menyadarkan Kyai Sholeh Darat agar membuat terjemahan Qur’an dalam bahasa Jawa.

Senada dengan Belanda, kolonial Inggris pun menempuh strategi yang sama. Inggris mengipasi munculnya aliran-aliran dan organisasi sempalan dalam tubuh Umat Islam India, Pakistan dan Bangladesh. Demikian pula ketika menjajah Mesir dan menguasai Palestina. Perancis juga berbuat sama ketika menguasai Al-Jazair, Maroko, Tunisia dan Libanon. Dan pada hari ini Mossad pun menempuh strategi yang sama. Tinggal copy paste saja. Masih ampuh kok. Dengan banyaknya aliran-aliran ini,  umat Islam mudah diadu domba. Paling tidak, kita disibukkan dan banyak energi yang tersita untuk berdebat dan berpolemik dengan saudara kita sendiri.

Maka apa yang kita saksikan pada hari ini? Umat Islam saling mencela dan mengkafirkan. Bahkan umat Islam saling bunuh membunuh saudaranya sendiri. Di Pakistan bahkan bom bunuh diri ditujukan kepada sesama umat Islam yang sedang sholat Jum’at maupun sholat I’d. Gerakan Islam saling mendengki dengan gerakan Islam lainnya. Partai Islam saling memfitnah partai Islam lainnya (bahkan saling berpecah dalam organisasinya sendiri). 

Afalaa tatafakkaruun? (tidakkah kalian berfikir?) (Q.S. Al-Baqarah : 44).



 

Mengapa Doaku Tidak Terkabul?




Pertama tama, 
lihatlah Q.S. Al anbiyaa:90 dimana doa Nabi Zakaria dikabulkan karena dikatakan ia adalah orang yang bersegera dlm melakukan kebaikan, lalu ia adalah orang yang sungguh2 dan penuh keyakinan dalam harapan kepada Allah (bahwa doanya akan terkabul) lalu ia adalah oranh yang khusyu (dalam ibadah).
Nah apakah kita sudah memenuhi persyaratan ini? 

Nabi SAW pernah bersabda : Jika kamu mohon sesuatu kepada Allah maka mohonlah dengan penuh keyakinan bahwa doamu akan terkabul. Allah tak akan mengabulkan doa orang yang hatinya tidak yakin lagi lalai (H.R. Ahmad).

Juga dinyatakan dalam sebuah hadits qudsi : "Aku (Allah) adalah sebagaimana prasangka hambaku". 

Nah jika kita secara tidak sadar ada ganjalan dan keraguan dalam hati serta prasangka bahwa selalu saja doaku tak terkabulkan.. maka akhirnya yang terjadi memang doa kita tidak dikabulkan. Demikian pula kita harus iringi doa itu dengan usaha dimana Ali bin Abi Thalib berkata : Doa tanpa usaha ibarat anak panah tanpa busur. 

Jika semua persyaratan doa dan usaha sudah maksimal kita lakukan, demikian pula kualitas diri kita pun sudah kita tingkatkan namun seolah doa itu belum terkabulkan maka itu berlaku salah satu dari 3 kondisi sebagaimana dikatakan dalam hadits : "Tiada seorang berdoa kepada Allah dengan suatu doa kecuali pasti dikabulkanNya dan dia memperoleh salah satu dari 3 hal yaitu : dipercepat dipenuhi keinginannya di dunia atau disimpan untuk nya sampai di akhirrat atau diganti dengan sesuatu yang lebih baik, atau dicegahknya dari bencana yang serupa / setara dengan itu (H.R. Atthabrani). 

Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata : "Jangan sampai engkau putus asa bila Dia tak segera menjawab doamu sebab pemberianNya selalu seimbang dengan niat yang menyertai setiap permintaan. Adakalanya jawaban dari Nya tertunda sementara agar lebih besar pahalanya dan lebih berharga (bila saatnya nanti dikabulkan) di sisi si peminta, adakalanya kau mohon sesuatu tapi tak diberiNya namun diganti yang lebih baik segera ataupun nanti di lain waktu. Wallahua'lam

'Khuluk (Permintaan Gugatan Cerai dari Pihak Istri)




Cc : Abuakmal Mubarok


Kisah berikut ini mudah2an dapat menjadi diambil hikmah bagi sahabat yang masih mencari jodoh maupun bagi para suami dan para istri yang telah menikah. Terkadang sebuah perangai jiwa terkekang selama puluhan tahun dan baru muncul ke permukaan setelah lepas tali kekangnya.

Beberapa waktu lalu saya menghadiri pernikahan salah seorang saudara. Kebetulan mempelai wanita masih saudara saya. Namun tanpa diduga justru dalam acara resepsi timbul insiden. Salah seorang kakak wanita dari saudara saya tadi kehilangan suaminya. Padahal ia datang ke resepsi bersama-sama. HP nya non aktif tidak bisa dihubungi. Kakak tsb matanya nampak berkaca-kaca. Padahal ia harus berdiri di depan mewakili ibu nya (yang juga ibu sang pengantin wanita) yang tak dapat menghadiri pernikahan.

Sampai acara resepsi selesai, suami kakak ini tidak muncul-muncul. Bahkan kami tunggu sampai jam 8 malam pun suaminya tidak menjemput. Akhirnya karena tidak tega kami terpaksa mengantar kakak itu pulang karena rumahnya satu arah dengan kami yaitu di daerah Bogor.

 Sesampainya di rumah kakak itu, ternyata pagar terkunci tapi mobil suaminya ada di dalam. Berarti dari tadi suaminya pulang ke rumah. Akhirnya kakak itu meloncat pagar. Kami masih menunggu di mobil memperhatikan kakak itu. Ternyata pintu rumah juga dikunci dan sekian lama diketok tidak dibuka oleh suaminya. Akhirnya pintu itu ditendang beberapa kali dan akhirnya berhasil di dobrak. Kehebohan ini membuat para tetangga berdatangan. Babak selanjutnya tentu saja terjadi percekcokan yang sengit. Sudahlah, kami pulang saja, tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga orang.

Namun keesokan harinya tiba-tiba kakak tsb datang dengan wajah sembab mungkin karena menangis semalaman dengan membawa koper dan kedua anaknya. Dia menyatakan sudah tidak tahan lagi dengan situasi rumah tangganya dan meminta pendapat. Waduh! Saya bertanya sebenarnya apa yang terjadi pada pesta pernikahan kemarin? Ternyata katanya suaminya itu tersinggung sewaktu datang ke pesta itu dia sudah duduk naun tidak ada yang mempersilakan ambil minum. Padahal ia datang memang jam 7 pagi karena istrinya harus dirias mewakili ibunya di pelaminan. Sedangkan semua orang dan panitia sedang sibuk berdandan. Namun ada juga alasan katanya kenapa dia tidak mendapat undangan? Alasan ini lebih lucu lagi, karena adik iparnya sendiri yang jadi pengantin, bahkan istrinya jelas2 berdiri di pelaminan mewakili ibunya, untuk apa lagi mesti pakai undangan? Dia kan bagian dari shohibul hajat??

Sebetulnya ini adalah klimaks dari masalah yang berlarut-larut. Entah sudah ke sekian kali kejadian seperti ini berulang. Dan setiap kali saya menasehati kakak itu untuk bersabar siapa tahu nanti akan berubah. Karena walau bagaimanapun perceraian adalah perkara halal  yang dibenci Allah, dan saya tidak rela menyenangkan iblish dan bala tentaranya karena berhasil menceraikan anak Adam. Namun ternyata 12 tahun sudah ia bersabar dan suaminya kakak ini ternyata tidak berubah juga.

Sekilas saya teringat 12 tahun lalu ketika kakak ini menikah. Siapa yang tidak bahagia mendapatkan suami seorang anak kyai terpandang, badannya jangkung dan wajahnya cukup tampan. Tutur bahasanya halus sekali dan pandai berbicara. Namun tidak lama setelah menikah, kejanggalan mulai muncul. Suami kakak itu seperti kurang senang jika kedatangan saudara. Jangankan saudara istrinya, kakak kandungnya saja hendak datang malah dia berkata : “mau apa dia datang, jangan-jangan mau pinjam uang”. Demikian pula ketika bertandang ke rumah saya, dan istrinya masuk ke rumah, sedangkan tak ada orang yang mempersilakan ia masuk (karena saya tidak ada di rumah sedangkan istri ketika itu terbaring habis melahirkan) maka ia langsung marah dan bersumpah selamanya tak akan menginjak rumah saya lagi. Bahkan ketika ada ibu mertua nya sendiri pun ia tak segan-segan membentak dan menyeret istrinya pulang, tanpa berpamitan pada ibu mertuanya.

Suami kakak ini sangat halus tutur katanya. Kepandaian berbicaranya ini menghantarkan ia menjadi marketer (pemasar) yang handal. Sehingga karirnya pun melejit dan kini telah menjadi manajer salah satu distributor produk tertentu. Gaji lumayan dan fasilitas mobil dari perusahaan pun diperolehnya. Namun anehnya selama pernikahan konon suaminya pelit sekali dan jarang memberi uang. Sampai akhirnya sang istri terpaksa membuka warung kelontong, itupun modal dari adiknya (bukan dari suaminya). Walhasil, karena ada penghasilan dari warung, suaminya malah makin keenakan jarang memberi belanja. Sehingga selama 12 tahun pernikahan, untuk makan dan sekolah anak-anaknya praktis dari hasil warung tsb. Tapi kalau untuk membeli berbagai barang mewah ia seperti TV layar plasma yang terbaru, laptop dll ia royal sekali.

Anehnya, menurut orang tua dan kakak-kakaknya, sebelum menikah ia sama sekali tak menunjukkan watak seperti ini. Makanya tak ada yang menyangka ia sekarang bertingkah laku seperti ini. Ia adalah  anak laki-laki satu-satunya bungsu dari 10 bersaudara. Jadi semua kakaknya wanita. Sejak kecil sebagai bungsu ia sering dimarahi dan diperintah kakak-kakaknya yang wanita. Sementara kodratnya sebagai laki-laki sebetulnya menginginkan rasa kuasa. Sehingga jiwanya merasa tertekan dan baru muncul saat ia telah menikah dengan cara menunjukkan kuasanya kepada istrinya dan anak-anaknya. Berulang kali ia bertingkah membentak dan menyeret istrinya justru di hadapan orang banyak ketika di acara keramaian atau sedang kumpul keluarga.

Upaya menasehati dari kedua pihak keluarga sudah berulang kali diusahakan namun tetap tak ada perubahan. Sedangkan suami bersumpah tak akan mau menceraikan istrinya. Apakah karena cinta? Saya ragu cinta kok seperti ini. Rasanya ia mempertahankan karena tak mau kehilagan obyek untuk memuaskan rasa kuasanya itu.
Karena kakak itu mendesak bertanya apakah di dalam Islam ada cara untuk terlepas dari suaminya?. Maka dengan berat hati saya jelaskan bahwa dalam kasus suami yang menzhalimi istrinya, dan sang istri sudah tidak tahan lagi maka istri boleh menuntut cerai dari suami. Istilahnya “khulu”. Caranya cukup menggugat cerai ke hakim, lalu sang istri mengembalikan mahar yang pernah diberikan suaminya.

Khulu yang pertama kali terjadi di jaman Rasulullah adalah ketika istrinya Tsabit bin Qais menghadap Nabi dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mencela akhlak suaminya namun ia tidak mencintai suaminya karena bertubuh pendek dan berkulit hitam. Ia sudah mencoba sekian tahun untuk mencintai namun ia merasa tidak lagi bisa mentaati suaminya dan khawatir tak dapat menegakkan hukum Allah dalam keluarganya. Maka Nabi SAW bertanya : Maukah engkau mengembalikan kebunnya? (Karena Tsabit bin Qais memberikan mahar berupa kebun) Istrinya menyatakan sanggup bahkan bersedia memberikan tebusan tambahan. Maka Nabi SAW menyatakan : Cukup engkau kembalikan kebunnya dan tambahannya tidak perlu. Lalu Nabi pun memanggil Tsabit bin Qais dan menyatakan mereka bercerai. (Al-Hadits) Dari hadits ini kita tahu, jika karena tidak mencintai (karena tidak suka fisiknya) saja dibolehkan untuk mengajukan khulu, maka apalagi jika nyata2 suami memiliki keanehan kejiwaan dan menzhalimi istrinya tentu lebih boleh lagi.

Berbeda dengan talak, pernyataan cerai berada di pihak suami. Pihak suami tak bisa mengambil mahar yang telah diberikan kepada istrinya bahkan harus memberikan bekal kepada istri yang disebut mut’ah. Talak juga tak bisa dijatuhkan dalam kondisi marah. Talak tak boleh dijatuhkan saat masih haid, atau telah dicampuri setelah haid, atau masih mengandung. Talak baru bisa dijatuhkan saat setelah suci dari haid dan belum dicampuri. Namun dalam khulu, sang istri boleh kapan saja mengajukan gugatan cerai itu tanpa menunggu selesai dari haid. Inilah pembelaan dan kemudahan yang diberikan Islam kepada wanita. Karena jika wanita yang menginginkan lepas dari suami itu umumnya karena sesuatu yang keterlaluan.

Dalam talak dikenal ada talak raj’i dan talak bain. Talak raj’i ialah talak yang bisa dirujuki tanpa harus melakukan akad nikah lagi. Sedangkan talak ba’in, jika rujuk maka harus dengan akad baru dan memberikan mahar lagi. Jika seorang wanita dicerai, ia harus menunggu masa iddah yaitu 3X quru’ (3X suci dari haid). Jika dalam 3X quru’ itu suaminya merujukinya kembali, maka tidak perlu akad nikah baru. Inilah disebut talak raj’i. Jika setelah lewat 3X quru’ tidak merujiki maka istri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Namun jika lewat masa iddah ini suaminya ingin merujuki, maka harus dengan akad baru dan memberi mahar lagi. Inilah disebut talak ba’in sughro. Aturan ini bisa berlaku dua kali, yang dikenal dengan Talak 1 dan Talak 2. Jika untuk ketiga kalinya suaminya menceraikan lagi, maka suami tak bisa merujukinya lagi melainkan sang istri harus terlebih dahulu menikah dengan laki-laki lain. Jika ia telah cerai lagi, barulah suami yang sebelumnya bisa merujukinya dengan akad yang baru dan mahar yang baru. Ini disebut talak ba’in kubro atau Talak 3.

Adapun dalam kasus khulu, istri tak perlu menunggu 3x quru’. Imam Syafii dalam qaul jadid (pendapat yang terakhir) menyatakan bahwa khulu’ bukan sejajar dengan talak, melainkan khulu’ sejajar dengan fasakh (diceraikan oleh hakim) dan massa iddahnya cukup 1x quru’ (1 X suci dari haid). Dan jika suaminya hendak menikahinya lagi harus dengan akad baru dan mahar baru. Semoga ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua untuk berhati-hati dalam memilih pasangan, jangan melihat manis tampak luarnya saja namun telitilah dengan seksama kondisi lahir batin calon pasangan kita.
Wallahu’alam.





Sikap Kita Terhadap Mereka yg 'Terlalu Semangat dan Ghuluw dalam Berislam'



Oleh : Abuakmal Mubarok & Rama D.


Wahabi atau Wahabiyyah adalah kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada salah seorang ulama Hijaz (saudi) Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/ 1115 H-1206 H). Terkadang mereka dijuluki juga Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah) dan Salafiyyun (orang-orang yang mengikuti ulama-ulama terdahulu).

Sejauh yang kami ketahui,  Muhammad bin Abdul Wahab melancarkan gerakan pemurnian tauhid di tanah Hijaz. Maka tidak ada masalah dengan hal ini, bahkan kami sepakat untuk saling bahu membahu bersama mereka dalam upaya memurnikan akidah umat.

Hanya saja, niat baik ini bisa jadi berbalik menjadi fitnah jika kita tidak mempertimbangkan fiqih dakwah dan realita dalam masyarakat.  Apabila Anda risau dan geram dengan maraknya kemaksiatan dan kesesatan, maka kami pun sama risaunya dengan Anda. Namun hendaknya rasa risau ini TIDAK  menyeret kita kepada sikap keras atau berlebihan (ghuluw) dalam dakwah.

Sebagian pemuda mungkin terlalu bersemangat dalam berdakwah dan ingin melihat perubahan segera, namun hendaknya kita semua bersabar dalam dakwah. Fenomena ini bisa terjadi pada kelompok dakwah mana saja. Terkadang kesesatan itu sudah berakar dan melembaga ratusan tahun sedangkan sikap terburu nafsu itu justru akan mendatangkan fitnah bagi dakwah Islam itu sendiri.  Sabar itulah alat perjuangan kita.

Bukankah Allah telah berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah : 143).

Bahkan sabar disebutkan lebih dulu dari sholat, karena untuk melaksanakan sholat pun diperlukan kesabaran dan tumakninah (tidak terburu-buru). Ini semua mengandung ibroh bahwa segalanya harus dilakukan dengan sabar.

Jika ada yang cara dakwah  terburu nafsu dan meninggalkan tutur kata yang santun dalam memperingatkan manusia, maka kami berlepas diri dari cara dakwah seperti itu. Bahkan Al-Qur’an pun melarang mencaci maki sembahan orang musyrik? Padahal jelas itu adalah kesesatan yang berat, namun tetap saja kita diminta untuk bertutur kata baik.

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al- An’am : 108)

Demikian pula Allah menyuruh Musa bertutur kata baik dalam memperingatkan Fir’aun yang nyata-nyata mengaku dirinya Tuhan.“Pergilah kamu, hai Musa dan Harun kepada Firaun, nasihatilah dengan nasihat yang baik dengan bahasa yang halus, mudah-mudahan ia mau ingat dan menjadi takut kepada Allah”. (Q.S. Thaha : 44)

“Maka karena rahmat Allah kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut kepada mereka, dan jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka mereka akan lari darimu”  (Q.S. Ali-Imran:153).

Jika ada yang sangat getol meneliti dan mentakhrij hadits, dan membatasi diri pada hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah SAW. Maka kami sepakat dengan mereka bahwa kami pun peduli pada hadits-hadits yang sahih. Namun perlu diketahui bahwa sikap ulama berbeda-beda dalam mengambil hadits-hadits dhaif (asalkan bukan hadits ma’udhu) yaitu untuk masalah fadhilah amal (keutamaan suatu amal), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), serta manaqib dan sejarah .

Imam As-Suyuthi berkata: “Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan”.

Imam -Nawawi berkata: "Boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Demikian pula terkadang suatu hadits didhaifkan oleh ulama yang ini tapi dikuatkan oleh yang lain. Terkadang perawi sebuah hadits dikatakan gugur atau cacat oleh ulama yang satu tapi dikatakan tidak mengapa oleh ulama yang lain. Atau terkadang suatu hadits yang dha’if dari satu jalur periwayatan namun bisa berubah menjadi tidak dha’if karena dikuatkan oleh hadits yang redaksinya sama atau maknanya sama, dari jalur yang lebih kuat (hasan li ghairihi).

Kami sangat mengapresiasi semangat yang tinggi dalam menerapkan sunnah. Kami juga sangat menghargai sifat wara’ (kehati-hatian terjerumus pada yang haram sampai2 menghindari melakukan sesuatu yang halal jika dikhawatirkan akan membawa kepada yang haram). 
Namun hendaknya sikap ini BUKAN untuk diaplikasikan kepada orang umum dan awam, karena kemampuan setiap orang dalam melaksanakan perintah itu berbeda. Sahabat Nabi SAW banyak yang bersikap wara’ namun mereka HANYA menerapkan kepada dirinya sendiri dan TIDAK mewajibkannya kepada orang lain.

Jika mereka mengaku adalah orang2 yang mengikuti ulama salaf (ulama terdahulu) maka kami pun mengikuti ulama-ulama yang terdahulu. Maka tidak ada yang salah dalam hal ini dan tak ada yang sesat dengan pemikiran seperti ini. Namun jika mereka membatasi ulama salaf HANYA sampai masa tertentu atau ulama-ulama tertentu saja utk mendukung pemikiran golongan sendiri, maka sungguh itu sikap meremehkan ilmu para ulama dan menyia-nyiakan mutiara ilmu yang berserak.

Jika ada di antara mereka yang memiliki ghiroh yang tinggi untuk memberantas bid’ah dan khurafat maka kami pun bersama mereka. Jika mereka membenci tasyabuh (menyerupai) kaum kafir, maka kami pun tidak sudi menyerupai kaum kafir. Namun perlu didudukkan dahulu definisi dari bid’ah dan tasyabuh itu. 
Terlalu men-generalisir (pukul rata) dalam definisi bid’ah dan tasyabuh akan membawa kesembronoan dalam menuduh pihak lain. Kita tidak mau terjebak pada simplifikasi (terlalu menyederhanakan) batasan  bid’ah dan tasyabuh. Kita juga TIDAK MAU ikut-ikutan terlalu mudah menuduh pihak lain melakukan bid’ah terlebih lagi jika menyimpulkan saudara kita sebagai murtad dan kafir. TIDAK. KAMI TIDAK MAU BERSIKAP SEMBRONO BEGITU.

Karena Rasulullah SAW bersabda :
Abdullah bin Umar r.a. berkata Rasulullah SAW bersabda : Tiap orang yang berkata pada saudaranya : “hai kafir!”  maka pasti akan menimpa pada salah satunya (Bukhari Muslim).

Tidakkah sabda nabi ini membuat kita berpikir seribu kali sebelum mengatakan bhwa orang lain kafir, terlebih kpd saudara sendiri sesama muslim..??

Orang yang berada di atas manhaj salaf yg benar itu adalah bersifat pertengahan antara melampaui batas (ifrath) dan meremehkan (tafrith). Maka kami TIDAK sepakat jika semangat salaf itu kemudian menjadikan kita memberat-beratkan masalah walaupun tidak berarti kita meremehkan masalah. Salah satu sifat memberat-beratkan masalah adalah ketika terlalu mendetil dalam sesuatu yang sebenarnya dapat ditolerir dan dimaafkan. Sebagaimana Bani Israil yang terlalu bawel dan detil menanyakan kriteria sapi untuk qurban sehingga hampir-hampir saja mereka akhirnya tidak melaksanakan perintah Allah tsb karena kesulitan sendiri. Kriteria Allah yang semula longgar menjadi terasa ketat dan dipersulit sendiri. Perlu diingat bahwa agama ini bukanlah ilmu eksakta yang menuntut ketelitian hingga nol koma nol nol nol sekian persen.

‘Permudahlah oleh kalian semua dan jangan dipersulit, gembirakanlah mereka dan jangan disusahkan, bersepakatlah dg mereka dan jangan berselisih’. (HR Bukhari Muslim). 

“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan (beliau berkata sampai tiga kali)”. (H.R. Muslim)

Jika ada di antara mereka yang menganggap bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar itu adalah keluar dari Islam dan kafir, maka kami menghindari  cara pandangan seperti itu. 
Karena Allah sendiri berfirman:

“Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri (zhalim li nafsih) dan di antara mereka ada yang pertengahan (Muqtashid) dan di antara mereka ada yang bersegera melakukan kebajikan (sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka (ketiga golongan itu) surga dan mereka masuk ke dalamnya…” (Q.S. Al-Faathir 32-33)

Lihatlah pada ayat di atas bahwa orang yang muslim itu tetap disebut sebagai hamba Allah yang terpilih walaupun ada di antara mereka yang menzhalimi dirinya sendiri dengan melakukan dosa, namun semuanya akan dimasukkan ke dalam surga. 
Maka bagaimana mungkin kami mengatakan pelaku dosa besar itu telah murtad dan kafir? Oh tidak kawan. kami tidak akan bertindak sembrono dgn mengatakan mereka telah kafir atau sesat. Tugas kami adalah mengingatkan saudara kita untuk kembali ke jalan yang benar dan mengajak mereka bertaubat dengan taubatan nasuha.

 “Berhati-hatilah kalian dari bersikap berlebihan, karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat berlebihan.” (H.R. Bukhari). 
 
Hal ini tidak ditujukan mencirikan suatu golongan karena sikap berlebihan ini adalah sesuatu yang tercela jika berada di golongan mana saja.

“Nabi besabda: Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya” (H.R. Muslim).

Semoga tulisan pendek ini mampu membuka pintu hati yg keras dan terkunci !
Aamiin.